Sabtu, 17 Maret 2012

Kebebasan?


The Hours, saya sudah menonton versi filmnya yang dibintangi Meryl Streep, Julianne Moore, Claire Danes, dan Nicole Kidman. Ternyata dalam versi novelnya, nama Meryl Streep sudah disebut-sebut. Justru dia memerankan tokoh yang mana merasa telah bersua Meryl Streep di jalan pada suatu kesempatan—atau mungkin aktris terkenal lainnya.

Mungkin saya masih SMA ketika saya menonton film The Hours. Dan mungkin juga saya sempat tertidur di tengah-tengah, sebab ada beberapa adegan dalam novel karya Michael Cunningham ini yang baru saya ketahui—selebihnya dapat disesuaikan dengan yang divisualisasikan dalam film. Tapi apa yang tertera di novel tak mesti persis dengan yang di film kan? Film yang diganjar Oscar dan Golden Globe tersebut, sebagaimana dalam versi novelnya, merupakan rangkaian adegan-adegan yang begitu wajar, begitu “biasa” dalam kehidupan sehari-hari, namun disajikan secara mendalam, bagaimana detail-detail kecil dalam kehidupan dapat mengungkit kerumitan pikiran.

Cerita ini adalah tentang sepenggal dalam kehidupan tiga orang wanita pada zaman dan lokasi yang berbeda: Virginia Woolf, 1923, Richmond; Laura Brown, 1949, Los Angeles; dan Clarissa Vaughn, akhir abad kedua puluh, New York City. Virginia sedang berusaha menulis novelnya yang kelak termasyhur, Mrs. Dalloway. Laura sedang berusaha mencuri kesempatan untuk membaca novel Mrs. Dalloway. Sedang Clarissa kerap dipanggil “Mrs. Dalloway” oleh sahabatnya, Richard. Ada sesuatu yang menghubungkan mereka. Mereka juga sama-sama berhasrat terhadap sesama wanita. Namun tidak hanya itu.

Kehidupan mereka tampak baik-baik saja. Mereka seharusnya bahagia.

Virginia memiliki suami yang mencintainya. Mereka tinggal di Richmond sebagai bagian dari upaya penyembuhan Virginia, meski wanita tersebut merindukan hiruk-pikuk London. Virginia seharusnya dapat menciptakan novelnya dengan tenang di pinggiran kota, namun ada saja keresahan dipendamnya.

Laura menjalani kehidupan seorang istri konvensional yang ideal. Ia memiliki suami yang perhatian, anak balita yang menyayanginya, serta jabang bayi dalam kandungan. Yang harus ia pikirkan semata bagaimana menjalankan rumah tangga dengan baik. Namun ada saja hal-hal kecil yang mengusik pikirannya.

Clarissa hidup dalam masyarakat yang sudah lebih kompleks. Lingkungannya berisi orang-orang yang menyukai sesama jenis, pun dirinya—juga dua wanita sebelumnya. Dan ia memang bahagia. Kerisauannya tidak sebesar kepeduliannya akan Richard yang mengidap AIDS. Dan apa hubungan antara Richard dengan Laura?

Versi Indonesia novel ini diterbitkan Jalasutra (Yogyakarta: 2008) dan saya tidak bisa mengatakan hasil terjemahannya buruk, melainkan konsentrasi sayalah yang demikian. Agaknya butuh otak cemerlang untuk dapat mengetahui mengapa novel ini begitu berarti, hingga Pulitzer Prize untuk Fiksi (1999) dan PEN/Faulkner Award (1999) dianugerahkan padanya. Apakah karena isu mengenai kebebasan orientasi seksual yang dimuatnya?

Bagaimanapun, dari novel ini kita dapat mempelajari bagaimana keseharian yang tampak sepele dapat digali sedemikian rupa hingga mencuatkan pikiran-pikiran yang memicu tindakan. Hidup kita adalah rentetan daripadanya, namun kita harus bergerak cepat, sebagaimana zaman seolah tak pernah henti melesat, hingga kita tak lagi sempat untuk menangkap remeh-temeh tahu-tahu berimbas vital itu.

 Air tenang menghanyutkan, karena yang tak dalam itu air beriak, begitu kata peribahasa. Saya paham bagaimana kehidupan yang tenang dapat menyuntikkan kerawanan tersendiri, lantas membuncah jadi kegalauan hebat pada waktu-waktu tertentu, sebagaimana Virginia dan Laura alami—dengan kemasan berbeda tentu saja. Kehidupan yang dijalani tampak oke, namun ada sesuatu di dalam diri yang mencari-cari, yang mengatakan bahwa hidup tak bisa selamanya begini. Sungguhkah kita mau terjebak dalam kebahagiaan? Yakinkah bahwa kita hanya ingin menjalani apa yang kita inginkan? Yang saya pahami kini, kelabilan dalam kehidupan adalah keniscayaan.

Pada akhirnya, Virginia bunuh diri sedang Laura meninggalkan keluarganya. Entah pula apa yang para tokoh lainnya dalam novel ini cari. Mungkin memang saya kurang berminat untuk menyelam, atau karena di kedangkalan saja saya telah meragukan kebahagiaan dalam persepsi mereka, jenis kebahagiaan berdasar ideologi negeri yang mereka tinggali. Mungkin juga berkat beberapa kalimat dalam esai Wildan Nugraha, “Menulis Bebas dan Bagus”[1], yang saya tandai sebelum saya menamatkan novel ini.

…mereka justru harus berhadapan dengan liberalisme di banyak ranah kehidupan… oleh karena tidak memiliki daya yang cukup dalam mengantisipasi laju dan semangat zaman tersebut, mereka pun lebih banyak terpinggirkan, lalu pada gilirannya tidak sedikit yang mengidap skeptisisme kalau bukan putus asa, kehilangan semangat hidup. 

Manusia dikutuk bebas karena dia tidak menciptakan dirinya sendiri… Begitu dilemparkan ke dunia, dia bertanggung jawab atas segala yang dilakukannya. (mengutip Sartre—dyh) 

…kebebasan sering kali berakhir dengan kebingungan… Setelah tuntutannya tentang kebebasan terpenuhi, ia tidak tahu akan mengisi dengan apa.


[1] Dibagikan dalam forum Kamisan FLP Bandung, selasar Salman ITB, 15 Maret 2012

2 komentar:

  1. Hingga kebingungan kerap kali menyempil pd kebebasan. Hingga terang jadi gelap..

    Nice post, mb Dayeuh..
    Tapi jenis hurufnya kurang enak dibaca mb.... gelap terang gituh mb.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih komentarnya Novi X)
      Oke insya Allah font-nya saya ganti kalau udah bosen hehehe.

      Hapus

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain