Senin, 15 Juli 2013

Complexity in Simplicity

“Sunday in the Park”, merupakan judul cerpen yang dikarang Bel Kaufman[1]. Judul yang membuat kita bertanya-tanya, peristiwa apa yang mungkin terjadi pada suatu Minggu di taman? Judul yang bagus untuk dijadikan tema pelajaran mengarang, seperti “Liburan ke Rumah Nenek”.

Bel Kaufman. source
Kita kemudian ditampilkan sebuah situasi yang sangat biasa. Sepasang suami istri pada suatu senja di taman, dengan anak mereka yang berumur tiga tahun bermain pasir. Ada anak lain di kotak pasir itu, yang sekonyong-konyong melempar pasir ke anak mereka. Sang ibu yang mengawasi kontan terkejut, lalu melarang anak itu untuk melakukannya. Tapi anak itu tetap melakukannya. Ia menahan naluri untuk menyelamatkan anaknya, dan menghardik anak yang lain. Ia ingin anaknya membela dirinya sendiri. Selain itu ia juga mencari-cari di manakah gerangan orangtua atau pengasuh anak yang telah berbuat tidak baik pada anaknya itu. Tidak disangka, pria besar yang sedang membaca buku komik di suatu bangku malah menyuruh anak itu untuk melempar-lempar pasir lagi.

You go right ahead, Joe. …. Throw all you want. This here is a public sandbox.”

Keruan ibu tersebut kalut, ia memberi isyarat pada suaminya untuk bertindak. Tapi apa daya. Suami yang ingin menyelesaikan masalah tersebut dengan baik-baik, malah keder dengan tubuh pria yang lebih besar tersebut. Ia pun mengajak istri-anaknya untuk pergi. Si anak pun meronta-ronta, karena sebetulnya masih asyik bermain. Sepanjang jalan ada perasaan yang mengganjal sang istri. Ia sebenarnya ingin suaminya bertindak lebih, walaupun akibatnya mungkin akan konyol. Suaminya pun berpikir demikian. Itu kejadian sepele, yang tidak akan menghasilkan apapun. Namun anak yang tidak berhenti menangis membuat mereka gusar. Di sinilah karakter yang sebenarnya dari suami-istri itu terlihat. Istri yang lega karena perkelahian tidak terjadi, namun di sisi lain kecewa karena anak dan suaminya kurang agresif. Suami yang rasional dan ingin menghindari adu fisik, namun secara ironis ia menunjukkan kecenderungan untuk menghukum anaknya dengan kekerasan.

If you can’t discipline this child, I will,” Morton snapped, making a move toward the boy.

Kita tidak bisa menilai orang hanya dari penampakannya. Keluarga Morton yang tampak baik-baik, dengan Morton berprofesi sebagai pengajar di suatu universitas, membaca Times, dan memiliki cara bicara yang santun, tampak kontras dengan Ayah Joe yang bertubuh besar, membaca buku komik, dan omongannya kasar. Tapi Ayah Joe lebih memiliki perhatian pada anaknya ketimbang Morton. Morton perlu diberi isyarat oleh istrinya dulu, baru bertindak untuk membela anaknya. Sedangkan Ayah Joe yang memang hanya sendirian, tahu-tahu saja menimpali ketika anaknya ditegur oleh istri Morton. Toh barangkali Joe melempar Larry dengan pasir pun karena ingin mendapatkan perhatiannya, ingin berteman. Karena Larry pada mulanya tidak acuh saja, seperti ayahnya. Kemudian setelah meninggalkan area bermain, kita tahu bahwa keluarga Morton pun masih menuai problemnya sendiri.

Menggunakan sudut pandang orang ketiga perspektif istri Morton, informasi yang diberikan cukup jelas. Kita bahkan bisa mengetahui isi pikiran perempuan yang tidak disebutkan namanya itu.

Of all the stupid, despicable bullies, she thought…

If there had been an issue involved, she thought, if there had been something to fight for. …

Kompleksitas dalam kehidupan manusia terkandung dalam situasi yang amat biasa. Konflik-konflik kecil semacam itu, antara Morton dengan Ayah Joe, lalu antara Morton dengan istrinya, yang melaluinya terungkap bagaimana karakter masing-masing. Barangkali relevan dengan perkataan seseorang yang saya lupa, bahwa karya fiksi yang dianggap besar itu justru hanya menampilkan kejadian biasa dalam kehidupan sehari-hari. Satu-dua aspek dalam kehidupan, beberapa detail terkait kita tonjolkan dengan kata-kata. Darinya terletup pemikiran. Kembali saya jadi ingin mengutip kata-kata Harvey Pekar, ordinary life is pretty complex stuff.[]


dari The Harper Anthology of Fiction, ed. Sylvan Barnet, 1991, Harpercollins Publishers Inc. 
beberapa ulasan yang cukup baik mengenai cerpen ini bisa dilihat di sini, sini, dan sini
teks asli bisa dilihat di sini


[1] Pengarang Amerika Serikat keturunan Yahudi yang lahir di Jerman. Ia masih hidup di usia yang melebihi satu abad. Karyanya yang terkenal adalah Up the Down Staircase (1965), kisah tentang seorang guru idealis di sebuah SMA yang konon berdasarkan pengalamannya sendiri. Novel tersebut kemudian difilmkan dengan judul yang sama pada tahun 1967.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain