(everybody says that they’re looking
for a shelter/ got a lot to give but i don’t know how to help her/ i should
just let it go/ ‘til they learn how to grow/ and how to liberate/ everybody
says that she’s looking for a shelter/ got a lot to give/ but i don’t know how
i felt her/ they should just let it go/ till these cities learn to grow/ and
how to liberate/ silence is easy/ it just becomes me/ starsailor – silence is easy)
.
Ada yang menyangkanya sedang PMS. Ada yang memakluminya moody-an. Ada yang
mengecamnya NATO belaka. Masa kritis Zia berhibernasi dan meledak pada titik
kulminasi. Adalah masa di mana segala yang indranya tangkap minta untuk
diserang. Ketika yang senyatanya tidak sesuai dengan yang seharusnya. Stok
peluru Zia dalam kondisi overloaded. Kawanan SMP Zia sudah siap dengan sumbat telinga.
Mengingatkan Zia untuk tidak sekedar main cablak dan segeralah berbuat bagaikan
berendam di kolam piranha.
Rasa bumbu kacang loteknya kurang tajam, kerupuknya kurang
banyak! Sekolah ini ngegaji petugas kebersihannya tepat waktu nggak sih,
toiletnya kotor mulu! Para guru nggak seharusnya ngasih tugas sebanyak ini
dong, kita kan punya kehidupan lain! Hai Ega, mana janji-janjimu yang dulu,
yang kamu kampanyekan lewat mulutku? Dana untuk Bazaar SMANSON yang kamu tilap
kemarin itu udah dikembalikan belum, Reg? Apa pentingnya sih ngebandingin nilai
mulu, Pay, itu cuman angka di atas kertas, bukan ukuran mutlak buat nentuin
kualitas! Aku muak sama persoalan kamu dengan Ardi, dari dulu gitu mulu, nggak
usah pacaran sekalian, Tat, kalau cuman buat nyari-nyari perhatian, kayak
keluarga sama temenmu nggak cukup ngasih aja! Dean, aku ngendon di perpustakaan
bukannya nungguin PR Bahasa Indonesia kamu buat aku kerjain, usaha sendiri
dong! Pantas aja Ipong nyela-nyela kamu terus, Sal, kamu tuh jangan terlalu
berorientasi sama diri kamu sendiri! Hah, aku tau si Nanu itu nggak pandai Bio
tapi kok bagus nilai rapotnya kemarin, mentang-mentang diajar ibunya sendiri!
Sekali lagi kamu ngintip ulanganku, aku laporin kamu, Robin, dari SMA udah
korupsi kecil-kecilan gini, mau jadi apa kamu nanti? Siapa sih yang piket
kemarin, kok nggak tanggung jawab sih, sampahnya masih numpuk di pojokan gini?
Tak luput Mas Imin dan pasukan warbung yang tengah merayakan demisionernya
Mas Imin sebagai ketua PATIN di Kabita. Mereka yang, seperti biasa, tak lepas
dari membicarakan perkembangan diri para siswa SMANSON. Hanya mulut Kang Hilman
yang ingat untuk mengatup. Lainnya menganga dengan sendok yang masuk kembali
dalam kuah soto atau tertahan di udara.
“Kalian nih ngurusin orang aja, tapi sambil bawa-bawa soal seakan-akan
pada mau masuk ITB. Kenapa kalian nggak masuk jurusan yang emang bidangnya
ngurusin orang aja sih?”
Sikut Kang CP menyingkirkan buku kumpulan soal Fisika yang sedari tadi
sesekali diintipnya.
“Kalau si Luthfi sih masih ada kecenderungan ke situ,” rujuk Kang Detol
pada Mas Imin. Ia melahap kembali potongan bihunnya.
“Nggak tau juga nih...” Mas Imin memalingkan sedikit kepalanya.
“Dipikir-pikir, apa yang kita lakuin emang nggak ada hubungannya sih
dengan jurusan yang mau kita pilih.” Kang CP mengusap-usap rambut. Matanya
mencari-cari obyek yang pas untuk dijadikan pendaratan.
Kang Hilman tampak hendak unjuk suara. Mas Imin juga. Kang Hilman
mempersilahkannya duluan. Berbicaralah Mas Imin dengan mata Zia ia tatap lekat.
“Kita cuman pingin setiap orang bisa ngeberdayain dirinya, supaya jadinya bisa
kasih manfaat juga sama orang lain. dan seperti kata si Ajat, itu nggak ada
hubungannya dengan jurusan yang kita rencanain pilih entar. Kenapa? Karena kami
pikir apa yang kami lakuin itu emang keharusan kita sebagai manusia terhadap
satu sama lainnya.”—Ajat adalah nama asli Kang CP.
Zia mengerutkan dahi. “Berat amat sih...”
“Itu si Luthfi loh yang ngarang kata-katanya,” celetuk Kang Detol.
“Versi saya rada beda sih, tapi esesnsinya samalah,” tambah Kang Hilman.
“Aaah... Udah, udah...” sergah Mas Imin. “Rasa sotonya jadi beda nih.
Sampai siapa tadi yang kita omongin? Si Rosa? Gimana kabarnya di PKK?”
Kalimat Mas Imin mengiang-ngiang di kepala Zia selama perjalanannya menuju
rumah. Sampai ia mengeluarkan laptop Papa ke ruang tengah, hendak membius
kecamuk pikiran dengan menonton DVD anime yang Ardi rekomendasikan sejak lama.
Siapa yang meneruskan jejak Mas Imin dan kawan-kawan selepas mereka dari
SMANSON nanti? Mendorong orang untuk mengembangkan warbungnya dengan
mencemplungkannya dalam komunitas yang sesuai? Mengapa mereka tidak mencari
kader?—sesekali Zia terpikir seperti itu. Ia bertahan dalam asumsi, bahwa
aktivitas terselubung mereka itu mungkin sekedar kesenangan yang tidak mendesak
untuk diwariskan. Tidak banyak orang yang tahu kiprah mereka. Alih-alih
berinisiatif jadi sang penerus, Zia sadar bahwa masih susah baginya untuk
menerima kelebihan orang lain. Sementara mereka dengan tulus bermaksud hendak
memberdayakan itu, Zia malah lebih menginginkan sebaliknya.
Iseng Zia membuka-buka disk Papa. Siapa tahu ada sisi lain Papa terselip
di salah satu folder, tertawa Zia dalam hati. DVD anime yang Ardi pinjamkan pun
tetap teronggok di samping laptop. Belum sempat Zia membuka lebih banyak
folder, terdengar deru si VW kodok memasuki carport. Zia terpikir untuk
memanggil mobil tersebut ‘Zuma’. Kepala Zia mendongak sedikit. Tak kelihatan.
Bangkitlah ia untuk melongok kedatangan Zaha. Tak keliahatan. Tubuh Zia jatuh
telungkup lagi. Klik. Klik. Klik. Ha, ini foto-foto Papa lagi karaokean dengan
teman-teman kantornya di tempat pemancingan! Siapa itu tante-tante yang
ketangkap sedang mengobrol berdua Papa?
Terdengar kelontang kotak pos ditutup. Zaha pasti tengah membuka sepatunya
kini sebelum menaiki keramik teras. Langkah-langkahnya mendekat. Berhenti. Aura
tak mengenakkan. Zia bangkit lagi. Dari balik tembok ia mengintip Zaha yang
terduduk di sofa ruang tamu. Secarik kertas dalam genggaman. Genggaman yang
lain adalah sebuah amplop. Sepasang mata yang memerah.
Zia kembali ke tempatnya semula dalam posisi siaga. Ia menanti Zaha
bangkit dari sofa. Tunggu saja, tak lama kemudian Zaha pasti akan menaiki
tangga, membuka kunci kamarnya yang tak pernah Zia diizinkan masuk ke dalam,
lalu menutup pintu, dikunci lagi. Nah, itu ia datang! Zaha tersentak saat
dengan gerakan cepat Zia merebut kertas dalam genggamannya. Namun keterpanaan
Zaha tak berlangsung lama. Ia memalingkan muka dan meniti satu per satu anak
tangga dengan gontai. Katup mulut Zia terangkat ke atas.
Kembali pada kertas yang menggugahnya. Ia baca baris demi baris kalimat di
bawah kop sebuah penerbit besar. Oh.
Seandainya Zaha ada di hadapan, ingin ia mencerca merca dengan sengak,
“Makanya kamu tuh dengerin kalo aku lagi ngomongin soal karya kamu. Jadiin
pembelajaran, bukannya songong-songong kayak yang karyanya udah bagus aja. Aku
bilang juga apa, kamu tuh masih kacau di alur. Logika cerita juga rada GJ.
Jangan mentang-mentang bisa niru karakter gambar orang lain, lantas nggak
konsisten ama karakter gambar sendiri. Sekarang kamu ngerasain sendiri kan
rasanya gagal gimana?”
Setelah puas dengan pendaman rasa senioritas dalam kegagalan, Zia
memikirkan ulang kata-kata dalam benaknya tadi. Macam yang kerap ia lemparkan
pada Zaha. Ia teringat ekspresi Mas Imin kala menyaksikannya adu mulut dengan
Zia—kadang Mas Imin suka mampir ke rumah kalau hendak menonton serial
favoritnya di TV berlangganan. “Tiap hari kalian kayak gitu?” Mas Imin seperti
tak percaya. Zia mengiyakan, seakan tak ada yang menakjubkan dari salah satu
rutinitas hariannya itu. “Lebih baik daripada diem-dieman kan?” Zia balas
meledek bentuk interaksi Mas Imin dengan para adiknya kalau sedang ada masalah.
Lalu Mas Imin membagi sedikit pelajaran yang ia ambil dari mengikuti khotbah
Jumat. “Rasulullah SAW bersabda, berkatalah yang baik dan benar, atau diam.”
Zia tercenung dengan kenyataan bahwa ditolaknya karya Zaha oleh penerbit
besar berasa tragedi juga baginya. Setidakberkualitas hubungannya dengan Zaha,
Zia masih memendam keinginan supaya terjadi hal baik pada adiknya. Kendati yang
ia berikan dulu-dulu lebih terdengar bagai celaan, ketimbang dorongan. Ia
memang kerap tidak senang akan keunggulan Zaha. Tapi akan lebih buruk lagi
kalau Zaha tidak bisa apa-apa sama sekali, karena mereka akan menjadi dua
bersaudari yang menyedihkan. Setidaknya kalau yang satu sukses, yang lain akan
terangkat. Apakah ini artinya ikatan keluarga? Zia sukar membayangkan akan
munculnya perasaan yang sama terhadap teman-temannya. Heran Zia dengan dirinya
sendiri. Lalu apa yang harus ia lakukan kemudian? Memberi Zaha kata-kata
penghiburan yang baik dan benar?
Rasanya Zaha tidak pantas mendapatkan itu, pikir Zia—lebih karena ketidakbiasaannya untuk mengatakan yang macam demikian. Kalau begitu mulai sekarang lebih baik ia diam saja. Bertambah satu poin lagi dalam resolusinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar