Minggu, 18 Mei 2014

Apapun yang Kau Lakukan, yang Penting di Baliknya Ada Keyakinan yang Kau Perjuangkan

Jumat, 16/5/14, aku diajak ke Kebun Seni, tepatnya Warung Narasi, yang letaknya di pelataran parkir Kebun Binatang, Bandung. Di daerah berbahasa sunda, penjaja tahu keliling menyebut dagangannya “tarahuuu…”, kalau nasi berarti “narasiii…” Tapi Warung Narasi tidak menyajikan nasi, melainkan “ide”.

Ruangannya kira-kira seluas kamar tidur. Dindingnya dicat pink. Karpet tebal mengalasi. Meja besar berdiri di tengah. Permukaan kayu meja senada dengan rak buku yang lebar dan tinggi menutupi salah satu sisi dinding. Pada sisi lainnya melekat whiteboard yang lebar, yang juga berfungsi sebagai layar untuk memantulkan sinar dari proyektor. Lebar di sini berarti panjangnya mulai dari ujung satu ke ujung lain dinding. Pada sisi lainnya lagi terdapat akuarium yang dihuni oleh banyak siput kecil. Di atasnya terdapat bingkai-bingkai berisi potongan artikel dan kover buku. Dispenser di pojok ruangan.

Aku bertanya pada kawan-kawan jalanku mengenai Warung Narasi namun rupanya mereka pun tidak banyak mengetahui selain bahwa komunitas tersebut diasuh oleh Acep Iwan Saidi—selanjutnya akan kusebut Pak Acep—dan mengadakan pelatihan menulis dengan kuota terbatas. Pada kesempatan tersebut mereka bermaksud memulai diskusi dwimingguan.

Acara yang katanya dimulai pada pukul 15 itu hampir dibatalkan, ketika kami datang. Lalu datang beberapa anak muda lainnya. Kiranya sekitar pukul 16.30 diskusi pun dilangsungkan. Sebetulnya lebih tepat disebut kuliah sih. Pak Acep yang dosen itu mengenali salah satu kawan jalanku sebagai mahasiswinya di Jatinangor.

Topik yang disampaikan adalah Ideologi Puisi. Namun agaknya “puisi” di sini bisa digeneralisasi menjadi karya seni apapun, karena sesungguhnya aku tidak berminat dengan perpuisian, lagipun Pak Acep kadang tidak hanya menyebut “penyair” dan Chairil Anwar, tapi juga “seniman”, “pengarang”, Pramoedya Ananta Toer…

Mengikuti kuliah yang mengacak-acak isi kepala ini, aku menyadari kalau pikiranku itu praktis. Sembari mendengarkan aku mencari-cari apa yang bisa kuterapkan. Sedangkan beliau bicara soal “ide”—istilah-istilah yang bagiku abstrak seperti “ideologi”—sesuatu yang diidealkan, “kesadaran palsu”, keyakinan yang bertentangan dengan logika, “hegemoni”—“hegemoni aparatus”, “eksplorasi bentuk”, dan sebagainya. Memang ada sedikit yang agak bisa kumengerti, dan kucatat dengan kata-kataku sendiri.

Ketika seseorang melihat dirinya, dia melihat dunia, dan ketika dia melihat dunia, dia melihat dirinya. Dengan mendefinisikan dirinya, dia membedakan dirinya dari sekitarnya.

Ada perkataan beliau yang sesuai dengan pikiranku belakangan ini, yang sebetulnya sudah pernah kudapati bertahun-tahun lalu dalam buku Harmonium Budi Darma.

Seseorang tidak sekadar menulis, membaca, atau bekerja, melainkan dia memiliki keyakinan tertentu sehingga dia menulis, membaca, atau bekerja. Para pengarang besar memiliki kegelisahan yang terus-menerus digelutinya.

Yang menjadi perenunganku belakangan ini adalah bahwa agaknya aku tidak memiliki “keyakinan” sebagaimana dimaksud, sehingga aku ragu untuk meneruskan mimpi menjadi pengarang, atau menjadi apapun selain pengarang. Menulis yang menulis, bukan menulis yang asal-asalan seperti dalam catatan harian dan blog ini. Barangkali aku sudah lupa kenapa pada satu waktu aku merasa jalanku adalah menjadi pengarang, atau apapun selain pengarang. Tapi pada waktu itu memang ada yang ingin kusampaikan. Protesku sebagai remaja yang baru mengenal individualisme. Paham yang menganggap bahwa kebutuhan setiap anak tidak bisa disamaratakan. Maka lahirlah draf-draf yang butut itu. Tapi kemudian aku menyadari agaknya individualisme baru bisa diterapkan dalam lingkungan yang mapan, adapun lingkunganku masih gelagapan. Dan makin kemari aku makin merasa dituntut untuk conform. Segala yang kupahami itu salah. Kosongkan diri. Keyakinan itu pergi. Tidak ada yang pasti.

Poin penting yang kutangkap adalah bahwa seseorang harus memiliki keyakinan untuk diperjuangkan, serta bagaimana ia memindahkan luka realitas menjadi luka dirinya dan bagaimana agar kegelisahannya menjadi kegelisahan realitas. Bagaimana menghubungkan antara ideologi dalam benaknya dengan realitas di sekitarnya. Kenyataannya, para seniman berjarak dari realitas sosialnya. Tapi “realitas” yang dimaksud di sini apa? Kukira seorang seniman pun hidup dalam realitasnya sendiri, realitas yang menyebabkan dirinya mesti berkompromi. Mesti membuat sajak atau cerpen yang K*MP*S-oriented kalau ingin diakui sebagai pengarang berkualitas, misal. Dan, memangnya kenapa kalau berkompromi?

Selama berhadapan dengan Pak Acep, aku merasa samar dengan apa yang disampaikan. Tapi sesudahnya, dalam perjalanan menuju masjid Salman untuk menumpang salat bersama kengkawan, meletup banyak pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang kalaupun aku berkesempatan untuk bertemu dengan beliau lagi barangkali aku tetap segan mengajukannya. Pertanyaan-pertanyaan yang kupikir sebaiknya kupendam sendiri; sebagai pupuk untuk menumbuhkan kembali keyakinan akan sesuatu yang aku belum tahu...

Keyakinan yang mungkin akan menyebabkan pertentangan terus-menerus dengan orang-orang lainnya.



NB. Salah satu kawan jalan saya agaknya lebih mengerti, silakan baca laporannya di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain