Sabtu, 25 Desember 2010

epilog

(selama ini slalu kusangsikan/ akan kemampuan diriku/ percaya pada diriku sendiri/ adalah yang kucari/ tibalah hari yang kunanti/ kau datang bagai angin, oh, angin/ melanda meniup hari yang indah ini/ dengan dikau di sampingku, sayang/ berartilah hidupku ini/ waktu ini akan kusaksikan/ sampai di mana bertahan/ chaseiro – hari yang indah)

.

Halaman itu seharusnya memuat tulisannya. Penuh. Sebuah kritik akan kebusukan-kebusukan terselubung dalam dunia sekolah. Baris demi baris paduan kalimat yang menyerang, memancing gerah jiwa. Menusuk tajam. Tapi tidak ada. Hanya gambar seorang cewek dengan mata besar, wajah sok sendu, rambut panjang menjalar, pakaian bak bidadari yang berkibar-kibar. Tentu akan membutuhkan banyak bantuan dari Toko Foto Adobe untuk menghasilkan gambar semacam ini. Zia jadi ingin memperlihatkannya pada Zaha. Ingin tahu apa komentarnya. Semoga saja Zaha tak sampai tanya-tanya siapa yang membuatnya. Zia bergidik. Jangan sampai ia menemukan kacamata bertengger di atas hidung cowok kucel itu!

“Heh, mana kejutan teh?” Seseorang menepuk bahunya dengan majalah semesteran LEMPERs yang terlipat, yang kemudian disodorkan padanya. Namun ditarik lagi karena Zia sudah memegang barang yang sama.

Zia memperlihatkan gambar Kamal. “Nih, aku pingin liatin bonus pin up. Bagus kan buat sampul binder?”

Kang Detol berdecak, tak mengacuhkan ucapan Zia. “Kirain, bakal ada tulisan kamu lagi... Kalau udah kelas XII masih bisa ngisi majalah semesteran kan?”

Zia merasa tersentuh. Betapa Kang Detol telah coba memotivasinya selama ini. Dasar warbunger, andai saja ada banyak oknum-oknum seperti itu di sekolah! Maaf, Kang, aku mengecewakanmu lagi... “Ngapain, Kang, masih keliaran di sekolah?” Zia mengamati pakaian bebas yang Kang Detol kenakan. Kang Lutung saja sudah siap-siap menghuni kampus ITB. Kang Hilman dan Kang CP juga. Empat sekawan yang begitu kerap terlihat bersama.

“Nganterin adik saya liat-liat sekolah...” Kang Detol memasukkan kedua tangannya dalam saku celana. Mereka saling diam untuk beberapa lama, sampai Kang Detol melihat sesosok anak muncul dari balik tikungan menuju koridor. “Udah?” tanyanya pada anak itu. Zia melihat sekilas rupa adik Kang Detol. Sembari menggiring anak tersebut, Kang Detol melambai padanya. “Duluan, ceu Zia!”

“Ya, Kang!” Zia balas melambai. Papa juga pasti sudah menunggunya sedari tadi. Sehabis mengambil rapot Zia, Papa langsung balik ke mobil sementara Zia ingin membeli majalah semesteran dulu. Lalu mereka akan ziarah ke makam Mama lagi. Zia mendengus malas. Ia jadi ingin menyarankan Papa agar sekalian alih profesi jadi juru kunci di pemakaman Mama saja.

Sepanjang menapaki jalan menuju gerbang sekolah, Zia merasa aneh. Meskipun sekolah ini ternyata menyembunyikan sekian hal tak dibenarkan, ia masih merasa biasa-biasa saja saat berjalan-jalan di dalamnya. Memang sudah lain pandangannya terhadap para oknum yang diperkirakan terlibat dalam persekongkolan UN. Namun masih ada satu tahun ia di sini. Dan tahun depan, ada sebuah tugas menanti. Jika ia tak berhasil melakukan apa-apa sekarang, maka ia harus mencegahnya agar jangan sampai terulang lagi. Semoga tidak ada halangan berarti pula bagi Bang Ali. Harus ia galang kesatuan orang-orang jujur dari sekarang—baik yang berpotensi menentang segala bentuk kejahatan akademis macam Epay, maupun yang apatis layaknya Ardi.

Zia mendongak ke angkasa. Pada dua tajuk pohon yang tak sampai bertaut, daun-daun yang bertebaran di bawah mendung. Berandai-andai ia menjadi bagian dari mereka, dalam peraduan di atas sana. Tinggi menjulang bak, Zia menoleh ke sampingnya, seseorang yang sepertinya hendak menyeberang jalan juga. Sekali melihat Zia sudah tahu itu bukan Dean, tapi sengaja ia ingin bilang, “Dean?”

Cowok itu menoleh, sedikit terkejut. Lantas tersenyum. “Deraz, Teh.”

“Ho ho, sori... Habis mirip sih.” Zia menggaruk-garuk belakang kepala.

Deraz tersenyum lagi. Untuk beberapa lama Zia tak dapat berpaling. Pantas saja sampai ada lagu yang dijuduli “Wajahmu Memalingkan Duniaku”, pikir Zia. Rupanya untuk paras-paras rupawan macam Derazlah lagu tersebut diciptakan. Senyum Deraz memang merawankan hati. Membuat debar jantung Zia sesaat tak keruan. Belum pernah ia berada dalam jarak sedekat ini dengan cowok tersebut. Ia jadi paham mengapa Epay, Regi, juga beberapa teman lainnya sampai bergabung dengan DFC—Deraz Fans Club. Ia jadi ingin gabung juga, untuk iseng-iseng. Namun ada satu yang ia herankan, mengapa Dean tak sampai seberkharisma kembarannya?

Zia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan pamer pada Epay, Regi, dan lain-lainnya. Ia mengulurkan tangan pada Deraz. “Zia. Sekarang eks XI IPA 4.”

Deraz menyambut tangannya. “Deraz, Teh. Eks X-1.” Senyum Zia sudah tak bisa lebih lebar lagi. Ia merasa beruntung saat Deraz berinisiatif untuk melanjutkan percakapan. Lagipula lalu lintas di depan mereka belum juga cukup lengang untuk menyeberang santai. “Teh Zia temannya Dean?” tanya Deraz, dengan nada yang menunjukkan bahwa ia bukannya ragu Zia benar-benar teman Dean, melainkan karena ia seakan sudah familiar mendengar nama Zia.

Zia mengangguk, sekaligus terperangah. Penasaran apa saja yang sudah Dean ceritakan pada Deraz tentang dirinya. Jadi malu. “Mau ke mana?” tegurnya, baru itu yang kepikiran dalam kepalanya.

“Ke Kurochan, Teh,” Deraz menyebut nama sebuah persewaan studio musik dekat sekolah. Zia sudah dengar dari Dean bahwa Deraz juga main band. Seandainya lokasi rumah Kakek—dengan persewaan studio musiknya—lebih dekat ke sekolah, tentu Zia dapat menikmati kehadiran Deraz lebih sering. Zia tersentak karena tahu-tahu Deraz melangkah ke jalan. Lekas ia berusaha mengiringi langkah-langkah panjang Deraz. Belum cukup ia mengumpulkan bahan untuk dipamerkan!

Aduh... ngomongin apa ya?!  panik Zia dalam pikiran. Jelas Deraz tampak heran karena Zia mengikutinya. Bahkan sampai menegur. “Mau ke sana juga, Teh?”

“Eh—iya, rumah temen saya deket sana...” terpaksa Zia bohong, sampai kelepasan menyebut dirinya dengan ‘saya’. Memunguti ceceran memori dalam rongga kepala, akhirnya Zia menemukan sesuatu untuk dikeluarkan mulutnya, “Eh, katanya kamu suka bikin novel ya?”

“Iya, Teh.” Tidak jadi hilang heran di raut muka Deraz. “Dean cerita sama Teteh ya?”

“He he,” cengir Zia. Tidak tahu apakah setelah ini harus minta maaf pada Dean atau tidak. Dicari-carinya lagi kalimat untuk lekas menyambung sebelum kecanggungan menerpa. “Aku juga... lagi bikin novel...”

“Hm. Tentang apa Teh?”

Zia mengerutkan dahi. Pandangannya berlari ke lain arah, asal bukan ke arah Deraz. “Mmm, tentang sebuah konspirasi terselubung... di sekolahan...” Setidaknya ia tidak bohong total. Tulisannya sudah jadi malahan, meski hanya sepanjang sepersekianratus halaman novel pada umumnya. Dan bukan fiksi sama sekali. Terdengar gumam kagum Deraz. Zia jadi merasa bersalah. Apalagi ketika ia ditanya, “Suka baca Tom Clancy ya, Teh?”

Mengingat seberapa tebal buku karangan Tom Clancy saja sudah membuat Zia ngeri. “Baca koran sih, sukanya...”

“Hm...”

“Kamu suka Tom Clancy emangnya?”

Deraz mengangguk. “Ya. Seru aja ngikutin kisah tokohnya, dari sejak dia jadi mata-mata sampai jadi presiden Amerika. Banyak wawasan terkait dunia internasional juga di sana, terus...”

Sebelum Deraz mulai menceritakan dunia yang tak akan ia mengerti, Zia buru-buru menyela, “Ooo... Selain Tom Clancy, suka apalagi?” Siapa tahu kita ada kesamaan minat! Dengan begitu Zia akan semakin puas menyombong pada Epay cs.

“Michael Crichton,” lewat, “John Grisham,” eugh, dan serangkaian nama penulis Barat yang sama sekali tidak menarik minat Zia, “...tapi sekarang-sekarang ini saya lagi suka sama A. A. Navis.” Zia menghela nafas. Kalau yang ini ia ngeh.

“Iya... Aku udah baca kumpulan cerpennya yang ‘Robohnya Surau Kami’...”

“...kritik beliau terhadap Islam menurut saya mengena banget. Kita jadi bisa lebih paham sama agama kita sendiri, tanpa harus kehilangan keimanan kita. Malah semakin memperkuat.”

Zia termangu. Ia tidak pernah kepikiran sampai situ. Daripada semakin terkuak kebodohannya, Zia lekas mengalihkan topik pembicaraan lagi. “Eh, emang kamu bikin novel tentang apa sih?”

“Tentang kehidupan petinju, Teh. Sebagian orang masih menaruh stigma buruk pada petinju.” Deraz menunduk. Suaranya melirih.

“Kamu suka tinju ya?”

“Ya.”

Zia jadi ingat saat beberapa bulan lalu Deraz muncul di sekolah, setelah beberapa lama absen, dengan bekas lebam di muka. Teman-temannya yang DFC mania heboh membicarakan. Zia ikut-ikutan saja, namun ia tidak pernah merasa ada urusan dengan Deraz. Sebagaimana sekarang. Mungkin ada sesuatu yang Zia tak patut tahu. Deraz buru-buru melanjutkan sembari tersengal, “Gara-gara denger lagunya Morrissey, Kaiser Chiefs, sama baca syairnya Taufik Ismail.”

“Ha, pasti yang judulnya ‘Boxer’ sama ‘Boxing Champ’ yah?”

Dean mengangkat muka lagi, tampak terkejut. “Kok tahu Teh?”

Zia menepuk-nepuk dada. “Katalog lagu berjalan!” Tapi kalau yang syair Taufik Ismail terkait, ia belum pernah baca. “Udah sampai mana novelnya?”

“Udah. Udah selesai kok, Teh.”

“Wah, mau dong baca!”

Senyum Deraz tertahan. “Udah nggak ada lagi, Teh.”

“Loh, kenapa?”

“Sejak laptop saya diservis, saya nggak bisa menemukan file-nya lagi.”

“Hilang, maksud kamu?”

Tatapan Deraz jatuh lagi ke jalan. Tiba-tiba Zia jadi ikut diliputi kesedihan. Sealay apapun teenlit-nya, ia akan menjadi sangat lemas kalau file tersebut sampai hilang. Ia amat menghargai lima puluh halaman kerja kerasnya. “Aku mah pasti udah nangis-nangis da...” Zia menunjukkan raut simpatik. Ia bisa paham bagaimana perasaan Deraz. Tapi raut muka Deraz terlihat biasa-biasa saja.

“Ya. Saya lagi bikin ulang kok.”

“Bikin ulang?!”

Deraz mengangguk. “Ya. Kerja yang kemarin rasanya sia-sia, tapi saya anggap saja yang kemarin itu sebagai latihan. Hasilnya memang nggak bisa dilihat mata, tapi saya merasa kemampuan menulis saya jadi lebih meningkat. Kalau begitu hasil yang berikut harus lebih baik. Kalau yang punya Teteh gimana?”

Langkah Zia terhenti, langkah Deraz melambat. Ia menatap Zia dengan tanda tanya.

“Oke, aku terima tantanganmu!” seru Zia. Ia melempar senyum yang menyiratkan terima kasih, sebelum arah langkahnya berputar 1800. Deraz melepasnya dengan penuh heran. Zia bergegas menuju Ceria Papa yang sengaja ia lewati tadi. Cerah dalam pikirannya. Sejak era teenlit-nya yang terabaikan, mestinya sudah ada peningkatan pula pada kemampuan menulis fiksinya. Ia akan menulis novel lagi, dengan tema yang diangkat dari suatu fenomena juga, dan bakal sarat dengan kritik! Apa itu namanya? Satir? Zia membayangkan karya yang sebanding dengan “Kematian Paman Gober”-nya Seno Gumira Ajidarma atau “1984” dan “Animal Farm”-nya George Orwell. Ia akan membuat para orang yang harus “dijaga perasaan”-nya itu tak sadar bahwa mereka tengah menertawakan diri mereka sendiri, melalui fiksinya!”

Papa dan Zaha kompak menoleh saat pintu belakang mobil dibuka dengan penuh energi.

“Lama amat sih!” tegur Zaha. Ia berbagi koran dengan Papa di jok depan. Papa melipat koran, memperbaiki posisi duduk, lantas menyalakan gas. Mengintip dari spion atas, Zia tengah mengobrak-abrik isi ranselnya.

“Ngapain kamu, Us?”

Muka Zia tak terlihat lagi dari spion. Ia sedang membungkuk. Menulis sesuatu di atas notesnya, sembari menjawab dengan penuh semangat, “Menggurat aksara perdana untuk bakal masterpiece!”

Dahi Papa berkerut. Ia mengintip spion lagi.

“Maksudnya nulis kata-kata pertama buat novelnya,” Zaha menerjemahkan. Sebagian tubuhnya berputar ke belakang, meminta pembenaran dari Zia. Zia menjulurkan lidah. Zaha membalas dengan ekspresi mencemooh, namun menyertainya dengan seulas senyum yang menyirat arti.

“Jadi potensimu sekarang bikin novel?”

Sedikit berguncang, mobil tengah melintasi polisi tidur. Setelah berlalunya erangan Zia karena tak sengaja mencoret tulisannya sendiri, Papa berkata lagi, “Sekolah jangan sampai kelupaan, Us. Kalau bisa dua-duanya bagus...”

Padahal sudah naik sedikit nilai rata-rata rapot Zia dari semester lalu, meski ia belum bisa mengungguli Epay lagi. Zia menggerutu, “Uh, emangnya aku Hannah Montana...” dan jadi ingin menyanyikan “Best of Both Worlds” keras-keras. Papa tak mengerti ucapan Zia. Ia juga tidak melihat guratan senyum Zia untuknya.

...terima kasih, telah memberi kepercayaan pada diriku...

Zia kembali berusaha menulis di tengah goncangan akibat permukaan jalan yang berlubang. Mumpung ada aliran deras ide dalam kepalanya.

...dan sekarang waktunya mengerjakan!

Selalu ada waktu bagi keoptimisan untuk kembali.

 

(dalam sisa hari ini/ kembali gambaran lain/ kenangan dalam bayangan/ kepahitan selama ini/ terulang dan terulang lagi/ di saat yang nanti/ kesalahan yang sama/ manusia dan kebimbangan/ selalu terpadu satu/ tak yakin akan usaha/ putuslah landasan asa/ tak kunjung tampak serasi/ nada dan irama/ kesalahan yang sama/ mengingatkan kegagalan/ mana hasilnya/ menyesal tiada habisnya/ semua tak guna/ adakah akan berganti/ karam dalam impian/ jangkauan pun tak kuasa, mencapai.../ lupakan semua yang lalu/ indahkanlah kenangan/ sambutlah hari di muka/ yang cerah/ ciptakan/ suasana/ semangat/ manusia jiwa muda!/ chaseiro – semangat jiwa muda)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain