Jumat, 03 Desember 2010

delapan

Pelataran kantin Kabita dipijaki pelbagai rupa manusia. Zia tidak bisa berhenti mengipaskan notes ke samping leher. Sesekali sebelah tangannya dipakai untuk menghalangi silau cahaya mentari sampai ke area penglihatan. Lagi-lagi ia menghembuskan nafas. Kemalasan menahannya sedari tadi untuk tidak menyeruak kebisingan di hadapan mata. Kalau sedang niat, sebetulnya Zia tidak keberatan apabila harus berdesak-desakkan dalam keramaian. Namun sekuat apapun Zia mengais, niat itu terlalu lemah untuk dikeluarkan.

Untuk sebuah acara yang dimaksudkan sebagai ajang perkenalan, daya tarik gig KOMBAS boleh juga. Siapapun yang merasa bisa bermusik dan hendak mengembangkan kemampuannya— entah itu anak kelas X, kelas XI, maupun kelas XII, sudah terdaftar sebagai KOMBAS-er apa belum—boleh unjuk gigi asal mau mengantri. Pada kesempatan ini pula para punggawa KOMBAS hendak mencari bibit-bibit baru untuk disemai. Ditingkatkan derajatnya.

Di sisi lain, beredar desas-desus di kalangan anak kelas X kalau Kabita adalah wilayah khusus anak kelas XII. Anak kelas X hanya boleh menjamah Karunia—kantin lama dekat area penjaga sekolah yang lebih pantas disebut warung. Tidak juga anak kelas X patut memasuki kantin Klenger, yang konon dikhususkan untuk anak kelas XI. Begitu yang ia dengar dari Salman. Dalam perjalanannya menuju Kabita, ia berpapasan dengan bocah itu dan mengajaknya menghadiri gig KOMBAS. Zia menertawakan kepolosan anak-anak kelas X. Adanya juga Karunia dan Klenger yang bakal digusur karena sudah berdiri kantin yang lebih besar, sehat, bersih, dan lengkap. Namun biarlah anak-anak kelas X tetap dalam kepolosan mereka. Lagipula Salman lebih berminat menghadiri briefing persiapan olimpiade.

Ketika sampai di area Kabita, kebenaran akan desas-desus tersebut menjadi kabur. Zia menemukan anak kelas X, kelas XI, dan kelas XII bercampur baur di pelataran kantin. Lebih banyak anak kelas X dan kelas XI-nya bahkan. Apalah artinya desas-desus tak bermutu itu? Ketika telah sampai ajakan untuk mengapresiasi kebutuhan berekspresi remaja, harus dihapuskan segala sekat yang memisahkan perbedaan kelas. Secara otomatis semua jadi lebur karena kuatnya daya pikat salah satu unsur dalam kehidupan: musik!

Aha. Akhirnya Zia menemukan sesuatu untuk dipasangnya sebagai lead liputan.

Sebelumnya, Zia berhasil mendapat beberapa kalimat ketua panitia. Kalau sedang tidak sok dirundung kesibukan mengusung peralatan begitu, ketua panitia mungkin akan dapat memberinya lebih banyak kalimat. Panitia lain yang sempat Zia tanyai malah lebih parah lagi jual mahalnya. Zia berharap selepas keramaian ini kekuatan niatnya telah bulat hingga ia tergerak untuk menghampiri mereka lagi. Hanya demi mendapatkan lebih banyak kalimat!

Pada notes, Zia mengintip poin lain yang harus ia incar untuk melengkapi materi liputannya. Tanya komentar anak kelas X. Seketika Zia teringat pesanan Regi dan Epay beberapa waktu lampau. Mengetahui Zia hendak berpartisipas di LEMPERs lagi dan memulainya dengan meliput gig “kecil-kecilan” KOMBAS, Regi dan Epay langsung menyerbunya dengan seruan, “Liput Deraz, ya! Liput Deraz, ya!”

“Emangnya dia ikutan KOMBAS?”

“Pasti ikut, Zia!” tandas Epay semangat.

“Kemarin pas lewat sekrenya KOMBAS, kita liat main gitarnya jago banget, yah, Pay…” tambah Regi sambil melihat Epay. Epay menyambutnya. “Iya, Regi, iya!”

Zia masih sepakat dengan mereka bahwa cowok dengan postur jangkung dan tegap, kulit terang terbakar matahari, serta sedikit unsur bule adalah santapan yang baik bagi mata. Tapi tipenya adalah cowok dengan kegantengan khas Indonesia yang kalau bisa berkacamata dan berponi, ya seperti Ezra itu. Arderaz tidak begitu. Namun demi dua kawan SMP terbaiknya itu, Zia memasukkan Arderaz dalam pikirannya. Baiklah, sekarang di mana Arderaz-Arderaz itu? Apakah ia, yang barusan mengganti raungan kacau balau gitar listrik dengan denting ciamik gitar akustik? Yang menyemprotkan spray pereda kebisingan?

Dengan gontai, Zia menembus barikade putih abu dan mendapatkan poin 100 atas kebenaran persangkaannya. Meski tak mengakrabi musik klasik, Zia merasa lantunan melodi yang tengah mengusir keriuhan dalam kepalanya itu adalah bagian dari klasik. Sepengetahuan Zia, KOMBAS tidak pernah menyentuh genre klasik. Ada ekskul lain yang mengurus ranah tersebut di SMANSON. Kalau benar Arderaz akan menjadi bagian dari KOMBAS, suatu revolusi dalam musikalitas KOMBAS tengah menanti.

Aha. Zia mendapat kata-kata lagi untuk dituang dalam hasil liputannya. Ia lekas mencatatnya di notes keburu lupa. Setelahnya, ia siap untuk ikut melarut kembali dalam keterpukauan.

Tak lama. Zia menyadari di samping kanannya ada sosok yang hampir serupa dengan obyek pengamatannya. “Heh, Dean!”

“Heh, Teteh!” Dean tampak terkejut. “Ngapain, Teh?”

“Kamu sendiri ngapain?!” cecar Zia. Pertanyaan basa-basi yang tak mutu!

Dean tak menggubris. Ia yang bersorak paling keras kala Arderaz mengakhiri permainannya. Malah Zia dapati Salman tengah manggut-manggut di samping kanan Dean. “Salman, bukannya kamu ada brifing olimpiade tea?” teguran Zia tertelan seruan dari berbagai penjuru agar Arderaz kembali memetik senar.

“Udah selesai, Teh!”

Zia hampir terjerembab kala Dean menepuk punggungnya keras-keras. “Broder gua itu, Teh!”

“Iyaa… Tau!” Zia mengusap-usap dada, seakan dengan itu debar jantungnya akan memelan. “Salman, kamu nggak maju juga? Nyanyi sono!”

“Ah, yakin Teh?”

“Yang harus yakin tuh kamu! Maju gih!”

Salman terpana. Dean mengangguk-angguk padanya meski tak ngeh benar akan apa yang Zia dan Salman cakapkan barusan.

“Beneran, Teh?”

“Aduh… Buruan itu daftar sama panitianya… Tuh, yang lagi pada keketawaan deket tiang situ tuh…” Zia mendorong punggung Salman. Terasa empuk benar di tangannya.

“Eh, Teh, udah makan belum?” tanya Dean, sepeninggalan Salman.

“…udah sih...” Zia sudah mengisi lambungnya dengan sepiring nasi kuning, semangkok yamin, dan segelas jus belimbing jam istirahat tadi. Ia mengarahkan kepalanya kembali pada pusat perhatian. Sang bintang sedang meninggalkan panggung diiringi desah kecewa dari para penonton. Zia menimbang-nimbang apakah ia akan mengejar Arderaz. Melihat Arderaz malah mampir ke kerumunan panitia, Zia jadi malas. Malas juga ia menyenangkan hati dua kawan SMP yang setelah dipikir-pikir lebih banyak meresahkan hidupnya itu. Ia akan mewawancarai Salman saja nanti. Semoga bocah tambun itu jadi tampil.

“Temenin gua makan, yuk, Teh…” Dean mengusap perutnya yang cekung.

Menemani Dean makan lebih menarik hati Zia ketimbang berkubang dalam kesumpekan mengejar-ngejar narasumber. Belum lagi kalau narasumbernya sok kecakepan seperti si ketua panitia gig sialan ini. Ia juga ingin terlihat santai dan tertawa-tawa seperti orang itu dan para kroninya! Zia berusaha tidak mempertanyakan lagi kesungguhan niatnya untuk dianggap di LEMPERs.

“Ayuk. Tapi jangan di sini yah!”

Salman telah kembali dari mendaftar. Ia akan tampil sebagai pemungkas, selayaknya bintang utama pada konser besar. Namun sudah tidak didapatinya lagi dua kawannya di tempat semula.

=====

Mungkin semenyenangkan inilah arena bermain BSM di mata kanak-kanak yang belum mengenal kedurjanaan dunia. Mereka menjerit sekencang mungkin di bangku belakang jet coaster—kendati penumpangnya hanya mereka. Mereka terkesima dengan kepadatan kota Bandung dari atas bianglala. Mereka berkejaran di antara mesin-mesin permainan. Mereka kumpulkan banyak kupon untuk kemudian ditukarkan dengan pensil mekanik murahan. Dean iseng memukuli kepala Zia dengan pentungan untuk menghantam moncong buaya. Zia memandang iri pada keriaan Dean di atas ontang-anting—seandainya saja Zia membawa celana jins untuk mengganti rok kelabunya.

Setelah puas mencicipi kembali semaraknya masa muda, berlabuhlah mereka di salah satu bangku foodcourt. Letih tak terasa, karena mereka gembira. Namun Dean tak bisa mendiamkan gemuruh badai di lambungnya. Padahal sebelum terjun ke Kota Fantasi, Zia sudah membantu Dean menghabiskan sepiring daging berbalur tepung tebal dengan saus yang enegnya masih dapat Zia rasakan. Nafsu makan Dean sungguh tak dapat ditebak.

Kepala Dean berputar ke sana ke mari, mencari makanan yang memenuhi selera lambungnya. “Sebentar ya, Teh…” ucapnya kemudian sembari beranjak menuju salah satu gerai. Tak lama kemudian, Dean kembali. Nomor ia letakkan di atas meja. Ia memasukkan uang kembalian dalam dompet begitu pantat tipisnya menyentuh permukaan bangku. Dompetnya jadi tebal sekali. Ia keluarkan semua rupiah. Sementara Dean merapikan uangnya, Zia menyeret dompet Dean yang tergeletak di meja. Biasanya Tata atau Ardi akan langsung merebut dompet mereka begitu mulai Zia preteli.

“Iiih…” Zia girang saat menemukan foto seorang cewek. “Ini cewek kamu?”

Dean melirik lembaran yang ditunjukkan Zia. “Bukan. Itu mah adik saya. Emang dia mah mukanya boros.”

Zia tidak mengira wajah Dean dengan garis-garis yang lebih halus bisa jadi secantik itu. O, pantas saja di foto itu tidak hanya berdua cewek itu dengan Dean, tapi ada juga Arderaz. “Kirain kamu yang doyan sama anak kecil.”

Dean tersenyum seraya mengambil kembali dompetnya. Padahal Zia belum sempat mengintip foto-foto lainnya.

“Isinya aja banyak. Bungkusnya meni buluk gitu ih,” komentar Zia.

“Ini mah dompet hari Selasa, Teteh… Kalau mau liat yang bagus, yang hari Jumat, Teh. Tapi yang baru mah yang hari Senin.”

Zia bingung hendak berkomentar apa. Dean menyentuh jumper-nya. “Ini jumper hari Selasa,” katanya. Cowok itu memasukkan dompet ke dalam kantong depan ranselnya. Sekilas, Zia melihat bungkus rokok di antara tabung inhaler dan beragam alat tulis. “Ini tas hari Selasa.” Lalu ia mengangkat tungkai kakinya. “Ini sepatu hari Selasa.”

Zia mengerjap-ngerjapkan mata. Jangan-jangan merk rokok Dean pada masing-masing hari juga berbeda? “Hah, kamu nggak bingung apa?”

“Bingung sih, Teh, hehe. Tapi kalo tas ganti-ganti justru supaya nggak ngebingungin, Teh. Jadi kan nggak usah repot-repot beberes buku pelajaran tiap hari. Yang pelajaran hari Senin udah dimasukkin ke tas hari Senin, yang Selasa dimasukkin ke yang Selasa, dan seterusnya.”

“Trus kalo misalnya kelupaan gimana?”

“Yah… Wayahna… Seringnya ada orang rumah yang ngingetin sih.”

Zia tidak bisa menahan geli. Andai saja ia juga punya perlengkapan sekolah untuk masing-masing hari, ia hanya tinggal mengandalkan ingatan saja. “Nama adik kamu siapa, Dean? Dari A juga depannya?” Zia tahu nama Dean sebenarnya adalah Ardian. Lalu saudara kembarnya adalah Arderaz. Lalu nama adiknya…

“Iya, Teh. Azarina. Dipanggilnya Zara.”

“Eh, mirip sama adik aku. Adik aku dipanggilnya Zaha. Tapi dari Fazaha.”

“Mirip sama nama adiknya Kang Lutung juga, ya, Teh? Itu, si Zahra. Makanya kalo manggil si Zahra teh asa jadi manggil adik sendiri. Apalagi mukanya sama-sama suka baeut gitu pas ngeliat saya…”

“Hahaha… Kenapa baeut? Emang kamu musuhan sama mereka?”

“Yah, gitulah, Teh, biasa… Anak baru beger, mah…”

“He, iya, aku juga suka da musuhan sama adik aku mah.”

“Apalagi kalo kamarnya si Zara saya masukin, Teh, ah, udahlah saya dihantem terus. Gelut we…”

“Hahaha…” Zia tidak akan bilang pada Dean kalau ia dengan Zaha juga pernah sampai saling cakar dan jambak.

“…biasanya dia baru berenti pas saya emut kupingnya…”

Senyum Zia tertahan. Matanya mengerjap. Kalau ada kesempatan bertemu adiknya Dean, ia akan katakan pada cewek itu untuk melindungi kepalanya dengan kupluk atau helm saat berhadapan dengan Dean.

Pesanan Dean tersaji di atas meja. Nomor diambil. Bertambah pekat asap yang mengepul dari hidangan tersebut saat Dean mengaduk-aduknya dengan sumpit. “Makan, Teh Zia?”

“Panggil Zia ajalah. Ngerasa tua nih.” Zia ingat betapa jemunya ia acap kali menyuruh anak-anak yang lebih muda darinya untuk memanggil namanya tanpa embel-embel. “Da sungkan atuh, Teh, eh, Zia, he…” begitu alasan Dean selalu. Dan berlanjutlah penguakan mereka atas dunia satu sama lain.

Mulai dari cewek,

Melihat Dean sedari tadi berusaha memalingkan kepala ke sebelah kanan, sementara di seberang kirinya duduk seorang cewek dengan tungkai kaki putih mulus menjuntai, iseng Zia bertanya, “Tau nggak apa bedanya ‘hot’ dengan ‘panas’?”

“Kalau ‘hot’ itu bahasa Inggris, kalau ‘panas’ itu bahasa Indonesia, kalau ‘hot panas’ itu sebutan buat celana, Teh—eh, Zia…” ucap Dean dengan pipi gembung. Ia mengangkat kepala sejenak dari mangkok ukuran jumbonya. Butiran keringat menitiki sisi-sisi wajahnya.

“Itu mah ‘hot pants’ kali…” Dean tertawa tanpa membuka mulut. Zia menyambung kalimatnya, “Trus kalau bedanya cewek hot dengan cewek panas?”

Usaha ke sekian Dean untuk mempertahankan arah pandangannya ke sebelah kanan. “Yang hot tuh yang kayak Miyabi. Yang panas tuh yang marah-marah kalau ulangannya ditoong.”

“Heee… Ketahuan… Doyan Miyabi sama nyontek yaaah?”

Dean mengangkat kepalanya lagi. “Oh, itu teh pertanyaan jebakan?”

…musik,

“…deuh… Nggak tau atuh, Zia. Gua mah kalo ngedengerin lagu nggak pernah ngapalin siapa penyanyinya!”

“Trus sukanya ngedengerin apa dong?”

“Segala jenis lagu mah ya gua dengerin aja da, asal enakeun.”

“Termasuk dangdut?”

“Hm… Apa atuh yah?” Dean tampak mengingat-ingat. “Bungsu Bandung ngeunah, Teh!”

“Hah, apaan tuh?”

“Itu… Yang nyanyi ‘Talak Tilu’ sama ‘Intimi’. Nggak tau ya Teh?”

Zia terpana. “Kalau lagu Barat?”

“Hm… Apa yah? Gershwin?”

“Weh, apaan tuh?”

“Summertime… Rhapsody in Blue… Someone to Watch Over Me…”

Zia menggeleng.

“Amadeus? Serenade? Rondo Alla… eh, lupa… Eh, itu mah, Mozart deng…”

“Hah, bilang aja sukanya klasik!”

…rambut,

Dean mengaku kalau ia sering ikut ibu dan adiknya ke salon. Ia membiarkan tangan-tangan gemulai bereksperimen dengan rambutnya sementara ia menyeruput soda sambil Twitter-an. Lalu tahu-tahu saja rambutnya jadi lebih hitam dan halus, padahal aslinya kecoklatan dan sekeras ijuk. Sejak itu Dean berhenti dikatai alay oleh teman-temannya, padahal Arderaz saja tidak pernah dikatai demikian. “Ooohh…” tanggap Zia takjub. Akhirnya terkuak juga misteri perbedaan warna dan tekstur antara rambut Arderaz dengan saudara kembarnya yang selama ini kerap Epay dan Regi perkarakan.

…teenlit,

Zia mengaku, betapa ia sangat terpengaruh oleh genre fiksi yang satu ini waktu ia SMP. Hari-harinya terisi oleh berbagai khayalan tentang cinta segitiga, kencan dengan cowok idaman, digoda teman-teman, dan la la la lainnya. Lambat laun ia menjadi realistis dengan menyadari keadaan di sekitarnya. Hal-hal yang terjadi di dunianya adalah serba kebalikan dari unsur-unsur yang menjadi pakem teenlit. Tidak ada dua cowok memperebutkan satu cewek, melainkan satu cewek meributkan dua cowok yang sama-sama ia suka. Kecengannya tidak bisa main basket dan ditolak band-nya sendiri. Cewek populer yang seharusnya jadi tokoh antagonis malah berteman baik dengannya. Inner beauty-nya tidak pernah bisa kentara, mau disokong penampilan yang menarik atau tidak. Keluarganya jauh dari normal dan bahagia. Dan lain-lain. Berdasarkan pengamatan Zia, yang diulas kebanyakan teenlit hanyalah remaja dari kalangan tertentu saja. Padahal remaja ada banyak jenisnya. Maka Zia memutuskan untuk membuat teenlit-nya sendiri, yang jadinya tetap saja alay.

Sambil menyeruput mi, Dean mengaku kalau dirinya justru menggemari teenlit. Ibunya kerap melarangnya menonton sinetron yang ia suka. Jadilah pelariannya pada teenlit koleksi adiknya. Ibunya mungkin tidak tahu kalau di balik buku pelajaran yang anaknya pegang adalah sebuah teenlit terbentang lebar. Dean mungkin saja meminati teenlit buatan Zia namun Zia bilang sampai kapan pun ia tidak akan menyelesaikannya. Membacanya ulang saja sudah membuatnya ingin muntah.

…coklat, Barca versus MU, kemalasan belajar, MotoGP, kecengan yang tak kunjung tergapai, sampai keluarga…

“...jadi si Deraz juga pernah ikutan yang konferensi anak itu?”

Dean mengangguk. Sepasang sumpitnya kini sudah bertengger rapi di atas mangkok. Tangannya ganti memegang segelas frappuchino. Zia berdecak-decak. Ia membayangkan rumah Dean dijejali beragam piala, plakat, tropi, medali, piagam penghargaan, dan semacamnya. Betapa malu-malunya Dean saat mengakui bahwa ayahnya mantan atlet yang masih berlaga di kejuaraan sebagai pelatih dan ibunya muncul seminggu sekali di TV sebagai narasumber ahli. Dan tidak hanya Arderaz yang gemar malang melintang di jagat perlombaan rupanya, tapi juga adik mereka. Dean bercerita bagaimana ia mengobral kata-kata penyemangat saat adiknya hendak mengikuti lomba pidato, melukis, atau resital biola. “Kalau nggak digituin, entar nggak jinak-jinak, Teh Zia…”

“Kalau kamu sendiri udah pernah menang juara apa?”

Dean menggeleng dengan senyum malu mengiringi. “Nggak pernah, Teh.”

Zia bercerita bahwa dirinya saja pernah jadi juara bertahan lomba balap kerupuk dalam rangka peringatan HUT RI selama tiga tahun berturut-turut di SMP. Dean tetap menggeleng. Ia juga tidak pernah mendapat ranking tinggi di kelas, sebagaimana para saudara kandungnya. Ia tidak mampu berolahraga berat. Pun tak ada keterampilan khususnya yang layak ditonjolkan. “Kerjaan gua mah, kalau nggak main, sakit. Kalau lagi nggak sakit, ya main.”

“Makanya, kamu teh rajin olahraga atuh…” ucap Zia, seakan-akan ia sendiri rajin olahraga.

Tersirat keengganan di wajah Dean yang mengerut. “Ah… Males, ah, Teh…” Sejenak kemudian ia tersengal lagi.

Zia meletakkan kepala pada lipatan lengannya di atas meja. Deretan gerai penjual makanan ditangkap indra penglihatannya. Suara Dean di atasnya. Mendengar gerutuan malas Dean yang menggelikan, ia mendengus. “Haaah… Iya yah… Jadi males ngapa-ngapain nih…” desahnya. Benar kata Papa, ia memang pemalas. Ya, ya, ya, kata-kata orangtua selalu benar… pikirnya. Tawa kecil Zia diselingi cerita balasan bahwa ia juga tidak seberprestasi saudara kandungnya. Namun ia tidak mengaku bahwa ia terlalu gengsi untuk memuji setiap kali adiknya mendapat penghargaan.

Berkebalikan dengannya, suara Dean seperti tanpa beban sama sekali. Dean bilang ia tidak pernah memikirkan betapa unggulnya orang lain, sementara ia tidak. Kebersamaan dengan orang-orang di sekitarnya sudah cukup membuatnya merasa berharga. “Dibawa nyantai ajalah, Teh…” tandasnya. Sebagaimana gerobak yang tidak akan bisa dibawa jalan kalau bebannya terlalu berat, begitu juga pikiran—Dean menganalogikan. Makanya Dean membiarkan orang lain yang berpikir untuknya.

Zia tersenyum simpul. Dean memberinya tawa. Zia membalasnya dengan tawa lagi. Begitu seterusnya. Zia tidak tahu untuk apa ia tertawa. Mungkin Dean juga. Mungkin ia dan Dean hanya ingin saling menghibur satu sama lain. Atau justru ketakberdayaan diri itulah yang patut ditertawai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain