Pelataran kantin Kabita dipijaki
pelbagai rupa manusia. Zia tidak bisa berhenti mengipaskan notes ke samping
leher. Sesekali sebelah tangannya dipakai untuk menghalangi silau cahaya
mentari sampai ke area penglihatan. Lagi-lagi ia menghembuskan nafas. Kemalasan
menahannya sedari tadi untuk tidak menyeruak kebisingan di hadapan mata. Kalau
sedang niat, sebetulnya Zia tidak keberatan apabila harus berdesak-desakkan
dalam keramaian. Namun sekuat apapun Zia mengais, niat itu terlalu lemah untuk
dikeluarkan.
Untuk sebuah acara yang dimaksudkan
sebagai ajang perkenalan, daya tarik gig KOMBAS boleh juga. Siapapun yang
merasa bisa bermusik dan hendak mengembangkan kemampuannya— entah itu anak
kelas X, kelas XI, maupun kelas XII, sudah terdaftar sebagai KOMBAS-er apa
belum—boleh unjuk gigi asal mau mengantri. Pada kesempatan ini pula para
punggawa KOMBAS hendak mencari bibit-bibit baru untuk disemai. Ditingkatkan
derajatnya.
Di sisi lain, beredar desas-desus di
kalangan anak kelas X kalau Kabita adalah wilayah khusus anak kelas XII. Anak
kelas X hanya boleh menjamah Karunia—kantin lama dekat area penjaga sekolah
yang lebih pantas disebut warung. Tidak juga anak kelas X patut memasuki kantin
Klenger, yang konon dikhususkan untuk anak kelas XI. Begitu yang ia dengar dari
Salman. Dalam perjalanannya menuju Kabita, ia berpapasan dengan bocah itu dan
mengajaknya menghadiri gig KOMBAS. Zia menertawakan kepolosan anak-anak kelas
X. Adanya juga Karunia dan Klenger yang bakal digusur karena sudah berdiri
kantin yang lebih besar, sehat, bersih, dan lengkap. Namun biarlah anak-anak
kelas X tetap dalam kepolosan mereka. Lagipula Salman lebih berminat menghadiri
briefing persiapan olimpiade.
Ketika sampai di area Kabita, kebenaran
akan desas-desus tersebut menjadi kabur. Zia menemukan anak kelas X, kelas XI,
dan kelas XII bercampur baur di pelataran kantin. Lebih banyak anak kelas X dan
kelas XI-nya bahkan. Apalah artinya desas-desus tak bermutu itu? Ketika telah
sampai ajakan untuk mengapresiasi kebutuhan berekspresi remaja, harus
dihapuskan segala sekat yang memisahkan perbedaan kelas. Secara otomatis semua
jadi lebur karena kuatnya daya pikat salah satu unsur dalam kehidupan: musik!
Aha. Akhirnya Zia menemukan sesuatu
untuk dipasangnya sebagai lead liputan.
Sebelumnya, Zia berhasil mendapat
beberapa kalimat ketua panitia. Kalau sedang tidak sok dirundung kesibukan
mengusung peralatan begitu, ketua panitia mungkin akan dapat memberinya lebih
banyak kalimat. Panitia lain yang sempat Zia tanyai malah lebih parah lagi jual
mahalnya. Zia berharap selepas keramaian ini kekuatan niatnya telah bulat
hingga ia tergerak untuk menghampiri mereka lagi. Hanya demi mendapatkan lebih
banyak kalimat!
Pada notes, Zia mengintip poin lain yang
harus ia incar untuk melengkapi materi liputannya. Tanya komentar anak kelas X.
Seketika Zia teringat pesanan Regi dan Epay beberapa waktu lampau. Mengetahui
Zia hendak berpartisipas di LEMPERs lagi dan memulainya dengan meliput gig
“kecil-kecilan” KOMBAS, Regi dan Epay langsung menyerbunya dengan seruan,
“Liput Deraz, ya! Liput Deraz, ya!”
“Emangnya dia ikutan KOMBAS?”
“Pasti ikut, Zia!” tandas Epay semangat.
“Kemarin pas lewat sekrenya KOMBAS, kita
liat main gitarnya jago banget, yah, Pay…” tambah Regi sambil melihat Epay.
Epay menyambutnya. “Iya, Regi, iya!”
Zia masih sepakat dengan mereka bahwa
cowok dengan postur jangkung dan tegap, kulit terang terbakar matahari, serta
sedikit unsur bule adalah santapan yang baik bagi mata. Tapi tipenya adalah
cowok dengan kegantengan khas Indonesia yang kalau bisa berkacamata dan
berponi, ya seperti Ezra itu. Arderaz tidak begitu. Namun demi dua kawan SMP
terbaiknya itu, Zia memasukkan Arderaz dalam pikirannya. Baiklah, sekarang di
mana Arderaz-Arderaz itu? Apakah ia, yang barusan mengganti raungan kacau balau
gitar listrik dengan denting ciamik gitar akustik? Yang menyemprotkan spray
pereda kebisingan?
Dengan gontai, Zia menembus barikade
putih abu dan mendapatkan poin 100 atas kebenaran persangkaannya. Meski tak
mengakrabi musik klasik, Zia merasa lantunan melodi yang tengah mengusir
keriuhan dalam kepalanya itu adalah bagian dari klasik. Sepengetahuan Zia,
KOMBAS tidak pernah menyentuh genre klasik. Ada ekskul lain yang mengurus ranah
tersebut di SMANSON. Kalau benar Arderaz akan menjadi bagian dari KOMBAS, suatu
revolusi dalam musikalitas KOMBAS tengah menanti.
Aha. Zia mendapat kata-kata lagi untuk
dituang dalam hasil liputannya. Ia lekas mencatatnya di notes keburu lupa.
Setelahnya, ia siap untuk ikut melarut kembali dalam keterpukauan.
Tak lama. Zia menyadari di samping
kanannya ada sosok yang hampir serupa dengan obyek pengamatannya. “Heh, Dean!”
“Heh, Teteh!” Dean tampak terkejut.
“Ngapain, Teh?”
“Kamu sendiri ngapain?!” cecar Zia.
Pertanyaan basa-basi yang tak mutu!
Dean tak menggubris. Ia yang bersorak
paling keras kala Arderaz mengakhiri permainannya. Malah Zia dapati Salman
tengah manggut-manggut di samping kanan Dean. “Salman, bukannya kamu ada
brifing olimpiade tea?” teguran Zia tertelan seruan dari berbagai penjuru agar
Arderaz kembali memetik senar.
“Udah selesai, Teh!”
Zia hampir terjerembab kala Dean menepuk
punggungnya keras-keras. “Broder gua itu, Teh!”
“Iyaa… Tau!” Zia mengusap-usap dada,
seakan dengan itu debar jantungnya akan memelan. “Salman, kamu nggak maju juga?
Nyanyi sono!”
“Ah, yakin Teh?”
“Yang harus yakin tuh kamu! Maju gih!”
Salman terpana. Dean mengangguk-angguk
padanya meski tak ngeh benar akan apa yang Zia dan Salman cakapkan barusan.
“Beneran, Teh?”
“Aduh… Buruan itu daftar sama
panitianya… Tuh, yang lagi pada keketawaan deket tiang situ tuh…” Zia mendorong
punggung Salman. Terasa empuk benar di tangannya.
“Eh, Teh, udah makan belum?” tanya Dean,
sepeninggalan Salman.
“…udah sih...” Zia sudah mengisi
lambungnya dengan sepiring nasi kuning, semangkok yamin, dan segelas jus
belimbing jam istirahat tadi. Ia mengarahkan kepalanya kembali pada pusat
perhatian. Sang bintang sedang meninggalkan panggung diiringi desah kecewa dari
para penonton. Zia menimbang-nimbang apakah ia akan mengejar Arderaz. Melihat
Arderaz malah mampir ke kerumunan panitia, Zia jadi malas. Malas juga ia
menyenangkan hati dua kawan SMP yang setelah dipikir-pikir lebih banyak
meresahkan hidupnya itu. Ia akan mewawancarai Salman saja nanti. Semoga bocah
tambun itu jadi tampil.
“Temenin gua makan, yuk, Teh…” Dean
mengusap perutnya yang cekung.
Menemani Dean makan lebih menarik hati
Zia ketimbang berkubang dalam kesumpekan mengejar-ngejar narasumber. Belum lagi
kalau narasumbernya sok kecakepan seperti si ketua panitia gig sialan ini. Ia
juga ingin terlihat santai dan tertawa-tawa seperti orang itu dan para
kroninya! Zia berusaha tidak mempertanyakan lagi kesungguhan niatnya untuk
dianggap di LEMPERs.
“Ayuk. Tapi jangan di sini yah!”
Salman telah kembali dari mendaftar. Ia
akan tampil sebagai pemungkas, selayaknya bintang utama pada konser besar.
Namun sudah tidak didapatinya lagi dua kawannya di tempat semula.
=====
Mungkin semenyenangkan inilah arena
bermain BSM di mata kanak-kanak yang belum mengenal kedurjanaan dunia. Mereka
menjerit sekencang mungkin di bangku belakang jet coaster—kendati penumpangnya
hanya mereka. Mereka terkesima dengan kepadatan kota Bandung dari atas
bianglala. Mereka berkejaran di antara mesin-mesin permainan. Mereka kumpulkan
banyak kupon untuk kemudian ditukarkan dengan pensil mekanik murahan. Dean
iseng memukuli kepala Zia dengan pentungan untuk menghantam moncong buaya. Zia
memandang iri pada keriaan Dean di atas ontang-anting—seandainya saja Zia
membawa celana jins untuk mengganti rok kelabunya.
Setelah puas mencicipi kembali
semaraknya masa muda, berlabuhlah mereka di salah satu bangku foodcourt. Letih
tak terasa, karena mereka gembira. Namun Dean tak bisa mendiamkan gemuruh badai
di lambungnya. Padahal sebelum terjun ke Kota Fantasi, Zia sudah membantu Dean
menghabiskan sepiring daging berbalur tepung tebal dengan saus yang enegnya
masih dapat Zia rasakan. Nafsu makan Dean sungguh tak dapat ditebak.
Kepala Dean berputar ke sana ke mari,
mencari makanan yang memenuhi selera lambungnya. “Sebentar ya, Teh…” ucapnya
kemudian sembari beranjak menuju salah satu gerai. Tak lama kemudian, Dean
kembali. Nomor ia letakkan di atas meja. Ia memasukkan uang kembalian dalam
dompet begitu pantat tipisnya menyentuh permukaan bangku. Dompetnya jadi tebal
sekali. Ia keluarkan semua rupiah. Sementara Dean merapikan uangnya, Zia
menyeret dompet Dean yang tergeletak di meja. Biasanya Tata atau Ardi akan
langsung merebut dompet mereka begitu mulai Zia preteli.
“Iiih…” Zia girang saat menemukan foto
seorang cewek. “Ini cewek kamu?”
Dean melirik lembaran yang ditunjukkan
Zia. “Bukan. Itu mah adik saya. Emang dia mah mukanya boros.”
Zia tidak mengira wajah Dean dengan
garis-garis yang lebih halus bisa jadi secantik itu. O, pantas saja di foto itu
tidak hanya berdua cewek itu dengan Dean, tapi ada juga Arderaz. “Kirain kamu
yang doyan sama anak kecil.”
Dean tersenyum seraya mengambil kembali
dompetnya. Padahal Zia belum sempat mengintip foto-foto lainnya.
“Isinya aja banyak. Bungkusnya meni
buluk gitu ih,” komentar Zia.
“Ini mah dompet hari Selasa, Teteh…
Kalau mau liat yang bagus, yang hari Jumat, Teh. Tapi yang baru mah yang hari
Senin.”
Zia bingung hendak berkomentar apa. Dean
menyentuh jumper-nya. “Ini jumper hari Selasa,” katanya. Cowok itu memasukkan
dompet ke dalam kantong depan ranselnya. Sekilas, Zia melihat bungkus rokok di
antara tabung inhaler dan beragam alat tulis. “Ini tas hari Selasa.” Lalu ia
mengangkat tungkai kakinya. “Ini sepatu hari Selasa.”
Zia mengerjap-ngerjapkan mata.
Jangan-jangan merk rokok Dean pada masing-masing hari juga berbeda? “Hah, kamu
nggak bingung apa?”
“Bingung sih, Teh, hehe. Tapi kalo tas
ganti-ganti justru supaya nggak ngebingungin, Teh. Jadi kan nggak usah
repot-repot beberes buku pelajaran tiap hari. Yang pelajaran hari Senin udah
dimasukkin ke tas hari Senin, yang Selasa dimasukkin ke yang Selasa, dan
seterusnya.”
“Trus kalo misalnya kelupaan gimana?”
“Yah… Wayahna… Seringnya ada orang rumah
yang ngingetin sih.”
Zia tidak bisa menahan geli. Andai saja
ia juga punya perlengkapan sekolah untuk masing-masing hari, ia hanya tinggal
mengandalkan ingatan saja. “Nama adik kamu siapa, Dean? Dari A juga depannya?”
Zia tahu nama Dean sebenarnya adalah Ardian. Lalu saudara kembarnya adalah
Arderaz. Lalu nama adiknya…
“Iya, Teh. Azarina. Dipanggilnya Zara.”
“Eh, mirip sama adik aku. Adik aku
dipanggilnya Zaha. Tapi dari Fazaha.”
“Mirip sama nama adiknya Kang Lutung
juga, ya, Teh? Itu, si Zahra. Makanya kalo manggil si Zahra teh asa jadi
manggil adik sendiri. Apalagi mukanya sama-sama suka baeut gitu pas ngeliat
saya…”
“Hahaha… Kenapa baeut? Emang kamu
musuhan sama mereka?”
“Yah, gitulah, Teh, biasa… Anak baru
beger, mah…”
“He, iya, aku juga suka da musuhan sama
adik aku mah.”
“Apalagi kalo kamarnya si Zara saya
masukin, Teh, ah, udahlah saya dihantem terus. Gelut we…”
“Hahaha…” Zia tidak akan bilang pada
Dean kalau ia dengan Zaha juga pernah sampai saling cakar dan jambak.
“…biasanya dia baru berenti pas saya
emut kupingnya…”
Senyum Zia tertahan. Matanya mengerjap.
Kalau ada kesempatan bertemu adiknya Dean, ia akan katakan pada cewek itu untuk
melindungi kepalanya dengan kupluk atau helm saat berhadapan dengan Dean.
Pesanan Dean tersaji di atas meja. Nomor
diambil. Bertambah pekat asap yang mengepul dari hidangan tersebut saat Dean
mengaduk-aduknya dengan sumpit. “Makan, Teh Zia?”
“Panggil Zia ajalah. Ngerasa tua nih.”
Zia ingat betapa jemunya ia acap kali menyuruh anak-anak yang lebih muda
darinya untuk memanggil namanya tanpa embel-embel. “Da sungkan atuh, Teh, eh,
Zia, he…” begitu alasan Dean selalu. Dan berlanjutlah penguakan mereka atas
dunia satu sama lain.
Mulai dari cewek,
Melihat Dean sedari tadi berusaha
memalingkan kepala ke sebelah kanan, sementara di seberang kirinya duduk
seorang cewek dengan tungkai kaki putih mulus menjuntai, iseng Zia bertanya,
“Tau nggak apa bedanya ‘hot’ dengan ‘panas’?”
“Kalau ‘hot’ itu bahasa Inggris, kalau
‘panas’ itu bahasa Indonesia, kalau ‘hot panas’ itu sebutan buat celana,
Teh—eh, Zia…” ucap Dean dengan pipi gembung. Ia mengangkat kepala sejenak dari
mangkok ukuran jumbonya. Butiran keringat menitiki sisi-sisi wajahnya.
“Itu mah ‘hot pants’ kali…” Dean tertawa
tanpa membuka mulut. Zia menyambung kalimatnya, “Trus kalau bedanya cewek hot
dengan cewek panas?”
Usaha ke sekian Dean untuk
mempertahankan arah pandangannya ke sebelah kanan. “Yang hot tuh yang kayak
Miyabi. Yang panas tuh yang marah-marah kalau ulangannya ditoong.”
“Heee… Ketahuan… Doyan Miyabi sama
nyontek yaaah?”
Dean mengangkat kepalanya lagi. “Oh, itu
teh pertanyaan jebakan?”
…musik,
“…deuh… Nggak tau atuh, Zia. Gua mah
kalo ngedengerin lagu nggak pernah ngapalin siapa penyanyinya!”
“Trus sukanya ngedengerin apa dong?”
“Segala jenis lagu mah ya gua dengerin
aja da, asal enakeun.”
“Termasuk dangdut?”
“Hm… Apa atuh yah?” Dean tampak
mengingat-ingat. “Bungsu Bandung ngeunah, Teh!”
“Hah, apaan tuh?”
“Itu… Yang nyanyi ‘Talak Tilu’ sama
‘Intimi’. Nggak tau ya Teh?”
Zia terpana. “Kalau lagu Barat?”
“Hm… Apa yah? Gershwin?”
“Weh, apaan tuh?”
“Summertime… Rhapsody in Blue… Someone
to Watch Over Me…”
Zia menggeleng.
“Amadeus? Serenade? Rondo Alla… eh,
lupa… Eh, itu mah, Mozart deng…”
“Hah, bilang aja sukanya klasik!”
…rambut,
Dean mengaku kalau ia sering ikut ibu
dan adiknya ke salon. Ia membiarkan tangan-tangan gemulai bereksperimen dengan
rambutnya sementara ia menyeruput soda sambil Twitter-an. Lalu tahu-tahu saja
rambutnya jadi lebih hitam dan halus, padahal aslinya kecoklatan dan sekeras
ijuk. Sejak itu Dean berhenti dikatai alay oleh teman-temannya, padahal Arderaz
saja tidak pernah dikatai demikian. “Ooohh…” tanggap Zia takjub. Akhirnya
terkuak juga misteri perbedaan warna dan tekstur antara rambut Arderaz dengan
saudara kembarnya yang selama ini kerap Epay dan Regi perkarakan.
…teenlit,
Zia mengaku, betapa ia sangat
terpengaruh oleh genre fiksi yang satu ini waktu ia SMP. Hari-harinya terisi
oleh berbagai khayalan tentang cinta segitiga, kencan dengan cowok idaman,
digoda teman-teman, dan la la la lainnya. Lambat laun ia menjadi realistis
dengan menyadari keadaan di sekitarnya. Hal-hal yang terjadi di dunianya adalah
serba kebalikan dari unsur-unsur yang menjadi pakem teenlit. Tidak ada dua
cowok memperebutkan satu cewek, melainkan satu cewek meributkan dua cowok yang
sama-sama ia suka. Kecengannya tidak bisa main basket dan ditolak band-nya
sendiri. Cewek populer yang seharusnya jadi tokoh antagonis malah berteman baik
dengannya. Inner beauty-nya tidak pernah bisa kentara, mau disokong penampilan
yang menarik atau tidak. Keluarganya jauh dari normal dan bahagia. Dan
lain-lain. Berdasarkan pengamatan Zia, yang diulas kebanyakan teenlit hanyalah
remaja dari kalangan tertentu saja. Padahal remaja ada banyak jenisnya. Maka
Zia memutuskan untuk membuat teenlit-nya sendiri, yang jadinya tetap saja alay.
Sambil menyeruput mi, Dean mengaku kalau
dirinya justru menggemari teenlit. Ibunya kerap melarangnya menonton sinetron
yang ia suka. Jadilah pelariannya pada teenlit koleksi adiknya. Ibunya mungkin
tidak tahu kalau di balik buku pelajaran yang anaknya pegang adalah sebuah
teenlit terbentang lebar. Dean mungkin saja meminati teenlit buatan Zia namun
Zia bilang sampai kapan pun ia tidak akan menyelesaikannya. Membacanya ulang
saja sudah membuatnya ingin muntah.
…coklat, Barca versus MU, kemalasan
belajar, MotoGP, kecengan yang tak kunjung tergapai, sampai keluarga…
“...jadi si Deraz juga pernah ikutan
yang konferensi anak itu?”
Dean mengangguk. Sepasang sumpitnya kini
sudah bertengger rapi di atas mangkok. Tangannya ganti memegang segelas
frappuchino. Zia berdecak-decak. Ia membayangkan rumah Dean dijejali beragam
piala, plakat, tropi, medali, piagam penghargaan, dan semacamnya. Betapa
malu-malunya Dean saat mengakui bahwa ayahnya mantan atlet yang masih berlaga
di kejuaraan sebagai pelatih dan ibunya muncul seminggu sekali di TV sebagai
narasumber ahli. Dan tidak hanya Arderaz yang gemar malang melintang di jagat
perlombaan rupanya, tapi juga adik mereka. Dean bercerita bagaimana ia
mengobral kata-kata penyemangat saat adiknya hendak mengikuti lomba pidato,
melukis, atau resital biola. “Kalau nggak digituin, entar nggak jinak-jinak,
Teh Zia…”
“Kalau kamu sendiri udah pernah menang
juara apa?”
Dean menggeleng dengan senyum malu mengiringi.
“Nggak pernah, Teh.”
Zia bercerita bahwa dirinya saja pernah
jadi juara bertahan lomba balap kerupuk dalam rangka peringatan HUT RI selama
tiga tahun berturut-turut di SMP. Dean tetap menggeleng. Ia juga tidak pernah
mendapat ranking tinggi di kelas, sebagaimana para saudara kandungnya. Ia tidak
mampu berolahraga berat. Pun tak ada keterampilan khususnya yang layak
ditonjolkan. “Kerjaan gua mah, kalau nggak main, sakit. Kalau lagi nggak sakit,
ya main.”
“Makanya, kamu teh rajin olahraga atuh…”
ucap Zia, seakan-akan ia sendiri rajin olahraga.
Tersirat keengganan di wajah Dean yang
mengerut. “Ah… Males, ah, Teh…” Sejenak kemudian ia tersengal lagi.
Zia meletakkan kepala pada lipatan
lengannya di atas meja. Deretan gerai penjual makanan ditangkap indra
penglihatannya. Suara Dean di atasnya. Mendengar gerutuan malas Dean yang
menggelikan, ia mendengus. “Haaah… Iya yah… Jadi males ngapa-ngapain nih…”
desahnya. Benar kata Papa, ia memang pemalas. Ya, ya, ya, kata-kata orangtua selalu benar… pikirnya. Tawa kecil
Zia diselingi cerita balasan bahwa ia juga tidak seberprestasi saudara
kandungnya. Namun ia tidak mengaku bahwa ia terlalu gengsi untuk memuji setiap
kali adiknya mendapat penghargaan.
Berkebalikan dengannya, suara Dean
seperti tanpa beban sama sekali. Dean bilang ia tidak pernah memikirkan betapa
unggulnya orang lain, sementara ia tidak. Kebersamaan dengan orang-orang di
sekitarnya sudah cukup membuatnya merasa berharga. “Dibawa nyantai ajalah,
Teh…” tandasnya. Sebagaimana gerobak yang tidak akan bisa dibawa jalan kalau
bebannya terlalu berat, begitu juga pikiran—Dean menganalogikan. Makanya Dean
membiarkan orang lain yang berpikir untuknya.
Zia tersenyum simpul. Dean memberinya
tawa. Zia membalasnya dengan tawa lagi. Begitu seterusnya. Zia tidak tahu untuk
apa ia tertawa. Mungkin Dean juga. Mungkin ia dan Dean hanya ingin saling
menghibur satu sama lain. Atau justru ketakberdayaan diri itulah yang patut
ditertawai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar