Senin, 03 Maret 2014

Oleh-oleh dari Seminar Jurnalistik Ilmiah

Demi mengikuti seminar jurnalistik ilmiah di Institut Top Banget pada Sabtu (1/4/14), sejak seminggu sebelumnya saya membaca satu edisi per hari majalah Geografis Nasional Indonesia terbitan tahun 2005-2007—seputaran masa SMA saya. Pada masa itu GN terkesan wow banget bagi seorang remaja rentan. Maka ketika majalah tersebut diterbitkan dalam edisi Indonesia, bangkitlah hasrat untuk membeli. Sesekali saja, tapi. Pada masa itu harga 40.000 yang dalam dua tahun menjadi 50.000 dan bertahan sampai sekarang (minggu lalu saya cek di Toko Gunung Agung, BIP, ternyata stabil) tetap rasanya lumayan. Harga yang sama cukup untuk membayar ongkos angkot St. Hall-Gedebage rute Jalan Merdeka-Jalan Reog sepuluh kali.

Dan sejujurnya saya tidak cukup cerdas untuk dapat mencerna isi majalah itu dengan mudah.


Maka ketika dalam seminar tersebut diadakan pelatihan, eh, tantangan menulis feature dalam waktu singkat dari editor GNI, saya bukannya berpartisipasi malahan mengobrol dengan kawan yang bidang studinya bukan eksakta. (Seolah eksakta memiliki hegemoni dalam penulisan ilmiah-populer.) Materi dalam seminar itu sendiri sebenarnya bisa diperoleh di buku-buku. Pembicara pertama—eks pengurus persma di kampus penyelenggara acara—menerangkan tentang sepuluh elemen jurnalisme yang bukunya menjadi pegangan media semacam Tempo, Gatra, dan Pantau. Sedang mengenai penulisan ilmiah-populer, yang dibahas oleh pembicara kedua, lengkapnya bisa dibaca di buku Slamet Soeseno—Teknik Penulisan Ilmiah-Populer. Maka, sajian utama dalam acara tersebut justru ketika editor GNI, selaku pembicara kedua yang notabene pemberi tantangan menulis, membahas hasil karya peserta. Yang dibahasnya mulai dari judul, topik, nilai berita, sampai gaya penulisan. Banyak peserta yang masih menulis ala "Wikipedia", maksudnya, memulai tulisan dengan pengertian istilah-istilah alih-alih lead yang menarik. Membuka tulisan dengan wacana yang terlalu umum juga kurang baik, mulailah dengan mengemukakan masalah yang spesifik dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Orang yang duduk di kursi kedua dari sebelah kanan saya sempat ingin menanyakan pada sang editor: Kenapa GNI isinya cuma (ralat: kebanyakan) terjemahan. (Nantinya orang ini maju ke depan karena menjadi juara ketiga tantangan menulis dari editor tersebut.) Bahkan pembicara pertama mengaku kalau ia hanya membaca terjemahan. (Sebenarnya Indonesia sudah memiliki majalah ilmiah-populer sendiri yaitu Sains Indonesia. Sayang peredaran majalah ini masih terbatas. Di Bandung saja kita baru bisa menemukannya di Tokema ITB.) Saya teringat ocehan Mama soal buku-buku sejarah Indonesia yang kebanyakan ditulis oleh bule, juga para penulis yang lebih doyan membaca sastra asing. Heran juga, bahkan untuk ranah literasi pun kita masih lebih banyak mengonsumsi (atau percaya pada) produk dari luar. Memangnya ada apa ya dengan produk dalam negeri?

Coba lihat kemampuan menulis sendiri dulu deh![]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain