Sabtu, 17 Mei 2014

Paris Ternyata...

            …
Dan gadis itu tak pernah mengerti daya tarik apa yang menyebabkan orang-orang di dunia toh ingin ke Paris…
            …
Wanita tua pemilik penginapan tampak sedang menggaruki pantatnya seraya meludah ke got di samping. Dua ekor tikus hitam besar berlarian berebutan gumpalan dahak yang mengambang di permukaan air parit.
Keesokan harinya Marc berhasil meyakinkan si “gadis Asia” untuk berdampingan menyusuri sungai Seine yang cokelat dan jorok.
         

Cerpen Leila S. Chudori, “Paris, Juni 1988” (MATRA, Mei 1989)—yang cuplikannya kutaruh di atas itu—menguatkanku untuk segera membaca Paris: Sejarah yang Tersembunyi. Pertama kali dicetak pada Februari 2014 oleh PT Pustaka Alvabet, Jakarta, pertama kali aku melihat buku itu terpajang di salah satu stan dalam pameran buku di Landmark, Bandung, akhir Februari-awal Maret lalu. Penulisnya, Andrew Hussey, muncul di serial Filthy Cities episode 2 yang belum lama ini ditayangkan di BBC Knowledge. Ia mendampingi host serial tersebut, (masganteng) Dan Snow, menyusuri Sungai Seine, dan menceritakan betapa buruknya hawa di sepanjang aliran. Segala limbah dibuang ke sana, termasuk bangkai manusia. Semakin kita berjalan, semakin kita merasakan perubahan pada tubuh kita akibat udara yang beracun. Di dalam bukunya, ia menceritakan jauh lebih banyak mengenai kejorokan yang menyelimuti kota tersebut selama berabad-abad. Orang membuang feses lewat jendela ke jalanan sehingga pepatah “sedia payung sebelum kejatuhan tahi” sangat penting untuk dicamkan pada masa itu. Bahan makanan sulit diperoleh. Produsen roti digantung karena menimbun tepung. Mayat-mayat bergelimpangan dan menjadi sumber pangan alternatif kala wabah kelaparan melanda.

Sejarah yang diceritakan dalam buku ini dimulai dari zaman bangsa Galia, yaitu pemukim asli yang menentang pendudukan Roma dan pemimpinnya, Julius Caesar. Referensiku mengenai ini hanya film Asterix-Obelix (benar enggak ya penulisannya?) live action yang diputar di TV—itupun ada bagian yang disensor. Lalu orang-orang Frank datang. (Kukira orang Frank ini identik dengan orang Franka yang acap disebut dalam buku-buku mengenai Perang Salib.) Terjadi perkawinan antarras.

Singkat cerita: Muncul monarki yang amat berjarak dengan rakyat jelata. Segala barang dan segala usaha masyarakat diberi pajak yang besar. Lalu dengan uang pajak tersebut para penguasa yang tidak tahu malu dan tanpa tenggang-rasa itu bersenang-senang.

Singkat cerita: Abad pertengahan berlalu dan muncul sastrawan bernama Victor Hugo. Maka aku menyela pembacaan dengan menonton film yang diangkat dari karyanya, Les Miserables, yang pemutarannya tersendat-sendat karena kapasitasnya terlalu besar untuk laptopku. Kukira dalam film tersebut aku akan menemukan gambaran yang jauh lebih hidup akan betapa kumuhnya Prancis pada masa itu, ketimbang yang disajikan dalam buku—yang hanya lewat kata-kata dan selebihnya kita harus menghidupkannya sendiri dengan imajinasi yang kadang pas-pasan. Aku kurang sreg dengan bagaimana hampir seluruh dialog dalam film itu disampaikan dengan bernyanyi. Agak mirip Sweeney Todd, kukira; ada Helena Bonham Carter dan Sacha Baron yang memainkan peran sinting—seperti biasa, anak perempuan yang hilang, pemuda yang diam-diam mencari perhatian, dan anak kecil yang tahu segalanya. Karakterisasi dalam cerita ini kubagi menjadi: tokoh protagonis dan para pendukungnya yang secara umum baik, kusebut tokoh putih; tokoh abu-abu, yaitu tokoh yang membuat pemirsa bertanya-tanya sepanjang cerita apakah dia akan mendukung protagonis atau sebaliknya, dalam film ini ialah Javert yang motifnya sebetulnya sekadar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya dan sebetulnya, lagi, antagonis ya; dan tokoh hitam, yaitu tokoh yang sedari awal hingga akhir usil melulu seperti pasangan suami-istri yang diperankan oleh Sacha Baron dan Helena Bonham Carter itu. Sebelumnya aku mengarang karakterisasi ini ketika pembacaan novel The Columbus Affair dan menyangka ini telah menjadi semacam aturan dalam menulis karya fiksi yang lazim. Tapi harusnya ini tulisan tentang Paris, buku Andrew Hussey, dan hal-hal terkait itu, bukan? #salahfokus

Topik lainnya dalam buku ini yang cukup menarik bagiku adalah mengenai perkembangan kesusasteraan, terutama sejak abad ke-18. Aku tahu sangat sedikit tentang para penulis Prancis: Honore Balzac (penulis yang jam kerjanya sangat intens); Marcel Proust (penulis yang melapisi ruang kerjanya dengan gabus); Albert Camus (pencetus aliran absurdisme yang pernah dibahas di Kamisan FLP Bandung), dan; Colette (kuketahui dari artikel di internet tentang para penulis wanita eksentrik). Aku jadi agak tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang kesusasteraan Prancis, termasuk karya yang aman untuk dikonsumsi anak-anak seperti kisah tentang Pangeran Kecil. Cerita yang sangat indah, menurutku, yang tidak biasanya menyukai cerita sebagai sekadar sebuah cerita. Melankolia dalam cerita itu sangat-sangat-sangat menyentuhku… untuk ikut-ikutan melankolis.

Lainnya ada tentang orang-orang Amerika yang hijrah ke Paris hingga dapat dianggap membentuk koloni sendiri. Di antara mereka adalah penulis dan pemain jaz. Jaz sangat disukai di Paris. Dalam buku ini ada beberapa kali disebutkan nama penulis yang pindah ke Paris untuk, katakanlah, mencari ilham, dan tidak mesti orang Amerika. Paris telah menjadi pusat kebudayaan dan lahirnya beragam aliran seni. Perkembangannya sangat meriah. Bahkan ketika Jerman memasuki kota tersebut dalam rangka Perang Dunia, kegiatan kebudayaan tetap berjalan.

Setelahnya ada revolusi. Warga Paris tampaknya senang dengan revolusi—mengingat apa yang terjadi dengan monarki pada penghujung Abad Pertengahan. Lahir generasi muda yang tidak suka bekerja dan tidak berminat dengan uang, paternalistik. Mereka tampak kurang mandiri dibandingkan anak-anak muda dari kota-kota besar lain di dunia seperti London dan New York. Nah, ketika cerita tentang Paris sudah memasuki masa yang relatif kontemporer, dalam kepalaku mengiang-ngiang film The Dreamers. Film ini memang disebut, akhirnya!, sebagai gambaran mengenai generasi muda dari kalangan menengah borjuis dalam menghadapi revolusi dan kebebasan seksual. Interaksi antara mahasiswa AS dan sepasang kembar cewek-cowok, dan bagaimana mereka mengamati satu sama lain dengan pandangan yang agaknya mencerminkan karakteristik negara masing-masing. Saranku sih, tidak perlu mencari apalagi menonton film itu kalau tidak berkenan dengan adegan telanjang. (Tapi dia ganteng, salah satu di antara si kembar itu, yang cowok.)

Buku ini enak dibaca, mungkin karena hasil terjemahannya memang apik. Memang butuh waktu yang relatif lama untuk dapat menamatkan lima ratusan halaman, tapi hampir-hampir tak terasa. Selain itu tiap bagian dibagi menjadi bab-bab yang dibagi lagi ke dalam subbab-subbab yang relatif pendek, sehingga pembacaan tidak begitu melelahkan karena ada cukup banyak jeda untuk beristirahat sejenak. Namun agaknya tetap dibutuhkan referensi mengenai per-Prancis-an sebelum pembacaan. Entah sejarahnya, budayanya. Setidaknya mengetahui bagaimana cara mengucapkan kata-kata dalam bahasa tersebut, yang banyak sekali bertebaran dalam buku ini. Walau gambarannya akan keadaan kota dari masa ke masa cukup hidup, namun peristiwa-peristiwa tersebut disampaikan sepintas-sepintas saja. Untuk mengetahui lebih banyak tentang Marie Antoinette atau Louis Philippe misalnya, kita perlu mencari referensi lain. Maka setidaknya cukuplah buku ini sebagai pengenalan terhadap sejarah sebuah tempat, Paris sebagai kota—pada khususnya, dan Prancis sebagai negara—pada umumnya.

Membaca Paris: Sejarah yang Tersembunyi agaknya seperti membaca Semerbak Bunga di Bandung Raya—sama-sama sejarah sebuah kota. Hanya sayangnya aku tidak bisa menapaktilasi dan membandingkan keduanya secara langsung. Yang satu baru bisa kususuri lewat bacaan. Memang di dalam bukunya Andrew Hussey juga memberikan panduan singkat bagi yang ingin menelusuri Paris. Yang menarik adalah karena kedua kota ini memiliki kaitan—setidaknya dalam ranah lokal. Bandung acap disebut-sebut sebagai Paris van Java sejak masa kolonial. Kini julukan tersebut terasa makin bikin miris. Agaknya pemirip-miripan tersebut bukan semata dalam hal keindahannya, entahkah sebagai pusat mode, berseminya bunga-bunga (dalam arti harfiah), dan gadis-gadis cantik berkeliaran, tapi juga dalam hal kejorokannya. Setidaknya selama menjadi warga kota ini aku telah terbiasa dengan sampah yang bertebaran di mana-mana… di mana lagi ada kejadian satu kampung tewas karena tertimpa oleh gunung sampah? Mungkin juga dalam hal prostitusi. Kehidupan seks di Paris sebagaimana diceritakan oleh Andrew Hussey dalam bukunya ini barangkali persis dengan apa yang digambarkan oleh Moamar Emka dalam Jakarta Undercover—walau tidak sespesifik yang satunya. Bandung juga dikenal sebagai pusat prostitusi pada masa kolonial. Noni-noni indo hasil hubungan gelap tuan tanah dengan wanita pribumi nyaba ke kota untuk menjajakan kenikmatan badani. Pernah dengar dari omong-omong di Komunitas Aleut, rumah sakit kelamin pertama di Asia—atau Asia Tenggara?—didirikan di Bandung. Maka kita tidak sepatutnya bangga ketika kota kita disama-samakan dengan kota dari negeri lain. Selain karena sikap tersebut mengesankan adanya inferioritas—seperti pengarang yang kurang percaya diri kalau di sampul bukunya tidak tertera endorsement yang membandingkan karyanya itu dengan buku lain yang terkenal dan best seller—atau malah krisis identitas, ternyata Paris tidak seindah itu kok. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain