Kamu masih ingat?
Di awal kelas XI. Usai jam istirahat. Kedatanganmu ke kelasku
dilatari garis-garis sinar matahari. Lenganmu menenteng kibor. Kamu sudah tahu
bagaimana cara memasangnya, menyetelnya. Kami heran melihatmu. Seharusnya Bu Euis
yang ada di depan sana. Kamu berlagak menggantikannya. Kamu mencorat-coret
papan tulis. Menerangkan pada kami apa itu pupuh, pentatonis, daminatilada.
Sekumpulan cowok di belakang kelas meneriakimu agar langsung menuju ke praktik.
Kamu berbalik. Tersimpan senyummu. Lalu kamu mainkan tembang itu. Suara falsmu
mengalun, mengalunkan namaku. Sejuta kupu-kupu menghinggapi sekujur tubuhku.
Gelora panas menyelimutinya. Aku malu. Anak-anak gaduh. Bu Euis masuk kelas,
berkata bahwa waktumu telah habis. Kamu memandangiku terus sembari membereskan
kibor. Perlahan aku memalingkan kepala.
Sejak kejadian itu, sering aku digoda ke manapun aku
melangkah di sekolah. Mereka juga ingin tahu, sebagaimana kamu menanti
jawabanku. Setiap melihat sosokmu, yang kuinginkan hanya menghindar. Aku tak
ingin bertatap muka denganmu. Aku malu. Aku bingung. Aku tak tahu. Aku berusaha
membencimu kembali seperti yang sudah-sudah. Seperti saat kamu menunjukkan sweater rajutan omamu yang memuat gambar
kita berdua, atau saat kamu menyodorkanku bunga matahari yang banyak ulatnya,
atau saat kamu menempel puisi yang memuat namaku di mading—yang lekas kucabut
sebelum banyak orang melihatnya, atau yang lain-lainnya. Yang membuatku amat
muak padamu di sisa masa SD kita. Yang membuatku dan teman-teman segengku ganas
mengolok-olokmu. Yang membuat saudara kembarmu marah-marah dan menjauhiku.
Aku masih ingat.
Pandangan mengharapmu setiap aku tak sengaja melihatnya. Aku
memalingkan wajahku. Pergi menjauh. Menyuruh hatiku untuk membencimu. Tapi
semakin aku begitu, semakin kuat aku merasakan auramu di mana-mana. Aku tidak
bisa mengusirmu. Tidak bisa mengusirmu dari dalam pikiranku, hatiku, sejak kamu
memainkan lagu itu untukku di pesta ulang tahunku di akhir kelas X. Ketika aku
kembali jatuh karena dirinya, yang seharusnya memainkan lagu itu, yang malah
melantunkan lirik-lirik lain yang membuat hatiku perih. Aku sudah capek
mengharapnya. Aku tak mau lagi. Aku pikir aku tak akan bisa. Teman-temanku
berusaha menghiburku. Mengatakan bahwa dia tak bermaksud begitu, tapi aku tahu
lirik-lirik itu memang untukku. Seakan mengejek pengharapanku selama ini
padanya. Juga harapan bahwa dia akan memainkan lagu itu, You’re I’m Thinking of. Lalu kamu tahu-tahu naik panggung. Tanpa
kata-kata pengantar apapun terucap dari mulutmu. Seakan tahu bahwa lagu itu
adalah lagu yang paling ingin aku dengar di pesta ulang tahunku, kamu
memainkannya. Kalau tidak sedang memerhatikan tuts-tuts yang kamu tekan, matamu
terarah padaku terus.
Waktu SMP, aku selalu sebal setiap kali Pak Sam bilang kalau
dia baru saja ketemu kamu. Lalu kamu menanyakan kabarku. Padahal kita sudah
tidak satu sekolah lagi, meskipun masih sebelahan. Aku tahu kamu masih suka
menanyakan hal yang sama, bahkan ketika kita satu sekolah lagi di SMA. Aku
mengomeli Pak Sam setiap kali dia mulai mengungkit-ungkit kamu. Tapi aku tidak
tahu mengapa sejak pesta ulang tahunku itu, aku jadi diam saja setiap Pak Sam
begitu. Sementara dalam kepalaku mengiang nada-nada yang kamu mainkan saat itu.
Nada-nada untukku, di hari spesialku. Yang menggantikan apa yang tidak aku
dapatkan padahal begitu aku inginkan. Lalu kusadari bahwa bukan orang itu lagi
yang mengisi benakku, tapi kamu.
Tapi kemudian aku membuatmu terbenam dalam penantian panjang
lagi karena aksi norakmu. Aku tak habis pikir bagaimana kamu bisa punya gagasan
untuk menggubah pupuh yang memuat namaku. Membuatku tidak nyaman beredar di
sekolah. Itu menjengkelkanku. Membuat perasaanku tak menentu. Tindakanmu
membuatku ingin menendangmu kembali jauh-jauh dari duniaku. Aku berusaha. Untuk
tidak melihatmu, mengindahkanmu, menjauhimu. Untuk tidak memedulikan kawanan
berandalmu yang amat berisik itu. Yang terus mempertanyakan apakah madu atau
racun yang akan aku berikan padamu. Seakan aku bakal menitipkan jawabanku
untukmu lewat mereka.
Setelah berbulan-bulan lamanya, tadinya aku pikir aku akan
berhasil. Aku tak menduga kalau tur budaya ke Anyer akan jadi awal dari kita.
Aku tahu kalau kamu masih saja berusaha mendekatiku. Aku berusaha untuk tidak
mengacuhkanmu. Bahkan ketika ternyata teman-temanku bersekongkol dengan
teman-temanmu agar kita bisa naik banana
boat yang sama. Dengan kamu duduk di belakangku. Diam-diam aku merasa risi
meski aku berusaha ikut menikmati dan melupakan kehadiranmu yang kuat
terasakan. Aku ingin seperti mereka, lepas berteriak dan tertawa-tawa. Aku tak
menyangka, usahaku untuk larut dalam keriaan itu malah membuat lenganku
bergerak tak tentu arah dan menjatuhkanmu ke laut. Bukannya aku tak tahu kalau
kamu tak bisa berenang, ditambah lagi dengan asmamu, juga rompi pengaman yang
kedodoran untuk tubuh cungkringmu. Kamu tenggelam dan pingsan.
Aku panik sekali, Dean. Semuanya juga. Teman-teman yang bisa
berenang kontan menyelam untuk menyelamatkanmu. Memberimu pertolongan pertama.
Aku sempat lega ketika kamu akhirnya tersedak, tapi kamu tetap tidak sadar. Aku
mulai menangis. Aku tidak bisa membuka mataku sampai ada kapal lain mendekat.
Teman-temanku sudah merangkulku, memelukku, tapi aku tidak bisa berhenti
tersengguk. Meskipun lamanya pingsanmu amat mengkhawatirkan, entah mengapa aku
tahu kalau kamu akan baik-baik saja nanti. Entah kapan. Yang paling aku
takutkan justru saudara kembarmu. Aku takut memikirkan bagaimana responnya
nanti kalau sampai tahu akulah yang membuatmu celaka.
Aku selalu takut pada Deraz. Aku takut dia terhina saat
anak-anak meledeki bahasa Indonesianya yang amburadul. Aku takut kalau cowokku
saat itu sampai mengajaknya berkelahi karena dikalahkan dalam sepak bola. Aku
takut dia akan menjadi pesaingku dalam meraih ranking tertinggi, meski aku
takut juga kalau dia sampai ketinggalan pelajaran karena harus mengurusmu yang
sering sakit di kelas. Aku takut saat melihat keberingasannya membabat lawan
dalam setiap kompetisi debat. Aku takut melihat kesungguh-sungguhannya dalam
mengerjakan setiap hal. Aku takut melihat kegagalannya. Aku takut dia sakit
karena kelelahan atau tertular darimu. Yang paling membuatku menyadari
ketakutanku padanya adalah saat dia memarahiku di depan teman-temanku, di pojok
kelas pada suatu jam istirahat, karena perlakuan kami padamu. Sejak itu aku
selalu takut kalau dia akan menjauhiku, jadi tidak acuh padaku, dan dia
melakukannya. Sehingga aku takut, aku takut sekali, kalau suatu saat perasaanku
padanya akan dia balas dengan cara menyakitkan. Dia juga sudah melakukannya,
berkali-kali.
Aku tidak bisa berhenti menangis saat itu. Sekali lagi aku
akan dimarahi Deraz. Sekali lagi dia akan menjauhiku. Padahal aku sudah senang
saat SMA sikapnya padaku jadi kembali wajar, meski aku masih sering sensitif
dibuatnya. Aku tahu dia masih tak acuh padaku, tapi setidaknya dia mau bertukar
kalimat denganku di rapat OSIS, juga saat aku mewawancarainya untuk majalah
sekolah, dan dia mau main bersama bandnya di pesta ulang tahunku meski
ujung-ujungnya dia tetap membuatku menangis. Dan setelah segala hal yang
membuatku sedikit lega itu, aku kembali melakukan kesalahan di matanya.
Kesalahan karena perlakuanku padamu.
Dia sama sekali tidak memerhatikanku saat membantu
orang-orang mengevakuasimu. Aku bisa mengerti. Saat itu memang kami semua masih
dalam keadaan panik. Sampai di depan penginapan cowok, aku berhenti. Aku tidak
bisa ikut masuk ke dalam, tentu saja. Namun aku selalu menyempatkan diri
melihat bangunan tersebut sambil memikirkan apa kamu sudah baikan. Aku malu
menanyakannya pada orang-orang yang menolongmu, jadi kutanyakan saja pada
teman-temanku, meski mereka sama tidak tahunya denganku. Mereka mendorongku
untuk menanyakannya langsung pada Deraz. Tentu Deraz paling tahu bagaimana
kondisimu. Mereka bisa lihat wajahku langsung pucat. Sebetulnya aku sangat
ingin sekali melakukan itu, tapi aku tak berani.
Tapi kesempatan itu akhirnya datang juga. Aku memberanikan
diri mendekatinya waktu makan siang. Aku tahu, di tempat yang ramai begitu dia
pasti segan kalau hendak memarahiku atau apa. Tapi ternyata wajahnya biasa
saja. Aku harap dia tidak tahu kalau aku yang menjatuhkanmu. Aku kira dia tidak
tahu. Aku menanyakanmu. Dia menjawab dengan nada biasa. Kamu tahu, itu sangat
berarti buatku. Aku sadar, sampai saat itu dia masih jadi seseorang spesial
buatku. Yang setiap perlakuannya padaku, sekecil apapun itu, selalu dapat
menyentuh hatiku. Dan dia bilang kamu baik-baik saja.
Aku jadi ingin ketemu kamu. Seakan jawaban Deraz tidak
meyakinkan. Seakan aku butuh kepastian untuk melihatmu langsung. Setelah makan
siang, aku bilang pada teman-temanku kalau aku tidak ikut ke pantai lagi. Aku
ingin menengokmu. Aku tidak bilang pada mereka aku mau ke tempatmu. Aku tidak
tahu kamarmu yang mana. Untungnya aku ketemu Roni dan kawan-kawan. Untungnya
mereka tidak banyak tanya mengapa aku mencarimu. Karena aku hanya punya satu
alasan. Melihat kamu.
Mereka mengantarku sampai depan kamarmu. Membukakanku pintu.
Dan aku lihat kamu sedang bersender di sisi tempat tidur, main PS. Aku tidak tahu
apa yang menggerakkanku untuk memukulimu. Habis itu aku ingin ketawa. Tapi aku
juga ingin marah karena aku telah begitu mencemaskanmu. Aku tidak peduli
cowok-cowok di belakang yang menyoraki kita. Aku tidak tahu aku harus senang
atau sedih. Jadi aku hanya ingin memelukmu, karena aku malu, malu sekali.
Betapa sewaktu masih di laut tadi, aku bisa kehilangan kontrol diriku karena
kamu. Karena Deraz.
Aku masih ingat.
Deraz yang selalu sigap memintakan izin untukmu ke luar kelas
karena penyakitmu kambuh. Deraz yang selalu mencari-carimu karena sudah
waktunya kalian pulang. Deraz yang selalu satu sekolah denganmu meski dia bisa
masuk ke sekolah yang lebih baik. Deraz yang selalu ingat untuk mengawasimu
setiap kamu ada dalam ranah pandangannya. Deraz yang selalu meneleponmu
sepulang sekolah. Karena kamu adalah orang yang spesial bagi Deraz. Kalian
sudah saling berbagi sebelum kalian lahir ke dunia. Seakan kamu yang menentukan
bagaimana sikap Deraz padaku. Dan aku hanya ingin Deraz bersikap baik padaku.
Maka aku terus memelukmu, membenamkan mukaku di lenganmu,
sampai aku sadar bahwa teman-temanmu telah meninggalkan kita. Kamu
menepuk-nepuk kepalaku seakan aku anak kecil. Kamu bahkan menyuruhku memilih
antara balon atau es krim. Lalu aku jadi ingat lagi betapa aku amat sebal
padamu. Tapi saat itu aku sudah terlanjur ada di dekatmu. Entah mengapa aku
merasa nyaman. Dan aku merasa lelah karena sampai siang hampir tidak bisa
berhenti menangis. Aku jadi merasa konyol sekali karena itu. Tapi aku lega
karena kamu tidak tahu, meski mungkin kamu akan segera mengetahuinya juga
setelah teman-teman kita cerita. Lalu main PS di kamarmu jadi awal kebersamaan
kita. Kamu selalu sok mengalah padaku. Aku tak suka, tapi aku menikmatinya. Aku
menikmati saat bersandar di lenganmu, sambil mengobrolkan banyak hal. Belum
pernah aku mengobrol sebanyak itu sebelumnya denganmu. Sampai teman-temanmu
datang lagi, dan aku kembali ke penginapanku. Dengan sebuah gagasan gila di
kepalaku.
Aku tidak tahu apa yang meliputiku saat itu. Yang kupikirkan
hanyalah bagaimana membalasmu, Dean. Aku hubungi teman-temanku yang anak KOMBAS
dan VG. Aku gelisah menunggu acara makan malam. Aku tidak bisa duduk diam di
aula. Aku menanti kedatanganmu. Aku terus meremas kedua belah tanganku. Aku
tidak tahu mengapa mereka bisa terasa begitu dingin. Dan akhirnya kamu datang
bersama gerombolanmu. Aku lihat ada Deraz juga. Tapi aku tidak memikirkannya.
Aku tidak sabar menunggu giliranku untuk naik panggung tiba. Aku naik terakhir,
setelah Erik, Soni, Lila duduk di posisi mereka masing-masing. Aku menunggumu
duduk, menatapku yang menggenggam mikrofon, untuk menyatakan sesuatu padamu.
Kamu masih ingat lagu itu, Dean?
Why do you let me
stay here/ All by myself?/ Why don't you come and play here? / I’m just sitting
on the shelf/ Why don't you sit right down and stay a while?/ We like the same
things and I like your style/ It’s not a secret, why do you keep it?/ I’m just
sitting on the shelf/ I gotta get you presents/ Let’s make it known/ I think
you're just so pleasant/ I would like you for my own/
Di tengah lagu aku menarik tangamu untuk menemaniku di atas
panggung. Dengan kibor di bawah jari-jarimu. Kita masih suka memainkan lagu itu
bersama-sama setelahnya.
Setelah lagu itu selesai, kita tidak bisa berhenti menggenggam
tangan satu sama lain. Aku tahu Deraz mengamati kita terus. Setelah makan
malam, diam-diam kita ke luar aula. Tidak ada yang kita lakukan selain
duduk-duduk di tepi pantai, membiarkan ujung kaki kita basah oleh air laut,
coba mengungkapkan apa yang sedang kita rasa. Namun yang bisa kita bahasakan
hanya ajakan untuk kembali ke penginapan. Besoknya kita pulang ke Bandung. Kamu
menyelinap di bisku. Menyingkirkan teman sebangkuku. Kita tidak bisa lepas
sepanjang perjalanan.
Kamu masih ingat?
Aku masih ingat.
Hari-hari di mana kita seperti mencelup ke dalam video klip.
Hari-hari di mana aku bernyanyi dan kamu yang memainkan musiknya. Hari-hari di
mana orang-orang memerhatikan kita karena baju kita senada. Hari-hari di mana
kepalamu bersandar di pundakku sementara aku mengerjakan tugas-tugasku.
Hari-hari di mana aku menyesap aroma tubuhmu yang akan selalu kurindukan.
Hari-hari di mana kamu coba menghiburku dengan segala cara ketika hariku sedang
buruk. Hari-hari di mana ranah pendengaranku kerap diisi tawa ceriamu, sesebal
apapun aku saat itu. Hari-hari di mana aku sampai ngakak karena kepolosanmu.
Hari-hari di mana aku kabur dari rapat ekskul, sedang kamu mabal les piano.
Hari-hari di mana Pak Sam mengekori kita dalam mobil, sementara aku memeluk
pinggangmu di atas Kawasaki Ninjamu yang kamu beri nama Hatori. Hari-hari di
mana kita kejar-kejaran dengan anak-anak fotografi, lalu ada foto kita di
majalah semesteran. Hari-hari di mana sebelum tidur kita berhadapan via web cam, di mana web cam itu kamu taruh di atas si Baby—pianomu—yang kamu gunakan
untuk memainkan lagu pengantar tidur untukku. Hari-hari di mana kamu mengajakku
menghabiskan waktu dengan keluargamu—ada Deraz di sana, tapi tak mengapa,
karena kamu yang aku lihat.
Aku juga masih ingat.
Ketika kita dijemput ibumu karena Hatori masuk bengkel. Ibumu
bilang kalau di bibirmu ada tahi lalat kecil sekali sehingga kamu begitu
ceriwis. Tapi itu bukan masalah bagiku, karena keceriwisanmulah yang jadi
penggusah gulanaku. Meski dalam kesempatan yang kamu tidak tahu, ibumu sudah
memberitahuku. Betapa manjanya kamu. Betapa akan merepotkannya dirimu bagiku
kelak. Aku sudah tahu, setelah sekian tahun lamanya aku mengenalmu.
Kalau kamu punya sepatu, tas, dan jumper yang berbeda untuk setiap hari. Kalau kamu cepat menghafal
rupa dan nama orang tapi jarang ingat judul simfoni yang kamu suka mainkan
dengan si Baby. Kalau kamu ingin memanjangkan rambutmu agar terlihat seperti
Kenny G. Kalau kamu ingin jadi anak yang baik bagi ibumu. Kalau kamu ingin
punya berpasang-pasang anak kembar. Kalau kamu ingin punya teman hidup yang
pintar sekaligus jutek sepertiku. Kalau kamu akan selalu percaya dan
mendukungku ke mana pun jalan yang kupilih. Kalau tidak ada lagi yang lebih kamu
inginkan selain menjadi teman yang baik bagi semua orang. Karena itu aku tetap
memilihmu.
Meski teman-temanku suka membicarakan kita, mengata-ngataimu.
Bahwa kamu cowok paling tolol dan lemah yang pernah mendampingiku. Kamu bukan
kapten futsal seperti Ryan. Kamu bukan pejabat penting di OSIS seperti Syamsi.
Kamu bukan juara kelas seperti Gilang. Kamu bukan Deraz. Tapi aku tetap
membelamu. Aku tahu, bukan hanya kamu yang keukeuh
mengejarku sampai bertahun-tahun lamanya. Ketika aku memilihmu, rasanya mungkin
tak adil bagi mereka, tapi tidak bagiku. Setelah dekat denganmu, aku jadi tahu
alasan mengapa kamu tidak pernah terlihat kesepian, juga mengapa orang-orang
selalu kelihatan senang berada di dekatmu. Ketika kamu mencurahkan semua alasan
itu padaku, aku merasa jadi perempuan paling berbahagia.
Namun ada kalanya, hari-hari kita diisi dengan tamparanku
untukmu. Penolakan-penolakanku selama ini terhadapmu membuatmu masih sukar
percaya kalau aku sudah jadi milikmu. Waktu kita baru jadian, kamu pernah
meninggalkanku di Cilaki. Kehadiran teman-temanmu membuatmu lupa kalau kamu
juga membawaku. Kamu juga pernah meninggalkanku di pesta ulang tahun teman
SMP-ku, hanya karena pada malam yang sama keluargamu sedang ada acara kumpul
rutin di rumah Omamu. Waktu itu tidak hanya aku yang menamparmu, tapi
teman-temanku juga.
Dan mau tak mau aku harus menamparmu ketika tanganmu semakin
tak bisa dikontrol. Kamu harus tahu, Dean, aku tidak bisa meladeni otak
kotormu. Aku sering tak tahan setiap kulit kita semakin lekat bersentuhan. Aku
hanya ingin memperingatkanmu, bukan mengusirmu. Tapi kamu malah menjauh.
Aku tak mengerti apa yang ada di pikiranmu, Dean. Aku tak
merasa bersalah karena batas-batas yang kuterapkan. Aku harus menamparmu lagi
ketika kamu semakin keterlaluan. Tapi aku tetap masih ingin kamu di sampingku.
Aku tidak bisa menyingkirkan kamu dari perhatianku. Aku memberimu perhatian
seperti yang selalu kamu minta, tapi kamu malah menampiknya. Aku tidak mau
menduga bahwa ini caramu untuk mendapatkan apa yang kamu mau—meski aku sendiri
tidak mau tahu apa itu. Aku hanya ingin kita tetap seperti dulu. Tapi kamu
harus mengerti bahwa aku masih punya batasan.
Atau mungkin kamu punya masalah lain, Dean. Waktu itu aku
heran apa aku tidak cukup jadi pelampiasanmu. Aku tahu dari anak-anak BASTARD
kalau kamu masih suka minum, menyicip ini itu. Aku biarkan kamu merokok meski
aku tak suka. Sambil memendam keinginan untuk menyuruhmu mematikan rokok, aku
dengarkan cerita bahwa ibumu begini, guru A begitu, dan lain sebagainya. Tapi kamu
hanya menceritakan mereka, bukan apa yang terjadi antara kamu dan mereka.
Setiap aku coba mengorek, kamu malah beralih ke cerita lain. Kamu selalu punya
cerita. Tapi kamu tidak pernah memberitahuku cerita yang sesungguhnya.
Dan dengan menjauhnya kamu dariku, aku semakin bingung.
Semakin jarang kita berbagi. Kamu sedang melakukan apa pun, aku hanya bisa
menduga-duga kalau kamu sedang menjalankan hidupmu yang biasa. Yang tanpa
diriku. Padahal aku pacarmu, tapi untuk mengetahui kabarmu saja aku harus tanya
orang lain. Aku jadi sering tidak tahu harus membalas apa saat aku ketemu Deraz
di YM dan ia menanyakanku keadaanmu. Aku merasa bersalah pada Deraz, juga pada
ibumu. Pada mereka yang menitipkanmu padaku. Sebagaimana kamu pikir dulu bahwa
kita tercipta untuk sama lain dan kita akan langgeng selamanya.
Sampai aku tahu dari Majid, kalau kalian sedang menggagas
komunitas untuk anak-anak tak berkomunitas. Bahkan Majid yang minta tolong
padaku untuk ikut mewujudkan gagasan aneh itu, bukannya kamu. Majid sendiri
heran dan coba mengorek ada apa di balik hubungan kita. Tapi aku sendiri tak
mengerti. Aku coba membantumu dari jauh. Aku menandai anak-anakmu yang masuk ke
OSIS dan ekskul-ekskul yang kuikuti. Aku beri mereka perhatian lebih. Aku
berdayakan mereka sesuai harapanmu dan teman-teman seperjuanganmu. Aku tak
berharap kamu tahu kiprahku. Tapi aku bersyukur bahwa sedikit-sedikit aku jadi
bisa kembali merasakan apa yang kamu rasakan setelah sekian lama kita tak lagi
bersama.
Pada akhirnya kamu tahu. Tapi bukan ucapan terima kasihmu
yang membuatku senang, melainkan saat aku bisa kembali memeluk pinggangmu di
atas Hatori. Di bawah hujan. Aku tak ingin melepaskan lenganku, kepalaku dari
punggungmu yang tipis namun hangat. Aku bisa merasakan kembali aroma manismu
yang lama tak kuhirup. Meski aku masih meraba-raba apa yang membuatmu menjauh
dariku, aku tahu bahwa kamu tak bermaksud buruk padaku. Tak sekali pun kita
ungkit sebab-sebab yang membuatku menamparmu. Yang kita bahas hanyalah
bagaimana agar anak-anak yang kita bina bisa bangkit. Sampai sini aku kira
semua akan baik-baik saja. Kita akan kembali seperti sedia kala. Kamu akan
mencerahkan hidupku lagi dengan senyum ceriamu. Dan yang lebih membuatku senang
adalah karena komunitas ini menjauhkanmu dari candu-candu tidak baik itu.
Tapi kembali aku menangis. Saat kami ramai-ramai ke tempat
lesmu, hendak memberimu kejutan. Lalu kamu menraktir kami semua. Untuk
memberitahu kami kalau tak lama lagi kamu akan pergi jauh.
Kamu tidak pernah bilang padaku sebelumnya, maupun memberiku
tanda-tanda, seakan aku tiada beda dengan lainnya, bahwa tak lama lagi kamu
akan pergi. Kembali ke tempat kelahiranmu.
Ada pikiran bodoh di kepalaku saat itu. Kembali aku mengingat
saat di mana aku menamparmu karena satu alasan. Kamu akan mendapatkan segala
yang kamu mau di sana, Dean, apa yang aku tidak bisa berikan karena norma-norma
yang kupegang teguh. Kamu tercengang mendengar segala tuduhan bodohku itu.
Karena kamu hanya ingin membahagiakan ibumu. Dalam tangis yang menggebu aku jadi
ingin menertawakan diriku sendiri. Menangis dan tertawa dalam waktu bersamaan.
Kamu membuatku gila. Dan aku kira mungkin aku akan jadi lebih gila karena
kepergianmu ke tempat yang sangat jauh. Apa kamu tidak bisa meniti masa depanmu
di sini saja, Dean, bersamaku lagi? Meski aku tahu, Berklee mungkin akan lebih
membesarkanmu. Dan semua ini demi ibumu, ibumu, yang amat sering kamu bicarakan
itu.
Aku tidak tahu mengapa aku ingin marah ketika setiap kali
kamu menelepon, yang kamu utarakan pertama kali bukannya tanya mengenai
kabarku. Tapi ibumu. Bahwa kamu sedang bete. Bahwa kamu jadi lebih sering
sendirian. Bahwa kamu mulai sakit-sakitan lagi. Bahwa memencet tuts piano sudah
tidak lagi menyalakan semangatmu. Dan bahwa ibumu sama sekali tidak pernah
bicara mengenai kepulanganmu kembali ke Indonesia, seakan kamu tidak diharapkan
bersamanya lagi. Aku bisa merasakan kesepianmu, Dean, juga rasa sakitmu. Aku
juga jadi ingin marah pada ibumu.
Tapi kemudian aku sadar, kesepianku adalah karena aku tidak
lagi menjadi perhatianmu. Dan caramu bicara padaku adalah seakan-akan aku ini
ibumu, yang mengesampingkan kepentingannya sendiri demi tetek bengek
keperluanmu. Tapi aku Rieka, aku pacarmu, aku bukan ibumu, dan aku punya
kepentinganku sendiri terhadapmu. Kepentingan kita. Yang hanya sedikit kamu
singgung.
Aku berusaha memahamimu. Tahan mendengarkan rengekanmu.
Betapa kamu ingin pulang. Kadang kamu masih ingat padaku, dengan mengatakan
bahwa kamu rindu menghabiskan waktu bersamaku juga. Lalu kita mengenang hari-hari
cerah dan gelap yang kita lalui bersama. Aku berharap momen-momen manis ini
akan lebih sering aku alami. Aku tahu aku tak mungkin mengharapkanmu kembali
dalam waktu dekat. Aku bahkan mulai menabung agar aku bisa mengunjungimu di
sana. Kadang aku menangis saat mengandaikanmu tiba-tiba pulang. Muncul di
halaman rumahku sambil mengobrol dengan Pak Urip atau Pak Sam, atau siapalah,
menungguku mempersiapkan penampilan terbaikku. Berharap bisa membuatku
jantungan saking senangnya akan kehadiranmu.
Tapi itu tak terjadi. Aku pikir bulan-bulan awal kepergianmu
adalah masa terberat, setelah itu aku akan terbiasa. Aku akan lebih tabah dalam
menjalani hubungan jarak jauh denganmu. Berusaha mengerti bahwa sambungan
internasional tidak murah, bahwa kamu tidak biasa mengetik panjang-panjang
sehingga YM, BBM, e-mail, sampai FB seakan tak berfungsi, meski tweet darimu yang menyatakan kangenmu
padaku bisa membuatku bahagia berhari-hari. Juga nada gembiramu di tengah
bisingnya denting berbagai jenis alat musik saat aku ganti meneleponmu.
Apalagi ketika teleponku berbunyi dengan nada yang aku pasang
khusus untuk kamu. Yang semakin lama membuatku semakin gamang mengangkatnya.
Aku merindukan suaramu, tapi bukan nada seperti itu yang ingin aku dengar. Nada
yang tak pernah kamu perdengarkan sewaktu kita bersama dulu. Teman-temanku
susah percaya bahwa orang seperti kamu bisa marah-marah. Aku juga. Dan aku
tidak menyukai kamu yang seperti itu.
Kamu bahkan tidak lagi menjelaskan padaku apa penyebab
kegundahanmu. Kamu hanya mengomel tak jelas di seberang sana, tanpa memberiku
kesempatan untuk bicara. Setiap kali aku memotong, kamu membalasnya dengan
suara yang lebih keras. Dadaku berdebar-debar mendengar rentetan kalimatmu yang
seperti itu. Entah mengapa aku tak tega untuk menutupnya. Aku tahu kamu
membutuhkanku, seperti ketika aku membutuhkanmu dulu saat aku sedang suntuk
dengan tugas-tugas bejibun.
Tapi seringnya aku tidak tahan.
Sampai minggu kemarin, yang sampai sekarang aku belum bisa
menghilangkan percakapan malam itu dari ingatanku, di mana kita saling
meneriaki.
“Berhenti
ngelampiasin amarah lo ke gue, Yan. Gue bukan nyokap lo dan selamanya gue nggak
akan bisa gantiin nyokap lo. Dewasa dong!”
“Terus kenapa? Lo
sendiri pingin gue kayak Deraz kan?”
“Ya ampun Yan, gue
cuma ingin lo meraih sesuatu dalam hidup lo, Yan…”
“Lo pikir gimana
perasaan gue kalo dikit-dikit lo ngungkit-ngungkit Deraz?”
I hung up the phone,
then. Aku tidak bisa berhenti menangis malam itu. Setiap kali teringat kamu,
aku terisak lagi. Aku tidak bisa berhenti mendengarkan Zoey Deschanel
menyanyikan lagu-lagu sentimentalnya.
Padahal aku hanya ingin kamu bisa mencapai sesuatu dalam
hidupmu, bukan sekedar untuk jadi kebanggaanku, tapi juga untuk kebahagiaanmu
sendiri kelak. Aku tidak pernah menganggapmu sebagai Deraz, Dean. Aku
menganggapmu sebagai Dean. Dean yang ekspresif, yang konyol, yang suka tertawa,
yang polos, yang mudah berteman, yang selalu gembira, yang tak pernah
mempersoalkan sesuatu sebegitunya. Kamu bukan Deraz, Sayang, aku sadar itu. Dan
betapa bodohnya aku tak pernah coba membaca perasaanmu sampai sedalam itu. Aku
tidak tahu kata apa lagi yang patut aku sampaikan buat kamu selain maaf… Aku
sungguh-sungguh.
Aku akui, memang sikap Deraz jadi semakin baik padaku sejak
aku jadian denganmu, dan itu membuatku senang. Dengan dia yang selalu
memerhatikanmu, aku merasa ikut dilindungi. Aku masih ingat saat dia meninju
Kang Haqi saat kita sedang di kantin kapan itu, sebelum dia pergi ke Jerman.
Dia tidak menolak sewaktu aku mengajaknya chatting,
meski jawabannya seadanya. Dia bahkan memintaku agar selalu menjagamu. Tapi
sejak kejadian di Anyer itu bukan lagi dia yang mempengaruhi perasaanku dengan
segala tingkah lakunya. Tapi kamu. Banyak cowok yang sudah pernah jadian
denganku, tapi hanya pada satu orang cowok aku bilang kalau aku sudah malas
ganti-ganti cowok lagi. Dia yang aku larang sampai kapan pun untuk minta putus
dariku—seperti cowokku yang sudah-sudah. Dia cowok terakhirku. Dia kamu.
Tapi aku sudah capek, Dean. Aku sudah capek mempertanyakan ke
mana sikap pengertianmu yang dulu. Aku sudah capek jadi tong sampah kamu, yang
membuatku sadar betapa egoisnya aku selama ini. Dulu kamu tidak pernah mengeluh
setiap kali aku marah-marah. Kamu hanya menanggapinya dengan ringan. Tapi
ternyata aku tidak siap saat kita harus berganti peran. Aku tidak suka
mendengarkan luapan amarahmu, seberapa besar usahaku untuk terbiasa. Aku hanya
ingin kita jadi seperti yang dulu. Di mana hanya aku yang bisa serius dan kamu
yang jadi pencairnya. Aku tidak ingin ada yang berubah di antara kita. Tapi
lihatlah dirimu yang sekarang, Dean.
Aku tahu kamu mungkin banyak masalah, yang selama ini kamu
pendam, dan baru kamu bisa lampiaskan sekarang. Tapi aku tak sanggup lagi
mendengar suaramu, Dean. Bahkan meski nadamu menghiba minta maaf dan aku hanya
bisa tersedu sedan. Aku tidak bisa menjawab apa-apa. Yang kuinginkan hanya
satu, tapi saat itu aku pikir aku masih terlalu emosional untuk mengatakannya.
Namun setelah sekian hari berlalu, dengan usahaku untuk tak acuh pada teleponmu,
aku kira aku masih menginginkan hal yang sama.
Why don’t we just
end up here?
8-9 Desember 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar