Ada yang ingin Zia beritahukan pada Mas Imin. Hal-hal yang ia sadari
selama ini. Bukan hanya tentang keinginannya untuk tidak merongrong Zaha dengan
kata-kata pedas lagi. Bukan soal pengabaiannya pada tips-tips pengembangan diri
dari Mas Imin karena tahu apa motif di balik itu. Bukan pula hal perwujudan
salah satu poin resolusinya—mulai mendukung orang lain mengembangkan
kelebihannya. Apalagi tentang upayanya meredam mimpi-mimpi muluk macam memiliki
pulau mungil yang bisa terbang. Apa yang ingin ia katakan tak terjamah dalam
alam kata. Mungkin kata-kata itu akan menemukan sendiri bentuknya saat ia
bertatap muka dengan Mas Imin.
Kali ketiga Zia beranjak dari sekretariat OSIS dan menyapu pemandangan di
luarnya. Akhirnya Zia temukan yang ia cari. Sedang sendirian pula! Sukar sekali
akhir-akhir ini untuk dapat bersua Mas Imin. Peredaran cowok tersebut di area
sekolah tidak lagi segencar dulu. Baik di kelasnya, mau pun di perpustakaan,
sungkan Zia menyeruak dalam kumpulan anak kelas XII yang tak terlalu ia kenal.
Bertandang ke rumah Kakek pun, Mas Imin malah sedang di bimbelnya, atau rumah
teman. Tekad Zia mengejar Mas Imin kali ini agar jangan sampai lepas. Ia
tinggalkan Regi beserta uang Bazaar SMANSON dan misah-misuhnya pada para staf
yang kurang inisiatif.
Hawa panas menerpa benaman sejuk. Berjalin dengan ketidaknyamanan kala Mas
Imin ngeh bahwa Zia mengikutinya sejak tadi. “Kuch kuch hota hai, Mas,” ungkap
Zia, membuat Mas Imin tercengang. “Tapi bingung apaan.” Mas Imin mendiamkan Zia
dan terus mengikuti perintah otaknya untuk mondar ke sana dan mandir ke sini.
Melihat siapa yang ia ingin lihat. Menyapa siapa yang ingin ia sapa. Mengobrol
dengan siapa yang ia ingin ajak ngobrol. Menuju jam sepuluh pagi menjelang
siang dengan menerobos para penjejal koridor. Ia menengok ke belakang. Masih
Zia ada di sana. Satu bola cimol lagi yang ia pagut.
“Wah, kamu ini kayak Zahra pas ada maunya!”
“Weh, iya, gimana kabar Zahra, Mas?”
“Baik.” Mas Imin memutar tubuhnya lagi. Zia mengiringi. “Kliseee...”
sentilnya.
“Trus kalau nggak baik apa? Jahat?”
“Kata ‘baik’ itu bisa mewakili banyak kalimat, Mas. Aku minta supaya
mereka maju sendiri dan tidak diwakilkan.”
Dahi Mas Imin berkerut. Tampangnya jadi mirip Ardi dengan sebelah alis
terangkat. “Udah lama nggak denger kamu berkata-kata aneh.” Kata Mas Imin lagi
sembari lanjut melangkah. “Beneran membaik kok. Lihat sampai saya berhasil
ngebujuk dia buat nginep di rumah kamu.”
“Kalau gitu aku mau hasut dia supaya menolak Mas Imin ke ITB.”
“Wew. Emang kenapa sih kok saya nggak boleh ke sana?”
“Trus bagaimana nasib para warbung yang terlupakan, Mas? Nggak semua orang
sadar kalau itu penting kan? Nggak semua orang tahan ngeliat kelebihan orang
lain kan? Sekali lagi aku mengingatkanmu, Mas, masuklah ke jurusan di mana Mas
Imin bisa optimal di situ.”
Mas Imin terperangah. “Duh.. Nggak kayak gitu juga kali, Zia...”
Zia meringis. Gara-gara obrolan tentang Zahra ia jadi lupa lagi apa yang
hendak ia sampaikan. Padahal sudah meluap kata-katanya ke permukaan, tapi
terendam lagi oleh kata-kata yang baru. Setelah pernyataan salut akan
keberhasilan Mas Imin mengubah tabiat adiknya sendiri—meski tentatif—masih
belum terbit lagi di pikirannya apa yang hendak dicurhatkan.
“Kang! Kang Lutung!” Dentum langkah Salman menghunjam bumi. Zia dan Mas
Imin kompak menyingkir agar tidak kena seruduk. Zia pikir si Salman ini hobinya
main serbu orang saja. Mas Imin menanyai Salman dengan sok berdialek Jawa, “Ono
opo tho, le?”
Rewind. Semua orang berjalan mundur. Berpasang garis menyilang yang
menimpa deretan angka di kalender raib satu per satu secara berurutan. Inilah
yang biasa Salman sampaikan setelah aksi penyerbuan tiba-tibanya, kabar macam,
“Eh, Kang, kemarin aku habis ikut lomba VG di SMAN Ujunggerung... Woah,
awewena nggeulis-nggeulis, Kang! Tapi, Kang, bukan itu yang sebetulnya mau ku
omongin, Kang. Aku seneng, Kang, kemarin akhirnya ketemu juri yang
sebenernya!”,
dan,
“VG kita maju ke seleksi yang bareng kabupaten, Kang! Wih, Kang, pas kasih
penilaian, jurinya sempet nyinggung-nyinggung aku, ho oh?!”
atau,
“Kang, buat acara VG besok aku kebagian solo, Kang!”,
sampai,
“Bingung aku, Kang, Teh, jadwal seleksi olimpiadenya dimajuin jadi minggu
depan. Tapi pas hari itu juga, ada kompetisi yang buat Bazaar itu, Kang, Teh.
Nggak mungkinlah, aku ikut dua-duanya!” Salman mengangkat kedua belah
tangannya. Zia menimbang-nimbang kata apa yang cocok untuk mewakili rentetan
kalimat Salman yang berani maju sendiri namun mengandung ketidakjelasan ini.
“Oke, oke, jangan di tengah jalan yak. Entar ketabrak...” Mas Imin
menggiring Salman ke tepi koridor. Zia mengekor. Tak mau ketinggalan sesi
“Dengarkan Curhatku”. Duduklah mereka di atas bangku semen. Mas Imin menawarkan
Salman cimol. Salman menolak.
Kisah Salman melantun dengan latar dengung orang mengobrol, kaki
melangkah, tawa terbahak, jerit tergoda, dan segala rupa bunyi-bunyian pada jam
istirahat di suatu SMA. Salman memulainya dari suatu pertemuannya dengan Ipong
kala mereka telah saling menerima ketidakmungkinikutsertaan satu sama lainnya
dalam audisi Indonesian Idol. Ipong mengabarkan bahwa panitia Bazaar SMANSON
akan mengundang seorang bintang muda yang sedang naik daun. Idola remaja ini
dikenal dengan hit-nya, ‘Grogian’.
“Oh, aku tau, aku tau, yang lagunya kayak gini bukan? Grogian, jadinya kok grogian... Apa yang harus kulakukan?’” dendang
Zia dengan koreografi centil. Mendengar lagu tersebut selalu mengingatkannya
akan masa-masa kasmaran dengan Ezra. Salman manggut-manggut.
“Iya, Teh. Aku ngefans banget lho Teh, sama Mbak Sharona. Aku udah
ngikutin dia dari sejak dia masih jadi penyanyi anak-anak!”
Hm, jadi ini sebab yang membuat Regi stres karena harus menghemat anggaran
lainnya sedemikian rupa, pikir Zia. Ia juga memiliki semua kaset Sharona yang
masih jadi penyanyi anak-anak, namun musik Sharona dewasa sudah tidak sesuai
lagi dengan seleranya. Remaja Indonesia mana yang masa anak-anaknya tidak
diiringi oleh lagu-lagu Sharona kecil? Setelah lama menghilang, Sharona kini
muncul dengan gayanya sendiri dan berusaha meraup pasarnya lagi. Ia muncul di
TV, majalah, koran, radio, baliho, dan juga pelataran parkir SMANSON—pada
Bazaar yang akan datang. Panitia optimis penjualan tiket akan terdongkrak.
Namun gadis yang disebut-sebut media tengah menyongsong karir sebagai diva ini
memiliki sebuah permintaan khusus.
“Dia ada single baru yang mau diluncurin ke pasar, Teh. Dinyanyiin duet,
tapi dia belum nemu penyanyi prianya. Nah, makanya itu, Teh, dia sekalian mau
nyari anak SMANSON buat itu! Jadi single terbarunya itu bakal dinyanyiin buat
yang pertama kalinya di Bazaar SMANSON, Teh!””
Waktu Sharona tak banyak. Di tengah kejaran wartawan infotainment, ia akan
menyempatkan diri untuk menyeleksi langsung siswa SMANSON yang akan berduet
dengannya. “Bakal masuk acara yang sehari bersama artis itu loh,” ucap Ipong
pada Salman waktu itu. “Nanti kita berdua harus ikut tuh seleksi.”
Salman berusaha menyembunyikan separuh mentalnya yang mengkeret akibat
ucapan bernada tantangan itu. Ipong menanggapinya dengan seringai. Seringai
yang masih membekas dalam benaknya hingga ia menceritakannya kembali pada Zia
dan Mas Imin.
“Tapi bersamaan dengan seleksi yang sama Sharona itu, kamu ada seleksi
lainnya juga?”
“Iya, Kang. Seleksi olimpiade Fisika tingkat kabupaten apa kota, gitu.”
“Terus kamu beratnya ke mana, Salman?”
“Dua-duanya berat, Kang!”
“Coba kamu punya palu penduplikatnya Doraemon, atau hammock ajaibnya
Homer,” sela Zia, yang kian membuat Salman dan Mas Imin mengerutkan dahi.
“Haduh, Kang. Kok aku ngerasa disorientasi ya, Kang?”
Hah, bagaimana Mas Imin yang juga demikian bisa menolong
kamu? batin Zia. Ia berusaha untuk tidak
terdengar mendesak saat mengatakan, “Kalau kamu ikut seleksi yang buat Bazaar
SMANSON itu, kamu kan bisa ngebuktiin ke Ipong kalau kamu lebih jaya dari dia.
Siapa tau aja Sharona lebih milih kamu dari dia, ya nggak?” Gitu aja kok repot, Zia menambahkan
dalam hati. Kalau ia berada dalam posisi Salman, ia tidak akan ragu lagi.
Lagipula, Fisika bukan mata pelajaran yang ia sukai. “Trus siapa tau aja abis Bazaar
kamu diajak date ama dia? Katanya ngefans?”
“Ah, tapi Teh, dia kan lebih tua, Teh... Emang dia mau sama aku, Teh...”
“Ya nggak apa-apa kali, cuman beberapa tahun mah!” tandas Zia. Salman
pasti belum tahu betapa asiknya mengecengi berondong!
“Tapi Teh!” Salman menganggap bahwa mengikuti olimpiade Fisika dapat
menjadi batu loncatan baginya untuk memasuki ITB. “Aku tuh paling nggak
mudheng, Teh, sama Fisika. Lha, di ITB mesti banyak Fisika-Fisikanya tho, Teh?
Kalau ikut olimpiade Fisika kan mau nggak mau aku harus belajar Fisika, Teh.
Aku udah lho, Teh, sambil latihan nyanyi sambil ngerjain soal-soal Fisika
juga.”
“Masuk ITB kan nggak mesti ikutan olimpiade Fisika dulu?” Zia bingung
dengan logika Salman. “Kalau kamu nggak manfaatin kesempatan yang ada buat
ngebuktiin kamu bisa, kamu bakal menyesal selamanya!” Zia ingin menekankan juga
bahwa kalimatnya barusan adalah hasil pembelajarannya terhadap apa yang telah
ia lewatkan selama ini. Dengarkan kata-kata orang yang lebih tua, kalau tak mau
kualat! “Kalau kamu ingin segera mengakhiri konflik kamu dengan si Ipong,
inilah saatnya!”
Salman terlihat ngeri. Mas Imin tersenyum geli. “Eh, Salman,” katanya.
Salman menoleh lagi. “Kamu masih inget nggak lirik lagu yang pas latihan VG
kapan itu?”
“Yang mana tho, Kang?”
“Ng... Kalau nggak salah, yang gini liriknya, kayak yang pernah dinyanyiin
finalis AFI jaman kapan gitu... Pemuda,
ke mana langkahmu menuju? Apa yang membuat engkau ragu? Tujuan sejati
menunggumu sudah... Tetaplah pada pendirian semula...”
Dendang Mas Imin serasa menerbangkan Zia kembali pada suatu momen, di mana
ia dan Mas Imin mengintip latihan VG seusai latihan PATIN Mas Imin. Masih
lekang dalam ingatan, koor para anggota VG pada bait lirik selanjutnya, “Di mana artinya berjuang, tanpa sesuatu
pengorbanan...”
Zia termangu. Seandainya Mas Imin bukan anak kelas XII, Zia ingin
menyarankannya untuk coba bergabung dengan VG.
“Wah, itu lagu pilihannya, Ipong, Kang. Katanya dari band favoritnya gitu,
tapi jadul-jadul banget, Kang, seleranya si Ipong itu.” Tadinya Salman kebagian
menyanyi solo pada bait terakhir reffrain, namun Ipong merasa lebih berhak
karena ia yang mengusulkan lagu tersebut. “Tapi bagus ya, Kang, lagunya. Aku
juga jadi demen lho, Kang.”
Zia terhenyak. Masih bisa-bisanya ini bocah memuji rivalnya sendiri? Dasar wong kota cilik, polos e men! Zia
jadi ingin memaki Salman dalam bahasa Jawa.
“Ya, keputusannya tetep ada sama kamu, Salman. Mending kamu pulang.
Maknain lirik lagu kesukaanmu itu baik-baik. Kalau perlu solat istikharah
sekalian,” pesan Mas Imin seiring dengan semakin kencangnya bunyi bel. Usailah
jam istirahat. Lagi-lagi lewat kesempatan Zia untuk curhat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar