Selasa, 20 Maret 2012

“Episodes”: Secuil Pelajaran dari Industri Serial AS


Sumber:  http://www.seriemaniacos.com.br/blog/conheca-episodes/   

Saya suka menonton serial komedi. Lebih spesifik lagi: produksi AS yang terakses oleh operator TV kabel langganan keluarga saya, sebut saja “Community”, “30 Rock”, “The Big Bang Theory”, “Monk”, dan sebagainya. Kadang saya berangan-angan membuat serial komedi saya sendiri. Sebuah refleksi kehidupan sehari-hari dalam suatu lingkungan dengan para karakter yang kuat, dengan nilai-nilai yang sesuai kebudayaan saya sendiri. Di samping kepiawaian dalam membikin saya tersentil lantas tertawa, serial komedi AS kadang mempertunjukkan hal-hal yang bagi saya tidak patut. Dengan demikian angan-angan saya yaitu terjun dalam dunia pertelevisian sebagai penulis skrip serial komedi ala Indonesia.

Serial “Episodes” yang tengah tayang di FX mempertunjukkan saya bagaimana realitasnya apabila angan-angan saya itu terwujud. Situasi industri pertelevisian di AS dengan di Indonesia mungkin tak persis sama, namun kegoncangan budaya itu niscaya. Banyak hal dalam budaya pertelevisian AS yang menjadi masalah bagi tokoh utama serial tersebut yang orang Inggris, begitupun saya kelak (ingat: ini cuman angan-angan!) dengan dunia pertelevisian yang saya awam sekali. Ketika menulis ini, saya baru menonton episode 2 dan episode 3 dari serial tersebut dan saya menyukainya. Serial yang diproduksi tahun 2011 ini mendapat rating 7,6 dari 10 di situs Internet Movie Database dan baru saja diganjar Golden Globe berkat Matt LeBlanc sebagai aktor berpenampilan terbaik.

Alkisah, sepasang suami-istri penulis skrip, Sean dan Beverly Lincoln hijrah dari Inggris ke AS—tepatnya Los Angeles. Sebelumnya mereka telah membuat sebuah serial yang tenar di Inggris. Seorang produser dari AS meminta mereka untuk mengadaptasi serial tersebut untuk pemirsa AS. Konflik pun mulai bertaburan. Skandal demi skandal di antara orang-orang yang bekerja dengan mereka terungkap. Matt LeBlanc, aktor yang tenar berkat serial “Friends”, digadang-gadang sebagai bintang serial. Ulah sang aktor yang banyak maunya malah membuat hubungan Sean dan Beverly bergejolak. Sementara Beverly yang keras kerap tidak dapat menahan diri ketika konsepnya diacak-acak, Sean cenderung permisif, menjaga hubungan dengan orang-orang, dan fleksibel.

Animasi yang menjadi pembuka serial menggambarkan bagaimana sebundel naskah terbang melintasi Big Ben, menembus awan, mengarungi Samudra Atlantik, menyusuri lorong di antara bebatuan besar, hingga tercerai-berai setibanya ia di Hollywood. Sebuah idealisme dalam benak penulis bisa jadi kacau balau begitu bersentuhan dengan pihak-pihak yang memiliki beragam kepentingan.

Pelajaran yang paling saya ingat dari episode 3 serial ini adalah ketika Matt ingin mengubah salah satu karakter dalam konsep serial pasangan Lincoln. Di Inggris, serial dibuat dalam format series sedangkan AS menggunakan format season. Jika 4 series berarti 24 episode, maka di AS 24 episode baru terhitung sebagai 1 season. Dan AS bisa membuat sebuah serial hingga ber-season-season. Serial “Friends” saja mencapai 236 episode. Dalam konsep serial pasangan Lincoln, sebuah karakter lesbian memang cukup untuk dieksplorasi dalam 4 series saja. Namun dalam industri pertelevisian AS yang membuka kemungkinan untuk jumlah episode yang lebih banyak, karakter tersebut sebaiknya tidak lesbian karena akan membatasi pengembangan karakternya. Dengan demikian kita harus membuat karakter yang bisa selalu berkembang. Begitulah menurut Matt, terlepas dari apapun kepentingannya di balik penjelasan ini.

Dalam teori mengenai fiksi, karakter bisa dikategorikan menjadi karakter datar (flat character) dan karakter bulat (round character). Jika suatu karakter digambarkan sebagai orang yang baik sejak awal hingga akhir cerita, maka ia adalah karakter datar. Jika ia mengalami perubahan karakter dalam perjalanan hidupnya itu, maka ia adalah karakter bulat. Tertanam dalam otak saya, karakter yang ideal adalah karakter bulat—bulat seperti bola. Ia bisa menggelinding, memantul-mantul, bahkan penyok.  Maka itu saya menyukai karakter utama yang antihero. Karakter antihero terasa sangat manusiawi dan realistis, meski saya tidak bisa memungkiri bahwa sosok hero juga bertebaran dalam realitas.

Ketika sebuah karakter muncul dalam kepala saya, saya langsung bisa membayangkannya sebagai sosok yang sungguh ada. Namun itu hanya seperti ketika saya melihat seseorang. Saya masih perlu untuk mengamatinya, mendekatinya, berkenalan lebih jauh dengannya, dan bagian yang paling penting adalah mendengarkannya bercerita. Dan ia tidak menceritakan kehidupannya seketika. Setelah menceritakan sesuatu, ia akan meninggalkan saya dengan catatan mengenai kehidupannya yang belum tentu utuh, belum tentu layak disajikan dalam sebuah cerpen atau novel. Sewaktu-waktu, ia datang kembali untuk memperbarui catatan saya tentangnya. Jika ia tidak kunjung datang sementara saya tengah merindukannya, membutuhkannya, saya akan berusaha agar ia muncul. Entah itu dengan membaca, mengobrol dengan orang lain, atau sekadar jalan-jalan sambil mengamati interaksi orang-orang di sekitar.

Maka menggarap karakter adalah sebuah proses panjang. Saya bersyukur ketika teman saya bilang kalau karakter-karakter dalam novel pertama saya—yang digarap sendiri—bisa dipercaya. Saya butuh lima tahun untuk memahami mereka sebelum mampu untuk menuliskannya dalam lima hari saja. Maka bagi saya, proses pembuatan cerpen tidak semengesankan proses pembuatan novel. Proses pembuatan cerpen layaknya sebuah pertemuan singkat dengan seseorang atau orang-orang, sementara proses pembuatan novel seperti tinggal bersama dengan seseorang, atau orang-orang, atau sebuah keluarga, atau dari keluarga satu ke keluarga lainnya, dalam suatu lingkungan atau berbagai lingkungan selama periode waktu tertentu.

Rumit. Maka itu menarik. Ketika saya menonton serial AS—tidak mesti komedi karena saya juga menggemari serial nonkomedi macam “Bones”—saya terpukau dengan bagaimana para karakter tampil sewajar mungkin. Sekilas mereka tampak seperti orang-orang biasa, tidak kentara perbedaan karakter di antara mereka. Namun ketika kita mengikuti cerita lebih lanjut, mereka terasa makin seperti orang-orang biasa, ya, dengan beragam sifat yang manusiawi bercampur aduk dalam diri mereka hingga membentuk sebuah kepribadian. Sesuatu yang membedakan mereka antar satu sama lain—tidak melalui penampilan fisik dan gestur saja. Mereka bisa begitu mengagumkan di satu waktu sekaligus menyebalkan di waktu lain.

Kembali pada serial “Episodes”. Selain suka pada aksen khas pasangan Lincoln, kecanggungan mereka dalam menghadapi orang-orang AS yang mereka temui merupakan kelucuan bagi saya. Mereka juga cenderung sopan dan memiliki norma. Saat menontonnya, di kepala saya melaju sebuah pikiran. Di luar sana orang-orang bekerja dalam ritme yang cepat. Begitu sibuknya mereka, tanpa mereka sadari sebagian orang mengambil keping-keping kehidupan mereka untuk disajikan kembali dengan rekayasa sedemikian rupa hingga menjadi hiburan bermakna. Ketika orang-orang sibuk tersebut rehat sejenak dengan menyetel serial, mereka menertawakan kehidupan yang sebetulnya refleksi dari kehidupan mereka sendiri. Tapi ketika mereka menjalaninya, mereka tak menyadari bahwa itu serangkaian lelucon. Mereka tak menertawakannya, mereka mengeluhkannya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain