Minggu, 04 Mei 2014

Kecoak, Tisu, dan Tamborin

Embul senang berburu kecoak. Kalau malam kadang aku mendapati dia duduk di karpet depan kamar mandi, mungkin sedang menunggu kemunculan kecoak. Dia mengejar-ngejar kecoak seakan serangga itu mainan yang bergerak. Dia akan menangkapnya dengan sebelah kaki, menjepitnya dengan mulut, lalu membawanya sambil berlari-lari dan menjatuhkannya kembali. Kecoak itu akan berusaha kabur namun Embul selalu berhasil menangkapnya lagi. Begitu terus sampai dia bosan.

Pernah Embul menangkap seekor kecoak hingga sebelah sayap serangga itu tercabut. Dengan sayapnya yang tinggal separuh kecoak yang terbaring telentang itu berusaha kabur, tapi tidak bisa. Sebelah sayapnya terus bergetar-getar, membuatnya berputar-putar bagai gasing. Embul kembali dan memainkannya.

Aku senang melihatnya mengejar kecoak karena dia punya hiburan, tidak melulu kesepian. Selain itu aksinya mengurangi populasi kecoak di rumah kami. Untung rumah kami kotor sehingga stok mainan untuk Embul tidak ada habisnya.

Beruntunglah mereka yang memilikinya.
Gambar diambil dari sini.
Selagi mengamati Embul berakrobat dengan kecoak, aku teringat komik berjudul Si Cerdik Michael. Isinya berupa cerita serupa sketsa mengenai interaksi antara kucing dan manusia, ada saja di antaranya yang membuatku terkakak-kakak. Semisal ada cerita tentang pasangan yang mendapat kucing yang entahkah dulunya dipelihara bule atau berasal dari luar negeri, dan mereka bingung apa mesti dalam bahasa Inggris kalau ingin berbicara dengan kucing itu; apa dia mengerti bahasa mereka. Aku jadi bertanya-tanya apa si pengarang pada mulanya juga suka mengamati perilaku kucing dan akibatnya tergugah untuk menuangkannya dalam komik. Ada satu ceritanya yang berkaitan dengan kesukaan kucing memain-mainkan makhluk tangkapannya. Perilaku yang sadistis sebetulnya. Namun makhluk dalam cerita itu bukan kecoak, melainkan lalat berwajah manusia dan berkumis. Sayang komik itu tampaknya sudah lenyap dari peredaran, dulupun aku mendapatkannya hanya dari taman bacaan.

Pernah aku membayangkan Embul menghampiriku dengan mulut memagut kecoak, menjatuhkannya di depanku seolah itu hadiah. Betapa manisnya. Tapi dia akan mengambilnya kembali, memain-mainkannya lagi. Di Si Cerdik Michael pun ada cerita tentang seorang gadis yang membayangkan kucing idaman. Kucing yang bisa buang air di kloset lalu menggelontornya sendiri. Lebih manis lagi kalau-kalau suatu saat aku menangis dia mendekatiku dengan mulut menjepit tisu. Tapi mudah-mudahan bukan tisu dari tempat sampah.
***

Satu malam aku melihat Embul mengorek-ngorek plastik tempat sampah. Aku berusaha menjauhkannya beberapa kali, tapi dia selalu kembali. Aku pun membiarkanya.

Adikku sedang menonton TV. Embul menghampirinya dengan mulut memagut tisu yang ringsek. Aku bilang pada adikku kalau Embul baru saja dari tempat sampah. Adikku menghindarinya. Embul menjatuhkan tisu di mulutnya yang ternyata terdiri dari dua gumpalan. Salah satunya berupa gulungan dengan ujungnya berwarna kekuningan. Tisu bekas ingus adikku.

Adikku sudah beberapa lama ini mengidap pilek. Dia suka menggulung tisu lalu memasukkannya ke dalam lubang hidung untuk menyumbat ingus.

Embul seolah ingin menunjukkan pada adikku, “Nih, tisu bekas ingus kamu yaa.”

Aku menyuruh adikku untuk mengembalikan tisu gulung-kuning itu ke tempat sampah karena itu bekas ingusnya. Tapi menurut dia, Embul yang harus mengembalikannya karena kucing itu yang membawanya. Aku terus merongrong adikku yang juga bersikukuh. Akhirnya dia mengangkat Embul di bagian perut dengan sebelah tangan. Lalu dia menyuruh kucing itu untuk memungut kembali tisu yang telah dijatuhkannya. Setelah tisu itu terambil entah oleh mulut atau kaki depan Embul, adikku membawanya ke atas tempat sampah lalu membuat kucing itu menjatuhkan tisu itu kembali. Masih tersisa satu remukan tisu. Adikku pun kembali dengan kucing itu, menyuruhnya untuk melakukan hal yang sama. Dan seterusnya.
***

Sebelum itu aku dan adikku yang lain mengamati Embul yang bermain-main. Sesekali dia telungkup dengan bokongnya menggepeng lalu aku menepuk-nepuk sisi kanan dan kiri bergantian hingga berbunyi “Pok. Pok. Pok.” Adikku bilang dia bukan Kucing Biola. Ya, kataku, dia Kucing Tamborin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain