Sabtu, 04 Desember 2010

sembilan

Mau dibaca ulang berapa kali pun, Zia tidak bisa puas terhadap hasil liputannya tentang gig KOMBAS. Bahkan ketika artikel tersebut sudah terpajang di mading. Artikel yang membuatnya begadang karena baru digarap setelah meminta perpanjangan deadline, membangunkan Salman dini hari buta untuk kelengkapan narasumber, lalu mengemis foto paginya pada panitia gig. Zia tidak terpikir sama sekali untuk membawa kamera digital pada saat hendak meliput. Ia tidak ingin mempertanyakan lagi niatnya menjadi wartawan, mungkin potensinya tidak di situ. Mungkin ia tidak akan pernah bisa menjadi seperti Tintin.

Dengan muram, Zia menggeser pandang pada artikel-artikel lain yang terhampar di sebelah artikelnya—potongan mungil karton yang letaknya terhimpit di paling kiri. Dalam pandangannya, artikel-artikel lain terlihat amat bersinar seolah habis dikenai deterjen pemutih pakaian. Pipinya menggembung saat membaca ucapan selamat untuk sederet nama yang telah mengharumkan SMANSON dalam suatu perlombaan di lain SMA—dikelilingi oleh wajah-wajah bahagia yang digurat krayon. Selanjutnya mereka akan melaju ke luar kota. Nama lengkap Arderaz tercantum di sana. Mengingat cerita Dean tentang kecemerlangan saudara kembarnya itu membuat Zia tidak habis pikir. Mengapa ada orang yang dapat mengoptimalkan berbagai potensinya sehingga dapat meraih bermacam prestasi, tapi ada juga orang yang tidak jelas sama sekali apa potensinya—seperti dirinya? Setidaknya ia tidak sepasrah Dean, Zia membatin.

Kembali dengan langkah lunglai dan pundak layu ke dalam kelas, Zia lantas mengeluarkan gitar Papa dari wadah pembungkusnya. Hari ini ia hendak meluruskan niatnya belajar gitar pada Kakek. “Katanya mau belajar gitar sama Kakek?” begitu kerap ucap Mas Imin, yang selalu ditangkis Zia dengan, “Iya, entar ah, kalau mood.”  Lalu Mas Imin mengingatkannya lagi akan kerugian-kerugian yang akan didapatkannya kalau ia terus memperturutkan mood. Kalau sudah begitu, Zia merasa Mas Imin bawel sekali dan ia berhenti mendekati Mas Imin untuk sementara waktu.

Zia pikir lebih baik ia membawa gitar sendiri ketimbang meminjam salah satu gitar Kakek. Hanya untuk melihat-lihat koleksinya saja, Kakek sudah mewanti-wanti Zia agar hati-hati, apalagi memainkannya. Tahulah Zia dari mana ia mewarisi sikap pelit.

Zia mendudukkan gitar Papa di atas pangkuan. Lekukan gitar tersebut pas benar di bagian atas tungkai pahanya. Pertama kali Zia minat untuk benar-benar belajar gitar adalah saat melihat Oman memainkannya di pojok kelas. Kawanannya yang lain minat belajar juga waktu itu, meski tidak sungguh-sungguh. Ketimbang terus-menerus bergantian pinjam saat hendak coba memainkan, Zia jadi ingin gitar sendiri. Zia lalu meminjam gitar milik Papa yang meski jadul tapi masih layak pakai. Ketimbang dibelikan yang baru, Zia lebih suka mendapat uang mentahnya saja.

Beberapa utas senar digenjrengnya. Ke luar paduan suara ganjil. Pasti karena terlalu keras ia mainkan semalam. Menyelusup rasa malas. Nanti ia akan meminta Kakek untuk menyetem gitar tersebut. Ia tidak berani melakukannya sendiri, sekali nekat, putuslah itu senar.

Semalam, setelah mengarang lirik untuk “Simfoni Patah Hati Terakhir”, Zia hendak coba-coba mengarang nadanya pula. Tidak ketemu. Yang ia temukan hanya secarik kertas menguning di balik kantong bagian dalam tas gitar. Rentetan huruf yang kiranya petunjuk akan suatu alunan musik tertoreh di atasnya. Dijuduli “Erusas”. Zia tahu pasti, ini adalah cerita tentang tiga perempuan dalam hidup Papa. Demikian rendahnya kemampuan verbal Papa, sampai-sampai lirik saja tidak diberikannya. Zia coba mengarang-ngarangnya sendiri, tapi ia sama sekali tidak terbayang apa yang mungkin dikatakan Papa tentang perasaannya pada orang lain.

Sejak pertama kali menemukan rentetan huruf tersebut, dan itu sudah bertahun-tahun lalu, Zia selalu penasaran bagaimana memainkannya. Kata Oman, lebih baik Zia menanyakannya langsung pada Papa. Namun Zia sungkan. Bisa-bisa ia tidak akan bisa menyentuh kertas itu lagi. Lalu tadi pagi, Zia terbangun dengan Bono berkata padanya, “Sometimes you can’t make it on your own.” Zia jadi terpikir untuk minta bantuan orang lain lagi.

Oman mungkin sama sungkan dengannya untuk menebak perasaan Papa—tidak pernah pula Oman melihat langsung orangnya seperti apa. Tapi Kakek? Siapa tahu.

Zia mengingat-ingat sebuah lagu yang dipelajarinya saat masih les gitar. Romance d’Amor. Ia coba memainkannya lagi. Tapi kedengarannya sama sekali tidak mirip dengan lagu aslinya. Dicobanya lagi lagu lain, sesuatu yang artinya “Air Mata”. Zia tidak mengerti mengapa gurunya waktu itu doyan memilih lagu-lagu sentimentil untuk diajarkan.

Sadar bahwa jarang-jarang dirinya mengansos begini di kelas sepulang sekolah, Zia lekas mengemas barang-barangnya. Lebih baik ia langsung ke rumah Kakek saja. Zia melempar pamit pada anak-anak yang masih tinggal di kelas, juga terima kasih karena telah menjaga barang-barangnya selama ia pergi sebentar tadi. Seperti tadi pagi, ia agak kerepotan menyandang ransel dan gitar sekaligus. Melihat Ega dengan pembawaan hendak pulang menuju tempat parkir, Zia lekas mengayunkan langkah ke dekat gerbang sekolah.

Ega buru-buru memperlambat laju motor saat Zia tahu-tahu menghadangnya di sana. “Heh, kamu teh mau ditabrak atau gimana?!” hantam Ega sembari mengangkat helmnya.

Tak kalah sok sewot, Zia membalas, “Kamu curang, Ega! Regi sama Tata udah pernah naik motor kamu, aku belum!”

“Bilang aja mau dianter pulang!”

“He he.” Zia cengar-cengir.

“Cari pinjeman helm dulu gih!” Ega hendak menyambungnya lagi dengan, “cepetan, urang kudu balik ka sakola deui yeuh!” namun Zia lebih cepat memberitahunya bahwa ia hanya minta diantar sampai rumah kakeknya saja. Ega terperangah. “Itu mah sepuluh menit jalan juga nyampe!”

Zia mengerang, “Aaah… Males! Panas!”

“Ya udah, cepetan ah, naik!” Ega menurunkan kembali helmnya.

Zia menuruti titah Ega sambil senyam-senyum sumringah. Ia menggendong ransel di punggung dan menjadikan gitar Papa sebagai sekat di antara ia dan Ega. Baru saja mereka melewati gerbang, Zia melihat Dean melambaikan tangan padanya. Zia tak kalah semangat membalas lambaian. Ega menoleh sebentar ke belakang setelah mereka berlalu. Suara Ega teredam helm. “Itu kembarannya si Deraz lain?”

“Heueuh!”

“Eh, dasar, ngincernya berondong aja.”

“Apa sih, Ega?!” Zia memukul punggung Ega.

=====

Ega mengintip spion kanan motor. Land Rover yang ia kenal berada di dalamnya. Atas sesuatu yang tidak diperbuatnya, Ega menyesali mengapa Land Rover itu tidak muncul lebih cepat di tempat dan waktu yang tepat; jalanan depan SMANSON saat Zia menodongnya untuk mengantar pulang. Sudah terlambat untuk menyuruh Zia turun dan menaiki Land Rover itu saja. Motor Ega melambat lalu berhenti tepat di depan pagar sebuah rumah. Di samping rumah tersebut, terbuka lebar pagar lain menuju sebuah persewaan studio musik. Land Rover yang sedari tadi ia awasi kemudian berdiam di atas pelataran merah di balik pagar tersebut. Seorang pria gaek berkepala botak turun dari Land Rover. Zia memanggilnya “Kakek”.

Sembari turun dari motor, Zia menepuk punggung Ega. “Makasih, Ga,” ucapnya. Ega menjawab dengan kerlingan mata, anggukan ketika muka Kakek menghadap padanya, dan, “hayu ah, urang duluan” pada Zia. Asap motornya membumbung kemudian.

“Halo, Kakek!” sapa Zia kala Kakek mengunci mobilnya.

“Halo, Cucu!” balas Kakek.

Paviliun Kakek tersempil di antara persewaan studio musik dan bangunan utama. Sebelum Nenek meninggal, Kakek tinggal di bangunan utama. Paviliunnya hanya berfungsi sebagai ruang kerja dan tempat kongkow apabila kawan-kawannya singgah. Sepeninggal Nenek, Kakek merasa bangunan utama terlalu besar untuk ia tinggali sendiri. Kakek tidak tahu bagaimana mengelola pembantu. Ia biarkan mereka semua pulang kampung. Paviliunnya kemudian ia rombak sehingga dapat memenuhi fungsi rumah seutuhnya. Bangunan utama ia biarkan terlantar. Untung saja kini keluarga sulungnya mau menempati sehingga ada yang mengurus bangunan itu kembali. Kini Kakek menopang hidupnya dari persewaan studio musik, royalti, warisan Nenek, kemurahan hati anak-anak, dan usaha sana-sini.

“Kakek, aku mau solat zuhur dulu ya, di sebelah. Jangan ke mana-mana lagi loh!” ucap Zia sementara Kakek tengah membuka kunci pintu depan paviliunnya.

“Oke! Oke!”

“Eh, tapi titip ini, Kek!” Zia menyodorkan gitar Papa pada Kakek yang sudah berhasil membuka pintu. Zia tidak bisa melihat mata Kakek yang tertutup kacamata hitam. Dari mulut Kakek yang menganga sedikit, Zia dapat membaca ekspresi Kakek. “Mulai sekarang aku mau belajar gitar sama Kakek!”

“Walah… Walah…” Kakek memegang gagang gitar tersebut sembari berbalik hendak memasuki paviliunnya.

Tidak butuh waktu lama bagi Zia untuk menuju pintu depan bangunan utama, menapaki bagian dalamnya, menyimpan ransel di sofa, memasuki kamar mandi terdekat untuk berwudu, dan menunaikan kewajiban di musola kecil di samping ruang tengah. Siang begini, bangunan utama biasanya sepi. Pakde hanya di Bandung saat akhir minggu, Bude pulang sore, Mas Imin suka ada macam-macam kegiatan, Ardi dengan kegiatan individualnya yang sunyi—di mana pun ia berada, Zahra paling-paling mendekam di kamar—kalau tidak sedang bersih-bersih, sementara Mayong—adik bungsu Mas Imin—masih keluyuran sepulang sekolah. Kalau pun ada suara-suara, paling berasal dari ruang tengah lantai dua, yang merupakan pusat aktivitas sosial. Siapapun yang membawa kawanan ke rumah, entah itu Zia, Mas Imin, Ardi, Zahra, atau Mayong—adik bungsu Mas Imin, pasti akan menggiring kawanan mereka itu ke sana.

Saat dalam keadaan terawat, bangunan utama ia anggap sebagai rumahnya sendiri. Dulu yang menerimanya adalah Kakek dan Nenek—meski kebawelan Nenek kerap menyertanya. Sekarang ada keluarga Mas Imin. Mereka membiarkan saja Zia berseliweran ke mana pun dan Zia cukup tahu diri untuk tidak melanggar privasi apalagi membuat keberantakan.

Merasa segar setelah solat, Zia siap untuk menuntut ilmu gitar!

Bagian dalam paviliun Kakek sama tertatanya dengan bagian dalam bangunan utama. Zia masih belum bisa percaya bahwa Kakek membereskan tempat tinggalnya sendirian. Karena kalau mengintip bagian dalam ruang tidur Kakek, terungkaplah kepribadian Kakek yang sesungguhnya. Kini Zia menyadari bahwa seharusnya ia jangan dibiarkan banyak berinteraksi dengan Kakek sejak kecil.

Meskipun dengan demikian, ia sudah beberapa kali bertemu beberapa kawan Kakek—yang setelah bertemu langsung, bertemu juga ia dengan wajah beberapa dari mereka di tayangan infotainment. Zia girang sekali pada masa-masa itu. Teman-temannya mau tak mau percaya. Ia sampai berangan-angan suatu saat ia bakal kena sorotan juga—padahal Kakek saja hampir tidak pernah. Kakek adalah personil paling tak menonjol di band-nya. Pada pertemuan-pertemuan berikutnya, Zia merasa bertemu orang-orang yang pernah diliput media ternyata biasa-biasa saja. Lalu ia jadi tidak antusias lagi kala diajak Kakek naik mobilnya untuk menuju entah ke mana. Zia jemu kala harus terjebak dengan majalah-majalah lama selagi menunggu Kakek usai bercengkerama. Mereka tidak terlalu mengacuhkannya pula.

Ketika Zia memasuki bagian dalam paviliun, Kakek masih menuang segelas jus jambu di pantry. Kakek menawarkannya sambil lalu. Zia tidak mau. Kakek suka seenak hati menambah komposisi dalam apa-apa yang disantapnya. Kakek mungkin cocok dengan itu, namun Zia ingin selera kulinernya tetap senormal kebanyakan orang. Zia pernah kecele meminum jus campur buatan Kakek yang ternyata memuat rasa bawang di dalamnya. Belum lagi sup nanas, jengkol madu, dadar laron, gulali undur-undur, dan lain-lainnya yang membuat Zia kerap menganjurkan Kakek untuk berpartisipasi di Fear Factor.

Zia menghempaskan tubuh di samping gitar Papa yang berdiri anteng di sofa seberang pantry. Kakek menyeret sebuah bangku mendekat. Ia duduk di atasnya sambil menyeruput jus jambu dengan tambahan apa—Zia lebih baik tidak tahu. “Mana, katanya yang les gitar teh?” tegur Kakek.

Zia memberi Kakek cengiran. “Udah berenti, Kek,” jawabnya, yang sudah ia duga akan mengundang tanya “kenapa?” dari Kakek, yang ia kontan mengajukan alasan-alasan yang sudah dikemukakannya pada Papa dan Mas Imin tempo hari, sampai perkara uang mentah yang tidak sesuai tujuan. Kakek tersenyum. “Wah, pinter kamu.”

“Nanti bagi-bagi ya, Kek.”

Kakek tertawa. Zia tahu Kakek tidak selalu mau menuruti perkataannya. Kakek menaruh gelas jusnya di atas buffet. “Sok, udah bisa main apa aja kamu?”

Zia merasa malu hendak menyebutkan judul lagu-lagu sentimentil yang guru lesnya dulu ajarkan. Bukan berarti tidak ada kemungkinan bagi Kakek untuk memiliki jiwa demikian, tapi Zia ingin urusannya dengan Kakek meliputi tembang-tembang gahar dan semacamnya saja. Pokoknya rock—sebagaimana yang Kakek mainkan dulu. Tapi yang paling penting baginya sekarang adalah pemecahan misteri Erusas.

Terlebih dulu Kakek ingin mengetes kemampuan Zia. Maka Zia membuka resleting wadah gitar Papa, memangku gitar tersebut, dan memosisikan tangannya sedemikian rupa. Siap diuji. “Kunci C? Kunci A? Kalau D minor? B? A minor? Nah, itu sudah hapal semua… Nanti pas Kakek balik, kamu harus udah bisa mainin lagu Kakek yang ‘Nuansa Gelora Raya’ sampai tuntas ya? Kuncinya cuman itu doang kok.”

“Heeeeeeeeh…” Respon Zia membatalkan usaha Kakek menuju TV. Sepertinya ia harus langsung menuju ke tujuan utama untuk mempertahankan Kakek di tempat duduknya lebih lama. Ia keluarkan secarik kertas yang jadi perkara. Ia sodorkan pada Kakek. Sebelum Kakek mengira isi kertas tersebut adalah hasil pekerjaan rumah anak kelas 1 SD, Zia langsung menyebutkan jati diri kertas tersebut dalam satu kalimat.

“Loh, bisa bikin lagu juga Papa kamu?”

Zia kecewa, kagetnya Kakek kurang dramatis. “Abis Kakek nih, bisa main gitar cuman buat diri sendiri aja. Ngajarin nggak bisa.”

“Kalau mau jadi murid Kakek ya harus sabaran.”

“Ya kebaliklah. Di mana-mana, kalau jadi guru itu, ngajarnya harus sabaran…”

“Kakek padahal dulu belajar gitar itu sendiri loh.”

Zia mencibir. Ia bosan mendengar kisah perjuangan Kakek dalam mengakses alat musik hingga dapat bergabung dengan grup yang tahu-tahu tenar. Sekali lagi, Kakek menyuruh untuk menunjukkan kemampuannya bermain gitar. Apa boleh buat. Setelah Kakek menyetemkan gitar Papa, Zia mempraktikkan apa yang ia ingat dari les gitarnya dulu. Kendati ia lebih suka memainkan lagu dengan perpindahan kunci yang mudah dari band-band kesukaannya, ia kira ia bakal lebih apik memainkan lagu yang berulang kali dilatihnya sewaktu les. Namun jemarinya sudah lama tidak memencet senar gitar. Samar pula gambaran chord dalam kepalanya. Hingga Kakek bilang, “Padahal Mama kamu dulu main gitarnya pinter lo…”

“Ha, iya, banding-bandingin aja terus…” Zia cemberut. Seperti Mama saja Kakek ini, yang dulu sering berkata, “Dulu Mama tuh... (begini, begini, begini), nggak kayak kamu sekarang... (begitu, begitu, begitu)...”

“…dandan jago, masak jago…” Sinar mata Kakek meredup. Akhirnya Zia dengarkan juga sambungan suara parau Kakek yang mengandung sebuah kisah nyata. Terjadi sekitar dua puluhan tahun lalu. Tentang dua anak muda yang suka pacaran malam-malam di taman samping rumah sambil genjreng-genjreng gitar. “Pas Kakek intip, ternyata yang lagi genjreng gitar tuh Mama kamu. Mama kamu lagi ngajarin Papa kamu.”

Zia penasaran apakah Mama sudah suka main kasar juga sejak dulu. Dan lagi, ia jadi ingin menyalahkan ketidakpiawaian Kakek dalam berbagi ilmu. Masak anak gitaris band tidak tahu cara menggenjreng gitar? Memang keterlaluan Kakek ini, pikirnya. Lanjut Kakek, “…terus setelah berenti main band, akhirnya Papa kamu lulus kuliah juga. Mama kamu juga berenti ngerokok. Trus mereka nikah. Eh, tahu-tahu, kamu muncul!”

Zia juga sudah bosan mengingatkan Kakek kalau dirinya bukan lagi anak-anak, jadi tidak usahlah Kakek mempertahankan gaya mendongengkan kanak-kanak seperti itu. Beginilah orang tua. Sekali terpancing untuk bernostalgia, susah untuk berhenti. Padahal Zia merasa ia tadi tidak memberi umpan sama sekali.

“…Pakde kamu itu dulu diurusnya kebanyakan sama Nenek kamu. Waktu itu kan Kakek masih banyak tur. Pas Papa kamu lahir, baru Kakek mulai banyak di rumah.”

Zia menepukkan kedua belah tangannya. “Hah, pantes aja Pakde rada-rada bener sementara Papa kayak gitu. Ceritanya selesai deh…” Dan pupus sudah minatnya untuk menguak misteri Erusas. Biarlah selamanya itu menjadi misteri. Kalau ia tidak bisa melakukannya sendiri, minta tolong pada Kakek bukanlah solusi cerdas. Toh walau ia sudah tahu bagaimana jelmaan rangkaian huruf tersebut menjadi nada pun, itu tidak akan memperbaiki kualitas hubungannya dengan Papa. Paling-paling hanya sikap risih yang ditunjukkan Papa. Sekarang minat Zia beralih pada ruang tengah lantai dua bangunan utama. Tempat di mana ia bisa tidur-tiduran di atas karpet sambil berkhayal sepuasnya—bakatnya yang paling berkembang.

=====

Sebelum Zahra bersama kawanan kelompok tugasnya mengerjakan tugas di sana, Mayong bermain PS 2 di sana, Ardi dan Tata menciptakan dunia mereka sendiri di sana, dan Zia mengajak kawanan SMP dan SMA-nya main di sana juga, adalah ruang tengah lantai dua dikuasai oleh Mas Imin beserta pasukan khususnya saja.

Sepengetahuan Zia, Mas Imin tidak pernah membahas sesuatu seintens itu selain hanya kepada mereka. Memang apa yang mereka lakukan tidak pernah diklaim sebagai suatu perkumpulan rahasia. Namun ada semacam kode etik pula untuk tidak menyebarluaskannya pada khalayak SMANSON. Dengan status penyusup-tak-dihiraukan, sejak kelas X Zia sudah beberapa kali mengikuti diskusi mereka tanpa menyengajakan diri. Mana tahu Zia, saat ia sedang ingin makan bersama Mas Imin di Kabita, tahu-tahu mereka ikut menimbrung saja? Mana tahu Zia, saat ia sedang ingin menghabiskan waktu di ruang tengah lantai dua, mereka juga sudah ada di sana?

Seperti pada kesempatan kali itu. Mereka sudah membicarakan dua orang sebelumnya. Kini yang ketiga. Kang CP memulainya dengan, “Si ini katanya udah nggak pernah keliatan di ekskul debat lagi ya?”

“Si ini teh siapa?” suara Kang Detol. Kang CP menyebut sebuah nama dengan suara pelan. Zia mengenalnya sebagai seorang penduduk di kelas sebelahnya.

“…ya, perlu didorong lagi tuh…” Kang Hilman menanggapi.

“Katanya sih…” Kang CP menyajikan serentetan informasi lagi.

“…ngansos kok terus-terusan…” komentar Mas Imin.

Berlanjut ke orang-orang lainnya.

“Eh, kalau si Anu kemarin ikut lomba Itu yang di Ini.”

“Ceuk si Eta mah, anaknya cepet belajar kok. Cuman kadang masih kurang PD aja.”

Dan seterusnya. Dan seterusnya. Zia tidak urusan. Apa yang mereka bicarakan, meskipun terkait orang-orang yang mungkin dikenalnya, bukanlah sesuatu yang jika digosok bakal makin sip. Ini adalah sesuatu yang membuat Zia kerap menyaksikan mereka dekat dengan para orang yang tak dikira-kira. Bukan sesama anak kelas XII, bukan semata anak kelas XI dan kelas X yang wajar jika dikenal dekat. Jika ingin mengenal banyak orang, bergabunglah dengan pasukan ini. Mereka suka mendekati orang tanpa mengenal kelas pergaulan. Dan apa yang mereka bicarakan, bukanlah kabar burung. Ini adalah sesuatu yang mereka sebut sebagai sesuatu yang terpendam, wahana terselubung.

Dalam hal ini, kalau bukan tentang dirinya sendiri, Zia tidak begitu tertarik. Ia mendengarkannya sepotong-sepotong sambil menyeruput yoghurt dari kulkas Kakek yang sudah ia pastikan aman. Ia menemukannya masih dalam keadaan tersegel. Tangannya yang lain mencorat-coret halaman buku catatan Biologi dengan spidol warna-warni. Dari tadi ia coba mengilustrasikan organisme-organisme dalam catatannya tersebut, tapi yang tercipta malah pikiran untuk menyalin ulang sang catatan ke atas kertas putih bersih.

“Trus adik kamu tuh. Gimana, Luthfi?” lanjut Kang CP dengan suara yang lebih pelan. Kali ini Zia menajamkan pendengaran.

“Hm. Yah. Begitulah,” jawab Mas Imin.

“Udah masuk ekskul?” suara Kang Hilman, tak kalah pelan.

Tak kalah pelan lagi balasan Mas Imin. “Nggak tau tuh sukanya apaan. Di kamar aja sih.”

Ha. Zia tahu siapa yang mereka bicarakan. Zia yakin yang bersangkutan tengah ada di kamarnya—di lantai bawah. Zia suka menumpang tidur di sana.

“Perlu kita intervensi juga?” tanya Kang Hilman.

“Yah, entarlah. Saya coba dulu sendiri.” Volume suara Mas Imin kembali normal.

“Perlu bantuan aku juga?” Zia mendongak. Mas Imin tidak menjawab, hanya tersenyum sekilas. Mata Zia kembali tertuju pada hasil kreativitasnya, tapi tidak pikirannya. Muncul suatu ingatan di sana. Baru pada akhir tahun ajaran lalu Mas Imin menganjurkannya untuk coba tinggal terpisah dari keluarga. Mas Imin tidak tahu kalau itu adalah suatu yang sangat Zia idamkan dari dulu. Tapi ia tidak pernah membayangkan bagaimana rasanya. Mas Imin memberitahunya. “Ketemuan juga belum tentu sekali seminggu. Itu juga kan nggak lama. Paling semalem atau berapa jam. Nggak tahu, jadi asa lebih asik aja main di luar. Jadi males balik ke rumah.”

Zia mengangguk paham. Namun ia mengingkari kata-kata Mas Imin selanjutnya. Mas Imin mungkin begitu, namun Zia ragu. Ia tidak yakin ia bakal kangen dengan keluarganya. Ia tidak yakin ia bakal kepikiran keluarganya. Ia tidak yakin pikirannya itu bakal sampai pada rasa bersalah akan caranya menyikapi masing-masing anggota keluarganya selama ini, terutama pada anak yang paling bermasalah di rumah. Memikirkannya sampai pelik, meski berlagak seakan itu bukan urusan yang amat penting. Zia saja tidak pernah benar-benar memikirkan Zaha. Toh meski homeschooling, pergaulan Zaha sepertinya tetap senormal sedia kala. Malah jauh lebih sering Zaha yang pulang larut ketimbang dirinya.

Ganti sebuah pertanyaan yang muncul dalam pikiran Zia. Apakah ia akan seperti Zahra juga seandainya ia adik kandung Mas Imin? Padahal ia pernah mengira kehidupannya akan lebih baik kalau ia saudara kembarnya Ardi, misal. Setidaknya Pakde dan Bude tidak ringan tangan. Kekerasan verbal itu biasa. Melintas rasa bersalah kala Zia ingat bahwa setiap kali ia ingin menangis sehabis digampar Mama atau Papa, ia selalu menguat-nguatkan dirinya dengan sugesti bahwa ia tidak secengeng Zahra.

Terima kasih, Zahra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain