Minggu, 18 Maret 2012

Bibliomania


Ia lebih tidak tahan untuk tidak membeli buku ketimbang baju dan sepatu. Sebetulnya ia juga menghabiskan uang papanya untuk keperluan lain. Camilan, barang khas wanita, apapun yang seperlunya—maka itu dinamakan keperluan. Tapi khusus untuk tiga bulan ini, ia sudah mengumpulkan tumpukan struk tersendiri dari dua toko buku yang paling sering ia kunjungi—di samping tiket masuk kolam renang karena ia ternyata menyukai renang.

Mari kita cek bacaan apa saja yang ia beli sejak awal tahun 2012 hingga tiga bulan berselang.

Janna edisi Januari 2012 (7,5K)
Metodologi Penelitian Kualitatif (38K)
Psikologi Sastra (55K)
The Journalist (32,2K)
Pokoknya Kualitatif (56K)
Horison edisi Februari 2012 (20K)
Manifesto Khalifatullah (18,4K)
Kritikus Adinan (15K)
Catatan Mahasiswa Gila (26,6K)
Even Angels Ask (48,9K)
Sahara (27,3K)
Al-Quran (51,8K)

Dari judul-judul di atas tentu kau sudah dapat menerka-nerka bagaimana kiranya wanita tersebut. Namun tidak sampai setengah dari daftar di atas yang sudah ia baca hingga tamat. Kiranya pula ada buku-buku lain yang ia beli dalam rentang waktu yang sama, namun ia tidak menyimpan bukti pembeliannya.

Ia membeli buku untuk disimpan dalam rak dan baru dibaca ketika orang lain sudah membacanya, atau setelah bertahun-tahun kemudian, atau ada suatu hal yang bikin ia meneguhkan niat untuk menamatkannya. Ketika ia memiliki kesempatan untuk meminjam buku dari perpustakaan atau orang lain, ia akan memprioritaskan buku pinjaman tersebut ketimbang buku miliknya sendiri.

Ia bahkan membeli Al-Quran, seolah belum cukup banyak buku serupa di rumahnya.

Saat seorang teman memperlihatkan Al-Quran dengan terjemah per kata dan asbabun nuzul, seketika itu ia menginginkannya. Asbabun nuzul—ia memiliki keinginan terpendam untuk dapat memahami Al-Quran secara kontekstual. Menurutnya, adalah hal penting untuk bisa mengetahui latar belakang sesuatu. Ini merupakan sebuah tahap dalam upaya pemahaman.

Temannya membeli Al-Quran tersebut di seberang masjid. Ketika mereka menghampiri tempat penjualannya, ternyata Al-Quran macam demikian dengan ukuran yang diinginkan sudah tidak tersedia. Ia tidak menghendaki ukuran yang besar dengan alasan kepraktisan. Ia hendak membawanya keluar kota, ke mana-mana.

Sore. Ia mengikuti sebuah forum di selasar masjid yang lain. Ia duduk dekat dinding kaca yang menyekat selasar tersebut dengan bagian dalam masjid. Ia mendengar ada ketukan pada kaca tersebut. Ketika ia menoleh, ia melihat sampul sebuah Al-Quran yang tidak hanya dilengkapi terjemah per kata dan asbabun nuzul, melainkan juga terjemah Kementerian Agama RI, ayat doa, ayat tasbih, intisari ayat, dan indeks tematik.

Sebagian orang bisa jadi berpikir ini adalah pertanda. Kendati ia menampik pikiran demikian, ia tahu ia harus mengalami kemajuan dalam proses pembacaan Al-Quran. Sekadar tulisan arab dan terjemah tidak lagi cukup. Niat untuk membeli Al-Quran tersebut mendekam dalam benaknya.

Ia menyadari bahwa Al-Quran adalah buku yang paling sering ia baca—secara sistematis. Ketika ia sudah menamatkannya, ia akan membacanya ulang dari awal. Semula ia membaca satu halaman sehari, setiap habis solat mahgrib atau solat isya, lalu menjadi satu lembar sehari, masih pada waktu yang sama, lalu menjadi satu lembar setiap habis solat wajib. Namun ia tidak biasa bepergian dengan membawa Al-Quran. Sehingga ketika ia menunaikan solat wajib di luar rumah, niat itu tidak terpenuhi. Namun setidaknya ia membaca lebih dari satu lembar sehari.

Dan baginya, tidak afdol kalau membaca tulisan arab Al-Quran tanpa sekalian mengetahui terjemahnya. Sekadar tulisan arab tidak akan mengubah dirimu jika kamu tidak tahu apa artinya. Dan kendati Al-Quran adalah buku yang selalu ia baca, ia tidak pernah benar-benar memahami isinya. Ia tidak pernah benar-benar memikirkan bagaimana Al-Quran memengaruhi kehidupannya. Ia sekadar membacanya, sebagaimana ia terhadap buku-buku lain. Bahkan buku-buku lain lebih mudah dipahami hanya dengan sekali baca.

Memang sesekali, dengan spidol kuning ia tandai ayat tertentu yang ia rasa menyentuhnya. Ia juga sedang mengumpulkan ayat yang memuat hujan.

Sepanjang ia mencari Al-Quran idamannya di toko buku, ia menelusuri judul demi judul buku yang berkaitan dengan Islam. Ada kesenangan tebersit sembari pertanyaan itu lagi-lagi berhembus di dalam benaknya, kapan kamu bakal baca buku-buku kayak gitu?

Pemahamannya terhadap Al-Quran mungkin akan bertambah dengan membaca buku-buku itu.

Kadang ia terpikir bahwa agama adalah suatu hal yang rumit. Ketika pekan lalu adik kelasnya saat SMA membicarakan tentang agama, ia ingin menghindarinya. Meski ia senang dengan bagaimana A. A. Navis dan Jeffrey Lang mengkritisi Islam sebagai cara untuk menguatkan keimanan—ia bahkan membayangkan pasangan hidup yang memiliki ketertarikan serupa—ia sekaligus sadar bahwa perkara ini sebetulnya memusingkan. Namun pandangannya tetap. Agama bukan sesuatu yang hanya bisa digapai dengan hati, karena banyak sekali Allah melontarkan pertanyaan pada pembaca firman-Nya, “Maka apakah kamu tidak berpikir?”

Agaknya hanya satu ayat itu, yang sebetulnya berjumlah banyak karena diulang-ulang, yang tercantol dalam kepalanya.

Bagaimanapun, ia senang melihat buku-buku meski ia tidak tahu apakah ia akan dapat melahap mereka. Ia dibesarkan dengan banyak buku. Dan entah bagaimana buku-buku meresapkan energi menulis yang tak habis-habis ke dalam dirinya. Menulis, aktivitas yang membuatnya harus berpikir.

Ia mungkin akan kembali untuk buku-buku itu, buku-buku di bagian agama, entah kapan, untuk melepaskan dahaga dan kebodohan yang ditahan-tahan. Keingintahuan ini harus dijaganya agar selalu menyala. Islam saja tak habis-habis, pikirnya. Maka ia bersyukur atas minat baca yang ia miliki, yang membuatnya ingat pada firman pertama Allah—“bacalah”, meski yang dimaksud barangkali tak mesti teks—lalu menyangkut pada ayat lain dalam Quran, “Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?”

Meski ia tidak memahami mengapa ia harus bersyukur atas keingintahuan terpendamnya untuk mempelajari Islam secara lebih mendalam. Ia tahu, ya, Allah telah menyuruhnya berpikir, namun terlebih dulu ia merasakan bahwa ini mungkin akibat iman. Sesuatu yang menggerakkannya untuk terus mencari tahu, mendorongnya untuk mendekatkan diri pada ilmu, hingga menjadi pemburu bacaan, agaknya itu iman.

"...Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu. ..." (Q.S. Al-Hujurat 7)

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain