Sabtu, 18 Desember 2010

sembilan belas

Sedari tadi lengan Zia terlipat. Kini ia memberi tatapan tajam pada Salman. Setajam pengamatannya terhadap aksi pasukan warbung. Tak tersirat goyah dalam gestur tubuh gempal itu, yang malah membuat Mas Imin terkesima. Mereka duduk berdampingan, menghadap Salman dalam ruang X-7. Salman yang mantap dengan ucapannya. “Jadinya aku nggak ikutan yang buat Bazaar itu, Kang, Teh.”

“Kenapa?” suara Zia tertahan di tenggorokan. Pandangnya beralih sejenak ke jendela, pada Kang Hilman dengan seorang culun kelas X. Mendadak ia disergap gerah.

“Jadinya aku ikutan yang olimpiade itu, Teh.”

Zia tak ingin mengatakan langsung pada Salman bahwa ia kecewa. Ia ingin Salman mengetahuinya dari raut yang ia pancarkan. Salman melempar pandangnya ke bawah bangku. “Mana nih yang kemarin katanya percaya sama kekuatan bakat? Apa kamu mau nyia-nyiain bakatmu begitu aja? Nggak semua orang punya bakat kayak kamu, Salman.” Ia sungguh ingin membuat Salman menyesal. Ia ulang lagi kata-kata yang ia gunakan minggu lalu saat meyakinkan Salman untuk tak ragu membabat Ipong di depan Sharona. Mas Imin memperbaiki posisi duduknya, membuat Zia menoleh. Zia sebal melihat senyum di wajah itu.

Salman mengangkat kepalanya lagi. “Kan aku udah bikin planning, Teh.”

Setelah muncul wacana untuk melanjutkan pendidikan ke Bandung, Salman membuat sebuah perencanaan hidup. Ia tidak punya bayangan sehingar-bingar apa kota besar macam Bandung itu, yang katanya segala ada. Secarik kertas berisi gambaran akan masa depan yang diinginkan dapat menjadi peta dalam mengarungi medan rantau. Dan setelah peta tersebut jadi, bakat menyanyinya terkuak tiba-tiba.

“Kamu nggak nyesel karena udah kehilangan kesempatan besar? Duet sama Sharona gitu loh... Kalau dia ngerasa cocok sama kamu, suara kamu bakal muncul di album terbaru dia. Tampang kamu bakal masuk ke video klipnya. Mana tahu habis itu kamu bisa bikin album sendiri, Salmaaaan?” Zia tak habis pikir, selagi kesempatan untuk jadi terkenal mendekat, mengapa malah disia-siakan?!

Sekarang, saat ia menyadari kenihilan potensi dirinya, Zia menyesal dengan kesempatan-kesempatan yang tak pernah ia coba. Kesempatan-kesempatan yang ia tampik atau lewatkan karena ia pikir tidak di situ potensinya. Kesempatan untuk gabung dengan ekskul yang tak pernah ia kepikiran untuk masuki, mengikuti lomba yang ia merasa tak akan bisa menang, menerima ajakan berpartisipasi dalam acara yang membuatnya harus mengentas malas, dan lain-lain. Padahal, siapa tahu? Zia gemas. Ia tidak ingin Salman mengalami hal yang sama sebagaimana dirinya.

Zia mencondongkan tubuh. “Kapan lagi Salman, ada kesempatan emas macam ini?”

Sekilas tersirat gundah, namun air muka Salman mengeras lagi. “Nggak, Teh. Bukan jalan seperti itu yang aku pingin, Teh.”

“Trus, mau dibawa ke mana bakat kamu?”

“Aku bakal terus aktif di VG kok, Teh. Aku nggak bakal nyia-nyiain bakatku kok, Teh, bakal ta kembangin terus. Udah ta masukin planning juga kok, Teh, jadi plan B! Tapi aku kan udah punya plan A, Teh. Plan A yo tetep plan A, Teh, plan yang harus diprioritaskan!”

“Hei, Jawa, ke mana sih lo kemarin?!”

Kompak Zia dan Mas Imin menoleh ke ambang pintu. Dari sana laju si jambul ikal mendekat. Salman bangkit dari duduknya. “Aku ikutan olimpiade, Pong!”

“Ngapain ikutan olimpiade?! Edan, nyesellah lo, nggak ketemu sama Sharona kemarin!”

“Nggak. Aku nggak nyesel kok, Pong!”

“Ah, wadug! Liat aja lo entar. Gua jamin nyesel bakalan... Bilang aja lo nggak PD!”

“Emang aku lebih pingin ikutan olimpiade, Pong! Aku lebih pingin masuk ITB! Aku kembali pada tujuanku semula!”

Ipong mengerutkan dahi. “Hah?”

“Aku suka nyanyi, Pong. Aku juga seneng latihan bareng-bareng kamu, anak-anak VG. Aku pingin bisa nyanyi bagus. Tapi sebelum itu aku udah tau tujuan hidupku, Pong. Aku ke Bandung buat jadi mahasiswa ITB, Pong, bukan buat jadi penyanyi! Mungkin tujuanmu nggak sama kayak tujuanku, tapi aku yakin sama tujuanku itu. Udah ta pikirin benar-benar dari dulu, sebelum aku ke Bandung, Pong. Udah bismillah!” sahut Salman dramatis.

Zia mendapati gurat kekecewaan di muka Ipong. Mungkin sama apa yang ia rasakan dengan bocah itu. Bagaimana bisa seseorang menafikan kesenangan yang ia peroleh dari mengeksplorasi bakat? Picik banget si Salman itu! Zia tidak bisa memahami jalan pikirannya. Padahal masa SMA Salman masih dua setengah tahun lagi. Dia kira dia nggak bakal melewati masa-masa labil apa?!

“Aku tetep ngedukung kamu kok, Pong! Semoga kamu keterima duet sama Sharona, yo, Pong, aku pasti bakalan ikut seneng kok. A dream you dream alone is only a dream, a dream you dream together is reality!”

John Lennon... Zia mangkel.

“...kenapa?” suara Ipong memelan.

Salman tak lekas menjawab. Ia biarkan sunyi sesaat menjelang, sebelum melanjutkan,

Dari wajah lusuhku ada, satu harap penuh damba...

Langkah Salman mendekati Ipong.

Kau coba, menulis padaku, dunia penuh beda, ternyata....

Zia tidak tahu darimana masuknya suara drum, alunan gitar dan bass, serta denting halus kibor. Dan fragmen-fragmen kenangan latihan VG dengan hasrat sesumbar Salman dan Ipong di dalamnya.

Ipong terdiam. Ia terlihat menelan ludah sebelum menjawab Salman dengan nada yang lebih ringan dan halus.

Keinginan hatimu, kawan, tiada nyata tanpa kerja... Kau tahan kan semua hina, tuk menempuh apa yang.. kau tuju...

Tidak terumbar lagi keinginan untuk menunjukkan siapa yang lebih unggul dari siapa, untuk berebut peran penting—yang demi kelancaran latihan akhirnya dijatuhkan ke pita suara orang lain.

Salman mengangkat kepala. Langkah Ipong tertuju jua padanya. Dahi Salman berkerut, menambah ekspresi pada wajahnya. Mulutnya kian terbuka lebar.

Likunya gelombang turut serta...” 

Setiap orang memiliki karakter vokal masing-masing. Vokal Salman yang berat dan membahana bak penyanyi opera,

“...menghilangkan jejak cita...”

atau lengkingan tinggi bak androgini ala Ipong,

Segalanya ada padamu...”

berbeda, namun harus bersatu untuk menghasilkan harmoni. Di situlah keindahan terjadi.

 “...teruskanlah... buanglah air mata...”

Kini mereka bisa melihat dengan pasti sorot mata satu sama lainnya. Ipong yang tertegun, Salman yang percaya diri, dan Ipong pun melanjutkan. Lekat tatapnya pada Salman.

“Marilah teruskan cita-cita, jangan tertinggal dengan percuma... Semoga hari bahagia...

Entah darimana pula datangnya paduan suara yang mengisi latar,

kan tiba...

lengking tinggi Ipong masuk lagi pada ketukan yang pas.

...di hadapanmu...

Lagi.

...seberkas...

 ...sinar pesona...

...begitu pula...” tutup Salman dengan vibranya yang menggetarkan dada, “...kala kudamba...

Kala gelombang tepukan tangan menimpa, tubuh Zia masih mengawang-awang dalam adegan bernuansa serial Glee. Matanya terpaku pada mereka: Salman, dengan kegempalan tubuhnya, menelan ramping tubuh Ipong dalam pelukan. Adakah yang salah atas persepsinya akan hubungan dua orang itu selama ini? Zia tak habis pikir. Lagu apa pula yang mereka nyanyikan tadi? Yang memaksa indra para penduduk kelas untuk terjaga. Yang menarik para pelintas di luar untuk mengintip dari balik jendela. Ia akan memintanya pada Salman atau Ipong begitu momen mengharukan ini usai. Keduanya tampak menguasai benar lagu tersebut, mungkin merupakan salah satu lagu andalan VG.

Di tengah gemuruh yang ikut ia ramaikan, Mas Imin menoleh pada Zia. “Maaf Zia, saya suka lupa aja ngingetin kamu soal life mapping.”

Dengan mulut masih setengah terbuka, Zia menggeleng pelan. Matanya masih belum bisa lepas dari obyek yang dihujani tepuk tangan. “Peta hidup ya?” ucapnya tak fokus. “Aku udah punya kok. Tapi aku nyasar.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain