(i don’t see myself when i look in
the mirror/ i see who i should be/ i don’t see myself when i look in your eye/ thank
god for that/ i don’t see myself when i look cross the river/ i see where i
should be/ i don’t see myself when i look from the sky/ thank god for that/
starsailor – in the crossfire)
.
Kalimat-kalimat itu telah Zia salin ke atas secarik kertas berwarna,
dengan warna tinta yang ia pikir senada. Sudah
ia hias juga seadanya. Zia mencoba puas dengan hasil kreativitasnya sendiri.
Masih lebih bagus buatan neo tim mading LEMPERs, pikirnya sedih. Ah, yang penting kebaca! Tidak hanya perkara warna, ukuran aksara yang
Zia gurat cukup besar untuk dilihat dari tempat tidurnya yang menghadap
pintu—tempatnya menempelkan kertas itu.
Zia mundur beberapa langkah. Terhambat oleh tempat tidurnya. Ia naik ke
atas kasur. Sebuah boneka kecil, hadiah ulang tahun dari teman, ia tendang. Ada
pula yang terinjak. Masih berjalan mundur. Di pangkal kasur, ia membaca ulang
apa yang tertera pada kertas tersebut untuk yang ke sekian kali.
Aku: “Selain
beribadah kepada-Mu,
memimpin
kehidupan di muka bumi,
dan menjadi
rahmat bagi semesta,
untuk apa
Kau hadirkan aku di dunia ini?”
Dia:
“Supaya,
kamu bisa tentukan sendiri nasibmu.”
Aku: “Wow.
Terima
kasih, Tuhan,
telah
memberi kepercayaan pada diriku!”
‘Aku’ untuk dirinya. ‘Dia’ untuk Penciptanya. Apakah memang begitu caranya
bercakap-cakap dengan Tuhan? Ia tidak tahu. Tanpa harus mengejar-ngejar saat
jam istirahat atau mendatangi rumah-Nya malam-malam, Dia sudah tahu segala hal
tentang dirinya. ‘telah memberi kepercayaan pada diriku!”—pada rangkaian kata
itu matanya tak bisa lepas. Dengan diberi kepercayaan seperti itu, ia merasa
dihargai. Terpikir untuk memberi garis bawah atau highlight, tapi khawatir
jadinya malah tambah jelek. Ia meresapi kalimat-kalimat yang dikarangnya itu,
berpikir, apakah benar seperti itu yang ingin Dia sampaikan padanya? Setidaknya
begitulah yang ia cerna dari ayat-ayat-Nya, salah satunya Ar-Ra’ad ayat 11.
Zia menggigit bibir bawah. Berpuas-puas diri dengan isi puisinya. Mungkin
media yang mau memuat puisi macam begini hanyalah fasilitas jejaring sosial
milik pribadi dan pintu kamarnya. Yang pegangannya turun, dan terbukalah itu
pintu. Zaha.
Beberapa hari lalu, ia masih menyemprot Zaha karena memasuki kamarnya.
Sebetulnya tidak ada maksudnya hendak begitu, tapi sudah refleks. Toh patut pula
ia protes. Zaha tak pernah mengizinkan Zia masuk ke dalam kamarnya. Zaha
menyalahkan Zia karena tidak mengunci pintu kamarnya sendiri. Pakai meledek
kamar Zia habis kena gempa pula. Setelah basa-basi ketus singkat, tahu-tahu
Zaha meletakkan sesuatu di meja belajarnya. Hasil perbaikan karyanya. Zaha
meminta Zia membacanya. Menanggapinya. Zia merasa malu sesudahnya. Sebegitu
terlihatnyakah selama ini keinginannya untuk membaca karya Zia? Ia lebih suka
dengan anggapan Zaha bahwa yang ia lakukan selama ini semata untuk mendapat
bahan ledekan. Jadi Zaha tak pernah sengaja memberikan karyanya untuk Zia baca
secara cuma-cuma—selain yang memang sudah terpublikasi.
Sekarang Zia diam saja saat melihat Zaha memasuki kamarnya. Kendati belum
habis pikir, mengapa tahu-tahu Zaha dengan sukarela menyerahkan karyanya? Apa
belum cukup adu mulut yang sudah-sudah? Yang dinding mulut Zia sampai robek
karenanya?
“Udah dibaca?” tanya Zaha, mengambil bundelan kertas di atas meja belajar
Zia.
“Udah,” jawab Zia.
“Terus?”
“Bagus kok.” Zia mengangguk-angguk.
“Cuman itu?”
“Ya. Aaaa... Ceritanya udah bagus kok. Cukup inspiratif. Aku juga...” Zia
susah mengucapkannya, ”...kagum sama art-nya. Bagus, kok, bagus. Aku suka.
Jarang-jarang ada yang ngulas tentang kelanjutan usaha setelah seseorang
mengalami titik balik... kan?” Apalagi yang hendak Zia katakan? Ia tidak mau
mencoret poin tambahan dalam resolusinya: berhenti mengkritisi Zaha, ganti
dengan dorongan. “Mau kamu coba kirim lagi?”
“Ya. Kalau kamu bisa ngasih kritik yang lebih jujur.” Zaha meletakkan
kembali karyanya. Zia merasa jengah dengan cara memandang Zaha kepadanya.
“Kenapa harus aku sih, Zaha? Apa kamu nggak punya seorang mentor atau apa
gitu, yang lebih berkapabilitas? Aku kan...” Zia melanjutkan kalimatnya dengan
enggan, “...bisa gambar juga nggak.
Zaha masih bungkam.
“...sok tahu nggak tuh, namanya?” lanjut Zia karena Zaha tak kunjung
bicara. “Heh, Zaha, ngomong dong...?”
Zaha menghela nafas, kesal. “Emang bukan cuman kamu proofreader-ku. Tapi
cara pandang kamu terhadap karya aku tuh sama kayak cara pandang aku terhadap
karya aku. Kalau kamu nggak ngomong duluan, aku nggak bakal ngeh.” Zia hendak
membalas, tapi Zaha lebih cepat menyelanya. “Kalau cuman komikus kawakan yang
boleh ngasih pendapat buat komikus amatir, komik itu cuman bakal bisa dinikmati
di kalangan komikus sendiri.”
“Jadi kamu nggak keberatan kalau selama ini aku ngritik kamu?” Zia tahu
betapa risih orang-orang di sekitarnya kalau ia sedang berada dalam masa
kritis. Katanya lebih kepada dirinya sendiri, “...kan nggak semua orang suka
dikritik.”
“Trus jadinya kritik itu nggak perlu, gitu?”
“Ya, kan, kesannya enak aja ngomong gitu, tapi ngelakuin sendiri nggak
bisa.”
Zaha mengangkat muka. “Ya nggak tau sih, kalau orang lain mah. Kalau terus
nutup diri dari kritikan ya gimana mau nyadar mana yang salah. Orang-orang
nggak mesti bener, tapi bukannya diri sendiri nggak gitu juga kan? Aku sih
butuh—”
“Trus kenapa kamu biasanya nggak seneng kalo aku pingin baca karya kamu?!”
cecar Zia.
“Ya habis kamu tuh suka main rebut aja sih! Coba kamu minta baik-baik sama
aku, pasti aku kasih! Cara kamu ngomentarin juga bukannya enak, tapi aku butuh!
Hah, ya udah, kalo nggak mau mah—“ Zaha hendak mengambil kembali karyanya, tapi
tak jadi, Zia keburu berteriak, “Eh, eh, ya, entar aku baca lagi deh!”
Mata Zaha mendelik padanya. Pintu kamar Zia tertutup kembali. Zia
terhenyak. Lagi-lagi ia merasa kalah dari Zaha. Kecipratan kritik pula!
Kritik. Kata itu terus berduplikat dan memenuhi kepalanya. Tidak banyak
hal yang ia bisa lakukan, tapi ia bisa mengkritik. Dan pasti masih ada banyak
orang di dunia ini yang membutuhkan kritik—tidak hanya Zaha. Bagaimana
menjadikannya sebuah potensi yang berguna?
Sekejap, ia sadar bahwa ia bukannya tidak punya potensi sama sekali,
mereka hanya kurang berkembang, itu saja. Dan seharusnya ia tidak membiarkan
mereka layu sebelum berkembang. Mereka adalah pemberian dari Dia, sebagai bekal
untuk mewujudkan nasib yang ia bebas untuk menentukannya sendiri. Betapa
baiknya Dia, Zia tersenyum ke arah langit-langit, tapi kenapa Dia memunculkanku di lingkungan yang seperti ini?
Zia merasa telah mencapai sebuah titik AHA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar