Selasa, 07 Desember 2010

dua belas

Omongan Ega bertuah, Zia tahu itu. Ega pernah menyuruh Zia untuk merapikan rambut, kalau tidak mau bernasib sama seperti Pangeran Palasara. Beberapa menit kemudian, Epay menjerit kaget karena melihat seekor laba-laba kecil meloncat turun dari rambut Zia. Ega pernah mengingatkan Zia untuk tidak mengambil terlalu banyak makanan di pesta ulang tahun seorang teman, kalau tidak mau berat tubuhnya naik. Beberapa hari kemudian, Zia mendapati berat tubuhnya naik beberapa kilogram dari terakhir kali ia mengecek. Ega juga pernah memberitahu Zia bahwa tidak mengerjakan PR Bu Elly bisa menyebabkan nilai ulangan Kimia tidak memuaskan. Beberapa minggu kemudian, Zia tidak bisa menerima kenyataan bahwa nilai ulangan Kimia Epay lebih besar darinya.

Zia ingin membuktikan bahwa ia tidak mengincar berondong, namun pada suatu jam istirahat ia mendapati dirinya berada di antara Dean, Salman, dan Acil di depan kelas X-7. Kebetulan saja ia melewati kelas mereka. Lalu tahu-tahu ia tertahan di sana dengan omongan tiga bocah yang tidak dipahaminya, namun tak kuasa juga ia lewatkan.

“Eh kalo gitu saya jadi papinya yak?” tawar Acil.

“Nggak ah!” tukas Dean. “Si Salman yang mukanya lebih kayak bapak-bapak mah. Yang jadi Papi dia aja. Si Rani jadi teteh gua. Teteh perkasa, aaw…”

“Berarti aku jadi suaminya Zahra, gitu?”

“Ya terus saya jadi apa dong? Jadi tukang kebun aja yah?”

“Jadi tetangga sebelah aja, Cil! Jadi temen main gua!”

“Wah, ide bagus tuh!”

O, Zahra, betapa anehnya teman-temanmu… Zia ingin melaporkan.

“Eh, terus kita ngerjain tugasnya gimana nih? Woy, baleglah!” semprot Acil.

“Aduh, ah, gua nggak tahu ah!” Dean buru-buru mendekati seseorang yang barusan menyapanya. Ia menghilang dalam sekejap.

“Ya udah, ngerjainnya entar sore aja. Di rumahnya Zahra lagi aja, nggak apa-apa tho?”

“Ya entar deh saya bilang.”

“Tapi sebelumnya temenin aku karaokean lagi, yo, Cil!”

Acil mengerang. “Sama Teh Zia aja. Pasti nggak nolak, deh!”

“Nggak ah, sama kamu aja. Kalau sama dia pasti aku kalah terus pas milih lagu. Kamu kan yang tepuk tangannya paling keras, Cil!”

“Heh, heh, aku di sini tau…”

“Wah!” Salman terkesima. “Maaf, Teh, aku nggak nyadar Teteh ada di belakangku!”

Zia mengerutkan muka. Memangnya tadi siapa yang pertama memanggilnya untuk mendekat? Sebagai kakak kelas yang bijak, Zia menawarkan sebuah solusi. “Biar adil, gimana kalau kamu nyanyi, aku jadi operator, Acil jadi supporter-nya?”

Acil mengacungkan jari. “Usul Teh! Untuk efektivitas SDM, bagaimana kalau dua orang saja yang berangkat? Salman dan Teteh?”

Zia berkacak pinggang. Kepalanya menggeleng.

Tiga jam kemudian kesejukan udara pagi menjelang siang yang menerpa leher mereka berganti menjadi kesejukan AC di salah satu studio NAV. Zia merasa dirinya telah melakukan sesuatu yang berarti dengan menemani seorang adik kelasnya menemani seorang adik kelas yang lain. Mungkin ia bisa menjadi bagian dari pasukan khusus Mas Imin? Sayang, kedua orang target operasionalnya sudah berkomunitas. Satu orang sedang ia jajaki.

Satu dari daftar hal-hal yang ingin Zia lakukan adalah menjadi aktivis lingkungan hidup. Zia ingat ia belum mencoret frase tersebut. Tayangan Animal Planet, Discovey Channel, dan National Geographic, yang ia pelototi setidaknya seminggu sekali, masih menyisakan pengaruh dalam benaknya. Membantu Acil melupakan gulananya, Zia iseng menanyakan kegiatan apa saja yang sudah Acil lakukan. Konon, Acil berafiliasi dengan LSM lingkungan hidup tertentu. Acil mengakui bahwa kegiatan semacam sudah diikutinya sejak masih kanak-kanak karena bapaknya memfasilitasi. Bapaknya adalah staf pengajar ilmu-ilmu yang berkaitan dengan lingkungan hidup di sebuah perguruan tinggi negeri. Bapaknya juga yang pertama kali menjulukinya Acil alias Anak Cinta Lingkungan. Zia tertawa.

Acil bilang ia paling sering mengikuti kegiatan mengamati burung. “Oktober nanti mau ada festival raptor migran, Teh, kayak elang ma alap-alap gitu dah. Jadi entar pengamatannya bakal dilakuin di kota-kota yang bakal dilintasi sama raptor migran, kayak Bogor, Bandung, Jogja....”

“Emang kenapa sih kok penting banget ngamatin burung?”

“Ya, itu kan indikator kualitas lingkungan hidup, Teh. Kalau lingkungannya udah kotor, mana mau burung-burung mampir ke sana. Yang mau tinggal di lingkungan yang udah kotor tuh cuman burung gereja, Teh.”

“Trus ngamatin burung tuh ngapain aja sih?”

“Ya… Nyari burunglah, Teh. Entar ada kalo udah ketemu, ada Teh, buku buat ngidentifikasinya. Dicocokin kan sama tuh buku, jenisnya apaan. Semakin beragam jenisnya kan berarti kualitas lingkungannya juga semakin baik.”

Zia termangu. Acil memang belum pernah bermain bersama anjing laut dan lumba-lumba, menanam pohon di padang gersang Afrika, maupun mengevakuasi gajah korban konversi lahan. Namun ia tetap mampu menceritakan banyak pengalaman yang membuat Zia merasa kepenasarannya akan menjadi aktivis lingkungan hidup berakhir sudah. Pendidikan lingkungan dan kampanye saja sudah merupakan satu hal yang menyita waktu, apalagi jika ditambah hal-hal lainnya seperti yang selama ini ia bayangkan. Kini rasanya ia tidak lagi begitu ingin melakukan hal-hal tersebut. Rasanya melelahkan, kendati mengandung nilai asyik yang tidak kecil. Entah mengapa ia merasa puas hanya dengan mendengar langsung cerita dari orang pertama. Apakah sekarang ia sudah bisa mencoret satu baris lagi dari daftar hal-hal yang ingin ia lakukan? Aduh, GJ banget sih kamu, Zia, pinginnya jadi apa?!

“Beneran, Teh, suaraku bagus kan?” tanya Salman untuk yang ke sekian kali di tengah jeda pergantian lagu. Acil kontan mengangkat lengan jenjangnya dan bertepuk tangan sekeras mungkin dengan ekspresi kosong. Zia mengangguk-angguk sambil mengacungkan jempol. Salman tersenyum puas sebelum kembali bergoyang sembari unjuk suara. Sesekali ia mengerling ke belakang dan mengajak salah satu di antara Zia dan Acil untuk ikut berdiri. Keduanya kompak menggeleng karena masih berminat melanjutkan obrolan.

Setelah kandasnya minat menjadi aktivis lingkungan hidup, Zia coba mengkaji apakah ia memang lebih cocok menjadi wartawan. Ia mungkin tidak bisa melakukan banyak hal—entah karena malas atau cepat hilang minat, tapi dengan menjadi wartawan ia bisa mengetahui banyak hal. Bukankah tadi ia sudah puas hanya dengan mengetahui saja, tanpa harus melakukan? Tapi Tintin juga wartawan yang bisa segala macam hal. Mengingat pengalamannya berpanas-panas sinting kala meliput gig KOMBAS dan hasilnya pun tak memuaskan, ia mengurungkan pikirannya.

“Salman! Habis ini aku mau nyanyi juga!” Zia beranjak dari sofa. Dicari-carinya lagu yang ia rasa paling tepat untuk mewakili suara hatinya. Dibolehkannya juga Salman berduet dengannya. Gelegar suara tenor Salman berpadu kontras dengan lengkingan cempreng Zia, melantunkan bait, “…KUNCUP DI HATIKU, YANG LAMA KUSIMPAN, HANCUR KINI SEBELUM BERKEMBANG…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain