Kulit jok terasa sejuk menyentuh
kulitnya. Aroma segar menyengat rongga hidungnya. Dari spion atas tergantung
jalinan pohon pinus dengan action figure. Kepala Uchiha Sasuke bergoyang-goyang
di atas dashboard. Untuk beberapa lama Zia tidak bisa berhenti mengamati setiap
detail, lekuk, atau apapun yang mengkilap dari bagian dalam VW kodok Zaha.
Zaha menarik gigi, mengendurkan kopling,
menginjak gas, dan melajulah si VW kodok ke jalanan depan rumah yang dikepung
cakrawala mendung. “Eh, udah dikasih nama belum mobil ini?” tanya Zia yang
duduk di sampingnya.
“Ngapain dikasih nama?”
Pada akhirnya Zaha berhasil membungkam
mulut Zia agar berhenti mengarang-ngarang argumen betapa pentingnya arti sebuah
nama. Sesampainya di jalan raya, celoteh Zia digantikan jeritan demi jeritan
yang hanya menyisakan sesekali jeda. “Hati-hati!”, “Awas!”, “Aduh, ya ampun, hampir aja dia keserempet!”,
dan berulang kali istighfar. “Diemlah kamu, Zijay! Lama-lama aku tabrakin
beneran nih mobil!” tukas Zaha ketus.
Zia meringkuk di atas joknya dan tidak
berani lagi melihat ke bentangan kaca di depannya. “Kamu tuh bisa nyetir nggak
sih?”
“Bisa! Ya ampun, kenapa aku bisa dapet
SIM kalau nggak?!”
“Heu.. Mama, aku belum ingin
menyusulmu…” rintih Zia.
Zaha mendecak kesal. “Udah ah. Lain kali
nggak usah ikut aku kalau gitu!”
“Terus siapa yang mau nganterin aku beli
kado buat si Boki?”
“Biasanya juga ke mana-mana naik angkot
kan?!”
Zia merengut. Ia coba untuk tidak
terlalu fokus pada pemandangan di luar dan gerakan sontak mobil yang dapat
mempercepat debar jantungnya. Tidak perlu lagi jauh-jauh ke Dunia Fantasi untuk
memacu adrenalin, pikirnya. Zia semakin merapatkan tubuh pada lipatan tungkai
kaki dan melarikan mata ke macam-macam hal, asal bukan pada realita bagaimana
cara Zaha mengendara. Akhirnya ia memutuskan agar mata tak lagi aktif mencari,
biar sumber ketakutan saja yang langsung ditangani. Menyinggung arisan keluarga
beberapa hari lampau cukup membuatnya menafikan seorang pesepeda yang—dalam
jangkauan pandangnya—merupakan orang ke sekian yang hendak Zaha serempet.
“…mereka tuh kayak nggak ada bahan omongan
lain selain Papa…”
Ingatannya telah kembali membawakan
sebuah kenangan menyebalkan. Akhir minggu kemarin Papa membuatnya menghadiri
arisan keluarga dari pihak Mama—tapi Papa sendiri enggan datang. Zaha serta
juga waktu itu, yang untungnya, sedang terlalu keki pada Zia sehingga ia tidak
ingin VW kodok kesayangannya terkontaminasi Zia. Adalah Mama anak bungsu dari
banyak-bersaudara yang didominasi oleh perempuan. Zia tidak pernah menyukai
para budenya. Mereka terlalu banyak bicara, dengan dosis yang amat banyak pada
kehidupan rumah tangga Papa dan Mama—sejak dulu. Kini topik bergeser pada klaim
bahwa Papa punya andil dalam kematian Mama.
“…gimana nggak frustasi, sampai bawa
mobil ngebut…”
“…suaminya nggak tau cara ngurus anak
gimana…”
“…kasian Merry, coba waktu itu dia
nuruti pilihan saya…”
“…pasti ada orang ketiga…”
Bukan pengalaman yang menyenangkan juga
bagi Zaha. Ada prasangka bahwa kematian Mama begitu mengguncang Zaha sehingga
kejiwaannya tidak mendukungnya untuk bertahan di sekolah formal. Jadilah ia
bersekolah di rumah. Maka Zaha hanya memberikan Zia kerlingan mata sebagai
tanggapan. Keruh menggelayuti wajahnya yang mengungkapkan bahwa Zia telah
mengungkit hal yang tidak penting sama sekali. Ia menepikan mobil dengan
iringan jerit Zia, “Awas, itu ada kucing!”
Ketika Zaha kembali dari menjemput
sekantong brownies kukus, Zia menyarankannya agar memasang pewangi aromatherapy
yang khasiatnya lebih maknyus. “Oh ya, bener,” tanggap Zaha. “Apalagi kalau
penumpangnya kayak kamu.”
Sekali lagi Zia mengunci mulut. Padahal
ia sudah terpikir hendak membalas budi Zaha dengan menghadiahinya sesuatu saat
ulang tahunnya pada Juli mendatang. Tidak lama VW kodok itu melaju lagi. Pada
sebuah perempatan, ia berhenti. Zaha tak menawarkan Zia turun. Ia membawa
bungkusan brownies kukusnya ke sekelompok manusia berpakaian kumal di tikungan.
Zia memajukan tubuh agar dapat lebih saksama mengamati. Seorang pemuda dari
gerombolan gembel itu bangkit dan menerima bungkusan Zaha. Di bawahnya, dua
anak kecil bermain-main dengan pecahan botol. Sesekali Zia mendesis ngeri.
Sepeninggal Zaha, gerombolan itu menyerbu bungkusan dengan beringas.
“Kamu habis ngapain sih?” tanya Zia
begitu Zaha duduk di atas joknya kembali.
“Cuman ngasih balas budi aja.”
“Balas budi apa?”
“Buat bantuin proyekku.”
“Proyek apa?”
“Novel grafis.” Gas menyala. Zaha
mengintip spion kanan sembari memutar kemudi.
“Hah, kamu bikin novel grafis? Mana?
Liat dong!”
“Entar aja kalau udah terbit, ah. Eh,
jadinya ke mana nih?”
“BSM. BSM. Eh, emang kamu ngirim ke
penerbit? Zah? Zaha?”
“Heh. Iya. Cerewet ah!”
“Kapan? Kapan?”
“Udah lama…”
Mulut Zia membulat. Tak sabar mendapati
tumpukan buku bersampul gambar buatan Zaha di toko buku terdekat. Sebuah buku
yang hanya berisi gambar buatan Zaha, utuh! Selama ini karya Zaha yang dapat
dinikmati umum, kalau bukan masuk kompilasi, ya dimuat dalam blog pribadinya.
“Eh, iya, kenapa sih kamu kok pake nama
‘tobacco’ di komik strip kamu?”
“Itu kependekan dari ‘gitong bahar’s
comic’.”
“Oo… Pantes…” Sirna sudah prasangka Zia
akan kemungkinan Zaha sebagai tembakau mania. “Kamu kan dipanggil ‘gitong’ yah
sama temen-temen kamu? Hahaha, gigi tonggos…” Zia ingat keinginan Zaha untuk
pakai behel hanya bertahan sampai Lebaran kemarin. Dalam acara kumpul keluarga
di rumah Kakek saat itu, Papa bertemu Mas Imin sekeluarga dan menanyakan hal
perbehelan. Mas Imin cerita bahwa ia hanya sanggup menyeruput bubur sereal dan
mi instan pada dua minggu pertamanya memakai behel. “ZAHA! MATA KAMU KE MANA
SIH?! ITU MOBIL! MOBIL!”
“Sengaja! Biar kamu minta diturunin!”
Zaha tampak benar-benar sewot.
Zia menaikkan kaki lagi ke atas jok.
Pelan-pelan ia menurunkan tangan yang tadi sempat menutup muka. Setelah itu ia
berusaha untuk tidak terlalu banyak berteriak lagi dan menikmati perjalanan
yang menggedor-gedor jantung. Hanya tinggal sesekali ke luar jerit tertahan
dari mulutnya. Namun itu masih cukup membuat decak kesal Zaha jadi makin tak
terhitung. Zia mempertimbangkan untuk pulang naik angkot saja selepasnya dari
BSM.
Dikiranya, Zaha pun berniat sama, hendak
men-drop-nya saja di balik pagar tinggi BSM lantas meninggalkannya bersama
kepulan asap. Namun Zaha malah memasuki celah di antara dua pos pengambilan
karcis. Mau cari rotring, katanya. Zia jadi mempertimbangkan lagi untuk
membatalkan penyampaian rezeki pada supir angkot.
“Eh, Zaha kita main dulu di atas yuk!”
ajak Zia begitu barang yang ia incar sejak lama sudah berada dalam genggaman
tangan, sementara Zaha tak menemukan apa yang dicari. Zaha tidak kelihatan
ingin menampik ajakan tersebut, tapi tidak juga mengiyakan. Ia mengekor saja
saat Zia melangkah duluan menuju lantai teratas. Ia tidak menduga Zia telah
merencanakan sesuatu untuknya. Sesuatu yang membuat Zia tertawa lepas sementara
ia hanyut dalam buncahan kesal karena jumlah kupon yang jauh lebih sedikit. Atau
rentetan huruf D kelabu berbintik-bintik.
Zaha akhirnya turun dari panggung rendah
dengan empat panah yang masing-masing menunjuk ke penjuru berlainan. “Kalah
lagi!” teriak Zia dengan telunjuk menuding-nuding. Zaha berkacak pinggang.
Menunjukkan wajah yang akan membuat seram bagi orang yang tak biasa.
“Ayo main lagi, Zaha. Aku yang bayarin
kok!” Zia tak bisa menyembunyikan kepuasannya. Ia tahu Zaha hanya piawai
menggambar dan bersih-bersih rumah. Dan Zia sendiri butuh untuk meresapi lagi
bagaimana rasanya menjadi unggul—salah satunya dengan mengajak Zaha melangkah
lincah di atas panggung Dance Dance Revolution. “Atau kita mau main yang lain
lagi?” Zia mengimbangi langkah Zaha yang kontan memutar tubuh. Zia juga tahu
kalau Zaha tidak pernah memenangkan game apapun apabila disandingkan dengan
dirinya. “Atau kita mau coba permainan yang kamu udah pasti menang? Ada nggak
ya?”
“Oh ya, gimana kalau kita coba permainan
‘siapa yang berhasil membunuh kecoak paling banyak di kamar’? Aku ikhlas kok
kalau kamu menang, Zia. Sayang sekali, di kamar aku nggak ada kecoaknya.”
Zia memajukan bibir bawahnya. Ia
merenggut lengan Zaha. “Ayo kita DDR lagi!”
“Nggak mau!”
“Ayooo…”
“NGGAK!”
Zia mengerahkan rengek. Alas kaki ia
jejakkan kuat-kuat di lantai. Zaha berusaha melepaskan cengkeraman dua tangan
Zia dari lengan kanannya, kendati itu membuat Zia sempat terseret. “Eh, tuh
liat, ada orang pacaran lagi marahan!”
“Hah, mana?” Zia kontan mengendurkan
cengkeramannya. Zaha memanfaatkan kesempatan tersebut untuk membebaskan lengannya
dan berjalan menjauh. “Mana, Zaha, mana?”
“Itu! Depan Popeye’s!”
Kepala Zia berputar. Sesinis-sinisnya
Zaha, kecil kemungkinan adiknya itu berdusta—sekecil kemungkinannya merokok dan
meninggalkan kamar dalam keadaan berantakan. Zia terperangah ketika menyaksikan
kebenaran pernyataan Zaha berupa sosok yang ia kenal. Sosok yang merangkul
seorang cewek yang bertubuh jauh lebih mungil dan rendah darinya. Terlihat
seperti sedang menghibur. Menutupi wajah gundah menahan tangis cewek tersebut
dengan tubuhnya.
=====
Langkah Zia semakin cepat ketika melihat
sosok itu di sela-sela kerumunan putih kelabu. Sosok yang membuatnya
meninggalkan kawanannya dalam perjalanan menuju Klenger. Percikan semangat
menyusup ke dalam aliran darahnya. Semakin dekat dan semakin dekat. Zia tidak
peduli sosok itu sedang ada di tengah kawanannya yang Zia tidak kenal sekali
pun. Keluarlah apa yang sedari kemarin ditahan-tahannya. “Haaa… Dean! Kemarin
abis bikin cewek nangis ya, ketahuan…!”
Tidak hanya Dean, kawanannya pun
terpana. Ada yang menutup mulutnya. Sesaat kemudian mereka ramai menyerang Dean
dengan bertubi-tubi ledekan. Menyebut-nyebut satu nama yang menyemburatkan
merah di muka Dean. Ketika Dean berkali-kali menyatakan, “Bukan!”, semakin
heboh kawanan itu menyerbunya. Tidak berhasil meyakinkan mereka, pandangan Dean
mengarah pada si biang usil. “Teh Zia, itu teh adik saya! Kan Teteh udah pernah
liat fotonya!”
Cengiran Zia memudar. Ingatannya
mengklarifikasi bahwa memang sekilas wajah dua orang yang disaksikannya kemarin
itu relatif mirip. “Oh, iya, lupa.”
“Ah, boong, Teh, boong, Teh… Paling
Teteh dikasih foto yang salah…”
Zia bingung harus menjawab apa. Dean
lekas menggusah kawanannya menjauh. Masih terdengar samar-samar ledekan
menyambar, saat Dean berkata padanya, “Ah, Teteh mah ah. Itu sensitif, Teh.”
“Eh. Maaf…” Rasa bersalah meliputi Zia.
Ia juga tidak akan suka kalau masalah keluarganya disinggung di depan banyak
orang. Jadi sebisa mungkin ia menolak teman-teman yang ingin main ke rumahnya.
Juga sedikit mungkin bercerita pada mereka, apapun tentang keluarganya. Zia
tidak menyangka cowok seperiang Dean punya masalah keluarga juga! “Aku nggak
tau kemarin itu masalah kamu sama adik kamu apaan, tapi, maaf, ya…”
“Bukan tentang adik sayanya sih, Teh.
Tapi temen-temen saya tuh ganas banget kalo udah nyangkut-nyangkut cewek, Teh…”
“Ooohh…” Kalau begitu, rasa bersalah
yang tadi itu tidak perlu, batin Zia.
“Kemarin Teteh ada di BSM juga?”
“Iya.” Tapi lalu Zaha buru-buru ingin
pulang dan Zia tidak tahu apa lagi yang hendak ia lakukan selain menyusul.
“Sori ya. Abis kalian rangkulan gitu sih. Jadi aku kira kalian pacaran…”
Kalimat Zaha juga yang membuatnya berprasangka demikian.
“Nggak apa-apa kok, Teh. Kemarin itu
saya mau bayar utang sama adik saya. Sekalian jalan deh ke BSM, yang deket
rada-rada deket rumah. Eh, nggak taunya si Zara ketemu sama cowoknya. Lagi
jalan dong, sama sobatnya.”
“Wow.” Kini Zia menyadari bahwa yang
ditampilkan teenlit tampaknya bukan sekedar khayal pengumbar impi. Salah satu
fragmennya kini sungguh-sungguh terjadi! Zia merasa bumi berguncang ketika
melihat sesosok tambun berlari-lari menyongsong Dean. Dean memutar tubuhnya
agar tidak membelakangi Salman.
“Dean, temenin aku ke Bu Euis yuk!”
Salman memegang kedua lutut sembari menghabiskan sisa sengalnya.
“Ada apa gitu, Sal?”
“Aku mau minta pendapat ahli, Yan!” Dean
dan Zia bertukar raut tanya. “Aku pingin tau suaraku sama si Ipong tinggian
siapa!”
“Bu Euis? Guru Seni Musik itu?” tanya
Zia.
“Bukannya entar juga pas latian VG
ketemu, Sal?” susul Dean.
“Wah. Nggak bisa. Ini cuman di antara
aku dan Ipong, Yan!”
“Trus kenapa nggak sama si Ipong-Ipong
itu aja ke sananya?” Zaha melipat lengan.
“Ah. Nggak ah, Teh. Ayo, Yan!” Salman
menarik lengan Dean. “Entar kalau Bu Euis ngajak aku ngomong pakai bahasa Sunda
gimana? Aku kan nggak ngerti!”
Terseret-seret, Dean pun menjauh dibawa
Salman. “Ikut nggak, Teh?” Gelengan Zia berhenti kala indra pendengarannya
menangkap sebuah cekikik dan deham ganjil. Ia menoleh. Didapatinya Ega dan Regi
dalam lingkaran tim pengurus OSIS yang baru terletak tak jauh dari tempatnya
berpijak.
“Bronis, bronis… Berondong manis…” Ega menggoda. Regi menutup mulutnya yang meletupkan bahak tawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar