Banyak yang ingin Bang Ali katakan padanya selain maaf. Tentang hutang
budinya pada Pak Bowo yang telah membinanya selama di LEMPERs. Tentang harapan
untuk bisa benar-benar subversif lain kali. Tentang menyampaikan kebenaran
dengan cara yang bakal bisa diterima. Tentang apapun, yang tidak berhasil
menghantarkan kembali semangat dalam jiwa Zia.
“Ngapain sih anak SMA idealis?” pungkas Zia. Mendadak ia jadi ilfil pada
Bang Ali. Orangtua Bang Ali pasti tidak pernah mengata-ngatai anaknya, apalagi
memukulnya, prasangka Zia. Tapi Zia sendiri merasa sudah tidak ingin berbuat
apa-apa lagi. Kembali pada pertanyaannya semula, yang ia lanjutkan pada diri
sendiri, bahwa masa SMA seharusya diisi dengan kegembiraan. Kegembiraan yang
seperti apa...?
Bagi Zia, kegembiraan sejati akan muncul setelah melakukan sesuatu yang
berarti. Dan keadaan memaksanya untuk tidak jati melakukan sesuatu yang
berarti. Zia batal gembira.
O, Zia tak tahu. Ia hendak mencari kawan saja. Dan ia tak akrab dengan
Bang Ali. Jadi, tanpa lambaian tangan, ia meninggalkannya. Tidak terpikir bahwa
yang ia punggungi itu adalah pengganti Ezra, kecengan yang paling
mempengaruhinya. Nanti lagi aja
ngecengnya, kalau udah berenti ilfil.
Maka pergilah ia mencari kawan. Koridor sekolah ia susuri, jalan di depan
sekolah ia seberangi, undakan semen di tikungan ia daki, sampailah ia pada yang
ia cari. Hanya sebuah rumah Kakek. Zia tak kepikiran lagi hendak ke mana.
Pulang ke rumahnya sendiri tiada guna, tak ia temukan keluarga. Mengajak kawan
yang dianggap asik untuk jalan-jalan, pada sibuk semua, entah karena ekskul,
bimbel, atau acara lainnya. Entah di rumah Kakek nanti akan ia temukan siapa.
Seperti biasa, siang begini yang terdengar bersuara hanya dari arah persewaan
studio musik saja.
Ke bangunan utama atau ke paviliun Kakek, Zia menimbang-nimbang. Kalau ke
bangunan utama, paling-paling ia hanya akan bertemu para sepupu asosialnya—Ardi
dan Zahra. Ia tak minat. Kalau ke paviliun Kakek, Land Rover-nya saja tidak
ada—Kakek pasti sedang pergi. Zia memutar lagi kepalanya ke belakang, ke arah
persewaan studio musik. Seperti ada sesuatu yang memanggilnya dari sana.
Sepasang sepatu di muka pintu, di antara ceceran alas kaki lainnya, jejak-jejak
berlumpur, bentangan kardus yang basah di beberapa bagian. Zia baru sadar kalau
sepagian itu hujan lewat. Merintiki hatinya, menggelayutinya dengan mendung dan
awan tebal. Hujan di penghujung bulan Mei. Dan sepatu model lars itu pasti
milik Dean. Sepatu hari Selasa, sebagaimana yang pernah bocah itu tunjukkan
padanya kala mereka berkelana ke Kota Fantasi BSM. Bukannya selama ini ia
mencari-cari Dean? Masihkah ia hendak bersua Dean kini? Masih ajalah!
Dingin lantai lorong bagian dalam tempat tersebut serasa menggigit
kulitnya. Zia celingukan. Ia jarang memasuki tempat ini, kendati cukup sering
main ke sebelahnya. Ia melihat seorang aa-aa duduk di balik meja tinggi di
sampingnya. Dengan kejumawaan seorang cucu bos, Zia menegur, “A, tadi ada...”
Zia menyebutkan ciri-ciri fisik Dean, ”...nggak ke sini?”
“Oh, si Dean?” Zia termenung. Padahal ia cucu bos di sini, kok sepertinya
malah Dean yang lebih dikenal? Memangnya siapa Dean? Mengingat Kakek pernah
bilang bahwa Dean memang suka menumpang main kibor di persewaan studio musik
ini, sirna perlahan heran Zia. Setahu Zia, ikut ekskul saja tidak bocah itu, kok
bisa-bisanya eksis di mana-mana. Mentang-mentang saudara kembar Arderaz! Tapi
memangnya Kakek dan aa-aa yang tadi itu kenal Arderaz?
Dari dalam sebuah ruang yang pintunya tak ditutup, Zia mendengar sebuah
alunan nada. Sepertinya suara piano. Memang ruang satu itulah yang ia tuju,
sebagaimana diberitahukan oleh aa resepsionis. Gaya benar Kakek punya piano di
studio persewaannya, pikir Zia. Ia termangu kala yang didapatinya bukanlah
piano, melainkan kibor, dengan jemari Dean menari di atas barisan tutsnya. Asik
benar kelihatannya bocah itu. Baru ngeh setelah sekian lama Zia mengamati. Zia
bersyukur, Dean memperlakukannya seolah tidak pernah ada kejadian tak
mengenakkan di antara mereka. Diam-diam, ia kagum pada permainan Dean yang
begitu bebas.
Mendadak Zia jadi ingin bernyanyi. Ia penasaran Dean bisa memainkan apa
saja. Ia meminta Dean memainkan beberapa nada untuknya, namun Dean malah
mengajaknya menyanyikan lagu Belle & Sebastian bersama-sama. Selama
menyanyi, Zia merasa geli karena paduan suara mereka sama sekali tidak ada
indah-indahnya. Kalah jauh dengan duet Salman dan Ipong pada kapan itu.
Lalu tahu-tahu Dean memintanya membuatkan sebuah lirik lagu
romantis—mentang-mentang ia suka membaca buku sastra klasik di perpustakaan
sekolah. Dean ternyata sedang kasmaran! Zia jadi teringat laporan Oki mengenai
pesta ulang tahun seorang awak LEMPERs. Ternyata yang Dean suka adalah si
pemilik acara. Zia terperangah. Sepertinya ia pernah melihat cewek tersebut di
markas LEMPERs, tapi entah kapan. Zia jadi tertarik lebih lanjut untuk
mendengar cerita Dean, hingga terjerat lebih dalam, dan susah untuk
mengeluarkan diri. Selama ini Zia kira, untuk ukuran cowok Mas Imin sudah cukup
cerewet, namun ternyata, untuk ukuran cewek pun Dean bisa dibilang amat
cerewet. Ia tidak sungkan menceritakan apa pun, dari kisah kasih tak sampainya
sampai pengalaman sehari-hari keluarganya.
“...Ayah saya mah da kebiasaan yang murah sih, jadi aja kalo saya diajak
jalan sama ayah saya, ibu saya suka ngasih jajan banyak, Teh. Katanya mah, bolehlah
diajak jalan ke mana juga, tapi kalau makan di tempat yang wajar, hahaha...
Kayak Tegallega tempat apaan aja... Tapi saya juga suka nggak berani makan di
sana sih, Teh...” Dean berhenti sejenak. Tentulah Dean butuh waktu untuk
mengambil nafas dan membasahi tenggorokan. Zia jadi ingin menawarkannya minum.
Sekarang ia bisa paham mengapa Dean menggemari teenlit. Kehidupan Dean memang
seperti teenlit di beberapa bagian. Kaya raya. Keturunan bule. (Niat) menembak
cewek pakai lagu. Berkarakter kontras dengan kembarannya. Dan sepertinya yang
ada di pikiran Dean hanya urusan main dan cewek. Entah mengapa Zia sudah tidak
ingin merasa iri lagi. Capek ternyata, iri terus. Menelusup ingatan akan
dendang Salman di suatu kala, “...dunia
penuh beda, ternyata...”
“Eh, Teteh, mana teenlit-nya?” tegur Dean karena Zia diam saja. Zia sedang
menimbang-nimbang apakah ia perlu balas membagi cerita tentang keluarganya
juga. Tapi keluarganya si Dean kan nggak
bermasalah, kamu iya...
“Aku nggak bikin teenlit kok...” sangkal Zia setelah menyuruh Dean
memanggilnya tanpa embel-embel yang menunjukkan kelebih-tuaannya, lantas sadar
untuk meralat, “...nggak akan kuselesein...”
“Ih, kenapa, Zia? Deraz juga bikin novel kok.”
Hah? Sempet-sempetnya?! Nggak kurang
sibuk apa itu orang? “Sempet ya? Kirain dia orang sibuk...”
Dean membuang pandangannya ke langit-langit. “Ng... Sempet mah yaa...
sempet ajalah! Yah, kirain teh Zia masih suka bikin novel. Kan asik Teh, entar
bisa tuker-tukeran?”
Zia malah jadi kepikiran untuk menyuruh Epay dan Regi agar lekas membuat
novel. Mereka pasti bakal senang setengah mati kalau bisa tukar-tukaran novel
dengan Arderaz. Zia geli membayangkannya. “Eh, ngomong-ngomong, Yan, kamu bisa
main kibor dari kapan sih?”
“Main kibor mah baru sekarang-sekarang ini aja...” Jemari Dean
menekan-nekan tuts kibor, mendentingkan nada asal-asalan, kekagetan Zia
menimpa. Dean buru-buru menyanggah. “...maksudnya, biasanya mah saya main
piano, Teteh, eh, Zia. Cuman kan di sini nemunya cuman kibor...”
...piano... wow... “Trus dari kapan kamu bisa main piano?”
“Udah dari kecil sih Zia...” Dean mendentingkan sebuah melodi. Tubuhnya
bergerak-gerak mengikuti irama. Sesekali ia menoleh pada Zia. Zia tersenyum.
Memang Dean tidak terlihat seperti yang baru belajar.
“Kamu ngerasa diri kamu berbakat nggak sih?”
Dean tersipu. “Ada yang bilang gitu sih.”
“Kalau menurut kamu sendiri?”
“Yah, saya mah suka maininnya aja sih, Teh, eh, Zia. Seneng aja, nggak tau
kenapa.”
Zia mendengus lagi. Ia senang dengan sikap rendah hati yang Dean
tunjukkan. Pantas juga Dean tidak pernah memamerkan kebisaannya yang satu ini.
“Kamu nggak kepikiran jadi musisi, Yan?”
Dean menggeleng. “Nggak tau, Zia. Gua mah belum kepikiran da mu jadi apa.”
“Tapi tujuan hidup punya kan?”
“Aduh... Jangan yang berat-berat ah, ngomongnya...”
“Ih, masak gitu aja berat?” Zia tersengal. “Wajib kali, orang punya tujuan
hidup tuh...”
“Kalau gitu... belum punya gua, hehe...” Dean terkekeh. Jemarinya semakin
lincah melangkahi tuts demi tuts. Zia diam mendengarkan, sampai Dean puas
sendiri dan menutup permainannya dengan menyeret jemari pada barisan tuts. Dean
menoleh pada Zia. Menawarkannya menyanyi lagi. Zia menggeleng. Ia memperbaiki
posisi duduknya. Ada hal penting yang ingin ia katakan.
“Bagus, Dean, kalau kamu belum punya tujuan hidup. Karena sekarang kakakmu
tersayang ini akan memberimu sebuah petuah.”
“Apa Teh?” Dean menggaruk-garuk punggung, menatap dengan bingung. Senyum
Zia semakin mengembang. Satu kalimat yang sejak lama ingin ia katakan pada
setiap orang adalah, “Jadikan kekuatan bakatmu sebagai tujuan hidup, Dean.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar