Mau dibaca ulang berapa kali pun, Zia
tidak bisa puas terhadap hasil liputannya tentang gig KOMBAS. Bahkan ketika
artikel tersebut sudah terpajang di mading. Artikel yang membuatnya begadang
karena baru digarap setelah meminta perpanjangan deadline, membangunkan Salman
dini hari buta untuk kelengkapan narasumber, lalu mengemis foto paginya pada
panitia gig. Zia tidak terpikir sama sekali untuk membawa kamera digital pada
saat hendak meliput. Ia tidak ingin mempertanyakan lagi niatnya menjadi
wartawan, mungkin potensinya tidak di situ. Mungkin ia tidak akan pernah bisa
menjadi seperti Tintin.
Dengan muram, Zia menggeser pandang pada
artikel-artikel lain yang terhampar di sebelah artikelnya—potongan mungil
karton yang letaknya terhimpit di paling kiri. Dalam pandangannya,
artikel-artikel lain terlihat amat bersinar seolah habis dikenai deterjen
pemutih pakaian. Pipinya menggembung saat membaca ucapan selamat untuk sederet
nama yang telah mengharumkan SMANSON dalam suatu perlombaan di lain
SMA—dikelilingi oleh wajah-wajah bahagia yang digurat krayon. Selanjutnya
mereka akan melaju ke luar kota. Nama lengkap Arderaz tercantum di sana.
Mengingat cerita Dean tentang kecemerlangan saudara kembarnya itu membuat Zia
tidak habis pikir. Mengapa ada orang yang dapat mengoptimalkan berbagai
potensinya sehingga dapat meraih bermacam prestasi, tapi ada juga orang yang
tidak jelas sama sekali apa potensinya—seperti dirinya? Setidaknya ia tidak
sepasrah Dean, Zia membatin.
Kembali dengan langkah lunglai dan
pundak layu ke dalam kelas, Zia lantas mengeluarkan gitar Papa dari wadah
pembungkusnya. Hari ini ia hendak meluruskan niatnya belajar gitar pada Kakek.
“Katanya mau belajar gitar sama Kakek?” begitu kerap ucap Mas Imin, yang selalu
ditangkis Zia dengan, “Iya, entar ah, kalau mood.” Lalu Mas Imin mengingatkannya lagi akan
kerugian-kerugian yang akan didapatkannya kalau ia terus memperturutkan mood.
Kalau sudah begitu, Zia merasa Mas Imin bawel sekali dan ia berhenti mendekati
Mas Imin untuk sementara waktu.
Zia pikir lebih baik ia membawa gitar
sendiri ketimbang meminjam salah satu gitar Kakek. Hanya untuk melihat-lihat
koleksinya saja, Kakek sudah mewanti-wanti Zia agar hati-hati, apalagi
memainkannya. Tahulah Zia dari mana ia mewarisi sikap pelit.
Zia mendudukkan gitar Papa di atas
pangkuan. Lekukan gitar tersebut pas benar di bagian atas tungkai pahanya.
Pertama kali Zia minat untuk benar-benar belajar gitar adalah saat melihat Oman
memainkannya di pojok kelas. Kawanannya yang lain minat belajar juga waktu itu,
meski tidak sungguh-sungguh. Ketimbang terus-menerus bergantian pinjam saat hendak
coba memainkan, Zia jadi ingin gitar sendiri. Zia lalu meminjam gitar milik
Papa yang meski jadul tapi masih layak pakai. Ketimbang dibelikan yang baru,
Zia lebih suka mendapat uang mentahnya saja.
Beberapa utas senar digenjrengnya. Ke
luar paduan suara ganjil. Pasti karena terlalu keras ia mainkan semalam.
Menyelusup rasa malas. Nanti ia akan meminta Kakek untuk menyetem gitar
tersebut. Ia tidak berani melakukannya sendiri, sekali nekat, putuslah itu
senar.
Semalam, setelah mengarang lirik untuk
“Simfoni Patah Hati Terakhir”, Zia hendak coba-coba mengarang nadanya pula.
Tidak ketemu. Yang ia temukan hanya secarik kertas menguning di balik kantong
bagian dalam tas gitar. Rentetan huruf yang kiranya petunjuk akan suatu alunan
musik tertoreh di atasnya. Dijuduli “Erusas”. Zia tahu pasti, ini adalah cerita
tentang tiga perempuan dalam hidup Papa. Demikian rendahnya kemampuan verbal
Papa, sampai-sampai lirik saja tidak diberikannya. Zia coba
mengarang-ngarangnya sendiri, tapi ia sama sekali tidak terbayang apa yang
mungkin dikatakan Papa tentang perasaannya pada orang lain.
Sejak pertama kali menemukan rentetan
huruf tersebut, dan itu sudah bertahun-tahun lalu, Zia selalu penasaran
bagaimana memainkannya. Kata Oman, lebih baik Zia menanyakannya langsung pada
Papa. Namun Zia sungkan. Bisa-bisa ia tidak akan bisa menyentuh kertas itu
lagi. Lalu tadi pagi, Zia terbangun dengan Bono berkata padanya, “Sometimes you
can’t make it on your own.” Zia jadi terpikir untuk minta bantuan orang lain
lagi.
Oman mungkin sama sungkan dengannya
untuk menebak perasaan Papa—tidak pernah pula Oman melihat langsung orangnya
seperti apa. Tapi Kakek? Siapa tahu.
Zia mengingat-ingat sebuah lagu yang
dipelajarinya saat masih les gitar. Romance d’Amor. Ia coba memainkannya lagi.
Tapi kedengarannya sama sekali tidak mirip dengan lagu aslinya. Dicobanya lagi
lagu lain, sesuatu yang artinya “Air Mata”. Zia tidak mengerti mengapa gurunya
waktu itu doyan memilih lagu-lagu sentimentil untuk diajarkan.
Sadar bahwa jarang-jarang dirinya
mengansos begini di kelas sepulang sekolah, Zia lekas mengemas
barang-barangnya. Lebih baik ia langsung ke rumah Kakek saja. Zia melempar
pamit pada anak-anak yang masih tinggal di kelas, juga terima kasih karena
telah menjaga barang-barangnya selama ia pergi sebentar tadi. Seperti tadi
pagi, ia agak kerepotan menyandang ransel dan gitar sekaligus. Melihat Ega
dengan pembawaan hendak pulang menuju tempat parkir, Zia lekas mengayunkan
langkah ke dekat gerbang sekolah.
Ega buru-buru memperlambat laju motor
saat Zia tahu-tahu menghadangnya di sana. “Heh, kamu teh mau ditabrak atau
gimana?!” hantam Ega sembari mengangkat helmnya.
Tak kalah sok sewot, Zia membalas, “Kamu
curang, Ega! Regi sama Tata udah pernah naik motor kamu, aku belum!”
“Bilang aja mau dianter pulang!”
“He he.” Zia cengar-cengir.
“Cari pinjeman helm dulu gih!” Ega
hendak menyambungnya lagi dengan, “cepetan, urang kudu balik ka sakola deui
yeuh!” namun Zia lebih cepat memberitahunya bahwa ia hanya minta diantar sampai
rumah kakeknya saja. Ega terperangah. “Itu mah sepuluh menit jalan juga
nyampe!”
Zia mengerang, “Aaah… Males! Panas!”
“Ya udah, cepetan ah, naik!” Ega
menurunkan kembali helmnya.
Zia menuruti titah Ega sambil
senyam-senyum sumringah. Ia menggendong ransel di punggung dan menjadikan gitar
Papa sebagai sekat di antara ia dan Ega. Baru saja mereka melewati gerbang, Zia
melihat Dean melambaikan tangan padanya. Zia tak kalah semangat membalas
lambaian. Ega menoleh sebentar ke belakang setelah mereka berlalu. Suara Ega
teredam helm. “Itu kembarannya si Deraz lain?”
“Heueuh!”
“Eh, dasar, ngincernya berondong aja.”
“Apa sih, Ega?!” Zia memukul punggung
Ega.
=====
Ega mengintip spion kanan motor. Land
Rover yang ia kenal berada di dalamnya. Atas sesuatu yang tidak diperbuatnya,
Ega menyesali mengapa Land Rover itu tidak muncul lebih cepat di tempat dan
waktu yang tepat; jalanan depan SMANSON saat Zia menodongnya untuk mengantar
pulang. Sudah terlambat untuk menyuruh Zia turun dan menaiki Land Rover itu
saja. Motor Ega melambat lalu berhenti tepat di depan pagar sebuah rumah. Di
samping rumah tersebut, terbuka lebar pagar lain menuju sebuah persewaan studio
musik. Land Rover yang sedari tadi ia awasi kemudian berdiam di atas pelataran
merah di balik pagar tersebut. Seorang pria gaek berkepala botak turun dari
Land Rover. Zia memanggilnya “Kakek”.
Sembari turun dari motor, Zia menepuk
punggung Ega. “Makasih, Ga,” ucapnya. Ega menjawab dengan kerlingan mata,
anggukan ketika muka Kakek menghadap padanya, dan, “hayu ah, urang duluan” pada
Zia. Asap motornya membumbung kemudian.
“Halo, Kakek!” sapa Zia kala Kakek
mengunci mobilnya.
“Halo, Cucu!” balas Kakek.
Paviliun Kakek tersempil di antara
persewaan studio musik dan bangunan utama. Sebelum Nenek meninggal, Kakek
tinggal di bangunan utama. Paviliunnya hanya berfungsi sebagai ruang kerja dan
tempat kongkow apabila kawan-kawannya singgah. Sepeninggal Nenek, Kakek merasa
bangunan utama terlalu besar untuk ia tinggali sendiri. Kakek tidak tahu
bagaimana mengelola pembantu. Ia biarkan mereka semua pulang kampung. Paviliunnya
kemudian ia rombak sehingga dapat memenuhi fungsi rumah seutuhnya. Bangunan
utama ia biarkan terlantar. Untung saja kini keluarga sulungnya mau menempati
sehingga ada yang mengurus bangunan itu kembali. Kini Kakek menopang hidupnya
dari persewaan studio musik, royalti, warisan Nenek, kemurahan hati anak-anak,
dan usaha sana-sini.
“Kakek, aku mau solat zuhur dulu ya, di
sebelah. Jangan ke mana-mana lagi loh!” ucap Zia sementara Kakek tengah membuka
kunci pintu depan paviliunnya.
“Oke! Oke!”
“Eh, tapi titip ini, Kek!” Zia
menyodorkan gitar Papa pada Kakek yang sudah berhasil membuka pintu. Zia tidak
bisa melihat mata Kakek yang tertutup kacamata hitam. Dari mulut Kakek yang
menganga sedikit, Zia dapat membaca ekspresi Kakek. “Mulai sekarang aku mau
belajar gitar sama Kakek!”
“Walah… Walah…” Kakek memegang gagang
gitar tersebut sembari berbalik hendak memasuki paviliunnya.
Tidak butuh waktu lama bagi Zia untuk
menuju pintu depan bangunan utama, menapaki bagian dalamnya, menyimpan ransel
di sofa, memasuki kamar mandi terdekat untuk berwudu, dan menunaikan kewajiban
di musola kecil di samping ruang tengah. Siang begini, bangunan utama biasanya
sepi. Pakde hanya di Bandung saat akhir minggu, Bude pulang sore, Mas Imin suka
ada macam-macam kegiatan, Ardi dengan kegiatan individualnya yang sunyi—di mana
pun ia berada, Zahra paling-paling mendekam di kamar—kalau tidak sedang
bersih-bersih, sementara Mayong—adik bungsu Mas Imin—masih keluyuran sepulang
sekolah. Kalau pun ada suara-suara, paling berasal dari ruang tengah lantai
dua, yang merupakan pusat aktivitas sosial. Siapapun yang membawa kawanan ke
rumah, entah itu Zia, Mas Imin, Ardi, Zahra, atau Mayong—adik bungsu Mas Imin,
pasti akan menggiring kawanan mereka itu ke sana.
Saat dalam keadaan terawat, bangunan
utama ia anggap sebagai rumahnya sendiri. Dulu yang menerimanya adalah Kakek
dan Nenek—meski kebawelan Nenek kerap menyertanya. Sekarang ada keluarga Mas
Imin. Mereka membiarkan saja Zia berseliweran ke mana pun dan Zia cukup tahu
diri untuk tidak melanggar privasi apalagi membuat keberantakan.
Merasa segar setelah solat, Zia siap
untuk menuntut ilmu gitar!
Bagian dalam paviliun Kakek sama
tertatanya dengan bagian dalam bangunan utama. Zia masih belum bisa percaya
bahwa Kakek membereskan tempat tinggalnya sendirian. Karena kalau mengintip
bagian dalam ruang tidur Kakek, terungkaplah kepribadian Kakek yang
sesungguhnya. Kini Zia menyadari bahwa seharusnya ia jangan dibiarkan banyak
berinteraksi dengan Kakek sejak kecil.
Meskipun dengan demikian, ia sudah
beberapa kali bertemu beberapa kawan Kakek—yang setelah bertemu langsung,
bertemu juga ia dengan wajah beberapa dari mereka di tayangan infotainment. Zia
girang sekali pada masa-masa itu. Teman-temannya mau tak mau percaya. Ia sampai
berangan-angan suatu saat ia bakal kena sorotan juga—padahal Kakek saja hampir
tidak pernah. Kakek adalah personil paling tak menonjol di band-nya. Pada
pertemuan-pertemuan berikutnya, Zia merasa bertemu orang-orang yang pernah
diliput media ternyata biasa-biasa saja. Lalu ia jadi tidak antusias lagi kala
diajak Kakek naik mobilnya untuk menuju entah ke mana. Zia jemu kala harus
terjebak dengan majalah-majalah lama selagi menunggu Kakek usai bercengkerama.
Mereka tidak terlalu mengacuhkannya pula.
Ketika Zia memasuki bagian dalam
paviliun, Kakek masih menuang segelas jus jambu di pantry. Kakek menawarkannya
sambil lalu. Zia tidak mau. Kakek suka seenak hati menambah komposisi dalam
apa-apa yang disantapnya. Kakek mungkin cocok dengan itu, namun Zia ingin
selera kulinernya tetap senormal kebanyakan orang. Zia pernah kecele meminum
jus campur buatan Kakek yang ternyata memuat rasa bawang di dalamnya. Belum
lagi sup nanas, jengkol madu, dadar laron, gulali undur-undur, dan lain-lainnya
yang membuat Zia kerap menganjurkan Kakek untuk berpartisipasi di Fear Factor.
Zia menghempaskan tubuh di samping gitar
Papa yang berdiri anteng di sofa seberang pantry. Kakek menyeret sebuah bangku
mendekat. Ia duduk di atasnya sambil menyeruput jus jambu dengan tambahan
apa—Zia lebih baik tidak tahu. “Mana, katanya yang les gitar teh?” tegur Kakek.
Zia memberi Kakek cengiran. “Udah
berenti, Kek,” jawabnya, yang sudah ia duga akan mengundang tanya “kenapa?”
dari Kakek, yang ia kontan mengajukan alasan-alasan yang sudah dikemukakannya
pada Papa dan Mas Imin tempo hari, sampai perkara uang mentah yang tidak sesuai
tujuan. Kakek tersenyum. “Wah, pinter kamu.”
“Nanti bagi-bagi ya, Kek.”
Kakek tertawa. Zia tahu Kakek tidak
selalu mau menuruti perkataannya. Kakek menaruh gelas jusnya di atas buffet.
“Sok, udah bisa main apa aja kamu?”
Zia merasa malu hendak menyebutkan judul
lagu-lagu sentimentil yang guru lesnya dulu ajarkan. Bukan berarti tidak ada
kemungkinan bagi Kakek untuk memiliki jiwa demikian, tapi Zia ingin urusannya
dengan Kakek meliputi tembang-tembang gahar dan semacamnya saja. Pokoknya
rock—sebagaimana yang Kakek mainkan dulu. Tapi yang paling penting baginya
sekarang adalah pemecahan misteri Erusas.
Terlebih dulu Kakek ingin mengetes
kemampuan Zia. Maka Zia membuka resleting wadah gitar Papa, memangku gitar
tersebut, dan memosisikan tangannya sedemikian rupa. Siap diuji. “Kunci C?
Kunci A? Kalau D minor? B? A minor? Nah, itu sudah hapal semua… Nanti pas Kakek
balik, kamu harus udah bisa mainin lagu Kakek yang ‘Nuansa Gelora Raya’ sampai
tuntas ya? Kuncinya cuman itu doang kok.”
“Heeeeeeeeh…” Respon Zia membatalkan
usaha Kakek menuju TV. Sepertinya ia harus langsung menuju ke tujuan utama
untuk mempertahankan Kakek di tempat duduknya lebih lama. Ia keluarkan secarik
kertas yang jadi perkara. Ia sodorkan pada Kakek. Sebelum Kakek mengira isi
kertas tersebut adalah hasil pekerjaan rumah anak kelas 1 SD, Zia langsung
menyebutkan jati diri kertas tersebut dalam satu kalimat.
“Loh, bisa bikin lagu juga Papa kamu?”
Zia kecewa, kagetnya Kakek kurang
dramatis. “Abis Kakek nih, bisa main gitar cuman buat diri sendiri aja.
Ngajarin nggak bisa.”
“Kalau mau jadi murid Kakek ya harus
sabaran.”
“Ya kebaliklah. Di mana-mana, kalau jadi
guru itu, ngajarnya harus sabaran…”
“Kakek padahal dulu belajar gitar itu
sendiri loh.”
Zia mencibir. Ia bosan mendengar kisah
perjuangan Kakek dalam mengakses alat musik hingga dapat bergabung dengan grup
yang tahu-tahu tenar. Sekali lagi, Kakek menyuruh untuk menunjukkan
kemampuannya bermain gitar. Apa boleh buat. Setelah Kakek menyetemkan gitar
Papa, Zia mempraktikkan apa yang ia ingat dari les gitarnya dulu. Kendati ia
lebih suka memainkan lagu dengan perpindahan kunci yang mudah dari band-band
kesukaannya, ia kira ia bakal lebih apik memainkan lagu yang berulang kali dilatihnya
sewaktu les. Namun jemarinya sudah lama tidak memencet senar gitar. Samar pula
gambaran chord dalam kepalanya. Hingga Kakek bilang, “Padahal Mama kamu dulu
main gitarnya pinter lo…”
“Ha, iya, banding-bandingin aja terus…”
Zia cemberut. Seperti Mama saja Kakek ini, yang dulu sering berkata, “Dulu Mama
tuh... (begini, begini, begini), nggak kayak kamu sekarang... (begitu, begitu,
begitu)...”
“…dandan jago, masak jago…” Sinar mata
Kakek meredup. Akhirnya Zia dengarkan juga sambungan suara parau Kakek yang
mengandung sebuah kisah nyata. Terjadi sekitar dua puluhan tahun lalu. Tentang
dua anak muda yang suka pacaran malam-malam di taman samping rumah sambil
genjreng-genjreng gitar. “Pas Kakek intip, ternyata yang lagi genjreng gitar
tuh Mama kamu. Mama kamu lagi ngajarin Papa kamu.”
Zia penasaran apakah Mama sudah suka
main kasar juga sejak dulu. Dan lagi, ia jadi ingin menyalahkan ketidakpiawaian
Kakek dalam berbagi ilmu. Masak anak gitaris band tidak tahu cara menggenjreng
gitar? Memang keterlaluan Kakek ini, pikirnya. Lanjut Kakek, “…terus setelah
berenti main band, akhirnya Papa kamu lulus kuliah juga. Mama kamu juga berenti
ngerokok. Trus mereka nikah. Eh, tahu-tahu, kamu muncul!”
Zia juga sudah bosan mengingatkan Kakek
kalau dirinya bukan lagi anak-anak, jadi tidak usahlah Kakek mempertahankan
gaya mendongengkan kanak-kanak seperti itu. Beginilah orang tua. Sekali
terpancing untuk bernostalgia, susah untuk berhenti. Padahal Zia merasa ia tadi
tidak memberi umpan sama sekali.
“…Pakde kamu itu dulu diurusnya
kebanyakan sama Nenek kamu. Waktu itu kan Kakek masih banyak tur. Pas Papa kamu
lahir, baru Kakek mulai banyak di rumah.”
Zia menepukkan kedua belah tangannya.
“Hah, pantes aja Pakde rada-rada bener sementara Papa kayak gitu. Ceritanya
selesai deh…” Dan pupus sudah minatnya untuk menguak misteri Erusas. Biarlah
selamanya itu menjadi misteri. Kalau ia tidak bisa melakukannya sendiri, minta
tolong pada Kakek bukanlah solusi cerdas. Toh walau ia sudah tahu bagaimana
jelmaan rangkaian huruf tersebut menjadi nada pun, itu tidak akan memperbaiki
kualitas hubungannya dengan Papa. Paling-paling hanya sikap risih yang
ditunjukkan Papa. Sekarang minat Zia beralih pada ruang tengah lantai dua
bangunan utama. Tempat di mana ia bisa tidur-tiduran di atas karpet sambil berkhayal
sepuasnya—bakatnya yang paling berkembang.
=====
Sebelum Zahra bersama kawanan kelompok
tugasnya mengerjakan tugas di sana, Mayong bermain PS 2 di sana, Ardi dan Tata
menciptakan dunia mereka sendiri di sana, dan Zia mengajak kawanan SMP dan SMA-nya
main di sana juga, adalah ruang tengah lantai dua dikuasai oleh Mas Imin
beserta pasukan khususnya saja.
Sepengetahuan Zia, Mas Imin tidak pernah
membahas sesuatu seintens itu selain hanya kepada mereka. Memang apa yang
mereka lakukan tidak pernah diklaim sebagai suatu perkumpulan rahasia. Namun
ada semacam kode etik pula untuk tidak menyebarluaskannya pada khalayak
SMANSON. Dengan status penyusup-tak-dihiraukan, sejak kelas X Zia sudah
beberapa kali mengikuti diskusi mereka tanpa menyengajakan diri. Mana tahu Zia,
saat ia sedang ingin makan bersama Mas Imin di Kabita, tahu-tahu mereka ikut
menimbrung saja? Mana tahu Zia, saat ia sedang ingin menghabiskan waktu di
ruang tengah lantai dua, mereka juga sudah ada di sana?
Seperti pada kesempatan kali itu. Mereka
sudah membicarakan dua orang sebelumnya. Kini yang ketiga. Kang CP memulainya
dengan, “Si ini katanya udah nggak pernah keliatan di ekskul debat lagi ya?”
“Si ini teh siapa?” suara Kang Detol.
Kang CP menyebut sebuah nama dengan suara pelan. Zia mengenalnya sebagai
seorang penduduk di kelas sebelahnya.
“…ya, perlu didorong lagi tuh…” Kang
Hilman menanggapi.
“Katanya sih…” Kang CP menyajikan
serentetan informasi lagi.
“…ngansos kok terus-terusan…” komentar
Mas Imin.
Berlanjut ke orang-orang lainnya.
“Eh, kalau si Anu kemarin ikut lomba Itu
yang di Ini.”
“Ceuk si Eta mah, anaknya cepet belajar
kok. Cuman kadang masih kurang PD aja.”
Dan seterusnya. Dan seterusnya. Zia
tidak urusan. Apa yang mereka bicarakan, meskipun terkait orang-orang yang
mungkin dikenalnya, bukanlah sesuatu yang jika digosok bakal makin sip. Ini
adalah sesuatu yang membuat Zia kerap menyaksikan mereka dekat dengan para
orang yang tak dikira-kira. Bukan sesama anak kelas XII, bukan semata anak
kelas XI dan kelas X yang wajar jika dikenal dekat. Jika ingin mengenal banyak
orang, bergabunglah dengan pasukan ini. Mereka suka mendekati orang tanpa
mengenal kelas pergaulan. Dan apa yang mereka bicarakan, bukanlah kabar burung.
Ini adalah sesuatu yang mereka sebut sebagai sesuatu yang terpendam, wahana
terselubung.
Dalam hal ini, kalau bukan tentang
dirinya sendiri, Zia tidak begitu tertarik. Ia mendengarkannya
sepotong-sepotong sambil menyeruput yoghurt dari kulkas Kakek yang sudah ia
pastikan aman. Ia menemukannya masih dalam keadaan tersegel. Tangannya yang
lain mencorat-coret halaman buku catatan Biologi dengan spidol warna-warni.
Dari tadi ia coba mengilustrasikan organisme-organisme dalam catatannya
tersebut, tapi yang tercipta malah pikiran untuk menyalin ulang sang catatan ke
atas kertas putih bersih.
“Trus adik kamu tuh. Gimana, Luthfi?”
lanjut Kang CP dengan suara yang lebih pelan. Kali ini Zia menajamkan
pendengaran.
“Hm. Yah. Begitulah,” jawab Mas Imin.
“Udah masuk ekskul?” suara Kang Hilman,
tak kalah pelan.
Tak kalah pelan lagi balasan Mas Imin.
“Nggak tau tuh sukanya apaan. Di kamar aja sih.”
Ha. Zia tahu siapa yang mereka
bicarakan. Zia yakin yang bersangkutan tengah ada di kamarnya—di lantai bawah.
Zia suka menumpang tidur di sana.
“Perlu kita intervensi juga?” tanya Kang
Hilman.
“Yah, entarlah. Saya coba dulu sendiri.”
Volume suara Mas Imin kembali normal.
“Perlu bantuan aku juga?” Zia mendongak.
Mas Imin tidak menjawab, hanya tersenyum sekilas. Mata Zia kembali tertuju pada
hasil kreativitasnya, tapi tidak pikirannya. Muncul suatu ingatan di sana. Baru
pada akhir tahun ajaran lalu Mas Imin menganjurkannya untuk coba tinggal
terpisah dari keluarga. Mas Imin tidak tahu kalau itu adalah suatu yang sangat
Zia idamkan dari dulu. Tapi ia tidak pernah membayangkan bagaimana rasanya. Mas
Imin memberitahunya. “Ketemuan juga belum tentu sekali seminggu. Itu juga kan
nggak lama. Paling semalem atau berapa jam. Nggak tahu, jadi asa lebih asik aja
main di luar. Jadi males balik ke rumah.”
Zia mengangguk paham. Namun ia
mengingkari kata-kata Mas Imin selanjutnya. Mas Imin mungkin begitu, namun Zia
ragu. Ia tidak yakin ia bakal kangen dengan keluarganya. Ia tidak yakin ia
bakal kepikiran keluarganya. Ia tidak yakin pikirannya itu bakal sampai pada
rasa bersalah akan caranya menyikapi masing-masing anggota keluarganya selama
ini, terutama pada anak yang paling bermasalah di rumah. Memikirkannya sampai
pelik, meski berlagak seakan itu bukan urusan yang amat penting. Zia saja tidak
pernah benar-benar memikirkan Zaha. Toh meski homeschooling, pergaulan Zaha
sepertinya tetap senormal sedia kala. Malah jauh lebih sering Zaha yang pulang
larut ketimbang dirinya.
Ganti sebuah pertanyaan yang muncul
dalam pikiran Zia. Apakah ia akan seperti Zahra juga seandainya ia adik kandung
Mas Imin? Padahal ia pernah mengira kehidupannya akan lebih baik kalau ia
saudara kembarnya Ardi, misal. Setidaknya Pakde dan Bude tidak ringan tangan.
Kekerasan verbal itu biasa. Melintas rasa bersalah kala Zia ingat bahwa setiap
kali ia ingin menangis sehabis digampar Mama atau Papa, ia selalu
menguat-nguatkan dirinya dengan sugesti bahwa ia tidak secengeng Zahra.
Terima kasih, Zahra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar