Senin, 24 Oktober 2011

Sang Penari Latar



            Aku membuka sebuah buku setebal sekitar 1000 halaman. Warna halaman buku tersebut sudah menguning. Buku ini terbit di tahun 80-an. Sepertinya sudah tidak ada lagi yang menjual buku ini sekarang.
            Isi buku tersebut mengenai keadaan Bandung tempo dulu. Gaya bahasanya cukup enak dibaca. Penulis terkesan ingin berakrab ria dengan pembacanya. Namun saat ini aku sedang tidak tertarik untuk membaca. Aku memerhatikan gambar-gambarnya saja. Gambar-gambar tersebut berupa ilustrasi tangan maupun foto hitam-putih.
            Aku sampai pada halaman di mana terdapat sebuah foto yang menunjukkan Gedung Palaguna pada awal berdirinya. Palaguna menjadi mal favorit masyarakat Bandung waktu itu. Kita juga bisa menonton bioskop di sana. Kemudian mal lain bermunculan di kota kembang. Setelah krisis moneter tahun 1998, keeksisan Palaguna kian pudar. Tempat tersebut jadi terkesan kumuh dan menyeramkan. Sarang PSK dan kecoak.
            Saat aku meninjau ke sana akhir-akhir ini, lantai dasar gedung masih digunakan. Ada beberapa toko yang buka. Katanya kontrak mereka akan berakhir tahun 2014. Banyak wacana mengenai akan dibangun apa Palaguna setelah itu: RTH; perpustakaan; pusat seni dan budaya; macam-macam.
            Kubuka halaman lagi. Kali ini aku melihat Taman Tegallega tempo dulu. Gerbangnya yang melengkung jadi ciri khas. Taman tersebut telah ditetapkan statusnya menjadi kawasan konservasi setelah acara penanaman tanaman langka dari negara-negara Asia-Afrika dalam peringatan 50 tahun Konferensi Asia-Afrika beberapa tahun lampau. Sejak keluarnya perda mengenai pengelolaan taman tersebut, pengunjung diharuskan membayar retribusi agar dapat memasukinya. Yang aku herankan, penarikan retribusi ternyata tidak selaras dengan keadaan fasilitas yang ada di sana. Jembatan dan kandang burung terbengkalai. Sampah-sampai bertebaran. Kutemukan banyak pula pedagang di sana padahal sudah jelas peraturan—yang terpampang besar-besar setelah gerbang yang kumasuki—mengatakan bahwa tidak boleh ada pedagang di dalam kawasan.  
            Aku mengusap foto tersebut dengan telapak tangan kananku. Permukaan halaman terasa halus. Tiba-tiba seberkas cahaya menyeruak dari foto tersebut. Aku merasa seperti terhisap.
            Udara kering Bandung menyergap tubuhku. Sekelilingku tampak agak buram, sephia, sebagaimana kualitas foto yang kuusap tadi. Tapi mungkin juga karena langit tengah mendung atau waktu sudah menjelang petang. Cukup banyak orang di taman ini sedang melakukan aktivitas yang lumrah dilakukan pada sore hari seperti joging, bersepeda, atau sekadar nongkrong. Aku pandangi langit biru muda-pudar yang menaungiku. Tajuk pepohonan mengisi sekitarnya. Aku turunkan pandangan ke bawah. Aku dapatkan panorama yang tak asing. Monumen Bandung Lautan Api di seberang sana jelas menunjukkan bawah aku tengah berada di Taman Tegallega.
            Namun demikian, keadaan tampak berbeda dari keadaan taman tersebut yang terakhir kali aku kunjungi—sekitar sebulan lalu. Sekilas, aku mendapati perbedaan pada keadaan infrastruktur. Dan terutama adalah pakaian yang dikenakan oleh orang-orang yang ada di sini. Rata-rata mereka mengenakan pakaian dengan warna cerah mencolok. Potongan rambut mereka pun sangat zadul. Kebanyakan memiliki rambut mengembang. Sadarlah aku. Sepertinya aku sedang berada di era dua dekadean lampau. Aku langsung ngeh kalau yang kukenakan adalah jaket kulit dan celana jins yang melekat dari pinggang—bukan pinggul seperti yang jadi tren di eraku.
            Lalu aku perhatikan orang-orang yang tadinya tersebar tak teratur mulai bergerak membentuk suatu formasi. Aku tergiring menjadi bagian dari kumpulan tersebut. Entah dari mana datangnya, aku mendengar suara ketukan yang berirama. Keras sekali. Seperti ada sekian speaker mengepung kawasan ini, tapi aku tak melihat satu pun. Apakah tersembunyi di balik rimbun pepohonan? Segera, musik enerjik khas era ini menyusul. Tubuh orang-orang bergerak, tubuhku juga. Gerakan kami sama, begitu pula langkah kami. Suatu tarian massal. Tapi aku yakin ini bukan SKJ.
            Musik tak terasa lagi datang dari berbagai penjuru, melainkan menguar dari tubuh kami. Menjadi atmosfer yang kami hirup dan menggerakkan kami. Aku lihat di kejauhan sepasang laki-laki dan perempuan. Aku kira mereka beberapa tahun lebih tua dariku. Pakaian mereka tidak berbeda dari kami. Rambut yang perempuan dikuncir ekor kuda. Tinggi badan yang laki-laki mungkin beberapa belas cm lebih tinggi. Rambutnya lurus lebat dan berponi panjang. Ia mengenakan kaca mata.
Tubuhku terus bergerak melakukan tarian yang sama dengan orang-orang lainnya, namun kuusahakan mataku tak lepas dari mereka. Lengan kananku melipat, menusuk ke kanan, ganti lengan satunya. Kakiku juga bergerak ke kanan lalu ke kiri.
            Orang-orang membentuk dua kelompok dengan laki-laki dan perempuan itu berada di depan masing-masing kelompok. Mereka juga melakukan gerakan yang sama dengan kami. Lalu aku lihat yang perempuan mendekat ke arah yang laki-laki. Laki-laki itu juga ikut maju. Mereka tidak dalam tarian yang sama lagi. Perempuan itu bernyanyi. Gerakannya tak lagi sama dengan kami. Begitupun yang laki-laki. Ia merespons gerakan perempuan tersebut dengan gerakannya sendiri.

“Teringat ku di masa lalu
Bersenda di taman yang indah
Sungguh riangnya di hatiku
Karna kini kita berjaya

“Citaku tercapai
Punyai kebebasan
Dan dikau berjaya, telah berjaya…”

Beberapa perempuan maju dan menari mengikuti gerakan perempuan berkuncir ekor kuda.

“Sinaran, mentari menyinari
Menusuk ke jiwaku
Ketika bersamamu
Masanya bila kita berdua
Bagai mahligai indah yang tumpah di muka dunia.”

Ganti laki-laki itu yang bernyanyi.

“Ikatan telah dijalinkan
Hatiku terima ketika
Segala rasanya di jiwa
Kemesraan terjalin cinta

"Citaku tercapai
Punyai kebebasan
Dan dikau berjaya, telah berjaya..”

Beberapa laki-laki juga maju lalu menari mengikuti gerakan lak-laki berkacamata tersebut.

"Sinaran, mentari menyinari
Menusuk ke jiwaku
Ketika bersamamu
Masanya bila kita berdua
Bagai mahligai indah yang tumpah di muka dunia.”

Saat menyanyi, gerakan mereka menyesuaikan kata-kata yang mereka lantunkan. Ketika tak menyanyi, gerakan mereka jadi sama lagi dengan kami. Aku perhatikan terus mereka sementara kedua lenganku terangkat ke atas, bergoyang, lalu turun lagi. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa hapal koreografi ini. Tubuhku bergerak dengan sendirinya. Mungkin begitu pula yang dialami orang-orang di sekelilingku. Ekspresi mereka tampak berseri-seri. Aku jadi ngeh kalau mungkin hanya aku yang bertampang bengong karena sukar memahami apa yang terjadi. 
Musik melambat. Perempuan berkuncir ekor kuda itu maju lagi dan menyanyi. Tubuhnya dan tubuh laki-laki berkacamata mendekat.

“Oh perihnya rasa
Pabila di kala tiada
Bagai kenangan yang tiba mewujud cahaya sedang menyinar… Oooo…”

Lalu mereka menari lagi bersama kami selama beberapa lama. Kami meloncat. Lengan kami bergerak serentak. Kaki kami lincah ke sana ke mari. Lalu sejoli itu berpisah lagi dari kelompok mereka masing-masing. Tubuh mereka kembali mendekat. Aku dengar laki-laki itu bernyanyi,

“Citaku tercapai
Punyai kebebasan
Dan dikau berjaya, telah berjaya…”

            Mereka mundur lagi dan bergabung bersama kami. Mereka tetap bernyanyi, bergantian seperti saling menyahut, namun gerakan mereka tetap sama seperti kami.

“Sinaran, mentari pun menyinar
Pabila dikau pulang
Bersama ku semula…
Masanya bila kita berdua
Bagai mahligai  indah yang tumpah di muka dunia…”[1]

            Mereka tak lagi bernyanyi, setidaknya bukan lagi berupa kata-kata utuh, melainkan seperti “uuu~huhu…” atau “duruduruuududu…” atau seperti itulah. Bergantian. Mereka tak lagi menari, melainkan saling mendekat lagi dan memandang lekat tiada putus. Mungkin mereka sepasang kekasih yang baru jadi.
Musik kontan berhenti seiring dengan kedua lengan kami semua, para penari, yang terangkat ke atas. Hal itu membuatku agak terkejut. Lalu orang-orang bubar.
            Aku menegur salah seorang perempuan berbaju pink menyala yang ada di dekatku. “Ada apa ya?” tanyaku.
            Ujarnya, “Oh, sebentar lagi mereka jadi suami istri. Kemarin baru lamaran.”
            Perempuan itu berlalu sementara aku manggut-manggut. Mereka sebetulnya tampak tidak asing bagiku. Tapi, entahlah, aneh juga. Baru saja aku balik kanan, bermaksud meninjau keadaan taman ini di tahun 80-an, ketika tubuhku terasa seperti terangkat, lenyap, dan terduduk lagi di atas kasur. Terasa beban berupa buku tebal yang telah menghisapku tadi di atas pangkuan. Sejenak pikiranku seperti kosong sebelum kemudian memahami apa yang barusan kualami.
            Inilah pengalaman pertamaku jadi penari latar.
           



[1] Sheila Majid - Sinaran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain