Sejak mengumpulkan tulisannya mengenai kritik UN SMANSON pada Bang Ali,
hidup Zia terasa lebih ringan. Ia merasa telah melakukan sesuatu yang berarti
dalam statusnya sebagai siswi kelas 2 SMA,
meskipun itu bukan menghukum musuh dengan kekuatan bulan. Tidak ada
perpanjangan deadline, Zia hanya butuh dua malam untuk menyelesaikannya. Tidak ada bonus pin up gambar Kamal, yes! Bang
Ali mengapresiasi dengan baik tulisannya itu. Apalagi karena bahasan Zia tidak
hanya berpusar pada perkara UN dan SMANSON saja. Zia juga menyangkutpautkannya
dengan lingkup yang lebih luas. Bang Ali bahkan tidak pernah ngeh selama ini
akan adanya perlakuan istimewa terhadap anak guru, jual beli LKS terselubung,
kondisi perpustakaan yang ternyata jauh dari layak, dan masalah terkait
pendidikan lainnya yang ada di SMANSON. Ia jadi sadar bahwa selama ini ia
sendiri tak cukup kritis sebagai wartawan sekolah. Ia jadi ingin mengubah
konsep media LEMPERs, dari ajang kreasi menjadi ajang kritik siswa.
Tak ada gading yang tak retak. Zia berusaha lapang dada saat Bang Ali
menunjukkan kesalahan-kesalahannya, terutama pada ejaan. Jadi selama ini caraku ngerjain PR Bahasa Indonesianya Dean tuh salah
ya? Untuk menebus rasa bersalahnya, juga karena perlakuan ketusnya tempo
hari, Zia ingin mengompensasi dengan keramahan seramah-ramahnya saat bersua
Dean. Tapi kesempatan yang dinanti tak kunjung datang. Ya sudahlah, Dean ini...
Dengan demikian, Zia merasa lebih tenang dalam menjalani kehidupan
akademisnya. Plong sudah bebannya. Kini ia bisa memfokuskan pikiran pada
perbaikan prestasi akademisnya. Ia harus bisa masuk sepuluh besar lagi semester
ini!—atau setidaknya bertahan di dua puluh besar. Epay mengerjap-ngerjapkan
mata saat Zia tahu-tahu mendatanginya dan berseru, “Pay, sebutkan hukum
kekekalan massa dari Lavoisier sama hukum Boyle-Gay Lussac apaan?!”
Selama masa gencar-gencarnya ia bertanya jawab materi pelajaran bersama
Epay, kadang bersama teman-teman lain juga, ia tak sabar menanti penghujung
Juni. Hari pembagian rapot semester dua. Hari diedarkannya majalah semesteran
yang akan memuat tulisannya. Hari tertunaikannya tantangan dari Kang Detol.
Hari di mana ia terbukti telah melakukan sesuatu yang berarti. Hari di mana
kegemparan mungkin akan terjadi. Ha ha ha.
Ponsel Zia berbunyi pada suatu sore. Zia menghentikan aktivitas
aerobiknya. Bando warna warni terpasang di kepala, kaos ekstra gombrong sebagai
atasan, dan legging berwarna norak sebagai bawahan—semua peninggalan Mama. Mini
compo ia pause. Rinai hujan yang menimpa atap jadi terdengar. Nomor yang ia
kenali sebagai milik Gio—mereka sempat smsan beberapa kali terkait pengumpulan
tulisan. Tapi yang datang kali ini adalah telepon, bukan sms. Dentum jantung
Zia membesar. Entah mengapa. Lekas ia terima panggilan tersebut. Tak seringan
biasa, ada beban yang menghimpit suara Gio.
“Maaf, Teh, kita nggak bisa muat punya Teteh.”
Zia tak tahan untuk menghempaskan “haaaah?!” keras-keras, dilanjutkan
dengan, “Kenapa...?”
Ingin marah rasanya. Zia membayangkan di samping Gio kini ada Kamal. Cowok
kucel itu memegang sepucuk pistol yang ditempelkan pada pelipis Gio. Berbisik
dengan nada mengancam pada Gio yang ketakutan dan mulai gemetar, “Katakan
padanya, jangan coba-coba rebut kesempatanku tampil di majalah semesteran, atau
nyawamu akan melayang!”
Tapi senyatanya adalah Bang Ali yang menempati posisi Kamal. Tidak dengan
sepucuk pistol, melainkan tangan yang mengambil alih ponsel Gio. “Zia, maaf...
Maaf banget...” Suara Bang Ali terdengar lebih sarat beban. Zia melipat sebelah
lengannya di bawah dada. Mulai melangkah tanpa arah. “Apa sih, ada apa sih,
Bang? Kok tiba-tiba?”
Terdengar batuk Bang Ali beberapa kali sebelum ucapnya dengan suara yang
hilang kuasa, “Jadi gini, Zia. Majalah kita itu, sebelum masuk percetakan,
harus lewat guru pembina dulu kan,” Bang Ali menekankan, “biasanya emang gitu,” lalu melirih lagi suaranya, “Saya lupa, Zia,
maaf, maaf...”
“Iya, terus kenapa?” Zia duduk di atas kasur. Melintas kata itu dalam
kepalanya, guru.
“Ya. Itu. Kita udah coba mempertahankan tulisan kamu... tapi... LEMPERs
mungkin bakal dibredel...”
“Hah, dibredel?!”
“Nggak didanain lagi, Kang!” terdengar celetukan Gio di kejauhan.
“...ah, lebih keren dibredel...” Bang Ali seperti berkata hanya untuk Gio.
Suaranya mendekat lagi. Tarikan nafasnya yang berat, sebelum terhempas dalam
kata, “Maaf, Zia.”
Zia merasa sekujur tubuhnya lemas. Bingung hendak menanggapi dengan apa,
hingga Bang Ali berkata lagi, “Trus Pak Bowo pingin ketemu kamu di ruang guru.
Besok pas jam istirahat.”
Dentuman keras lagi di dalam dadanya. “Saya bakal temenin kamu, Zia.”
Suara Bang Ali menjauh. Tubuh Zia terhempas ke kasur. Ponsel jauh sudah dari
telinganya, dengan samar-samar suara Bang Ali masih di dalamnya, dalam
genggamannya.
Dan di sinilah esok harinya Zia berada, ruang guru. Pada waktu yang telah
disepakati. Berseragam putih abu.
Coklat lemari. Hitam sofa. Kuning bunga dalam vas. Ungu jilbab guru. Mata
Zia berlari-lari, mengikuti pikirannya, yang tak tahan lagi. Padahal Pak Bowo
belum bicara apa-apa. Kakinya juga hendak berlari dari ruangan ini. Kehadiran
para guru itu, yang tengah mengobrol dengan sesamanya atau melakukan aktivitas
sendiri-sendiri, ia rasa mencekamnya. Mungkinkah sewaktu-waktu mereka akan
mengeroyoknya? Siapa yang akan memberi aba-aba? Apa Pak Acep yang tengah duduk
santai di sofa? Atau Pak Ndun yang sedang mengamati TV? Atau malah Bu
Elly?—hyaaa, Zia pernah dimarah Bu Elly! Dalam hati Zia merutuki kepengecutannya
yang tiba-tiba mendekam.
Disadarinya, mata Bang Ali meliriknya. Lalu pindah lagi ke depan. Pada Pak
Bowo yang menyeret kursi ke hadapan mereka. Kedua tangannya bertaut di atas
meja. Kumis Pak Bowo lebih tebal daripada kumis Papa, tapi tetap membuatnya
terlihat bagai Papa. Papa yang hendak menerkamnya, Zia takut. Zia melirik lagi
pada Bang Ali, yang juga sedang menatapnya. Bang Ali tersenyum canggung.
Berusaha menyembulkan selalu ketenangan pada air mukanya. Persitegangannya
dengan Pak Bowo sudah ia alami kemarin. 0-1.
Zia meneguk ludah. Berusaha juga agar sorot matanya tidak terlalu
memancarkan ketakutan. Ia harus tampak tenang. Dan berani. Apa yang hendak ia
usung adalah kebenaran. Tidak boleh ada alasan untuk takut! Berangsur-angsur
kecemasannya mereda, karena sepertinya tidak ada tanda-tanda Pak Bowo akan
menerkamnya bagai Papa. Pak Bowo juga tampak tenang, ditunjukkan oleh nada
suaranya saat bicara untuk Zia.
Katanya, “Saya sengaja menyimpan tulisan Anda. Saya nggak bakal bilang
sama guru-guru lainnya. Ini di antara kita saja, cuma kalangan LEMPERs yang
tahu.”
Baik Zia maupun Bang Ali diam, menunggu kalimat Pak Bowo selanjutnya.
“Anda tahu apa yang Anda tulis?”
Zia merasa tidak enak disebut ‘Anda’ begitu. Kesannya seperti Pak Bowo
ingin menjaga jarak dengannya. Zia lebih suka disebut ‘kamu’, atau nama
sekalian. Mengindahkan ketidaknyamanan, Zia berusaha menyembulkan keberaniannya
untuk menjawab tegas, “Tau, Pak.” Sebelum Pak Bowo kembali angkat suara, Zia
lekas menyambung—keburu keberaniannya surut lagi. “Saya nggak ngarang, Pak. Itu
saya denger langsung dari... eng.. dari yang diceritain sama yang ngalamin...
yah, gitu deh, Pak. Ali juga ngebantuin saya nyari informasi langsung dari anak
kelas XII kok, Pak.”
“Iya, saya tau...”
“Tapi itu nggak mengada-ngada kan, Pak?”
“Oke, oke... Saya mau ngomong, jangan dipotong dulu...” Zia menyandarkan
lagi punggungnya. Lanjut Pak Bowo, “Bukan masalah tulisan ini isinya bohong apa
nggak. Saya bisa paham apa yang ingin kamu sampaikan... Tapi, Nak Fauzia...”
Pak Bowo merendahkan suaranya, menjaga agar tak sampai tertangkap telinga orang
lain di ruangan itu. Sengaja ia membawa mereka ke pojok ruangan. Cukup berjarak
dari jangkauan kuping-kuping nakal, ia kira. “Kita punya etika.”
Zia mengerutkan dahi. Siap melibas lagi. “Apa berbuat kecurangan massal
pas UN itu nggak ngelanggar etika, Pak?” Zia buru-buru bungkam saat beberapa
guru meliriknya, tepat pada saat ia mengucap kata ‘UN’. Ia kembali menempelkan
punggung pada sandaran kursi lagi. Tubuhnya semakin membungkuk. Ia jadi urung
untuk bicara lagi. Tak tahan untuk mengucap dalam bisik, “Ini permainan kotor,
Pak, merusak moral generasi bangsa!”
Sesaat, Pak Bowo masih tampak terpana. Melihat Zia yang kembali masuk
dalam cangkang, ia menguasai dirinya lagi. Air mukanya kembali tenang. Kali ini
ganti tubuhnya yang condong. Dengan intonasi sejelas dan sepelan mungkin, agar
tak perlu diulang, berkata Pak Bowo, nyaris berupa bisikan,
“Oke, Nak Fauzia, Ali juga, saya hargai perhatian kalian sama sekolah ini.
Saya juga menyesal dengan apa yang kemarin terjadi. Meskipun ini untuk kebaikan
kalian juga, sekolah kita harus mempertahankan kelulusan di atas 90%.” Zia
hendak menyela lagi, Pak Bowo buru-buru melanjutkan kalimatnya, “Tapi sekarang
begini. Ada sekitar hampir empat ratusan kakak kelas Anda yang sudah dinyatakan
lulus UN. Lalu bagaimana seandainya, tulisan Anda tiba-tiba muncul di majalah
LEMPERs, dan dibaca para orangtua murid, dan akhirnya beredar juga sampai ke
luar? Bisa Anda bayangkan bagaimana perasaan kakak-kakak Anda dan orangtua
mereka? Dan apabila kelulusan mereka sampai dinyatakan batal? Juga teman-teman
seangkatan Anda, adik-adik Anda di kelas X, dengan orangtua mereka
masing-masing? Apa Anda sudah memperkirakan bagaimana nanti masyarakat akan
memandang sekolah kita?”
Zia terperangah. Mengapa ia harus memikirkan itu? Apakah itu penting?
Adakah yang lebih penting dari kebenaran yang harus disampaikan—meskipun itu
menyakitkan? Mengapa harus ada penghalang yang bernama etika?!
Para guru sudah mulai mencuri pandang ke arah mereka. Pak Bowo mengehela
nafas. “Saya harap kalian bisa cukup dewasa, dan majalah kalian akan aman-aman
saja. Dan saya nggak mau tahu kalau-kalau ada aksi sabotase. Coba pikirkan juga
bagaimana perasaan orang lain.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar