Jumat, 24 Desember 2010

dua puluh lima

Banyak yang ingin Bang Ali katakan padanya selain maaf. Tentang hutang budinya pada Pak Bowo yang telah membinanya selama di LEMPERs. Tentang harapan untuk bisa benar-benar subversif lain kali. Tentang menyampaikan kebenaran dengan cara yang bakal bisa diterima. Tentang apapun, yang tidak berhasil menghantarkan kembali semangat dalam jiwa Zia.

“Ngapain sih anak SMA idealis?” pungkas Zia. Mendadak ia jadi ilfil pada Bang Ali. Orangtua Bang Ali pasti tidak pernah mengata-ngatai anaknya, apalagi memukulnya, prasangka Zia. Tapi Zia sendiri merasa sudah tidak ingin berbuat apa-apa lagi. Kembali pada pertanyaannya semula, yang ia lanjutkan pada diri sendiri, bahwa masa SMA seharusya diisi dengan kegembiraan. Kegembiraan yang seperti apa...?

Bagi Zia, kegembiraan sejati akan muncul setelah melakukan sesuatu yang berarti. Dan keadaan memaksanya untuk tidak jati melakukan sesuatu yang berarti. Zia batal gembira.

O, Zia tak tahu. Ia hendak mencari kawan saja. Dan ia tak akrab dengan Bang Ali. Jadi, tanpa lambaian tangan, ia meninggalkannya. Tidak terpikir bahwa yang ia punggungi itu adalah pengganti Ezra, kecengan yang paling mempengaruhinya. Nanti lagi aja ngecengnya, kalau udah berenti ilfil.

Maka pergilah ia mencari kawan. Koridor sekolah ia susuri, jalan di depan sekolah ia seberangi, undakan semen di tikungan ia daki, sampailah ia pada yang ia cari. Hanya sebuah rumah Kakek. Zia tak kepikiran lagi hendak ke mana. Pulang ke rumahnya sendiri tiada guna, tak ia temukan keluarga. Mengajak kawan yang dianggap asik untuk jalan-jalan, pada sibuk semua, entah karena ekskul, bimbel, atau acara lainnya. Entah di rumah Kakek nanti akan ia temukan siapa. Seperti biasa, siang begini yang terdengar bersuara hanya dari arah persewaan studio musik saja.

Ke bangunan utama atau ke paviliun Kakek, Zia menimbang-nimbang. Kalau ke bangunan utama, paling-paling ia hanya akan bertemu para sepupu asosialnya—Ardi dan Zahra. Ia tak minat. Kalau ke paviliun Kakek, Land Rover-nya saja tidak ada—Kakek pasti sedang pergi. Zia memutar lagi kepalanya ke belakang, ke arah persewaan studio musik. Seperti ada sesuatu yang memanggilnya dari sana. Sepasang sepatu di muka pintu, di antara ceceran alas kaki lainnya, jejak-jejak berlumpur, bentangan kardus yang basah di beberapa bagian. Zia baru sadar kalau sepagian itu hujan lewat. Merintiki hatinya, menggelayutinya dengan mendung dan awan tebal. Hujan di penghujung bulan Mei. Dan sepatu model lars itu pasti milik Dean. Sepatu hari Selasa, sebagaimana yang pernah bocah itu tunjukkan padanya kala mereka berkelana ke Kota Fantasi BSM. Bukannya selama ini ia mencari-cari Dean? Masihkah ia hendak bersua Dean kini? Masih ajalah!

Dingin lantai lorong bagian dalam tempat tersebut serasa menggigit kulitnya. Zia celingukan. Ia jarang memasuki tempat ini, kendati cukup sering main ke sebelahnya. Ia melihat seorang aa-aa duduk di balik meja tinggi di sampingnya. Dengan kejumawaan seorang cucu bos, Zia menegur, “A, tadi ada...” Zia menyebutkan ciri-ciri fisik Dean, ”...nggak ke sini?”

“Oh, si Dean?” Zia termenung. Padahal ia cucu bos di sini, kok sepertinya malah Dean yang lebih dikenal? Memangnya siapa Dean? Mengingat Kakek pernah bilang bahwa Dean memang suka menumpang main kibor di persewaan studio musik ini, sirna perlahan heran Zia. Setahu Zia, ikut ekskul saja tidak bocah itu, kok bisa-bisanya eksis di mana-mana. Mentang-mentang saudara kembar Arderaz! Tapi memangnya Kakek dan aa-aa yang tadi itu kenal Arderaz?

Dari dalam sebuah ruang yang pintunya tak ditutup, Zia mendengar sebuah alunan nada. Sepertinya suara piano. Memang ruang satu itulah yang ia tuju, sebagaimana diberitahukan oleh aa resepsionis. Gaya benar Kakek punya piano di studio persewaannya, pikir Zia. Ia termangu kala yang didapatinya bukanlah piano, melainkan kibor, dengan jemari Dean menari di atas barisan tutsnya. Asik benar kelihatannya bocah itu. Baru ngeh setelah sekian lama Zia mengamati. Zia bersyukur, Dean memperlakukannya seolah tidak pernah ada kejadian tak mengenakkan di antara mereka. Diam-diam, ia kagum pada permainan Dean yang begitu bebas.

Mendadak Zia jadi ingin bernyanyi. Ia penasaran Dean bisa memainkan apa saja. Ia meminta Dean memainkan beberapa nada untuknya, namun Dean malah mengajaknya menyanyikan lagu Belle & Sebastian bersama-sama. Selama menyanyi, Zia merasa geli karena paduan suara mereka sama sekali tidak ada indah-indahnya. Kalah jauh dengan duet Salman dan Ipong pada kapan itu.

Lalu tahu-tahu Dean memintanya membuatkan sebuah lirik lagu romantis—mentang-mentang ia suka membaca buku sastra klasik di perpustakaan sekolah. Dean ternyata sedang kasmaran! Zia jadi teringat laporan Oki mengenai pesta ulang tahun seorang awak LEMPERs. Ternyata yang Dean suka adalah si pemilik acara. Zia terperangah. Sepertinya ia pernah melihat cewek tersebut di markas LEMPERs, tapi entah kapan. Zia jadi tertarik lebih lanjut untuk mendengar cerita Dean, hingga terjerat lebih dalam, dan susah untuk mengeluarkan diri. Selama ini Zia kira, untuk ukuran cowok Mas Imin sudah cukup cerewet, namun ternyata, untuk ukuran cewek pun Dean bisa dibilang amat cerewet. Ia tidak sungkan menceritakan apa pun, dari kisah kasih tak sampainya sampai pengalaman sehari-hari keluarganya.

“...Ayah saya mah da kebiasaan yang murah sih, jadi aja kalo saya diajak jalan sama ayah saya, ibu saya suka ngasih jajan banyak, Teh. Katanya mah, bolehlah diajak jalan ke mana juga, tapi kalau makan di tempat yang wajar, hahaha... Kayak Tegallega tempat apaan aja... Tapi saya juga suka nggak berani makan di sana sih, Teh...” Dean berhenti sejenak. Tentulah Dean butuh waktu untuk mengambil nafas dan membasahi tenggorokan. Zia jadi ingin menawarkannya minum. Sekarang ia bisa paham mengapa Dean menggemari teenlit. Kehidupan Dean memang seperti teenlit di beberapa bagian. Kaya raya. Keturunan bule. (Niat) menembak cewek pakai lagu. Berkarakter kontras dengan kembarannya. Dan sepertinya yang ada di pikiran Dean hanya urusan main dan cewek. Entah mengapa Zia sudah tidak ingin merasa iri lagi. Capek ternyata, iri terus. Menelusup ingatan akan dendang Salman di suatu kala, “...dunia penuh beda, ternyata...

“Eh, Teteh, mana teenlit-nya?” tegur Dean karena Zia diam saja. Zia sedang menimbang-nimbang apakah ia perlu balas membagi cerita tentang keluarganya juga. Tapi keluarganya si Dean kan nggak bermasalah, kamu iya...

“Aku nggak bikin teenlit kok...” sangkal Zia setelah menyuruh Dean memanggilnya tanpa embel-embel yang menunjukkan kelebih-tuaannya, lantas sadar untuk meralat, “...nggak akan kuselesein...”

“Ih, kenapa, Zia? Deraz juga bikin novel kok.”

Hah? Sempet-sempetnya?! Nggak kurang sibuk apa itu orang? “Sempet ya? Kirain dia orang sibuk...”

Dean membuang pandangannya ke langit-langit. “Ng... Sempet mah yaa... sempet ajalah! Yah, kirain teh Zia masih suka bikin novel. Kan asik Teh, entar bisa tuker-tukeran?”

Zia malah jadi kepikiran untuk menyuruh Epay dan Regi agar lekas membuat novel. Mereka pasti bakal senang setengah mati kalau bisa tukar-tukaran novel dengan Arderaz. Zia geli membayangkannya. “Eh, ngomong-ngomong, Yan, kamu bisa main kibor dari kapan sih?”

“Main kibor mah baru sekarang-sekarang ini aja...” Jemari Dean menekan-nekan tuts kibor, mendentingkan nada asal-asalan, kekagetan Zia menimpa. Dean buru-buru menyanggah. “...maksudnya, biasanya mah saya main piano, Teteh, eh, Zia. Cuman kan di sini nemunya cuman kibor...”

...piano... wow... “Trus dari kapan kamu bisa main piano?”

“Udah dari kecil sih Zia...” Dean mendentingkan sebuah melodi. Tubuhnya bergerak-gerak mengikuti irama. Sesekali ia menoleh pada Zia. Zia tersenyum. Memang Dean tidak terlihat seperti yang baru belajar.

“Kamu ngerasa diri kamu berbakat nggak sih?”

Dean tersipu. “Ada yang bilang gitu sih.”

“Kalau menurut kamu sendiri?”

“Yah, saya mah suka maininnya aja sih, Teh, eh, Zia. Seneng aja, nggak tau kenapa.”

Zia mendengus lagi. Ia senang dengan sikap rendah hati yang Dean tunjukkan. Pantas juga Dean tidak pernah memamerkan kebisaannya yang satu ini. “Kamu nggak kepikiran jadi musisi, Yan?”

Dean menggeleng. “Nggak tau, Zia. Gua mah belum kepikiran da mu jadi apa.”

“Tapi tujuan hidup punya kan?”

“Aduh... Jangan yang berat-berat ah, ngomongnya...”

“Ih, masak gitu aja berat?” Zia tersengal. “Wajib kali, orang punya tujuan hidup tuh...”

“Kalau gitu... belum punya gua, hehe...” Dean terkekeh. Jemarinya semakin lincah melangkahi tuts demi tuts. Zia diam mendengarkan, sampai Dean puas sendiri dan menutup permainannya dengan menyeret jemari pada barisan tuts. Dean menoleh pada Zia. Menawarkannya menyanyi lagi. Zia menggeleng. Ia memperbaiki posisi duduknya. Ada hal penting yang ingin ia katakan.

“Bagus, Dean, kalau kamu belum punya tujuan hidup. Karena sekarang kakakmu tersayang ini akan memberimu sebuah petuah.”

“Apa Teh?” Dean menggaruk-garuk punggung, menatap dengan bingung. Senyum Zia semakin mengembang. Satu kalimat yang sejak lama ingin ia katakan pada setiap orang adalah, “Jadikan kekuatan bakatmu sebagai tujuan hidup, Dean.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain