Selasa, 14 Desember 2010

lima belas

(i like this mess i've made so far/ grade on a curve and you'll observe/ i'm right below the horizon/ yes, no, maybe, I don't know/ can you repeat the question?/ you're not the boss of me now/ you're not the boss of me now/ you're not the boss of me now/ and you're not so big/ life is unfair/ they’re might be giants – boss of me)

.

Pada suatu malam di mana pertengkaran Zia dan Zaha dihiasi saling cakar dan jambak, merupakan malam di mana Mama sengaja membawa pekerjaan lemburnya ke rumah. Pembantu mereka baru tadi pagi minta pulang, seorang kerabatnya meninggal dunia. Seharusnya Papa pulang dari dinas di luar kota malam itu, namun terlalu malam untuk dapat memasakkan anak-anak sesuatu. Anak-anak yang ia temui masih dalam seragam putih-biru. Anak-anak yang memorak-morandakan isi rumah. Melempar satu sama lain dengan benda-benda tumpul dan ringan. Beruntung Mama tidak menemukan sesuatu yang pecah. Tapi menenangkan mereka bukanlah pekerjaan mudah. Bentakan-bentakan hanya sanggup membungkam mulut mereka sesaat. Bagaimana dengan sepanci sup? Sup yang kata mertuanya amat lezat, kendati suaminya terlalu kaku untuk mengutarakan pujian semacam.

Sepanci sup, bumbunya hanya ia yang mampu meracik. Orang lain dapat melacak, namun tak mungkin dapat menakar dengan presisi akurat. Dalam kuah yang kental terdapat dadu kentang, bunga wortel, bola-bola daging nan empuk, potongan buncis, jemari seledri,  setangkai serai, dan berbagai komposisi lain yang semakin variatif apabila ia masak bersama mertuanya.

Sepanci sup, membuatnya dapat meninggalkan anak-anak sejenak demi setumpuk berkas yang harus ia urus malam itu juga. Ia merasa berhasil mencipta perdamaian kilat di rumah itu. Tentu saja anak-anak tidak mungkin melontar makian saat sedang mengunyah. Jeda-jeda tenang di antara setiap kunyahan seharusnya digunakan untuk meresapi kelezatan sup. Mengalirkan kehangatan dalam raga, dan semoga jiwa, serta konsentrasi dalam pikirannya.

Sepanci sup itu tumpah. Tamparannya melayang pada kenyal pipi dua anak perempuan yang demikian susah diatur. Siapa yang berbuat, tidak ada yang mengaku. Tidak penting pula pengakuan itu. Siapa pun yang memulai, semua selalu berakhir pada hukuman bersama. Dan malam itu, dua anak perempuan ditinggalkan dalam sebuah ruang. Pintu yang dibanting tak bisa dibuka lagi tanpa kunci dalam saku tas Mama. Masih terdengar sumpah serapah tertuju pada mereka sampai bersih lantai ruang makan dari ceceran organik. Panci yang dilempar dalam bak cuci. Langkah-langkah gusar. Mereka coba menutupi suara-suara mencekam itu dengan gerutuan mereka sendiri pada satu sama lain, kendati itu yang membuat pintu ruang depan akhirnya kena banting juga. Kuncinya berputar. Lalu derum mobil yang terasa dekat kemudian jauh. Dan hening.

Kamar orangtua mereka tidak pernah terasa sedingin itu. Dengan jarak di antara satu sama lain, mereka menyimpan pertanyaan yang sama untuk diri mereka sendiri. Kapan Mama akan kembali? Kapan mereka dapat ganti baju dan mengerjakan PR? Saling menyalahkan, mereka kemudian merasa capek untuk melanjutkan pertengkaran. Tik tok jarum jam, nyanyian kodok, orkestra serangga malam, deru kendaraan di kejauhan, dan pertanyaan mengapa Mama tidak kunjung pulang menjadi pengantar tidur mereka. Sebuah dering telepon menyentak kantuk. Menggerutu, hendak mendiamkan, mendapati pintu masih terkunci, ini dini hari. Masih hanya mereka berdua di rumah itu. Belum ada Mama, apalagi Papa. Terpaku mereka pada dering yang tak mau berhenti sampai lama. Terus dan terus. Tidak ada yang dapat mereka lakukan selain menunggu atau mengabaikan dengan berusaha lari kembali pada alam mimpi.

Secercah sinar yang menyelusup melalui celah-celah tirai menyeret kesadaran mereka, menggantikan peran Mama yang selama ini membangunkan mereka setiap pagi. Ayo sekolah, katanya. Namun matahari tidak berkata begitu, pun menjawab kebingungan mereka. Ia hanya memberitahu bahwa telah datang hari yang baru. Pintu di hadapan mereka masih juga belum dapat dibuka. Mereka terbenam dalam prasangka bahwa sebetulnya Mama sudah pulang, namun masih marah pada mereka. Saking marahnya Mama, sampai-sampai mereka tidak perlu bersekolah hari itu. Ah, tidak, itu justru malah membuat mereka senang. Tidak mungkin Mama seperti itu. Lalu alasan apa yang nanti harus diberikan pada guru agar mereka tidak dikira alpa?

Mereka sudah berpindah duduk untuk yang ke sekian kali, dengan hasrat ingin pipis yang semakin menggelegak. Obyek pertanyaan mulai beralih pada Papa. Papa yang seharusnya sudah tiba di rumah semalam dengan membawa oleh-oleh khas kota yang disinggahinya dalam perjalanan dinas. Terbenam lagi mereka dalam prasangka. Mama sudah memberitahu Papa bahwa ia sedang menghukum anak-anak. Jangan dulu pintu itu dibuka hingga mereka jera.

Namun tak terdengar suara apa-apa di luar sana.

“ZIA! ZAHA!” 

Keduanya tersentak. Mereka berlari ke arah pintu, menggedor-gedor dinding kayu itu sembari memanggil-manggil Papa. Tak lama, suara kunci diputar terdengar begitu merdu di telinga mereka. Namun keinginan mereka untuk lekas pipis langsung raib begitu bertemu  seraut muka.

Ia tampak kacau. Selusuh stelan kantornya. Selunglai dasinya yang terurai. Putih pias kulit wajahnya, tak pernah sepucat itu. Ia bilang bahwa hari ini mereka tidak usah sekolah, dengan nada yang tidak membuat mereka ingin meneriakkan “hore!” sama sekali. Cepat beres-beres, katanya lagi. Setelahnya mereka akan pergi ke rumah seorang bude dari pihak Mama. Kontan mereka melontar tanya mengapa.

“Ngurus pemakaman Mama.”

Dan wajah itu terus berpaling dari mereka hingga usai pemakaman.

Setelahnya adalah pendaman pedih yang justru membuat mereka tak tahan lama-lama melihatnya.

Zia tidak mengerti, mengapa tidak meluap setitik pun air di sudut matanya, sementara para budenya tersedu sedan di tepi liang. Anak-anak mereka menunduk di belakang, mempertahankan gestur berbelasungkawa selama yang mereka bisa, dengan setelan yang didominasi warna hitam—padahal ia saja pakai merah sementara Zaha berungu ria. Mungkin mereka pikir tak ada ubahnya tanah pekuburan dengan jalan menuju dunia gemerlap—sama-sama merah. Terdengar Zaha terisak sekali. Zia tahu, Zaha berusaha keras menahan tangis. Toh Zia saja tidak.

Untuk terakhir kali diamatinya wajah yang masih utuh itu—konon mobil Mama terpelanting beberapa kali sampai akhirnya ringsek sama sekali—sebelum sempurna tertutup tanah. Wajah itu seolah tengah mengucapkan kata-kata terakhir, yang baik, yang tidak sempat ia berikan sebelum meninggalkan dunia untuk selama-selamanya. Aku pergi dulu. Nanti kita ketemu lagi, entah kapan. Nggak ada yang perlu ditangisi.

Ya, Mama. Prestasimu sebagai seorang ibu adalah membentukku jadi gadis tabah. Yang membuatnya berpikir bahwa kematian—siapa pun itu—adalah hal wajar, sewajar perang, sewajar ajakan berdamai yang disampaikan Bono cs, sewajar hasrat mejeng para sepupu sok iyehnya. Yang hendak menyodorkan sapu tangan, tapi lekas ditarik kembali karena melihat muka Zia tidak basah sama sekali. Segala yang wajar pantaslah untuk diterima.

Entah mengapa, malah ada sedikit perasaan positif dalam hatinya. Setidaknya Mama dapat beristirahat dalam tenang untuk selama-lamanya kini. Tidak akan lagi diusik oleh dua anaknya yang gemar bikin ribut. Tidak akan lagi direpotkan oleh ketidakmampuan suaminya mengurus diri. Tidak akan lagi dirusuhi oleh tugas-tugas kantor yang menuntut deadline setiap hari. Tidak akan lagi dipanasi telinganya karena pergunjingan para saudara perempuannya. Tidak akan lagi dibingungkan mertuanya yang suka bereksperimen dengan makanan. Tidak akan lagi dikacaukan oleh tuntutan hidup lainnya. Mama, yang pernah mengungkap masa kecilnya yang bagai Ande-Ande Lumut, sampai ia mengenal pangeran autis dari persewaan studio musik langganan teman. Mama, yang kerap membuat Zia protes pada Papa mengapa memilih pendamping hidup seperti Mama. Mama, yang apakah tangannya hendak bicara juga atau tidak, mulutnya banyak menguar kata. Mama, meski masih ada tugasnya sebagai seorang ibu yang belum tunai. Mama belum sempat memahami diriku...

Memang terasa ada yang hilang dalam kehidupan sesudah itu. Bertambah hal-hal yang harus ia dan Zaha lakukan sendiri, mulai dari bangun pagi hingga membeli pakaian dalam. Tidak ada yang memasakkan kesukaan mereka lagi—sosis dalam sayur asem untuk Zia dan skutel tahu untuk Zaha. Tidak ada yang menghadiahi Zia buku dan CD, serta setumpuk HVS dan mata pena baru untuk Zaha, kalau ada hal baik yang mereka lakukan. Tidak ada lagi yang memantikkan Zippo untuk Papa maupun mendengarkan permainan gitarnya setiap malam. Tidak ada lagi kata-kata kasar dan tamparan karena membangkang. Dan masih banyak hal lain yang membuat Zia menyadari peran Mama dalam hidupnya. Namun perubahan paling kentara Papa tunjukkan. Sebelum kepergian Mama, Papa bisa selalu dilayani Mama, hanya sesekali memberi apa yang anak-anak butuhkan—meskipun itu bukan lagi gendongan di bahu atau punggung seperti saat mereka kecil dulu. Kini Papa tak bisa sepelit dulu dalam berkata-kata. Ada saja kalimat yang mau tak mau harus ia keluarkan untuk Zia dan atau Zaha.

Masih sampai bertahun-tahun kemudian, saat Papa mengajak berziarah setelah mengambil rapot semester gasal Zia, masih belum terbersit keinginan Zia untuk menangis. Kalau Zia begitu, maka Zaha juga. Zia lebih terganggu dengan fakta bahwa rumah bude yang paling tak disukainya hanya berjarak sepuluh menit jalan kaki dari lokasi makam Mama. Pengaruhnya terasa sampai tempatnya berpijak kini. Setelah berdoa agar ia menjadi anak solehah sehingga dapat memasukkan Mama ke surga lewat doa, Zia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Ia tidak betah. Ingin cepat-cepat pulang. Tidak bisa ia seperti Zaha yang dapat menemukan pelariannya di mana-mana. Cewek tersebut tengah duduk anteng di atas sebuah kuburan berkeramik sambil mencorat-coret buku sketsa. Sementara Papa masih sunyi berdiri di samping makam. Khidmat menunduk.

“Ma, aku belikan As mobil karena lagi-lagi ia menang sayembara. Tapi kau lihatlah, Us yang pemalas itu, nilai rata-rata rapotnya turun lagi,” begitu Zia menduga-duga isi laporan imajiner Papa untuk Mama.

“Pa, ayo, Pa.” Gemerisik daun pada pepohonan kamboja dan kemuning menelan ucapan Zia. Papa mengangkat kepala.

Melawan usapan angin, Papa mendahului mereka berjalan menuju Ceria. Tidak terlihat adanya juru kunci yang harus diangguki. Tidak ada yang menemani Papa duduk di jok depan, baik Zia dan Zaha merasa lebih nyaman di jok belakang.

“Nilai-nilai kamu kok turun lagi?” Papa memperbaiki posisi joknya sebelum kemudian menyalakan mobil. Kendati ingin menghargai usaha Papa untuk coba peduli, Zia merasa jengah karena apa yang disinggung bukanlah topik yang ia sukai. Sudah cukup wajah puas Epay karena berhasil mengungguli nilai rata-rata rapotnya lagi. Padahal Mama saja jarang memperkarakan hal ini. Mama lebih suka memantau perkembangan kemampuan baca-tulis Zaha. Entah bagaimana reaksi Mama kalau tahu kini Zaha dapat menggambar sepuasnya dan tidak harus memaksakan diri dengan begitu banyak aksara lagi.

Zia berdecak. “Ah, nggak penting banget sih, Pa...” Dibuka-bukanya majalah semesteran LEMPERs yang diberi-paksa Kang Detol sewaktu masih di sekolah tadi. Lagi-lagi Kang Detol menuntut adanya tulisan Zia di majalah tersebut. O, ini pasti tugasnya sebagai pasukan warbung, asumsi Zia. Kang Detol juga mengajaknya menonton Jammin’ Jazz after UAS—helatan KOMBAS divisi Jazz—yang dimaksudkan untuk menghibur mereka yang tengah dalam suka maupun duka karena hasil bagi rapot. Namun Papa sudah kebelet hendak ‘menjenguk’ Mama tadi.

Terbentang halaman tengah. Zia berdecak lagi. Ia bosan dengan Arderaz, dengan catatan prestasi yang sedemikian panjang, juga publisitasnya yang menggiurkan. Ia campakkan majalah tersebut ke bawah.

“Seenggaknya kalau belum jelas keinginanmu jadi apa, perbaikilah nilai-nilai rapotmu.” Papa menatap lurus ke depan. Sebuah polisi tidur terlewati. Zia terkejut dengan nada lembut dalam suara Papa. Ia sadari bahwa begitulah Papa setiap habis dari menziarahi makam Mama. “Nggak masalah kalau kamu nggak punya potensi menonjol. Kalau sekolahmu bener, kamu bisa jadi apa aja. Nilai-nilaimu baik, lulus, cari kerja, dapet duit.”

Ragaku mungkin hidup, tapi tidak jiwaku, sampai kutemukan apa yang kumau! puisi Zia dalam hati. Ia mengulang-ulangnya dalam ingatan untuk ia salin dalam jurnal kumpulan puisinya sesampainya di rumah nanti. “Terus kenapa Papa ngizinin Zaha nggak sekolah?”

“Aku sekolah ya—“ tukas Zaha yang terpotong jawaban Papa.

“Kalau kamu udah bisa menghasilkan sesuatu ya Papa hargai juga, Us...”

“Aku juga menghasilkan sesuatu kok—nilai-nilai di rapot aku! Mereka nggak bakal seenaknya cuman ngasih aku nilai segitu kalau mereka bisa nilai potensi aku yang sebenernya!”

“Ya, trus apa memang potensi kamu yang sebenernya?”

“Jadi pahlawan bertopeng!”

“Dari dulu kamu tuh ngomong soal potensi-potensi mulu, Papa belum liat macam apa.” Papa seperti tak mendengar sahutan asal Zia yang kini habis kata. Mendadak Zia benci sekali pada Papa. Mengapa Papa begitu enak bertanya seperti itu, bukannya bantu menemukan potensi sejatinya sejak dulu? Pun ia merasa tak ada pelarian yang dapat dikembangkan macam Zaha punya. Ucap Papa lagi, “Terserah kamu mau jadi apa, tapi akademik kamu harus tetep bagus.”

Seakan Papa ingin menekankan kebalikan dari apa yang selama ini ia yakini, bahwa prestasi akademis adalah modal terakhir kalau segala hal di luar itu telah gagal dicoba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain