Kamis, 06 Oktober 2011

Suatu Jalan-jalan Ali dan Zia (bagian 1 dari 4)

Posting-an hari ini istimewa karena sangat panjang. Jadi dalam hari yang sama akan ada empat posting-an sekaligus namun saling bersambung. Silahkan menikmati kalau enggak capek bacanya, huauahahahahahhahahahah… Perlu diketahui bahwa perjalanan dalam cerita ini dilakukan pada tanggal yang sama dengan hari posting.

*

dari ITB ke BIP

Gadis itu berdiri di bawah salah satu baliho. Ali mendekatkan motornya ke sana namun terhalang pagar rantai. Diteriakinya gadis itu hingga menoleh. Gadis itu ganti mendekat. “Udah lama?” tegur Ali.

Zia menggeleng. “Enggak. Aku baru aja mau masuk lagi ke dalem. Cuman mau beli kue cubit.” Zia menyodorkan wadah plastik berisi beberapa bongkah kue basah tersebut. Bentuknya agak bulat tapi tak karuan. Ada yang berbentuk seperti bunga. Warnanya putih atau hijau di bagian atas—sepertinya yang hijau karena pandan—sedang bagian bawahnya cokelat. Bagian atas kue yang putih berbubuh lelehan meses. “Aku heran kenapa yang ada mesesnya cuman yang putih, yang ijo enggak.”

Agak kecewa Ali. Ia kira Zia memang sudah menunggunya dari tadi.

“Terakhir kali aku beli yang ginian kayaknya waktu SD deh. Sekarang harganya jadi mahal banget. Tadi aku beli seplastik gini harganya enam ribu, isinya sepuluh, jadi masing-masing harganya enam ratus. Tapi kalau beli dua ribu cuman dapet tiga loh. Dulu pas jaman kita SD harganya berapa ya satu?”

“Seratus? Lima ratus?” Ali mencomot lagi satu. Sambil menikmati rasanya, perhatian Ali jadi terpaku pada kue tersebut. Tiba-tiba Zia menyodorkan wadah kue itu ke tangan Ali lalu merogoh-rogoh isi ranselnya sendiri.

“Eh, ini bukunya. Makasih ya.” Gadis itu mengambil wadah kuenya lagi begitu Ali menerima buku yang disodorkan. Ganti Ali yang membuka ransel, mengeluarkan buku, lalu memberikannya pada Zia.

“Sama-sama.” Sementara Zia memasukkan buku ke dalam tasnya, Ali berkata lagi. “Emang di ITB lagi ada acara apa sih?”

Zia mengangkat kepala lalu mengedarkan pandang ke sekelilingnya. Mereka berada di depan gerbang kampus ITB yang berseberangan dengan Taman Ganesha. “Ini kan kampus kedua aku.”

“Oh ya?”

“Aku suka iseng aja sih ikut Mas Imin, eh, Kang Lutung ke kampusnya. Jangan cemburu ya?”

Ali berusaha tidak mengacuhkan itu. Masih saja Zia suka mengomporinya dengan mantan kakak kelas yang dikaguminya itu, yang adalah sepupu Zia—seolah-olah ia bukan lelaki normal saja. “Kalau enggak salah, adik kamu juga di FSRD ya?”

“Ah, enggak usah ngomongin dia.” Zia memalingkan kepala. Lalu, “Eh, habis ini kamu mau lewat mana?”

“Belum tahu.”

“Aku boleh ikut sampai ke BIP enggak?”

Ali melirik ke bagian bawah motornya. Sebetulnya bukan kebetulan ia membawa helm satu lagi.

“Boleh nebeng?”

Ali mengangguk. Tidak berapa lama kemudian ia sudah menjalankan motor lagi dengan tambahan beban di belakang punggungnya.

“Eh, lewat jalan di samping Salman yuk…”

“Kenapa?” tanyanya. Tapi ia menurut jua.

“Biar teduh aja. Lagian aku udah bosen lewat jalan raya terus.”

Sementara mengemudi, sesekali Ali memerhatikan kanan-kiri jalan. Tidak ada sesuatu yang benar-benar menarik. Ia melihat beberapa anak muda bermain kartu, lalu tulisan “SLOW DOWN” yang menunjukkan bahwa di kanan sana ada kantor PDAM, SMA Alfa Centauri yang bersatu dengan bimbel SSC, lalu…

“Eh, entar lewat Taman Flexi dong…”

“Hm? He eh.” Ali menurut. Didengarnya lagi suara Zia.

“Eh, liat di sebelah kanan lucu deh. Ada tanda kalau lewat sana cuman bisa satu arah dari jam 6 sampai 18, tapi semua mobil yang diparkir sana malah madep ke arah sebaliknya. Padahal mobilnya banyak loh, hampir di sepanjang jalan, aneh deh.”

Ali ingin lihat juga tapi motornya mesti sudah melaju jauh dari pemandangan yang dimaksud Zia.

Ali membelokkan motornya.

“Eh, lewat bagian dalam Ranggamalela dong… Belok, belok…”

Ali menurut lagi.

“Kamu inget Dean enggak?”

Ali tidak ingat persis. Sepertinya itu nama adik kelasnya. “Yang pacaran sama anak LEMPERs itu bukan?”

“Iya. Aku inget dulu pernah diceritain sama dia kalau tiap kali dia liat taman ini dia jadi suka mikir mesum.”

Ya ampun, ngapain yang kayak gitu diceritain?!

“Tapi aku juga pernah da, pas lewat trotoar deket sini liat ada kondom. Tapi masih utuh sia, bulet.”

“Kalau saya sih sukanya liat banci.”

“Wah, ternyata kamu pemerhati banci?”

Ali mengerjapkan mata. Bukan itu maksudnya. Ia telah membawa motornya mengitari taman tersebut. Zia masih mengarahkannya untuk melalui jalan yang gadis itu ingin lewati. Ali mendapati bangunan UNISBA di sebelah kiri sementara sebuah tempat makan bernama Kampung Ubi di sebelah kanan. Jus ubi?

“Ih, aku penasaran deh makan di situ. Kayaknya lucu deh makan yang ungu-ungu.”

Ia jadi ingin mengajak Zia makan di situ kapan-kapan.

“Katanya di sekitar sini ada bangunan peninggalan Belanda yang kembar loh,” sahut gadis itu lagi.

“Oh ya?”

Cukup lama tak terdengar suara Zia. Yang mendominasi pandangan Ali hanya hijau, hijau, dan hijau. Jalan ini dirindangi oleh pohon besar di kanan-kirinya.

“Eh, itu tempat apa sih, Li?”

“Mana?” Ali merasa kagok ketika harus menoleh.

“Itu, yang banyak mang-mang jualannya. Pasti itu tempat sesuatu deh. Tapi enggak ada apanya gitu euy, enggak jelas tempat apa.”

Ali juga merasa omongan Zia tidak jelas.

Ia mendengar Zia berceletuk lagi ketika dilihatnya juga beberapa pohon yang digantungi oleh boneka-boneka kecil. Ali sempat mendongak namun ia tak mengindahkan apa yang Zia katakan. Konsentrasinya lekas kembali ke jalan. Iseng banget ada yang gantungin boneka ke situ, dalam rangka apa sih? Ali mengingat-ingat. Gimana cara nyantolinnya ya?

Mereka sudah hampir mendekati Jalan Merdeka namun Zia memintanya untuk lurus saja. Ali tahu ia akan menemukan CCF, Gramedia, dan BEC di jalan itu.

“Ke BIP mau ngapain sih?” tanya Ali.

“Itu loh, ada pameran perangko…”

“Oh. Kamu sendirian ke sana apa janjian sama temen-temen kamu juga di sana?”

“Sendiri.”

Tentu saja. Ali baru ingat kalau untuk angkatan mereka, Zia termasuk lamban. Banyak kawan seangkatan mereka yang sudah lulus lalu berpencaran. Sedang Zia, Ali tidak tahu apa gadis itu sudah memikirkan skripsi apa belum.

“Ikut deh.” Ali memasukkan motornya ke jalur parkir Gramedia. “Ternyata kamu minat sama filateli juga ya, Zia.”

“Ah, enggak juga. Perangko kan punya seninya tersendiri. Aku cuman pingin jadi sedikit berbudaya.”

Setelah motor diparkir, mereka berjalan ke sisi lain Gramedia yang berseberangan dengan BIP. Zia sempat masuk kamar mandi sebentar. Sangat sebentar. Ali tidak mau membayangkan apa yang Zia lakukan di dalam sana. Mereka melanjutkan jalan sampai depan.

Sejenak mereka berdiri di tepi jalan yang cukup lengang pada siang itu. Biasanya Ali mendapati jalan lebar tersebut dirayapi kendaraan dari arah kiri sehingga jalan lebih mudah untuk diseberangi karena kendaraan berjalan lamban. Di sebelah kanan ada pasangan yang sedang menunggu kesempatan untuk menyeberang juga. Tahu-tahu Zia pindah ke samping kanan pasangan tersebut. Kontan Ali mengikuti. Ia perhatikan ada dua gadis lain yang hendak menyeberang juga. Dua gadis itu mengambil tempat di samping kanannya dan Zia. Ali mengernyitkan dahi. Kalau hanya menyeberang dalam situasi seperti ini sih, ia juga bisa memandu. Sepertinya satu sama lain bergantung pada orang di sisi kiri mereka.

Beberapa orang lelaki menyela formasi tersebut. Begitu mereka hendak menyeberang, orang-orang yang di belakang serentak mengikuti. Ali merasa geli sekaligus aneh mendapati kebersamaan yang mendadak tercipta di antara orang-orang yang tidak saling mengenal ini. Padahal ada jembatan penyeberangan puluhan meter di kanan sana. Dulu Ali pernah berpikir mengapa jembatan penyeberangan tersebut tidak dibangun tepat di depan Gramedia. Lebih banyak orang yang hendak menyeberang dari titik ini.

“Li, aku mau beli Rotiboy dulu ya.”

Ali diam saja mengikuti ke mana mau gadis itu. Harga Rotiboy sekarang sudah Rp 7.500,-. Dulu, pertama dan terakhir kali ia beli, harganya masih Rp 6.000,-. “Kamu enggak beli juga?” tanya Zia.

“Udah makan tadi di rumah.” Lebih enak masakan mamanya—selain karena ia tidak usah mengeluarkan uang untuk itu.

Ali memerhatikan Zia yang langsung memakan rotinya sambil jalan. Tampak renyah sekali lapisan mocca kering di atas tersebut. Lelehan mentega di dalamnya terasa gurih. Namun bukan itu yang Ali perhatikan. Serpih-serpih lapisan atas roti tersebut menjejakkan diri di sekitar mulut Zia saat digigit. Ali ingin berdecak karena kelakuan gadis tersebut, tapi ia tahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain