Kamis, 23 Desember 2010

dua puluh empat

Sejak mengumpulkan tulisannya mengenai kritik UN SMANSON pada Bang Ali, hidup Zia terasa lebih ringan. Ia merasa telah melakukan sesuatu yang berarti dalam statusnya sebagai siswi kelas 2 SMA, meskipun itu bukan menghukum musuh dengan kekuatan bulan. Tidak ada perpanjangan deadline, Zia hanya butuh dua malam untuk menyelesaikannya. Tidak ada bonus pin up gambar Kamal, yes! Bang Ali mengapresiasi dengan baik tulisannya itu. Apalagi karena bahasan Zia tidak hanya berpusar pada perkara UN dan SMANSON saja. Zia juga menyangkutpautkannya dengan lingkup yang lebih luas. Bang Ali bahkan tidak pernah ngeh selama ini akan adanya perlakuan istimewa terhadap anak guru, jual beli LKS terselubung, kondisi perpustakaan yang ternyata jauh dari layak, dan masalah terkait pendidikan lainnya yang ada di SMANSON. Ia jadi sadar bahwa selama ini ia sendiri tak cukup kritis sebagai wartawan sekolah. Ia jadi ingin mengubah konsep media LEMPERs, dari ajang kreasi menjadi ajang kritik siswa.

Tak ada gading yang tak retak. Zia berusaha lapang dada saat Bang Ali menunjukkan kesalahan-kesalahannya, terutama pada ejaan. Jadi selama ini caraku ngerjain PR Bahasa Indonesianya Dean tuh salah ya? Untuk menebus rasa bersalahnya, juga karena perlakuan ketusnya tempo hari, Zia ingin mengompensasi dengan keramahan seramah-ramahnya saat bersua Dean. Tapi kesempatan yang dinanti tak kunjung datang. Ya sudahlah, Dean ini...

Dengan demikian, Zia merasa lebih tenang dalam menjalani kehidupan akademisnya. Plong sudah bebannya. Kini ia bisa memfokuskan pikiran pada perbaikan prestasi akademisnya. Ia harus bisa masuk sepuluh besar lagi semester ini!—atau setidaknya bertahan di dua puluh besar. Epay mengerjap-ngerjapkan mata saat Zia tahu-tahu mendatanginya dan berseru, “Pay, sebutkan hukum kekekalan massa dari Lavoisier sama hukum Boyle-Gay Lussac apaan?!”

Selama masa gencar-gencarnya ia bertanya jawab materi pelajaran bersama Epay, kadang bersama teman-teman lain juga, ia tak sabar menanti penghujung Juni. Hari pembagian rapot semester dua. Hari diedarkannya majalah semesteran yang akan memuat tulisannya. Hari tertunaikannya tantangan dari Kang Detol. Hari di mana ia terbukti telah melakukan sesuatu yang berarti. Hari di mana kegemparan mungkin akan terjadi. Ha ha ha.

Ponsel Zia berbunyi pada suatu sore. Zia menghentikan aktivitas aerobiknya. Bando warna warni terpasang di kepala, kaos ekstra gombrong sebagai atasan, dan legging berwarna norak sebagai bawahan—semua peninggalan Mama. Mini compo ia pause. Rinai hujan yang menimpa atap jadi terdengar. Nomor yang ia kenali sebagai milik Gio—mereka sempat smsan beberapa kali terkait pengumpulan tulisan. Tapi yang datang kali ini adalah telepon, bukan sms. Dentum jantung Zia membesar. Entah mengapa. Lekas ia terima panggilan tersebut. Tak seringan biasa, ada beban yang menghimpit suara Gio.

“Maaf, Teh, kita nggak bisa muat punya Teteh.”                                      

Zia tak tahan untuk menghempaskan “haaaah?!” keras-keras, dilanjutkan dengan, “Kenapa...?”

Ingin marah rasanya. Zia membayangkan di samping Gio kini ada Kamal. Cowok kucel itu memegang sepucuk pistol yang ditempelkan pada pelipis Gio. Berbisik dengan nada mengancam pada Gio yang ketakutan dan mulai gemetar, “Katakan padanya, jangan coba-coba rebut kesempatanku tampil di majalah semesteran, atau nyawamu akan melayang!”

Tapi senyatanya adalah Bang Ali yang menempati posisi Kamal. Tidak dengan sepucuk pistol, melainkan tangan yang mengambil alih ponsel Gio. “Zia, maaf... Maaf banget...” Suara Bang Ali terdengar lebih sarat beban. Zia melipat sebelah lengannya di bawah dada. Mulai melangkah tanpa arah. “Apa sih, ada apa sih, Bang? Kok tiba-tiba?”

Terdengar batuk Bang Ali beberapa kali sebelum ucapnya dengan suara yang hilang kuasa, “Jadi gini, Zia. Majalah kita itu, sebelum masuk percetakan, harus lewat guru pembina dulu kan,” Bang Ali menekankan, “biasanya emang gitu,” lalu melirih lagi suaranya, “Saya lupa, Zia, maaf, maaf...”

“Iya, terus kenapa?” Zia duduk di atas kasur. Melintas kata itu dalam kepalanya, guru.

“Ya. Itu. Kita udah coba mempertahankan tulisan kamu... tapi... LEMPERs mungkin bakal dibredel...”

“Hah, dibredel?!”

“Nggak didanain lagi, Kang!” terdengar celetukan Gio di kejauhan.

“...ah, lebih keren dibredel...” Bang Ali seperti berkata hanya untuk Gio. Suaranya mendekat lagi. Tarikan nafasnya yang berat, sebelum terhempas dalam kata, “Maaf, Zia.”

Zia merasa sekujur tubuhnya lemas. Bingung hendak menanggapi dengan apa, hingga Bang Ali berkata lagi, “Trus Pak Bowo pingin ketemu kamu di ruang guru. Besok pas jam istirahat.”

Dentuman keras lagi di dalam dadanya. “Saya bakal temenin kamu, Zia.” Suara Bang Ali menjauh. Tubuh Zia terhempas ke kasur. Ponsel jauh sudah dari telinganya, dengan samar-samar suara Bang Ali masih di dalamnya, dalam genggamannya.

Dan di sinilah esok harinya Zia berada, ruang guru. Pada waktu yang telah disepakati. Berseragam putih abu.

Coklat lemari. Hitam sofa. Kuning bunga dalam vas. Ungu jilbab guru. Mata Zia berlari-lari, mengikuti pikirannya, yang tak tahan lagi. Padahal Pak Bowo belum bicara apa-apa. Kakinya juga hendak berlari dari ruangan ini. Kehadiran para guru itu, yang tengah mengobrol dengan sesamanya atau melakukan aktivitas sendiri-sendiri, ia rasa mencekamnya. Mungkinkah sewaktu-waktu mereka akan mengeroyoknya? Siapa yang akan memberi aba-aba? Apa Pak Acep yang tengah duduk santai di sofa? Atau Pak Ndun yang sedang mengamati TV? Atau malah Bu Elly?—hyaaa, Zia pernah dimarah Bu Elly! Dalam hati Zia merutuki kepengecutannya yang tiba-tiba mendekam.

Disadarinya, mata Bang Ali meliriknya. Lalu pindah lagi ke depan. Pada Pak Bowo yang menyeret kursi ke hadapan mereka. Kedua tangannya bertaut di atas meja. Kumis Pak Bowo lebih tebal daripada kumis Papa, tapi tetap membuatnya terlihat bagai Papa. Papa yang hendak menerkamnya, Zia takut. Zia melirik lagi pada Bang Ali, yang juga sedang menatapnya. Bang Ali tersenyum canggung. Berusaha menyembulkan selalu ketenangan pada air mukanya. Persitegangannya dengan Pak Bowo sudah ia alami kemarin. 0-1.

Zia meneguk ludah. Berusaha juga agar sorot matanya tidak terlalu memancarkan ketakutan. Ia harus tampak tenang. Dan berani. Apa yang hendak ia usung adalah kebenaran. Tidak boleh ada alasan untuk takut! Berangsur-angsur kecemasannya mereda, karena sepertinya tidak ada tanda-tanda Pak Bowo akan menerkamnya bagai Papa. Pak Bowo juga tampak tenang, ditunjukkan oleh nada suaranya saat bicara untuk Zia.

Katanya, “Saya sengaja menyimpan tulisan Anda. Saya nggak bakal bilang sama guru-guru lainnya. Ini di antara kita saja, cuma kalangan LEMPERs yang tahu.”

Baik Zia maupun Bang Ali diam, menunggu kalimat Pak Bowo selanjutnya.

“Anda tahu apa yang Anda tulis?”

Zia merasa tidak enak disebut ‘Anda’ begitu. Kesannya seperti Pak Bowo ingin menjaga jarak dengannya. Zia lebih suka disebut ‘kamu’, atau nama sekalian. Mengindahkan ketidaknyamanan, Zia berusaha menyembulkan keberaniannya untuk menjawab tegas, “Tau, Pak.” Sebelum Pak Bowo kembali angkat suara, Zia lekas menyambung—keburu keberaniannya surut lagi. “Saya nggak ngarang, Pak. Itu saya denger langsung dari... eng.. dari yang diceritain sama yang ngalamin... yah, gitu deh, Pak. Ali juga ngebantuin saya nyari informasi langsung dari anak kelas XII kok, Pak.”

“Iya, saya tau...”

“Tapi itu nggak mengada-ngada kan, Pak?”

“Oke, oke... Saya mau ngomong, jangan dipotong dulu...” Zia menyandarkan lagi punggungnya. Lanjut Pak Bowo, “Bukan masalah tulisan ini isinya bohong apa nggak. Saya bisa paham apa yang ingin kamu sampaikan... Tapi, Nak Fauzia...” Pak Bowo merendahkan suaranya, menjaga agar tak sampai tertangkap telinga orang lain di ruangan itu. Sengaja ia membawa mereka ke pojok ruangan. Cukup berjarak dari jangkauan kuping-kuping nakal, ia kira. “Kita punya etika.”

Zia mengerutkan dahi. Siap melibas lagi. “Apa berbuat kecurangan massal pas UN itu nggak ngelanggar etika, Pak?” Zia buru-buru bungkam saat beberapa guru meliriknya, tepat pada saat ia mengucap kata ‘UN’. Ia kembali menempelkan punggung pada sandaran kursi lagi. Tubuhnya semakin membungkuk. Ia jadi urung untuk bicara lagi. Tak tahan untuk mengucap dalam bisik, “Ini permainan kotor, Pak, merusak moral generasi bangsa!”

Sesaat, Pak Bowo masih tampak terpana. Melihat Zia yang kembali masuk dalam cangkang, ia menguasai dirinya lagi. Air mukanya kembali tenang. Kali ini ganti tubuhnya yang condong. Dengan intonasi sejelas dan sepelan mungkin, agar tak perlu diulang, berkata Pak Bowo, nyaris berupa bisikan,

“Oke, Nak Fauzia, Ali juga, saya hargai perhatian kalian sama sekolah ini. Saya juga menyesal dengan apa yang kemarin terjadi. Meskipun ini untuk kebaikan kalian juga, sekolah kita harus mempertahankan kelulusan di atas 90%.” Zia hendak menyela lagi, Pak Bowo buru-buru melanjutkan kalimatnya, “Tapi sekarang begini. Ada sekitar hampir empat ratusan kakak kelas Anda yang sudah dinyatakan lulus UN. Lalu bagaimana seandainya, tulisan Anda tiba-tiba muncul di majalah LEMPERs, dan dibaca para orangtua murid, dan akhirnya beredar juga sampai ke luar? Bisa Anda bayangkan bagaimana perasaan kakak-kakak Anda dan orangtua mereka? Dan apabila kelulusan mereka sampai dinyatakan batal? Juga teman-teman seangkatan Anda, adik-adik Anda di kelas X, dengan orangtua mereka masing-masing? Apa Anda sudah memperkirakan bagaimana nanti masyarakat akan memandang sekolah kita?”

Zia terperangah. Mengapa ia harus memikirkan itu? Apakah itu penting? Adakah yang lebih penting dari kebenaran yang harus disampaikan—meskipun itu menyakitkan? Mengapa harus ada penghalang yang bernama etika?!

Para guru sudah mulai mencuri pandang ke arah mereka. Pak Bowo mengehela nafas. “Saya harap kalian bisa cukup dewasa, dan majalah kalian akan aman-aman saja. Dan saya nggak mau tahu kalau-kalau ada aksi sabotase. Coba pikirkan juga bagaimana perasaan orang lain.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain