Selasa, 11 Februari 2014

Kesederhanaan yang Memikat

Andai saja ada lebih banyak novel Mira W yang tersasar ke rumah…

Pertama kali saya memegang karya novelis kawakan ini ialah waktu SD. Punya mbak yang waktu itu kerja di rumah. Kovernya kalau tidak salah bergambar setangkai bunga putih dan berlatar kelabu. Judulnya saya lupa tapi sepertinya populer karena pernah dijadikan sinetron. Ada tokoh anak bernama Anyelir yang kakinya pincang dan perangainya liar. Saya tidak ingat telah membaca buku itu sepenuhnya karena cukup tebal. Tapi ada adegan yang sampai sekarang menempel di benak saya: seseorang ingin merobek pakaian seseorang yang lain… di tempat tidur. Untung pada waktu itu saya belum mengerti, kalau tidak… hehehe.

Pengalaman berikutnya adalah dengan novel berjudul Dari Jendela SMP. Beberapa tahun lalu ketika saya baru memulai blog. Entah punya siapa dipinjam oleh siapa. Tergeletak begitu saja di meja di rumah. Saya sempatkan membacanya—waktu itu libur kuliah—dan masya Allah. Setelahnya saya cari versi digital novel-novel lainnya dari pengarang yang sama di internet, yang sampai kini belum terbaca… hehehe lagi.

Kali ini ada Merpati Tak Pernah Ingkar Janji. Sebetulnya buku ini sudah tersimpan lama sekali di lemari. Mama yang beli barangkali waktu sebaya saya. Cetakan satu pada Desember 1984 dari PT Gramedia Pustaka Utama. Harganya Rp 2500 dan dikorting 10% (begitu saya interpretasikan coretan pensil di sudut atas halaman muka). Namun belum ada keinginan untuk membacanya sampai baru-baru ini adik saya mengeluarkannya untuk tugas mengulas novel dari sekolah.

Baru bab-bab pertama saja saya sudah terjerat. Pantaslah karya-karya pengarang ini menjadi best seller dan melegenda. Sampai kini pun masih dicari, bukan? Ukurannya sesaku. Tebalnya relatif tipis—183 halaman. Saya tamatkan dalam tempo dua-tiga jam saja diselingi mengintip internet dan chatting sedikit-sedikit, ambil minuman dingin, dan makan sore (maksudnya: makan siang yang terlambat) sekalian. Sesekali saya dibikin cekikikan oleh celetukan tokoh-tokohnya yang kebanyakan remaja, silih berganti dengan keharuan akibat kejadian yang tidak menguntungkan tokoh utama...

O Maria! Sejak lahir ia dipersiapkan untuk menjadi biarawati, dan dipanggilkan guru ke rumah. Menjelang usia enam belas tahun, barulah ia dimasukkan ke sekolah khusus perempuan dalam lingkungan biara Katolik. Sosoknya yang lugu, kurang pergaulan, dan teramat religius mulanya menjadi bulan-bulanan teman-teman sekelasnya. Namun lama-lama mereka menaruh simpati juga, apalagi karena Maria ternyata jago bermain voli dan kemudian menjadi bintang dalam pertandingan antar sekolah. Mereka pun menarik Maria ke dalam pergaulan mereka hingga berkenalanlah gadis itu dengan Guntur—seorang pemuda yang biar tampan tapi berandalan dan ada saja ulahnya yang tak terduga. (Perhatikan bagaimana penggunaan nama Maria dan Guntur terasa simbolik karena mencerminkan karakter masing-masing.) Namun di samping karakter Maria yang “ajaib”, ayah gadis itu ternyata kelewat ketat dalam menjaga anaknya. Jadilah Maria terombang-ambing antara menanggapi “kebaikan” teman-temannya dengan disiplin sang ayah. Masalah demi masalah terjadi hingga pada puncaknya menggiring Maria untuk membuat keputusan…

Saya tertarik dengan bagaimana tradisi Katolik menjadi pondasi utama cerita ini. Pak Handoyo pada mulanya adalah seorang pastor yang melanggar janji selibat. Ia keluar dari biara bersama seorang biarawati. Mereka menikah. Namun sayang istrinya meninggal ketika melahirkan anak mereka, Maria. Rasa bersalah mendorongnya untuk menyerahkan putrinya kepada Tuhan. Saking ketat ia menjaga kesucian Maria, putrinya itu harus selalu berpakaian tertutup dan tidak boleh bergaul dengan lelaki. Inilah yang menjadi akar konflik ketika kemudian Maria bergaul dengan remaja-remaja metropolitan. Dalam agama yang saya anut pun ada praktik semacam itu, sehingga saya sempat mengandaikan latar cerita ini disesuaikan dengan apa yang rasa-rasanya lebih familier bagi saya itu. Tapi mengingat bagaimana novel ini diakhiri, saya menyadari kalau tradisi Katolik memiliki kekhasan yang membangun cerita ini dengan sedemikian kuatnya. Kalau saya penganut agama tersebut, bisa saja iman saya menebal atau malah terdorong untuk menjadi biarawati juga setelah menamatkan novel ini.

Di luar itu, novel ini memiliki kemiripan dengan novel lainnya yang sudah saya baca dari pengarang yang sama yaitu Dari Jendela SMP tadi. Kehidupan yang diangkat sama-sama kehidupan remaja metropolitan yang serampangan dan rentan terhadap perilaku seks bebas. Dalam kedua novel tersebut pun terseliplah pendidikan seks. Bahkan isu tersebut saya jadikan judul buat ulasan saya untuk novel yang sebelumnya hehehe. Sedang dalam Merpati Tak Pernah Ingkar Janji, hal itu ditunjukkan dengan bagaimana Maria menyadari badannya telah tumbuh lalu mendapat haid untuk pertama kali, juga kegemaran para cowok menonton video biru beramai-ramai. Bahkan ada adegan (yang menurut saya) “wah” yang mirip. Muncul pada bab-bab awal novel seolah fungsinya untuk memancing hubungan antara satu tokoh dengan tokoh yang lain. Dalam Dari Jendela SMP, tangan Joko tidak sengaja menyentuh dada Wulan namun saya tidak ingat persis bagaimana situasinya sampai bisa sampai begitu. Sedang dalam Merpati Tak Pernah Ingkar Janji, tangan Guntur juga menyentuh dada Maria—kali ini entah sengaja atau tidak—yang pada waktu itu belum kenal BH.

Kemiripan lainnya yaitu adanya adegan di rumah sakit terutama pada saat cerita mencapai puncak. Dalam Dari Jendela SMP berupa adegan Wulan melahirkan, sedangkan dalam Merpati Tak Pernah Ingkar Janji Guntur mesti dioperasi. Seolah-seolah inilah kesempatan bagi pengarang untuk membagi pengetahuan kedokterannya. Bagi yang belum tahu, Mira W selain produktif menghasilkan novel juga berprofesi sebagai dokter. Contoh menakjubkan lainnya bagaimana seorang penulis mampu juga berkiprah di berbagai bidang, eh?

Karena mengangkat kehidupan remaja, saya bertanya-tanya apakah Merpati Tak Pernah Ingkar Janji (juga Dari Jendela SMP) bisa digolongkan sebagai teenlit—istilah yang pada masa kedua buku itu pertama kali terbit mungkin belum tren. Atau katakanlah, novel remaja. (Meskipun pada bab terakhir Merpati Tak Pernah Ingkar Janji ditampilkan kehidupan tokoh-tokohnya setelah dewasa). Memang konten pendidikan seks itu menjurus pada kedewasaan, tapi bukannya memang perlu bagi remaja? Selain itu, gaya bahasa juga yang ingin saya perkarakan. Cocokkah gaya bahasa dalam novel-novel “remaja” Mira W ini bagi pembaca remaja zaman sekarang. Seandainya saya sarjana sastra, sebagai mantan remaja era 2000’an yang pernah mengikuti perkembangan teenlit, ingin rasanya saya bandingkan novel Indonesia yang berkisah kehidupan remaja mulai dari era 1980-an seperti Merpati Tak Pernah Ingkar Janji ini, 1990-an, 2000-an, sampai yang terbit belakangan. Buat iseng saja hehehe.

Bertahun-tahun lalu saya coba menulis beberapa novel. Hasilnya saya perlihatkan pada seorang teman. Komentarnya, karya saya mengingatkannya pada novel-novel Mira W. Pada waktu itu entah kenapa dimirip-miripkan dengan yang teramat populer itu rasanya kurang menyenangkan. Tapi kini, setelah saya menerima kalau segala yang saya tulis itu kegagalan belaka dan saya anggap saja sebagai latihan, setelah saya membaca novel Mira W lainnya dan menikmati kesederhanaannya yang memikat, dan setelah saya menyadari kalau novel saya itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan novel ini, komentar tersebut terasa sebagai pujian yang keterlaluan. Fufufu…[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain