Minggu, 12 Desember 2010

tiga belas

Kulit jok terasa sejuk menyentuh kulitnya. Aroma segar menyengat rongga hidungnya. Dari spion atas tergantung jalinan pohon pinus dengan action figure. Kepala Uchiha Sasuke bergoyang-goyang di atas dashboard. Untuk beberapa lama Zia tidak bisa berhenti mengamati setiap detail, lekuk, atau apapun yang mengkilap dari bagian dalam VW kodok Zaha.

Zaha menarik gigi, mengendurkan kopling, menginjak gas, dan melajulah si VW kodok ke jalanan depan rumah yang dikepung cakrawala mendung. “Eh, udah dikasih nama belum mobil ini?” tanya Zia yang duduk di sampingnya.

“Ngapain dikasih nama?”

Pada akhirnya Zaha berhasil membungkam mulut Zia agar berhenti mengarang-ngarang argumen betapa pentingnya arti sebuah nama. Sesampainya di jalan raya, celoteh Zia digantikan jeritan demi jeritan yang hanya menyisakan sesekali jeda. “Hati-hati!”, “Awas!”,  “Aduh, ya ampun, hampir aja dia keserempet!”, dan berulang kali istighfar. “Diemlah kamu, Zijay! Lama-lama aku tabrakin beneran nih mobil!” tukas Zaha ketus.

Zia meringkuk di atas joknya dan tidak berani lagi melihat ke bentangan kaca di depannya. “Kamu tuh bisa nyetir nggak sih?”

“Bisa! Ya ampun, kenapa aku bisa dapet SIM kalau nggak?!”

“Heu.. Mama, aku belum ingin menyusulmu…” rintih Zia.

Zaha mendecak kesal. “Udah ah. Lain kali nggak usah ikut aku kalau gitu!”

“Terus siapa yang mau nganterin aku beli kado buat si Boki?”

“Biasanya juga ke mana-mana naik angkot kan?!”

Zia merengut. Ia coba untuk tidak terlalu fokus pada pemandangan di luar dan gerakan sontak mobil yang dapat mempercepat debar jantungnya. Tidak perlu lagi jauh-jauh ke Dunia Fantasi untuk memacu adrenalin, pikirnya. Zia semakin merapatkan tubuh pada lipatan tungkai kaki dan melarikan mata ke macam-macam hal, asal bukan pada realita bagaimana cara Zaha mengendara. Akhirnya ia memutuskan agar mata tak lagi aktif mencari, biar sumber ketakutan saja yang langsung ditangani. Menyinggung arisan keluarga beberapa hari lampau cukup membuatnya menafikan seorang pesepeda yang—dalam jangkauan pandangnya—merupakan orang ke sekian yang hendak Zaha serempet.

“…mereka tuh kayak nggak ada bahan omongan lain selain Papa…”

Ingatannya telah kembali membawakan sebuah kenangan menyebalkan. Akhir minggu kemarin Papa membuatnya menghadiri arisan keluarga dari pihak Mama—tapi Papa sendiri enggan datang. Zaha serta juga waktu itu, yang untungnya, sedang terlalu keki pada Zia sehingga ia tidak ingin VW kodok kesayangannya terkontaminasi Zia. Adalah Mama anak bungsu dari banyak-bersaudara yang didominasi oleh perempuan. Zia tidak pernah menyukai para budenya. Mereka terlalu banyak bicara, dengan dosis yang amat banyak pada kehidupan rumah tangga Papa dan Mama—sejak dulu. Kini topik bergeser pada klaim bahwa Papa punya andil dalam kematian Mama.

“…gimana nggak frustasi, sampai bawa mobil ngebut…”

“…suaminya nggak tau cara ngurus anak gimana…”

“…kasian Merry, coba waktu itu dia nuruti pilihan saya…”

“…pasti ada orang ketiga…”

Bukan pengalaman yang menyenangkan juga bagi Zaha. Ada prasangka bahwa kematian Mama begitu mengguncang Zaha sehingga kejiwaannya tidak mendukungnya untuk bertahan di sekolah formal. Jadilah ia bersekolah di rumah. Maka Zaha hanya memberikan Zia kerlingan mata sebagai tanggapan. Keruh menggelayuti wajahnya yang mengungkapkan bahwa Zia telah mengungkit hal yang tidak penting sama sekali. Ia menepikan mobil dengan iringan jerit Zia, “Awas, itu ada kucing!”

Ketika Zaha kembali dari menjemput sekantong brownies kukus, Zia menyarankannya agar memasang pewangi aromatherapy yang khasiatnya lebih maknyus. “Oh ya, bener,” tanggap Zaha. “Apalagi kalau penumpangnya kayak kamu.”

Sekali lagi Zia mengunci mulut. Padahal ia sudah terpikir hendak membalas budi Zaha dengan menghadiahinya sesuatu saat ulang tahunnya pada Juli mendatang. Tidak lama VW kodok itu melaju lagi. Pada sebuah perempatan, ia berhenti. Zaha tak menawarkan Zia turun. Ia membawa bungkusan brownies kukusnya ke sekelompok manusia berpakaian kumal di tikungan. Zia memajukan tubuh agar dapat lebih saksama mengamati. Seorang pemuda dari gerombolan gembel itu bangkit dan menerima bungkusan Zaha. Di bawahnya, dua anak kecil bermain-main dengan pecahan botol. Sesekali Zia mendesis ngeri. Sepeninggal Zaha, gerombolan itu menyerbu bungkusan dengan beringas.

“Kamu habis ngapain sih?” tanya Zia begitu Zaha duduk di atas joknya kembali.

“Cuman ngasih balas budi aja.”

“Balas budi apa?”

“Buat bantuin proyekku.”

“Proyek apa?”

“Novel grafis.” Gas menyala. Zaha mengintip spion kanan sembari memutar kemudi.

“Hah, kamu bikin novel grafis? Mana? Liat dong!”

“Entar aja kalau udah terbit, ah. Eh, jadinya ke mana nih?”

“BSM. BSM. Eh, emang kamu ngirim ke penerbit? Zah? Zaha?”

“Heh. Iya. Cerewet ah!”

“Kapan? Kapan?”

“Udah lama…”

Mulut Zia membulat. Tak sabar mendapati tumpukan buku bersampul gambar buatan Zaha di toko buku terdekat. Sebuah buku yang hanya berisi gambar buatan Zaha, utuh! Selama ini karya Zaha yang dapat dinikmati umum, kalau bukan masuk kompilasi, ya dimuat dalam blog pribadinya.

“Eh, iya, kenapa sih kamu kok pake nama ‘tobacco’ di komik strip kamu?”

“Itu kependekan dari ‘gitong bahar’s comic’.”

“Oo… Pantes…” Sirna sudah prasangka Zia akan kemungkinan Zaha sebagai tembakau mania. “Kamu kan dipanggil ‘gitong’ yah sama temen-temen kamu? Hahaha, gigi tonggos…” Zia ingat keinginan Zaha untuk pakai behel hanya bertahan sampai Lebaran kemarin. Dalam acara kumpul keluarga di rumah Kakek saat itu, Papa bertemu Mas Imin sekeluarga dan menanyakan hal perbehelan. Mas Imin cerita bahwa ia hanya sanggup menyeruput bubur sereal dan mi instan pada dua minggu pertamanya memakai behel. “ZAHA! MATA KAMU KE MANA SIH?! ITU MOBIL! MOBIL!”

“Sengaja! Biar kamu minta diturunin!” Zaha tampak benar-benar sewot.

Zia menaikkan kaki lagi ke atas jok. Pelan-pelan ia menurunkan tangan yang tadi sempat menutup muka. Setelah itu ia berusaha untuk tidak terlalu banyak berteriak lagi dan menikmati perjalanan yang menggedor-gedor jantung. Hanya tinggal sesekali ke luar jerit tertahan dari mulutnya. Namun itu masih cukup membuat decak kesal Zaha jadi makin tak terhitung. Zia mempertimbangkan untuk pulang naik angkot saja selepasnya dari BSM.

Dikiranya, Zaha pun berniat sama, hendak men-drop-nya saja di balik pagar tinggi BSM lantas meninggalkannya bersama kepulan asap. Namun Zaha malah memasuki celah di antara dua pos pengambilan karcis. Mau cari rotring, katanya. Zia jadi mempertimbangkan lagi untuk membatalkan penyampaian rezeki pada supir angkot.

“Eh, Zaha kita main dulu di atas yuk!” ajak Zia begitu barang yang ia incar sejak lama sudah berada dalam genggaman tangan, sementara Zaha tak menemukan apa yang dicari. Zaha tidak kelihatan ingin menampik ajakan tersebut, tapi tidak juga mengiyakan. Ia mengekor saja saat Zia melangkah duluan menuju lantai teratas. Ia tidak menduga Zia telah merencanakan sesuatu untuknya. Sesuatu yang membuat Zia tertawa lepas sementara ia hanyut dalam buncahan kesal karena jumlah kupon yang jauh lebih sedikit. Atau rentetan huruf D kelabu berbintik-bintik.

Zaha akhirnya turun dari panggung rendah dengan empat panah yang masing-masing menunjuk ke penjuru berlainan. “Kalah lagi!” teriak Zia dengan telunjuk menuding-nuding. Zaha berkacak pinggang. Menunjukkan wajah yang akan membuat seram bagi orang yang tak biasa.

“Ayo main lagi, Zaha. Aku yang bayarin kok!” Zia tak bisa menyembunyikan kepuasannya. Ia tahu Zaha hanya piawai menggambar dan bersih-bersih rumah. Dan Zia sendiri butuh untuk meresapi lagi bagaimana rasanya menjadi unggul—salah satunya dengan mengajak Zaha melangkah lincah di atas panggung Dance Dance Revolution. “Atau kita mau main yang lain lagi?” Zia mengimbangi langkah Zaha yang kontan memutar tubuh. Zia juga tahu kalau Zaha tidak pernah memenangkan game apapun apabila disandingkan dengan dirinya. “Atau kita mau coba permainan yang kamu udah pasti menang? Ada nggak ya?”

“Oh ya, gimana kalau kita coba permainan ‘siapa yang berhasil membunuh kecoak paling banyak di kamar’? Aku ikhlas kok kalau kamu menang, Zia. Sayang sekali, di kamar aku nggak ada kecoaknya.”

Zia memajukan bibir bawahnya. Ia merenggut lengan Zaha. “Ayo kita DDR lagi!”

“Nggak mau!”

“Ayooo…”

“NGGAK!”

Zia mengerahkan rengek. Alas kaki ia jejakkan kuat-kuat di lantai. Zaha berusaha melepaskan cengkeraman dua tangan Zia dari lengan kanannya, kendati itu membuat Zia sempat terseret. “Eh, tuh liat, ada orang pacaran lagi marahan!”

“Hah, mana?” Zia kontan mengendurkan cengkeramannya. Zaha memanfaatkan kesempatan tersebut untuk membebaskan lengannya dan berjalan menjauh. “Mana, Zaha, mana?”

“Itu! Depan Popeye’s!”

Kepala Zia berputar. Sesinis-sinisnya Zaha, kecil kemungkinan adiknya itu berdusta—sekecil kemungkinannya merokok dan meninggalkan kamar dalam keadaan berantakan. Zia terperangah ketika menyaksikan kebenaran pernyataan Zaha berupa sosok yang ia kenal. Sosok yang merangkul seorang cewek yang bertubuh jauh lebih mungil dan rendah darinya. Terlihat seperti sedang menghibur. Menutupi wajah gundah menahan tangis cewek tersebut dengan tubuhnya.

=====

Langkah Zia semakin cepat ketika melihat sosok itu di sela-sela kerumunan putih kelabu. Sosok yang membuatnya meninggalkan kawanannya dalam perjalanan menuju Klenger. Percikan semangat menyusup ke dalam aliran darahnya. Semakin dekat dan semakin dekat. Zia tidak peduli sosok itu sedang ada di tengah kawanannya yang Zia tidak kenal sekali pun. Keluarlah apa yang sedari kemarin ditahan-tahannya. “Haaa… Dean! Kemarin abis bikin cewek nangis ya, ketahuan…!”

Tidak hanya Dean, kawanannya pun terpana. Ada yang menutup mulutnya. Sesaat kemudian mereka ramai menyerang Dean dengan bertubi-tubi ledekan. Menyebut-nyebut satu nama yang menyemburatkan merah di muka Dean. Ketika Dean berkali-kali menyatakan, “Bukan!”, semakin heboh kawanan itu menyerbunya. Tidak berhasil meyakinkan mereka, pandangan Dean mengarah pada si biang usil. “Teh Zia, itu teh adik saya! Kan Teteh udah pernah liat fotonya!”

Cengiran Zia memudar. Ingatannya mengklarifikasi bahwa memang sekilas wajah dua orang yang disaksikannya kemarin itu relatif mirip. “Oh, iya, lupa.”

“Ah, boong, Teh, boong, Teh… Paling Teteh dikasih foto yang salah…”

Zia bingung harus menjawab apa. Dean lekas menggusah kawanannya menjauh. Masih terdengar samar-samar ledekan menyambar, saat Dean berkata padanya, “Ah, Teteh mah ah. Itu sensitif, Teh.”

“Eh. Maaf…” Rasa bersalah meliputi Zia. Ia juga tidak akan suka kalau masalah keluarganya disinggung di depan banyak orang. Jadi sebisa mungkin ia menolak teman-teman yang ingin main ke rumahnya. Juga sedikit mungkin bercerita pada mereka, apapun tentang keluarganya. Zia tidak menyangka cowok seperiang Dean punya masalah keluarga juga! “Aku nggak tau kemarin itu masalah kamu sama adik kamu apaan, tapi, maaf, ya…”

“Bukan tentang adik sayanya sih, Teh. Tapi temen-temen saya tuh ganas banget kalo udah nyangkut-nyangkut cewek, Teh…”

“Ooohh…” Kalau begitu, rasa bersalah yang tadi itu tidak perlu, batin Zia.

“Kemarin Teteh ada di BSM juga?”

“Iya.” Tapi lalu Zaha buru-buru ingin pulang dan Zia tidak tahu apa lagi yang hendak ia lakukan selain menyusul. “Sori ya. Abis kalian rangkulan gitu sih. Jadi aku kira kalian pacaran…” Kalimat Zaha juga yang membuatnya berprasangka demikian.

“Nggak apa-apa kok, Teh. Kemarin itu saya mau bayar utang sama adik saya. Sekalian jalan deh ke BSM, yang deket rada-rada deket rumah. Eh, nggak taunya si Zara ketemu sama cowoknya. Lagi jalan dong, sama sobatnya.”

“Wow.” Kini Zia menyadari bahwa yang ditampilkan teenlit tampaknya bukan sekedar khayal pengumbar impi. Salah satu fragmennya kini sungguh-sungguh terjadi! Zia merasa bumi berguncang ketika melihat sesosok tambun berlari-lari menyongsong Dean. Dean memutar tubuhnya agar tidak membelakangi Salman.

“Dean, temenin aku ke Bu Euis yuk!” Salman memegang kedua lutut sembari menghabiskan sisa sengalnya.

“Ada apa gitu, Sal?”

“Aku mau minta pendapat ahli, Yan!” Dean dan Zia bertukar raut tanya. “Aku pingin tau suaraku sama si Ipong tinggian siapa!”

“Bu Euis? Guru Seni Musik itu?” tanya Zia.

“Bukannya entar juga pas latian VG ketemu, Sal?” susul Dean.

“Wah. Nggak bisa. Ini cuman di antara aku dan Ipong, Yan!”

“Trus kenapa nggak sama si Ipong-Ipong itu aja ke sananya?” Zaha melipat lengan.

“Ah. Nggak ah, Teh. Ayo, Yan!” Salman menarik lengan Dean. “Entar kalau Bu Euis ngajak aku ngomong pakai bahasa Sunda gimana? Aku kan nggak ngerti!”

Terseret-seret, Dean pun menjauh dibawa Salman. “Ikut nggak, Teh?” Gelengan Zia berhenti kala indra pendengarannya menangkap sebuah cekikik dan deham ganjil. Ia menoleh. Didapatinya Ega dan Regi dalam lingkaran tim pengurus OSIS yang baru terletak tak jauh dari tempatnya berpijak.

“Bronis, bronis… Berondong manis…” Ega menggoda. Regi menutup mulutnya yang meletupkan bahak tawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain