Omongan Ega bertuah, Zia tahu itu. Ega
pernah menyuruh Zia untuk merapikan rambut, kalau tidak mau bernasib sama
seperti Pangeran Palasara. Beberapa menit kemudian, Epay menjerit kaget karena
melihat seekor laba-laba kecil meloncat turun dari rambut Zia. Ega pernah
mengingatkan Zia untuk tidak mengambil terlalu banyak makanan di pesta ulang
tahun seorang teman, kalau tidak mau berat tubuhnya naik. Beberapa hari
kemudian, Zia mendapati berat tubuhnya naik beberapa kilogram dari terakhir
kali ia mengecek. Ega juga pernah memberitahu Zia bahwa tidak mengerjakan PR Bu
Elly bisa menyebabkan nilai ulangan Kimia tidak memuaskan. Beberapa minggu
kemudian, Zia tidak bisa menerima kenyataan bahwa nilai ulangan Kimia Epay
lebih besar darinya.
Zia ingin membuktikan bahwa ia tidak
mengincar berondong, namun pada suatu jam istirahat ia mendapati dirinya berada
di antara Dean, Salman, dan Acil di depan kelas X-7. Kebetulan saja ia melewati
kelas mereka. Lalu tahu-tahu ia tertahan di sana dengan omongan tiga bocah yang
tidak dipahaminya, namun tak kuasa juga ia lewatkan.
“Eh kalo gitu saya jadi papinya yak?”
tawar Acil.
“Nggak ah!” tukas Dean. “Si Salman yang
mukanya lebih kayak bapak-bapak mah. Yang jadi Papi dia aja. Si Rani jadi teteh
gua. Teteh perkasa, aaw…”
“Berarti aku jadi suaminya Zahra, gitu?”
“Ya terus saya jadi apa dong? Jadi
tukang kebun aja yah?”
“Jadi tetangga sebelah aja, Cil! Jadi
temen main gua!”
“Wah, ide bagus tuh!”
O, Zahra, betapa anehnya teman-temanmu… Zia ingin melaporkan.
“Eh, terus kita ngerjain tugasnya gimana
nih? Woy, baleglah!” semprot Acil.
“Aduh, ah, gua nggak tahu ah!” Dean
buru-buru mendekati seseorang yang barusan menyapanya. Ia menghilang dalam
sekejap.
“Ya udah, ngerjainnya entar sore aja. Di
rumahnya Zahra lagi aja, nggak apa-apa tho?”
“Ya entar deh saya bilang.”
“Tapi sebelumnya temenin aku karaokean
lagi, yo, Cil!”
Acil mengerang. “Sama Teh Zia aja. Pasti
nggak nolak, deh!”
“Nggak ah, sama kamu aja. Kalau sama dia
pasti aku kalah terus pas milih lagu. Kamu kan yang tepuk tangannya paling
keras, Cil!”
“Heh, heh, aku di sini tau…”
“Wah!” Salman terkesima. “Maaf, Teh, aku
nggak nyadar Teteh ada di belakangku!”
Zia mengerutkan muka. Memangnya tadi
siapa yang pertama memanggilnya untuk mendekat? Sebagai kakak kelas yang bijak,
Zia menawarkan sebuah solusi. “Biar adil, gimana kalau kamu nyanyi, aku jadi
operator, Acil jadi supporter-nya?”
Acil mengacungkan jari. “Usul Teh! Untuk
efektivitas SDM, bagaimana kalau dua orang saja yang berangkat? Salman dan
Teteh?”
Zia berkacak pinggang. Kepalanya
menggeleng.
Tiga jam kemudian kesejukan udara pagi
menjelang siang yang menerpa leher mereka berganti menjadi kesejukan AC di
salah satu studio NAV. Zia merasa dirinya telah melakukan sesuatu yang berarti
dengan menemani seorang adik kelasnya menemani seorang adik kelas yang lain.
Mungkin ia bisa menjadi bagian dari pasukan khusus Mas Imin? Sayang, kedua
orang target operasionalnya sudah berkomunitas. Satu orang sedang ia jajaki.
Satu dari daftar hal-hal yang ingin Zia
lakukan adalah menjadi aktivis lingkungan hidup. Zia ingat ia belum mencoret
frase tersebut. Tayangan Animal Planet, Discovey Channel, dan National
Geographic, yang ia pelototi setidaknya seminggu sekali, masih menyisakan
pengaruh dalam benaknya. Membantu Acil melupakan gulananya, Zia iseng
menanyakan kegiatan apa saja yang sudah Acil lakukan. Konon, Acil berafiliasi
dengan LSM lingkungan hidup tertentu. Acil mengakui bahwa kegiatan semacam
sudah diikutinya sejak masih kanak-kanak karena bapaknya memfasilitasi.
Bapaknya adalah staf pengajar ilmu-ilmu yang berkaitan dengan lingkungan hidup
di sebuah perguruan tinggi negeri. Bapaknya juga yang pertama kali menjulukinya
Acil alias Anak Cinta Lingkungan. Zia tertawa.
Acil bilang ia paling sering mengikuti
kegiatan mengamati burung. “Oktober nanti mau ada festival raptor migran, Teh,
kayak elang ma alap-alap gitu dah. Jadi entar pengamatannya bakal dilakuin di
kota-kota yang bakal dilintasi sama raptor migran, kayak Bogor, Bandung,
Jogja....”
“Emang kenapa sih kok penting banget
ngamatin burung?”
“Ya, itu kan indikator kualitas
lingkungan hidup, Teh. Kalau lingkungannya udah kotor, mana mau burung-burung
mampir ke sana. Yang mau tinggal di lingkungan yang udah kotor tuh cuman burung
gereja, Teh.”
“Trus ngamatin burung tuh ngapain aja
sih?”
“Ya… Nyari burunglah, Teh. Entar ada
kalo udah ketemu, ada Teh, buku buat ngidentifikasinya. Dicocokin kan sama tuh
buku, jenisnya apaan. Semakin beragam jenisnya kan berarti kualitas
lingkungannya juga semakin baik.”
Zia termangu. Acil memang belum pernah
bermain bersama anjing laut dan lumba-lumba, menanam pohon di padang gersang
Afrika, maupun mengevakuasi gajah korban konversi lahan. Namun ia tetap mampu
menceritakan banyak pengalaman yang membuat Zia merasa kepenasarannya akan menjadi
aktivis lingkungan hidup berakhir sudah. Pendidikan lingkungan dan kampanye
saja sudah merupakan satu hal yang menyita waktu, apalagi jika ditambah hal-hal
lainnya seperti yang selama ini ia bayangkan. Kini rasanya ia tidak lagi begitu
ingin melakukan hal-hal tersebut. Rasanya melelahkan, kendati mengandung nilai
asyik yang tidak kecil. Entah mengapa ia merasa puas hanya dengan mendengar
langsung cerita dari orang pertama. Apakah sekarang ia sudah bisa mencoret satu
baris lagi dari daftar hal-hal yang ingin ia lakukan? Aduh, GJ banget sih kamu, Zia, pinginnya jadi apa?!
“Beneran, Teh, suaraku bagus kan?” tanya
Salman untuk yang ke sekian kali di tengah jeda pergantian lagu. Acil kontan
mengangkat lengan jenjangnya dan bertepuk tangan sekeras mungkin dengan
ekspresi kosong. Zia mengangguk-angguk sambil mengacungkan jempol. Salman
tersenyum puas sebelum kembali bergoyang sembari unjuk suara. Sesekali ia
mengerling ke belakang dan mengajak salah satu di antara Zia dan Acil untuk
ikut berdiri. Keduanya kompak menggeleng karena masih berminat melanjutkan
obrolan.
Setelah kandasnya minat menjadi aktivis
lingkungan hidup, Zia coba mengkaji apakah ia memang lebih cocok menjadi
wartawan. Ia mungkin tidak bisa melakukan
banyak hal—entah karena malas atau cepat hilang minat, tapi dengan menjadi
wartawan ia bisa mengetahui banyak
hal. Bukankah tadi ia sudah puas hanya dengan mengetahui saja, tanpa harus
melakukan? Tapi Tintin juga wartawan yang bisa segala macam hal. Mengingat
pengalamannya berpanas-panas sinting kala meliput gig KOMBAS dan hasilnya pun
tak memuaskan, ia mengurungkan pikirannya.
“Salman! Habis ini aku mau nyanyi juga!”
Zia beranjak dari sofa. Dicari-carinya lagu yang ia rasa paling tepat untuk
mewakili suara hatinya. Dibolehkannya juga Salman berduet dengannya. Gelegar
suara tenor Salman berpadu kontras dengan lengkingan cempreng Zia, melantunkan
bait, “…KUNCUP DI HATIKU, YANG LAMA KUSIMPAN, HANCUR KINI SEBELUM BERKEMBANG…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar