Kamis, 08 Mei 2014

Siapa Mampu Bersimpati

Semalam aku menceritakan perkenalanku dengan R. E. M., dan teringat akan lagu yang dibawakan oleh vokalis grup tersebut, Michael Stipe, di penghujung film Happiness (1998). Setelahnya aku membaca tulisan terbaru dari beberapa blog yang kuikuti. Salah satunya ditulis oleh seorang calon psikolog anak—mahasiswi pascasarjana UI, sebenarnya. Dia mengungkapkan situasi emosional yang dialaminya tiap kali mendengarkan secara langsung cerita dari pasien-pasiennya, yang di antaranya adalah anak yang menjadi—dan juga orangtua daripada—korban pelecehan seksual. Kita tahu belum lama ini berita tentang pelecehan seksual pada anak sedang marak, lagi. Lagi-lagi aku teringat akan Happiness, tepatnya pada wanita penulis dalam film tersebut. Dia penulis puisi yang dikagumi sampai-sampai membikinnya lelah, dia juga disibukkan oleh acara penandatanganan bukunya. Beberapa puisi dalam bukunya, Pornographic Childhood, dijuduli “RAPE AT ELEVEN”, “RAPE AT TWELVE”. Satu ketika dia merasakan ketidakpuasan atas karyanya itu yang menurutnya dangkal dan tidak berbobot. Apa yang ditulisnya kepalsuan belaka. Just another sordid exploitationist—begitu dia menganggap dirinya. Kalau saja dia pernah diperkosa sewaktu masih menjadi anak-anak, maka yang ditulisnya akan autentik. Di sisi lain, ada seorang psikolog yang secara diam-diam memerkosa teman-teman anak lelakinya. Kali pertama, dia membubuhkan obat tidur pada makanan teman anaknya yang sedang menginap. Kali kedua, dia mendatangi teman anaknya—teman yang berbeda—yang sedang tinggal sendirian di rumah karena kedua orangtuanya berlibur ke Eropa. Perbuatannya itu terlacak oleh polisi karena dia ternyata meninggalkan semacam virus pada bocah-bocah yang menjadi korbannya sehingga mereka sakit—selain karena dia keceplosan sewaktu kali pertama diwawancara. Lantas kupikir ini waktunya untuk menonton ulang Happiness.

Sumber gambar dan sekalian baca ulasannya di sini

Setelah beberapa lama menonton film tersebut, aku membatin, Kenapa aku nonton film yang ngajak bunuh diri kayak gini? Tapi aku teringat akan akhir ceritanya yang cukup positif. Memang, dalam kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian ini sesekali harapan muncul sekilas-sekilas. Dan ketika cerita diakhiri dengan momen munculnya harapan, aku menyimpulkan bahwa kreatornya bermaksud untuk mengedepankan kesan positif terhadap kehidupan ke dalam benak penikmat karyanya.

Ada banyak tokoh dalam Happiness dengan problem masing-masing yang disampaikan secukupnya. Satu tokoh terkait dengan tokoh lain secara langsung maupun tidak langsung, entahkah sebagai saudara kandungnya, saudara iparnya, tetangga saudara kandungnya, orangtuanya, muridnya, pasiennya. Antara penulis yang ingin diperkosa dan psikolog yang diam-diam memerkosa, misal, ada hubungan ipar kendati mereka tidak bertemu dalam cerita. Selain mereka, ada: Joy, musisi gagal yang dalam usia kepala tiga tidak kunjung mendapat kepuasan dalam hubungan asmara dan pekerjaan; Allen, karyawan kantor yang mengisi kesendirian dengan menelepon ke sembarang nomor—kalau yang mengangkat adalah perempuan, dia akan menjadikannya sebagai objek masturbasi; Kristina, wanita tambun yang membunuh penjaga pintu apartemen yang memerkosanya, lalu diam-diam menyimpan potongan tubuh pria itu di dalam kulkasnya; Mona, wanita tua yang tidak lagi dicintai oleh suaminya tapi tidak juga diceraikan; Lenny, pria tua yang tidak lagi mencintai istrinya dan tidak juga siapapun, yang dirasakannya hanya kekosongan dan di akhir dia membubuhkan garam banyak-banyak ke makanannya agar lekas mati; Billy, bocah lelaki yang sedang mengeksplorasi seksualitasnya, dan dengan sedih mendengar pengakuan ayahnya yang telah memerkosa teman-temannya; Trish, ibu rumah tangga yang selalu ingin unggul, sempurna, dan terlihat bahagia, tapi tidak bisa berempati dengan masalah orang lain; dan seterusnya…

Philip Seymour Hoffman sebagai Allen. source

Film ini tidak kusarankan bagi orang yang tidak nyaman dengan adegan seks (meliputi masturbasi, sanggama, serta mani muncrat) dan pembunuhan. Apabila tontonan semacam itu dapat ditoleransi, film ini sebenarnya lucu. Psikolog yang dalam batinnya mengecek daftar belanjaan dan keperluan lain yang mesti dituntaskannya sepulang kerja, sementara di hadapannya seorang pasien sedang mengeluhkan dirinya yang membosankan. Ayah paedofil yang dengan lembut menjawab pertanyaan-pertanyaan anaknya tentang seksualitas, sambil tidak lupa menawarkan apakah anak itu mau melihat kemaluannya. Penulis yang ingin diperkosa namun setelah bertemu dengan orang yang mau memerkosanya merasa pria itu bukan tipenya. Dan yang tidak kalah menggelikannya bagiku adalah adegan di penghujung. Penulis yang mengarang-ngarang derita dalam karyanya, ingin agar orang-orang dapat mengaitkan diri dengan kepedihan yang mereka tidak mengalaminya sendiri, namun terhadap tragedi yang benar-benar terjadi pada orang di sekitarnya dia malah menertawakannya.

Mona : Helen, so what's gonna happen to that woman? Who killed your doorman?

Helen : I don't know, mom. It's so sad. She's all alone. I just wish I'd gotten to know her better. We might have found we had something in common.

Joy : Maybe you'll write a poem about her.

Helen : (laughs) Joy, I'm so sorry. But... don't worry. I'm not laughing at you. I'm laughing with you.

Joy : But I'm not laughing.

Menarik ketika sosok-sosok yang tampak menyedihkan justru yang mampu bersimpati terhadap orang-orang lainnya yang bermasalah sementara sosok-sosok yang tampak baik-baik saja justru bersikap sebaliknya. Seperti dalam penggalan dialog di atas: Joy si musisi gagal menyarankan Helen si penulis angkuh agar menulis puisi tentang wanita kesepian yang terlibat pembunuhan, tapi dia malah ditertawakan. Begitupun antara Bill si psikolog paedofil dan istrinya, Trish si ibu rumah tangga “sempurna”: Ketika anak mereka menceritakan tentang guru pemadat yang terancam dipecat, dia menganggap perlakuan tersebut agak kejam sementara Trish malahan mendukung bahkan mengancam anaknya kalau-kalau suatu saat menjadi pemadat, dia tidak akan menganggapnya sebagai anak lagi.

Penggalan dialog pembuka dari Andy (Jon Lovitz),
pasangan Joy yang kemudian bunuh diri. source

Kita mungkin merasa geli, risi, ganjil, sekaligus ngeri selama menonton film ini. Tapi mungkin itu juga yang dirasakan oleh mereka yang berhadapan langsung dengan korban maupun pelaku dari berbagai kasus yang dianggap menyimpang. Maka bagiku film ini bukan soal bahagia atau tidak—menilik judulnya—melainkan bagaimana kita menyikapi problem yang menimpa orang-orang biasa dalam kehidupan sehari-hari: baik diri kita sendiri maupun orang lain. Agaknya pengalaman kita sendiri yang menentukan mampu-tidaknya kita dalam bersimpati terhadap cerita orang lain; bagaimana kepedihan kita sendiri membuat kita bisa menempatkan diri dalam posisi orang lain yang sama atau malahan lebih menderita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain