Rabu, 03 Juli 2013

India: Kebahagiaan adalah Kontradiksi

Di The Geography of Bliss, saya sempat diajak mampir ke India. Per­temuan dengan India saya perdalam dengan membaca buku se­lan­jut­nya, masih bertema kebahagiaan, Negeri Bahagia[1]. Novel ini se­ma­cam Laskar Pelangi dan Negeri Lima Menara, realita mem­pri­ha­tin­kan yang dituangkan dalam bentuk fiksi. Tapi tentu tidak begitu sa­ja dapat kita bandingkan. Negeri Bahagia tidak melambungkan mim­pi, hanya mengempaskan kita dalam realita yang mengenaskan.

Negeri Bahagia atau Anand Nagar adalah nama perkampungan ku­muh seluas tidak lebih dari dua stadion di Calcutta, berpenduduk se­ki­tar 70.000 orang. Mayoritas Islam, selebihnya Hindu, Kristen, dan ber­bagai kepercayaan lain. Warga Negeri Bahagia yang paling me­nge­sankan saya adalah Stephan Kovalski, seorang pendatang dari Pran­cis yang notabene pastor Polandia. Ia sengaja menempatkan di­ri di tengah kepapaan sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. Mu­la-mula hanya sesama penganut Kristen yang simpati padanya, se­bagai pastor ia dicurigai hendak menjalankan misi tertentu. Ma­sa­lah agama sangat penting di India. Namun Kovalski menunjukkan ke­tu­lusannya dalam berbagi, sehingga lingkungannya pun meng­hor­mati.

Selain itu ada Hasari Pal, petani dari Bengali yang terpaksa merantau ke Calcutta bersama istri dan anak-anaknya karena bencana ke­ke­ring­an di desa mereka. Di Calcutta mula-mula mereka tinggal di kaki li­ma, tanpa peneduh, bersama banyak pengungsi lain dari berbagai da­erah. Di bawah sengatan matahari, di tengah kepadatan manusia, di­bekap udara yang amat panas, berhari-hari Hasari mencari nafkah. Ka­dang pekerjaan diperolehnya karena pekerja sebelumnya celaka atau mati—memang risiko dari pekerjaan tersebut. Bahkan pernah ia mendapatkan uang dari menjual darahnya. Sampai akhirnya ia ber­temu dengan seseorang yang sekampung, yang berbaik hati men­carikannya kesempatan untuk menjadi penarik angkong[2]. Men­ja­di penarik angkong tidak berarti lebih baik. Profesi ini meng­a­ki­bat­kan penuaan dini, kerusakan paru-paru, dan menurunkan harapan hi­dup hingga kurang dari usia 40 tahun. Tapi karena sengitnya per­sa­ing­an untuk mendapatkan pekerjaan, Hasari mampu bertahan se­la­ma bertahun-tahun hingga mendapat kesempatan untuk menjadi pen­duduk Negeri Bahagia. Ini berarti ia dan keluarganya akan punya tem­pat tinggal dengan atap.

Di Negeri Bahagia Hasari bertetangga dengan Kovalski. Saat itu ia me­rasa hidupnya tidak akan lama lagi. Tapi sebelum mati ia ingin me­nunaikan kewajibannya sebagai ayah, yaitu menikahkan putrinya. Na­mun untuk itu ia membutuhkan uang yang sangat besar untuk me­nebus mas kawin. Maka ia menjual kerangka tubuhnya seharga 500 rupee (akan diambil begitu ia mati), juga menyuruh seorang anak laki-lakinya untuk memulung, ditambah menjual sisa harta yang dimiliki. Tuntutan mas kawin dari pihak mempelai laki-laki ber­tam­bah-tambah, belum lagi bayaran yang diminta sang pujari—se­ma­cam penghulu yang berperan mengatur pernikahan mulai dari me­nentukan jodoh, tanggal pernikahan, upacara, dan sebagainya. Ba­gaimanapun pernikahan akhirnya berhasil dilanjutkan, namun Ha­sa­ri tidak bisa menikmatinya. Ia malah beringsut ke lain tempat di ma­na meregang nyawa.

Kisah tersebut hanya satu dari berbagai kisah tragis yang di­sam­pai­kan di Negeri Bahagia, yang di antaranya merupakan persinggungan Ko­valski dengan berbagai kalangan—bahkan kalangan bawah pun ma­sih memiliki semacam strata. Semisal saat Kovalski harus terjebak da­lam birokrasi yang berlarut-larut hingga enam minggu di kantor imi­grasi, hanya untuk menjemput serum yang ternyata sudah ke­da­lu­warsa saat berhasil diambil. Ada Sabia, anak penderita tu­ber­ku­lo­sis yang tinggal di samping gubuk Kovalski, yang pada akhirnya me­ning­gal. Ibu Sabia menjual janin yang sedang dikandungnya, sebab uang­nya bisa digunakan untuk memberi makan keluarganya, namun ak­hirnya meninggal akibat pendarahan saat operasi, tanpa ke­lu­ar­ga­nya mengetahui. Ada komunitas pengidap lepra yang memiliki tata hi­dup sendiri karena masyarakat sudah sedemikian meminggirkan me­reka. Ada sekelompok sida-sida yang berperan sebagai kambing hi­tam, penanggung dosa bayi-bayi yang baru dilahirkan. Ada juga god­father, mafia Negeri Bahagia yang mensyaratkan ribuan rupee ke­tika Kovalski hendak membangun klinik untuk pengidap lepra. Dan mun­son, yang bukan siapa-siapa, hanya perubahan cuaca secara eks­trem yang melelehkan sandal di aspal, menewaskan hewan-he­wan, menyungkurkan orang-orang di jalanan, dan tiba-tiba da­tang­lah hujan lebat yang awalnya disyukuri hingga membuat penduduk me­nari-nari, lantas mengungsi ke masjid, ke rumah godfather yang tan­pa terduga masih memiliki hati, karena air kian meninggi, mem­ba­wa segunung kotoran dan bangkai bersamanya.

Pembacaan novel ini agaknya memberi saya semacam ketabahan. Sa­ya disuguhi keadaan di mana orang-orang harus berusaha keras de­mi mendapatkan uang, demi membeli makanan yang hanya cu­kup untuk hari itu. Bagaimanapun kondisi mereka, mereka akan te­rus berjuang sampai fisik benar-benar tidak memungkinkan lagi, sam­pai mati maksudnya. Habis-habisan betul. Dalam novel The White Tiger, keadaan ini diungkapkan secara humoris-satiris, bahkan mung­kin sinis, sementara Negeri Bahagia menyampaikannya de­ngan lebih detail, lembut, dan… menyayat. Sementara The White Tiger cenderung meledek perilaku bangsa India yang korup dan opor­tunis, Negeri Bahagia setelah menuturkan gambaran-gambaran tra­gis seakan selalu berusaha mengimbanginya dengan me­nam­pil­kan sisi positif. Bahwa dalam kultur yang sedemikian sulit, masih ada ka­sih sayang dan kemanusiaan.

Di India kebahagiaan adalah kontradiksi, kata Eric Weiner. Persis se­per­ti yang dikatakannya pula dalam The Geography of Bliss, ikatan so­sial di India sangat kuat. Seburuk apapun keadaan seseorang, se­la­lu ada yang lebih buruk, seolah itu membuat mereka merasa sedikit le­bih baik. Satu sama lain bisa saja saling menindas, menguras, me­ram­pas, dan berbagai kekejian lainnya, tapi dalam situasi lain, ada sa­ja yang tahu-tahu memberikan perhatiannya bahkan menolong. Te­rus-menerus jatuh-bangun seperti itu sampai risiko pekerjaan atau pandemi membunuh mereka.  

Penulis novel ini, seorang Prancis bernama Dominique Lapierre, me­la­kukan riset selama dua tahun terhadap kehidupan slum di Cal­cut­ta, India, lalu menuliskannya selama setahun di kawasan hutan dan per­kebunan yang indah di Prancis Selatan. Novel ini kemudian men­ja­di megabestseller yang diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, ser­ta menarik banyak surat dan donasi. Ia mendirikan Action Aid for Le­pers Children of Calcutta yang diorganisasikan secara kecil-kecilan se­hingga memudahkan pemantauan, antara lain dalam memastikan ban­tuan benar-benar sampai pada yang membutuhkan. Keadaan pun menjadi lebih baik. Perkampungan kumuh tersebut telah di­re­ha­bilitasi dengan berbagai fasilitas, yang justru mendatangkan ma­sa­lah baru hingga kaum papa makin tersingkir. Dengan produk-pro­duk yang muncul selanjutnya seperti novel The White Tiger dan film Slum­dog Millionare, kita tahu bahwa keadaan di India masih bisa bi­kin kita miris. Mungkin seperti perkataan Prodip Pal, ayah Hasari, “arang tidak akan berubah warna walaupun dicuci.”

Omong-omong soal Calcutta, ada videopklip kocak dari era ’90-an.


Juga ada potongan dari film India berjudul Noorie. Film ini di­pro­duk­si pada tahun 1979, yang saya kira semasa de­ngan ketika Kovalski menjejakkan kaki di Negeri Bahagia untuk kali per­tama. Dalam video ditampilkan pemandangan alam yang indah di mana Noorie dan kekasihnya berkejar-kejaran, barangkali seperti itu­lah gambaran pedesaan di India, sebelum disedot habis-habisan oleh para tuan tanah lantas penduduknya melakukan urbanisasi ke ko­ta-kota besar seperti Calcutta, Bangalore, atau manapun. Saya be­lum pernah menonton film ini, hanya dalam satu sumber di­ki­sah­kan bahwa keluarga Noorie kemudian dibantai oleh tuan tanah, se­dang Noorie sendiri diperkosa lalu bunuh diri, lalu kekasihnya balas den­dam.


Terakhir… satu lagi videoklip, iklan sebenarnya. Kali pertama menontonnya, saya terharu. Kali berikutnya, yaitu setelah membaca Negeri Bahagia, saya menangis. Mungkin karena telah paham konteks dalam tayangan tersebut, bahwa keadaan sebagaimana yang ditunjukkan memang nyata adanya. 


Baik Wiener dalam The Geography of Bliss maupun Lapierre dengan Ne­geri Bahagia menyatakan agar pembaca tidak membuat ge­ne­ral­i­sa­si atas gambaran mereka mengenai suatu negara, demikian saya sam­paikan pula. Saya kira memang tidak sepatutnya kita bersyukur karena orang lain lebih menderita. Dengan mengetahui bahwa ada banyak orang dengan penderitaan sedemikian parah, cukuplah bagi ki­ta untuk mengurangi keluhan.[]




[1] Edisi Indonesia yang saya baca diterbitkan oleh BENTANG, Yogyakarta, cetakan pertama, Desember 2004, tebal 799 halaman, diterjemahkan oleh Wardah Hafidz
[2] Semacam becak yang ditarik oleh manusia, berasal dari Jepang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain