Selasa, 11 Oktober 2011

What this is?! You walk! (Balada Seorang Pedestrian)

Di Jogja, kebiasaan saya jalan kaki sering jadi perkara.

Dua tahun pertama kuliah di Jogja, saya tinggal di rumah Bulik. Di tahun kedua, saya mulai keranjingan jalan kaki.

Saya butuh paling tidak 50 menit untuk jalan kaki dari rumah Bulik sampai kampus saya di Fakultas Kehutanan UGM. Itu medium mode. Kalau fast mode, saya bisa hemat setidaknya 10 menit.

Ketika jembatan yang menghubungkan Pogung dengan Jalan A. M. Sangaji selesai dibangun, saya bisa memangkas waktu perjalanan jadi 30 menit saja. Menyenangkan sekali menyusuri jembatan tersebut sambil mata menyapu pemandangan di bawahnya.

Memang panas benar badan saya begitu sampai tujuan. Tapi pada periode itu jadi suka ada lagu mengalun dalam kepala saya. Maka saya pun jadi pengarang lagu. Kalau tidak begitu, maka orang-orang imajiner yang mengisi kepala saya. Kalau tidak begitu, saya paling menikmati jalan kaki di bawah hujan yang tidak begitu deras.

Dengan kebiasaan yang hampir tiap hari begitu, dua kali sehari malah, kalau saya absen maka saya akan bangun pagi dengan kram yang amat menyakitkan sepanjang tungkai kaki saya.

Kebiasaan ini jadi perkara ketika para tetangga Bulik yang mengenali saya, dan melihat saya jalan kaki, komplain pada Bulik. Mereka kira Bulik tidak mengurus saya dengan baik.

Selain itu, memang saya rada mbeling. Saya tidak malu pakai rok yang bolong bagian bawahnya. Saya juga tidak kunjung mahir mengemudikan motor dan mobil padahal sudah difasilitasi. Saya tidak begitu berminat ditawari sepeda listrik. Tidak niat sih. Jalan kaki sudah cukup, lebih fleksibel, dan tidak merepotkan!

Jelas saya terusik dengan komplain ini. Yang capek juga siapa, pikir saya waktu itu. Saya pikir toh kebiasaan ini sangat menyehatkan meski bikin muka gosong dan sepatu bolong.

Bahkan sampai ada tetangga Bude saya—yang rumahnya masih cukup dekat dari rumah Bulik, menawarkan saya untuk naik motor bersamanya saja pada hari dan jam tertentu.

Waktu saya cerita sama teman-teman kampus saya, seorang teman saya bilang kalau memang begitulah orang Jogja. Mereka sangat perhatian pada orang lain. Terlalu perhatian! Mungkin para tetangga itu kasihan melihat saya yang sudah lusuh, panas-panas, jalan kaki jauh pula. Padahal saya sendiri melakukan ini dengan senang hati.

Teman saya itu sendiri adalah orang Jogja. Kalau kami bertemu di jalan dalam perjalanan ke kampus, dia akan mengajak saya naik motornya. Pas benar, kalau saya sedang mengejar kuliah jam 7.10!

Tahun ketiga dan tahun keempat kuliah, saya kos di lokasi yang jauhnya sekitar 10 menit jalan kaki dari kampus. Sejak ini hingga sekarang, saya tidak lagi kejatuhan lagu-lagu dalam kepala.

Sesekali saya jalan kaki tak tentu arah di sekitar kos selama kurang lebih sejam. Kalau ada acara di Rumah Cahaya FLP Yogyakarta waktu itu, saya jalan kaki. Begitupun saat saya jadi sukarelawan untuk Balai Bacaan Srigunting, saya jalan kaki ke sana. Keduanya berlokasi di Nandan. Dan tentu saja saya jalan kaki kalau mau ke Perpustakaan Kota. Saya juga pernah sengaja jalan kaki sampai Malioboro.

Sekarang saya tinggal di rumah Bude—yang berdekatan dengan rumah Bulik itu. Seperti dulu, kalau sudah waktunya pulang dan saya tidak kebagian angkutan umum biasa yang hanya edar sampai menjelang magrib, maka saya naik Trans Jogja. Kalau naik yang satu ini, saya turun di Jombor. Dari Jombor, saya jalan kaki sekitar 20 menit sampai rumah Bude.

Mengetahui ini, Bude suka khawatir kalau saya pulang malam—apalagi kalau sudah magrib saya belum telepon. Beliau bersyukur kalau ada yang mengantar saya pulang.

Pakde suka bilang, saya telepon beliau saja kalau saya sudah sampai Jombor. Nanti beliau jemput. Ini tidak pernah saya lakukan sebab saya tidak ingin tambah merepotkan. Tapi saya pernah begini sama Bulik karena beliau menyuruh. Pakde juga suka menawarkan diri untuk mengantar saya.

Tapi saya tidak pernah lagi jalan kaki dari rumah sampai kampus. Saya takut hal yang sama terjadi saat saya masih tinggal di rumah Bulik.

Saya bayangkan, seandainya almarhum Mbah Surip adalah pakde saya, tentu beliau tidak akan menjemput saya dengan kijang oranyenya. Beliau punya cara lain yang jadi andalan.

Tak gendong ke mana-mana… Enak dong? Mantep dong? Daripada kamu jalan kaki, kepanasan, mendingan tak gendong tho, enak tho, mantep tho, hayo, mau ke mana? Tak gendong ke mana-mana. Tak gendong ke mana-mana. Enak tau![1]

Where are you going? Ok, I am walking!


[1] Mbah Surip – Tak Gendong (dengan sedikit modifikasi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain