Sabtu, 10 Mei 2014

Pembacaan Cerpen Seno Gumira Ajidarma—“Clara”

Dari Kamisan FLP Bandung (8/5/14), aku mendapatkan cerpen Seno Gumira Ajidarma, “Clara”. Dicetak tanpa spasi sehingga panjangnya tiga halaman HVS saja (kalau mau hemat kertas mah dicetak bolak-balik sekalian atuh, Neng…), agaknya itu juga yang memengaruhi pembacaanku sehingga cenderung mengebut, yang akibatnya aku merasa hanyut. Faktor lainnya kukira karena cerita dituturkan dalam bahasa yang lugas sehingga langsung mengena. Uwah pokoknya. Maklumlah, pengarang yang satu ini juga jurnalis sehingga bisa mendapatkan banyak pengalaman oke untuk dituangkan menjadi karya kreatif. Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara—begitu yang acap kubaca berkenaan dengan pengarang tersebut. Sudah banyak yang mengagumi sang pengarang, dan aku memekik tanpa sengaja ketika kenalanku bilang bahwa dia diajar oleh beliau di perkuliahannya.


Tercatat ditulis pada 26 Juni 1998 di Jakarta, cerpen ini berlatar peristiwa Mei 1998 (tepat enambelas tahun lalu!) ketika penjarahan dan pemerkosaan terjadi di mana-mana terutama pada orang-orang keturunan Tionghoa. Menurutku, intinya bukanlah soal siapa yang baik dan siapa yang buruk melainkan bagaimana kita memahami kedua sisi yang berseberangan dalam tragedi tersebut. Dua sisi itu menuturkan situasi dalam perspektif masing-masing secara bergantian. Satu sisi menjadi pembuka, muncul lagi di tengah-tengah, dan menjadi penutup, sedangkan sisi yang lain mengisi di sela-selanya.

Sisi pertama yaitu sisi pribumi yang diwakili seseorang berseragam. Pekerjaannya adalah membuat laporan dan seringkali harus memanipulasi kenyataan dalam menjalankan tugasnya itu. Ia tidak kunjung kaya biarpun sudah memeras dan menerima sogokan dari sana-sini. Batinnya: Aku memang punya sentimen kepada orang-orang kaya—apalagi kalau dia Cina.

Sisi lainnya yaitu sisi keturunan Tionghoa yang dibawakan oleh Clara. Ia mengurus perusahaan keluarga yang nyaris bangkrut. Sewaktu terjadi kerusuhan, Clara ingin menengok keluarganya di rumah kendati ia sudah diperingatkan oleh mereka agar jangan pulang. Sekelompok orang menghentikannya di jalan tol, mencabik-cabik pakaiannya, dan memerkosanya sampai pingsan. Ia ditolong oleh perempuan tua yang membawanya pada petugas berseragam.

Dua sisi bertemu. Petugas berseragam harus mengesampingkan hati nuraninya, dan tidak dapat menahan hasrat yang lebih dari kebinatangan kala melihat Clara hanya diselubungi oleh selembar kain pemberian perempuan tua.

Pada 1998, di antara kami semua mungkin belum ada yang usianya mencapai belasan tahun. Adapun yang kuingat tentang waktu itu hanyalah Cindy Cenora menyanyikan, “Aku cinta rupiah!” Krisis moneter—kecemburuan sosial—frustasi massal—kerusuhan—penjarahan dan pemerkosaan—kami mencoba menghubung-hubungkannya untuk memahami latar cerita ini. Siti—moderator Kamisan—memahamkan pada kami soal sentimen pribumi pada Cina dengan cerita dari bapaknya yang pernah bekerja pada orang Cina. Majikannya itu hanya mementingkan keuntungan sendiri dan memperlakukan para pekerjanya secara kurang layak—sebagaimana yang ditunjukkan oleh sikap Papa Clara dalam cerpen ini. Ketika perusahaannya nyaris bangkrut, ia ingin mem-PHK para buruh. Namun kita tidak bisa menggeneralisasi semua Cina. Cerpen ini menunjukkan bahwa Clara adalah Cina yang berbeda dari stigma. Saya ngotot untuk tidak mem-PHK para buruh. Selain kasihan, itu juga hanya akan menimbulkan kerusuhan. Begitu penuturannya—ia tahu. Tapi ia memakai BMW saat hendak pulang untuk menengok keluarganya—merek yang ironisnya justru memperjelas kesenjangan antara kaum kaya—yang kebetulan Cina—dan kaum susah—yang umumnya pribumi (walau novel Supernova: Petir—Dewi Lestari— menunjukkan ada juga Cina kere).

Obrolan sempat dirembetkan oleh Siti ke isu sentimen pada Cina yang terangkat lagi pada masa kini, khususnya dalam bidang politik. Aku juga hendak merembet: Semasa KKN, selama berminggu-minggu aku tidur di kamar yang sama dengan seorang keturunan Tionghoa. Dia sering menelepon dalam bahasa Tio Ciu (sementara Clara dalam “Clara” maupun Elektra dalam Petir mengaku tidak memahami bahasa China), dan sesekali menceritakan tentang keluarganya padaku. Walau semasa SD aku pernah mengikuti les aritmetika di lingkungan yang didominasi oleh keturunan Tionghoa, namun agaknya baru semasa KKN itulah interaksi yang cukup mendalam dengan salah satu dari mereka terjadi. Semasa KKN itu pula aku berteman cukup dekat dengan seseorang yang walaupun bukan keturunan Tionghoa tapi menganut agama yang berbeda denganku, dan dengan dia pun aku berbagi banyak cerita. Interaksi dengan orang-orang dari kalangan yang berbeda itu sejujurnya terasa biasa saja bagiku, walaupun di sisi lain aku menyadari bahwa pengalaman tersebut sebenarnya membukakan wawasan baru. Maksudku, aku memandang mereka lebih sebagai individu alih-alih golongan yang mereka wakili. Aku tidak begitu memikirkan bahwa mereka Cina atau nonmuslim, aku lebih tertarik pada pengalaman apapun yang mereka bagi padaku yang dengan demikian meluaskan pengetahuanku dan mendekatkan hubunganku dengan mereka. Maka aku—sebagai bagian dari ras/suku dan agama yang menjadi mayoritas di negeri yang kutinggali—agak tercenung ketika mendapati adanya keresahan apabila yang terpilih untuk menjalankan pemerintahan adalah orang dari golongan minoritas tertentu. Aku tidak begitu memahami mengapa atribut yang melekat pada seseorang menjadi begitu penting ketimbang bagaimana dirinya sebagai individu.


Sedikit di luar konteks tapi masih dalam Kamisan

Tema Kamisan bulan ini adalah isu sastra, khususnya kritik sastra. Pengantar mengenai apa itu dan macam-macam kritik sastra telah disampaikan pada Kamisan minggu lalu—aku tidak menghadirinya. Sebagai orang awam aku lebih suka menggunakan kata “apresiasi” ketimbang “kritik”. Terkesan bagiku “kritik” hanya mungkin dilakukan oleh orang yang benar-benar memahami kesusastraan, sedangkan “apresiasi” bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk yang awam sekalipun. Kritik cenderung pada perkataan yang nyelekit (biarpun sebetulnya tidak mesti begitu) sedangkan apresiasi bisa berupa apa saja. Menurut, lagi-lagi, Siti, apresiasi bisa dibagi menjadi beberapa tingkatan. Tingkatan terendah adalah ketika kita membaca karya seseorang karena kita mengenal orang tersebut. Tingkatan berikutnya adalah ketika kita membaca seluruh karya dari pengarang tertentu. Tingkatan selanjutnya dia tidak hafal. Yang pasti, tingkatan tertinggi dalam apresiasi adalah ketika karya tersebut menggugah kita untuk berkarya juga. Tanyaku: Termasuk kalau karya itu jelek banget sehingga jadinya kita geregetan pingin bikin yang lebih bagus dari itu? Ya…! Karena jelaslah kritik/apresiasi yang paling nyelekit adalah ketika kita sudah berbagi karya kita pada orang lain dan… tidak ada tanggapan. Adapun tanyaku yang satu ini terpendam saja: Bagaimana dengan karya yang saking bagus sampai-sampai bikin kita minder dan merasa tidak ada gunanya lagi berkarya?  

2 komentar:

  1. Untuk kritik sastra dan sebagainya baca Solilokui-nya Budi Darma, Day.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mudah-mudahan aku berjodoh dengan buku itu, Mbak Desi. Terima kasih :D

      Hapus

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain