Kamis, 06 Oktober 2011

Suatu Jalan-jalan Ali dan Zia (bagian 2 dari 4)

**

dari BIP ke Jalan Terusan Pasir Koja

Baru beberapa minggu lalu ia berusaha untuk tidak tertarik lagi pada Zia. Tapi saat teringat suara nyaring gadis itu pada pimred di sekre persma (“Yang kalian anggep sebagai masalah tuh yang kayak gimana sih? Masak kejadian kayak gini enggak bisa dianggep masalah penting?!”)—sesuatu yang biasa mengisi telinganya di masa awalnya aktif di UKM tersebut, ia jadi agak tergugah lagi.

Apalagi ia dan Zia masih saja kontinyu tukaran buku meski selera mereka seringnya berlawanan. Salah satu kegemaran Ali adalah sejarah. Ia menempel banyak gambar para tokoh dunia di dinding kamarnya—salah satunya adalah poster Bung Karno yang sangat besar. Setiap perhatiannya tertuju pada satu gambar, ia menguji wawasannya akan tokoh dalam gambar tersebut. Sementara itu selera Zia lebih berwarna—mulai dari yang lucu, alay, sampai horor.

Menurut Ali, Zia sebetulnya punya potensi untuk jadi bagian dari kalangan anak gaul nan hedon. Tapi gadis itu lebih suka menghindari tren dan tampil seadanya. Ia kutu buku tapi vokal. Ingin eksis tapi inkonsisten. Energinya seakan tidak pernah habis. Ali sadar Zia bukan cewek bermutu. Berkali-kali ia bilang itu pada mamanya. “Tapi kamu tetep suka dia,” simpul mamanya. Apakah ini yang dinamakan…

“Eh, ngomong-ngomong pamerannya di mana ya?” suara Ali. Mereka sudah mengitari lantai bawah. Tidak ada tanda-tanda keberadaan pameran perangko.

Zia memandangnya seakan baru menyadari sesuatu. “Bentar, kita cek dulu.” Ali mengikuti gadis itu ke luar bangunan mal. Di pagar, mereka menemukan baliho yang berisi pengumuman pameran yang dimaksud. Benar, tanggal 3-9 Oktober, hari ini termasuk rentang waktu tersebut. Lokasinya di lantai 1.

“Berarti harusnya kita naik satu lantai lagi,” kata Ali. Mereka kembali memasuki mal dan mencari eskalator. Setelah sampai di lantai 1, dari kejauhan mereka bisa melihat sekat-sekat putih berdiri dengan tulisan MITRA BINAAN PT. POS INDONESIA di atasnya. Ada beragam jenis makanan dibungkus plastik dijajakan di bawahnya dan dijaga seorang mbak-mbak. Langkah mereka makin cepat.

Ternyata yang dipamerkan bukan hanya perangko, tapi juga uang kuno. Ali ingat, waktu ia masih SD dulu, ada yang suka jualan perangko bekas untuk koleksi di dekat Taman Lansia. Seorang pemuda dan seorang pria tua yang kiranya ayah dari pemuda tersebut berjualan dengan menggunakan mobil. Namun sudah sejak lama pula, ketika ia melewati kawasan itu lagi ia tidak melihat mereka.

Ali kira Zia memiliki ketertarikan besar pada filateli dan numismatik. Namun ternyata Zia tidak memerhatikan koleksi yang dijajakan setiap stan sampai sebegitunya. Gadis itu hanya lewat, memerhatikan sekilas—tidak hanya apa yang dijajakan, tapi orang-orang di sekitar stan tersebut.

Setelah memutari area tersebut, Ali mengekor saja, Zia berhenti di sebuah papan informasi. Ada beberapa papan di situ. Masing-masing menjelaskan hal berbeda. Zia mengamati informasi mengenai sejarah perangko yang berkaitan dengan kepramukaan sambil sesekali menggigit roti. Ali mengamati papan di sebelahnya. Tapi sesekali ia memerhatikan juga apakah Zia masih menjatuhkan remah-remah rotinya ke bawah. Benar saja, gadis itu sedang mengusap-usap bagian atas dadanya. Ali mengalihkan pandangan.

Mereka bergeser pelan-pelan ke kiri. Ketika hampir sampai di ujung, Zia memecahkan perhatian Ali pada beragam warna perangko yang memuat separuh wajah ratu Belanda. “Eh, itu wartawan bukan?” Ali mendengar bisikan Zia dari samping bahunya.

Ia menoleh dan melihat seorang wanita berjilbab yang cukup gaya sedang bertanya pada seorang pria sambil memencet-mencet ponsel Qwerty putih. “Tujuan dari acara ini apa, Pak?” tanya wanita dengan pakaian serba bernuansa ungu itu. Kata pria dengan kartu pengenal menggantung di depan dadanya itu, “Tanya aja sama yang punya acara. Itu yang lagi duduk di sebelah sana, namanya Pak Pi.”

Begitu wanita itu pergi, Zia bertanya lagi pada Ali dengan antusias. “Itu wartawan bukan?”

“Enggak tahu, Zia. Kayaknya bukan deh.” Ali tidak melihat kartu pers pada pakaian wanita tersebut. Pun, mengapa yang wanita itu pegang bukan alat perekam biasa melainkan sekadar ponsel? Zia sudah bergerak lagi. Setelah mengitari hampir setengah area, Ali tahu kalau Zia sepertinya hanya ingin mengecek perkataannya.

“Mungkin dia penulis freelance,” kata Zia.

“Yah, mungkin.” Melihat Zia melipat bungkus rotinya, Ali menegur, “Solat zuhur yuk.”

“Yuk.” Zia berjalan mendahuluinya.

“Bawa minum enggak?” tanya Ali, yang kemudian agak disesalinya. Semoga Zia tidak ngeh betapa Ali perhatian padanya. Ali tidak ingin Zia mengetahui perasaannya yang masih enggan ia pastikan ini.

“Enggak.”

“Enggak beli minum dulu?” Ia tidak dapat menahannya. Seandainya ia bawa botol air minum, ia tidak tahu apakah ia akan langsung menawarkannya untuk gadis itu.

“Entar aja aku minum dari keran, sekalian wudu.”

Ali berpikir bahwa ia seharusnya tidak usah kaget dengan pernyataan tersebut. Lihat saja rambut awut-awutan gadis itu yang hanya diikat ekor kuda asal-asalan--tidak berubah sejak SMA. Ia jadi tidak menemukan alasan mengapa ia harus menyukai gadis itu. Mengapa ia masih membersamainya? Ali bersyukur kadar perasaannya jadi agak menyurut.

Setelah solat, sambil mengikat tali sepatu, Ali bertanya pada Zia yang duduk di sebelahnya. “Tadi jadi minum air keran?”

“Lumayan, seteguk.”

Ali diam saja setelah itu. Baru setelah mereka mencapai lantai dasar, ia bertanya lagi, “Habis ini mau ke mana?”

“Kamu mau ke mana?”

“Kosong sih.” Ali sudah tidak kuliah lagi. Ia tinggal menunggu waktu wisuda. “Entar ada rapat di Nangor jam tiga.”

“Masih ke sana aja…”

“Iya, bantu ngurusin dikit-dikit.”

“Kalau gitu, bisa dong nganterin aku ke Tegallega…”

“Mau ngapain lagi?”

“Mau balikin buku. Janjiannya di sana.”

Pinjam buku ke siapa aja sih ini anak?

“Ya udah… Tapi saya enggak hapal jalan ke Tegallega.”

“Ih, udah berapa lama sih tinggal di Bandung?”

“Tapi kamu hapal kan?”

“Enggak!”

“Hah? Kamu udah berapa lama sih tinggal di Bandung?”

Zia memanyunkan bibir. Mereka telah sampai di pelataran BIP. Gadis itu mempercepat langkahnya ke arah pintu depan sebuah angkot Kalapa-Dago yang sedang menunggu penumpang. Ali kira gadis itu akan meninggalkannya begitu saja tanpa mengucap terima kasih padahal sudah diantar jalan-jalan sampai ke mari. Ternyata Zia kembali lagi. “Entar ikutin angkot Kalapa-Dago aja. Katanya lewat Tegallega kok.”

“Oh…” Ali termangu. “Oke.”

Dan motor yang diparkir pun telah diambil. Mereka melaju ikuti rute yang dilalui angkot Kalapa-Dago. Mereka melewati SMAN 3 Bandung, Taman Lalu Lintas, perlintasan kereta api, terus ke Jalan Tamblong…

“Apa tadi namanya, yang suka koleksi uang itu, nutismatika?”

“Numismatik.”

“Denger kata itu aku jadi kebayang motor matic di atas penggorengan dengan sedikit minyak…”

“Hahaha…” Ali sungguhan tertawa.

“Aku pikir yang ngedatengin pameran tadi kayaknya cuman kolektor aja deh, orang yang bener-benar minat dan punya duit buat ngoleksi. Eh Ali, kenapa sih kamu pinter banget di bahasa?”

Tentu saja. Sudah bertahun-tahun ia bercokol dalam jurnalistik—dengan aksara malah sudah hampir sepanjang hidupnya. Ali tersenyum bangga, selain karena ia sudah punya akses untuk bekerja di harian terbesar di Indonesia.

“Tapi kamu enggak pinter ngarang fiksi ya?”

Zia selalu berhasil membuatnya jatuh setelah mengangkatnya.

“Beda dong ah.” Ali sebal Zia tidak berkomentar lagi setelah itu.

Ali tidak sadar ia sudah melewati jalan apa saja sampai ia mendengar celetukan Zia. “Sekolahnya ijo banget…” Ali melirik ke sebelah kanan. Jelas saja hijau. Selain ditumbuhi pepohonan di halamannya, bangunan SDN Ciateul yang barusan dikomentari Zia tersebut memang dicat hijau.

Angkot Kalapa-Dago menjebak mereka dalam kemacetan di suatu jalan di mana di situ ada SMPN 3 Bandung yang ternyata berseberangan dengan SMPN 10 Bandung. Ramai benar di depan SMPN 3, sedang SMPN 10 tampak sepi-sepi saja—mungkin ini bagian belakangnya, pikir Ali. Ia jadi ingat sesuatu. Kalau tidak salah, seorang cewek dari SMPN 3 pernah jadi juara umum alias mendapat NKU tertinggi se-Kota Bandung. Saat itu tahun 2005 ketika cewek tersebut melanjutkan pendidikan di SMAN 3 Bandung, masuk aksel, dan kini kuliah di STEI ITB. Sudah lulus apa belum ya?

Ketika sampai di seberang ITC Kebon Kalapa, Ali berhenti. Ia tidak begitu menguasai kawasan ini. “Sekarang ke mana, Zia?”

Zia turun dari motor. “Sebentar ya?” Lagi-lagi cewek itu mendekati sopir angkot Kalapa-Dago. Dan kembali lagi. Ia menunjuk arah di belakang Ali. “Katanya ke arah situ. Ikutin angkot kuning aja.” Setelah Zia duduk lagi di belakangnya, Ali memutar arah motornya.

Ketika melihat Jalan Astana Anyar di sisi kanan, Ali sempat berpikir apa mungkin ke sana arah Tegallega. Tapi Zia tidak memberi petunjuk apa-apa. Yang dikatakan gadis itu malah, “Aku penasaran kenapa Tegallega disebut Tegallega. Ada hubungannya sama Kota Tegal enggak ya?” Perkiraan Ali, Zia pasti sedang melihat kehadiran warteg di sisi kanan jalan sebagaimana dirinya.

Dari tulisan di papan toko di sepanjang jalan yang sesekali matanya tangkap, mereka sudah melewati Jalan Pasir Koja dan sekarang mereka berada di Jalan Terusan Pasir Koja. Jalan ini seolah tiada ujung. Berkurangnya pepohonan pengisi jalan di kawasan ini membuat Ali jadi ingin tahu bagaimana penataan kawasan di Kota Bandung. Seingatnya, suatu kota besar biasanya dibagi menjadi beberapa kawasan. Asal saja sebagai misal, kawasan Bandung utara yang banyak pohonnya adalah kawasan resapan air sedang kawasan agak gersang yang tengah mereka masuki ini merupakan kawasan industri. Padahal siang itu matahari tidak terik. Udara Kota Bandung juga tidak begitu menggerahkan. Tapi Ali merasa pikirannya mulai kacau.

Mendekati pom bensin, Ali berhenti lagi. “Saya enggak yakin ini arahnya terus ke Tegallega.” Ia bahkan tidak yakin kalau mereka masih berada di Kota Bandung. Kalau jalan terus, bisa-bisa mereka tembus ke Cimahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain