(i
like this mess i've made so far/ grade on a curve and you'll observe/ i'm right
below the horizon/ yes, no, maybe, I don't know/ can you repeat the question?/
you're not the boss of me now/ you're not the boss of me now/ you're not the
boss of me now/ and you're not so big/ life is unfair/ they’re might be giants – boss of me)
.
Pada suatu malam di mana pertengkaran
Zia dan Zaha dihiasi saling cakar dan jambak, merupakan malam di mana Mama
sengaja membawa pekerjaan lemburnya ke rumah. Pembantu mereka baru tadi pagi
minta pulang, seorang kerabatnya meninggal dunia. Seharusnya Papa pulang dari
dinas di luar kota malam itu, namun terlalu malam untuk dapat memasakkan
anak-anak sesuatu. Anak-anak yang ia temui masih dalam seragam putih-biru.
Anak-anak yang memorak-morandakan isi rumah. Melempar satu sama lain dengan
benda-benda tumpul dan ringan. Beruntung Mama tidak menemukan sesuatu yang
pecah. Tapi menenangkan mereka bukanlah pekerjaan mudah. Bentakan-bentakan
hanya sanggup membungkam mulut mereka sesaat. Bagaimana dengan sepanci sup? Sup
yang kata mertuanya amat lezat, kendati suaminya terlalu kaku untuk
mengutarakan pujian semacam.
Sepanci sup, bumbunya hanya ia yang
mampu meracik. Orang lain dapat melacak, namun tak mungkin dapat menakar dengan
presisi akurat. Dalam kuah yang kental terdapat dadu kentang, bunga wortel,
bola-bola daging nan empuk, potongan buncis, jemari seledri, setangkai serai, dan berbagai komposisi lain
yang semakin variatif apabila ia masak bersama mertuanya.
Sepanci sup, membuatnya dapat
meninggalkan anak-anak sejenak demi setumpuk berkas yang harus ia urus malam
itu juga. Ia merasa berhasil mencipta perdamaian kilat di rumah itu. Tentu saja
anak-anak tidak mungkin melontar makian saat sedang mengunyah. Jeda-jeda tenang
di antara setiap kunyahan seharusnya digunakan untuk meresapi kelezatan sup.
Mengalirkan kehangatan dalam raga, dan semoga jiwa, serta konsentrasi dalam
pikirannya.
Sepanci sup itu tumpah. Tamparannya
melayang pada kenyal pipi dua anak perempuan yang demikian susah diatur. Siapa
yang berbuat, tidak ada yang mengaku. Tidak penting pula pengakuan itu. Siapa
pun yang memulai, semua selalu berakhir pada hukuman bersama. Dan malam itu,
dua anak perempuan ditinggalkan dalam sebuah ruang. Pintu yang dibanting tak
bisa dibuka lagi tanpa kunci dalam saku tas Mama. Masih terdengar sumpah
serapah tertuju pada mereka sampai bersih lantai ruang makan dari ceceran
organik. Panci yang dilempar dalam bak cuci. Langkah-langkah gusar. Mereka coba
menutupi suara-suara mencekam itu dengan gerutuan mereka sendiri pada satu sama
lain, kendati itu yang membuat pintu ruang depan akhirnya kena banting juga.
Kuncinya berputar. Lalu derum mobil yang terasa dekat kemudian jauh. Dan
hening.
Kamar orangtua mereka tidak pernah
terasa sedingin itu. Dengan jarak di antara satu sama lain, mereka menyimpan
pertanyaan yang sama untuk diri mereka sendiri. Kapan Mama akan kembali? Kapan
mereka dapat ganti baju dan mengerjakan PR? Saling menyalahkan, mereka kemudian
merasa capek untuk melanjutkan pertengkaran. Tik tok jarum jam, nyanyian kodok,
orkestra serangga malam, deru kendaraan di kejauhan, dan pertanyaan mengapa
Mama tidak kunjung pulang menjadi pengantar tidur mereka. Sebuah dering telepon
menyentak kantuk. Menggerutu, hendak mendiamkan, mendapati pintu masih
terkunci, ini dini hari. Masih hanya mereka berdua di rumah itu. Belum ada
Mama, apalagi Papa. Terpaku mereka pada dering yang tak mau berhenti sampai
lama. Terus dan terus. Tidak ada yang dapat mereka lakukan selain menunggu atau
mengabaikan dengan berusaha lari kembali pada alam mimpi.
Secercah sinar yang menyelusup melalui
celah-celah tirai menyeret kesadaran mereka, menggantikan peran Mama yang
selama ini membangunkan mereka setiap pagi. Ayo sekolah, katanya. Namun
matahari tidak berkata begitu, pun menjawab kebingungan mereka. Ia hanya
memberitahu bahwa telah datang hari yang baru. Pintu di hadapan mereka masih
juga belum dapat dibuka. Mereka terbenam dalam prasangka bahwa sebetulnya Mama
sudah pulang, namun masih marah pada mereka. Saking marahnya Mama,
sampai-sampai mereka tidak perlu bersekolah hari itu. Ah, tidak, itu justru
malah membuat mereka senang. Tidak mungkin Mama seperti itu. Lalu alasan apa
yang nanti harus diberikan pada guru agar mereka tidak dikira alpa?
Mereka sudah berpindah duduk untuk yang
ke sekian kali, dengan hasrat ingin pipis yang semakin menggelegak. Obyek
pertanyaan mulai beralih pada Papa. Papa yang seharusnya sudah tiba di rumah
semalam dengan membawa oleh-oleh khas kota yang disinggahinya dalam perjalanan
dinas. Terbenam lagi mereka dalam prasangka. Mama sudah memberitahu Papa bahwa
ia sedang menghukum anak-anak. Jangan dulu pintu itu dibuka hingga mereka jera.
Namun tak terdengar suara apa-apa di
luar sana.
“ZIA! ZAHA!”
Keduanya tersentak. Mereka berlari ke
arah pintu, menggedor-gedor dinding kayu itu sembari memanggil-manggil Papa.
Tak lama, suara kunci diputar terdengar begitu merdu di telinga mereka. Namun
keinginan mereka untuk lekas pipis langsung raib begitu bertemu seraut muka.
Ia tampak kacau. Selusuh stelan
kantornya. Selunglai dasinya yang terurai. Putih pias kulit wajahnya, tak
pernah sepucat itu. Ia bilang bahwa hari ini mereka tidak usah sekolah, dengan
nada yang tidak membuat mereka ingin meneriakkan “hore!” sama sekali. Cepat
beres-beres, katanya lagi. Setelahnya mereka akan pergi ke rumah seorang bude
dari pihak Mama. Kontan mereka melontar tanya mengapa.
“Ngurus pemakaman Mama.”
Dan wajah itu terus berpaling dari
mereka hingga usai pemakaman.
Setelahnya adalah pendaman pedih yang
justru membuat mereka tak tahan lama-lama melihatnya.
Zia tidak mengerti, mengapa tidak meluap
setitik pun air di sudut matanya, sementara para budenya tersedu sedan di tepi
liang. Anak-anak mereka menunduk di belakang, mempertahankan gestur
berbelasungkawa selama yang mereka bisa, dengan setelan yang didominasi warna
hitam—padahal ia saja pakai merah sementara Zaha berungu ria. Mungkin mereka
pikir tak ada ubahnya tanah pekuburan dengan jalan menuju dunia
gemerlap—sama-sama merah. Terdengar Zaha terisak sekali. Zia tahu, Zaha
berusaha keras menahan tangis. Toh Zia saja tidak.
Untuk terakhir kali diamatinya wajah
yang masih utuh itu—konon mobil Mama terpelanting beberapa kali sampai akhirnya
ringsek sama sekali—sebelum sempurna tertutup tanah. Wajah itu seolah tengah
mengucapkan kata-kata terakhir, yang baik, yang tidak sempat ia berikan sebelum
meninggalkan dunia untuk selama-selamanya. Aku
pergi dulu. Nanti kita ketemu lagi, entah kapan. Nggak ada yang perlu
ditangisi.
Ya, Mama. Prestasimu sebagai seorang ibu adalah membentukku
jadi gadis tabah. Yang membuatnya berpikir bahwa
kematian—siapa pun itu—adalah hal wajar, sewajar perang, sewajar ajakan
berdamai yang disampaikan Bono cs, sewajar hasrat mejeng para sepupu sok
iyehnya. Yang hendak menyodorkan sapu tangan, tapi lekas ditarik kembali karena
melihat muka Zia tidak basah sama sekali. Segala yang wajar pantaslah untuk
diterima.
Entah mengapa, malah ada sedikit
perasaan positif dalam hatinya. Setidaknya Mama dapat beristirahat dalam tenang
untuk selama-lamanya kini. Tidak akan lagi diusik oleh dua anaknya yang gemar
bikin ribut. Tidak akan lagi direpotkan oleh ketidakmampuan suaminya mengurus
diri. Tidak akan lagi dirusuhi oleh tugas-tugas kantor yang menuntut deadline
setiap hari. Tidak akan lagi dipanasi telinganya karena pergunjingan para
saudara perempuannya. Tidak akan lagi dibingungkan mertuanya yang suka bereksperimen
dengan makanan. Tidak akan lagi dikacaukan oleh tuntutan hidup lainnya. Mama,
yang pernah mengungkap masa kecilnya yang bagai Ande-Ande Lumut, sampai ia
mengenal pangeran autis dari persewaan studio musik langganan teman. Mama, yang
kerap membuat Zia protes pada Papa mengapa memilih pendamping hidup seperti
Mama. Mama, yang apakah tangannya hendak bicara juga atau tidak, mulutnya
banyak menguar kata. Mama, meski masih ada tugasnya sebagai seorang ibu yang
belum tunai. Mama belum sempat memahami
diriku...
Memang terasa ada yang hilang dalam
kehidupan sesudah itu. Bertambah hal-hal yang harus ia dan Zaha lakukan
sendiri, mulai dari bangun pagi hingga membeli pakaian dalam. Tidak ada yang
memasakkan kesukaan mereka lagi—sosis dalam sayur asem untuk Zia dan skutel
tahu untuk Zaha. Tidak ada yang menghadiahi Zia buku dan CD, serta setumpuk HVS
dan mata pena baru untuk Zaha, kalau ada hal baik yang mereka lakukan. Tidak
ada lagi yang memantikkan Zippo untuk Papa maupun mendengarkan permainan
gitarnya setiap malam. Tidak ada lagi kata-kata kasar dan tamparan karena
membangkang. Dan masih banyak hal lain yang membuat Zia menyadari peran Mama
dalam hidupnya. Namun perubahan paling kentara Papa tunjukkan. Sebelum
kepergian Mama, Papa bisa selalu dilayani Mama, hanya sesekali memberi apa yang
anak-anak butuhkan—meskipun itu bukan lagi gendongan di bahu atau punggung
seperti saat mereka kecil dulu. Kini Papa tak bisa sepelit dulu dalam
berkata-kata. Ada saja kalimat yang mau tak mau harus ia keluarkan untuk Zia
dan atau Zaha.
Masih sampai bertahun-tahun kemudian,
saat Papa mengajak berziarah setelah mengambil rapot semester gasal Zia, masih
belum terbersit keinginan Zia untuk menangis. Kalau Zia begitu, maka Zaha juga.
Zia lebih terganggu dengan fakta bahwa rumah bude yang paling tak disukainya
hanya berjarak sepuluh menit jalan kaki dari lokasi makam Mama. Pengaruhnya
terasa sampai tempatnya berpijak kini. Setelah berdoa agar ia menjadi anak
solehah sehingga dapat memasukkan Mama ke surga lewat doa, Zia tidak tahu lagi
apa yang harus ia lakukan. Ia tidak betah. Ingin cepat-cepat pulang. Tidak bisa
ia seperti Zaha yang dapat menemukan pelariannya di mana-mana. Cewek tersebut
tengah duduk anteng di atas sebuah kuburan berkeramik sambil mencorat-coret
buku sketsa. Sementara Papa masih sunyi berdiri di samping makam. Khidmat
menunduk.
“Ma, aku belikan As mobil karena
lagi-lagi ia menang sayembara. Tapi kau lihatlah, Us yang pemalas itu, nilai
rata-rata rapotnya turun lagi,” begitu Zia menduga-duga isi laporan imajiner
Papa untuk Mama.
“Pa, ayo, Pa.” Gemerisik daun pada
pepohonan kamboja dan kemuning menelan ucapan Zia. Papa mengangkat kepala.
Melawan usapan angin, Papa mendahului
mereka berjalan menuju Ceria. Tidak terlihat adanya juru kunci yang harus
diangguki. Tidak ada yang menemani Papa duduk di jok depan, baik Zia dan Zaha
merasa lebih nyaman di jok belakang.
“Nilai-nilai kamu kok turun lagi?” Papa
memperbaiki posisi joknya sebelum kemudian menyalakan mobil. Kendati ingin
menghargai usaha Papa untuk coba peduli, Zia merasa jengah karena apa yang
disinggung bukanlah topik yang ia sukai. Sudah cukup wajah puas Epay karena
berhasil mengungguli nilai rata-rata rapotnya lagi. Padahal Mama saja jarang
memperkarakan hal ini. Mama lebih suka memantau perkembangan kemampuan baca-tulis
Zaha. Entah bagaimana reaksi Mama kalau tahu kini Zaha dapat menggambar
sepuasnya dan tidak harus memaksakan diri dengan begitu banyak aksara lagi.
Zia berdecak. “Ah, nggak penting banget
sih, Pa...” Dibuka-bukanya majalah semesteran LEMPERs yang diberi-paksa Kang
Detol sewaktu masih di sekolah tadi. Lagi-lagi Kang Detol menuntut adanya
tulisan Zia di majalah tersebut. O, ini pasti tugasnya sebagai pasukan warbung,
asumsi Zia. Kang Detol juga mengajaknya menonton Jammin’ Jazz after UAS—helatan
KOMBAS divisi Jazz—yang dimaksudkan untuk menghibur mereka yang tengah dalam
suka maupun duka karena hasil bagi rapot. Namun Papa sudah kebelet hendak
‘menjenguk’ Mama tadi.
Terbentang halaman tengah. Zia berdecak
lagi. Ia bosan dengan Arderaz, dengan catatan prestasi yang sedemikian panjang,
juga publisitasnya yang menggiurkan. Ia campakkan majalah tersebut ke bawah.
“Seenggaknya kalau belum jelas
keinginanmu jadi apa, perbaikilah nilai-nilai rapotmu.” Papa menatap lurus ke
depan. Sebuah polisi tidur terlewati. Zia terkejut dengan nada lembut dalam
suara Papa. Ia sadari bahwa begitulah Papa setiap habis dari menziarahi makam
Mama. “Nggak masalah kalau kamu nggak punya potensi menonjol. Kalau sekolahmu
bener, kamu bisa jadi apa aja. Nilai-nilaimu baik, lulus, cari kerja, dapet
duit.”
Ragaku mungkin hidup, tapi tidak jiwaku, sampai kutemukan apa
yang kumau! puisi Zia dalam hati. Ia
mengulang-ulangnya dalam ingatan untuk ia salin dalam jurnal kumpulan puisinya
sesampainya di rumah nanti. “Terus kenapa Papa ngizinin Zaha nggak sekolah?”
“Aku sekolah ya—“ tukas Zaha yang
terpotong jawaban Papa.
“Kalau kamu udah bisa menghasilkan
sesuatu ya Papa hargai juga, Us...”
“Aku juga menghasilkan sesuatu
kok—nilai-nilai di rapot aku! Mereka nggak bakal seenaknya cuman ngasih aku
nilai segitu kalau mereka bisa nilai potensi aku yang sebenernya!”
“Ya, trus apa memang potensi kamu yang
sebenernya?”
“Jadi pahlawan bertopeng!”
“Dari dulu kamu tuh ngomong soal
potensi-potensi mulu, Papa belum liat macam apa.” Papa seperti tak mendengar
sahutan asal Zia yang kini habis kata. Mendadak Zia benci sekali pada Papa.
Mengapa Papa begitu enak bertanya seperti itu, bukannya bantu menemukan potensi
sejatinya sejak dulu? Pun ia merasa tak ada pelarian yang dapat dikembangkan
macam Zaha punya. Ucap Papa lagi, “Terserah kamu mau jadi apa, tapi akademik
kamu harus tetep bagus.”
Seakan Papa ingin menekankan kebalikan
dari apa yang selama ini ia yakini, bahwa prestasi akademis adalah modal
terakhir kalau segala hal di luar itu telah gagal dicoba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar