Senin, 29 Juli 2013

Norwegian Wood: Pembacaan Kedua

Norwegian Wood cetak ulang! Masih ada sisa duit (yang sekarang tidak lagi)!

Pada pembacaan kali ini, novel di tanganku adalah milikku pribadi (yang dibeli dengan duit orangtua tentu saja haha *tawakering). Jadi aku bisa menandai bagian-bagian tertentu dengan pensil. Beberapa poin pikiran yang muncul pada pembacaan kedua sebetulnya relatif sama dengan pembacaan pertama. Tapi ada beberapa hal pada pembacaan pertama yang belum aku sampaikan di blog, pun beberapa hal yang baru aku sadari pada pembacaan kedua.

Dalam artikel tentang proses kreatifnya, Haruki Murakami berkata, “Saat menjelaskan sesuatu kepada pembaca, saya harus pelan-pelan dan menggunakan kata-kata yang tidak sulut dicerna, metafora yang masuk akal, alegori yang baik. … Saya harus menyampaikan cerita dengan hati-hati dan bahasa yang jelas.”

Barangkali itu sebabnya ketika membaca Norwegian Wood aku seperti mendapat semacam ketenangan. Seolah apa yang kukutip itu terbukti. Setiap habis membaca bagian demi bagian dari novel ini, aku seakan terpengaruh untuk menuliskan secara jelas dan rinci apapun yang melintas di kepalaku. Dalam seminggu selagi membaca novel ini, aku menghabiskan tiga puluh lebih halaman A4 untuk cacatan harian (plus 24.000 kata draf CampNaNoWriMo-Juli-2013). Biasanya tidak sebanyak itu. Interaksi di antara Toru dengan Midori juga kadang-kadang menyegarkan.

Aku masih terkesan dengan karakter Toru Watanabe selaku protagonis dalam novel ini. Kali ini yang aku soroti adalah cara pandangnya, seolah tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Walau perkuliahan membosankan, tapi ia menganggapnya sebagai latihan menghadapi kebosanan. Sementara bagi Midori aturan conditional dalam bahasa Inggris dan trigonometri itu tidak penting, Toru menganggapnya sebagai latihan untuk berpikir sistematis. Seperti yang ia bilang pada Naoko, saat cewek itu membayangkan kemungkinan buruk apabila mereka bersama, pada dasarnya ia orang yang optimis.

Aspek menarik lain dari novel ini adalah seksualitasnya. Aku bisa menulis panjang-lebar terkait ini, tapi untuk kenyamanan satu sama lain monggo dibaca saja artikel ini. Lucu saja ketika ada yang menyebut karya Haruki Murakami ini sebagai pornografi—sensitive-dude-pornography. Setelah membaca artikel tersebut dan membaca lagi Norwegian Wood, aku pikir-pikir, Iya juga sih.

Kenikmatan pembacaanku sebetulnya terusik dengan adanya unsur romance—cinta-birahi-semacam-itu. Tapi bukannya Norwegian Wood memang novel romance? Cinta segitiga antara Toru-Naok0-Midori. Toru mencintai Naoko yang mengidap gangguan jiwa. Karena itu pulalah Naoko merasa dirinya tidak layak dicintai. Di sisi lain, Toru didekati Midori yang begitu periang. Toru tidak bisa serta-merta berpaling pada Midori karena cintanya pada Naoko. Tapi toh Naoko meninggal juga. Midori pun sudah tidak cocok dengan cowoknya. Apa sebetulnya yang diupayakan Toru ini? Novel ini lebih merupakan suatu revelation alih-alih resolution. Aku lebih suka memahami novel ini sebagai slice of life. Penggalan kehidupan yang acak dan kompleks. Ada problem yang lebih dari sekadar romance. Problem mendasar.

Ada beberapa momen dalam novel ini yang kuidentifikasi sebagai problem eksistensial. Di awal, Naoko meminta Toru untuk tidak melupakannya. Di tengah, Toru merasa bersalah karena ingatannya pada Kizuki memudar sekaligus sadar kalau ingatan manusia memang terbatas. Di akhir, lewat telepon Midori bertanya Toru sedang di mana namun Toru tidak bisa menjawabnya.

Sekarang aku di mana? Sambil tetap memegang gagang telepon, aku mengangkat muka, dan menebarkan pandangan ke sekeliling. Aku sekarang berada di mana? Tapi aku tak tahu di mana itu. Juga tak bisa mengira-ngiranya. Sebenarnya di manakah aku ini? Yang tampak di mataku hanya sosok tubuh orang-orang yang tak terhitung banyaknya sedang berjalan entah menuju ke mana. Aku terus memanggil-manggil Midori dari tengah-tengah tempat entah di mana. –halaman 426[1]

Seandainya aku mahasiswa Filsafat, mungkin ini bakal jadi tema skripsiku. He.

Tapi ada juga beberapa orang yang merasa tidak mendapatkan pesan moral dari cerita ini, maupun mengeluhkan nuansanya yang kelewat muram. Sebetulnya ada bagian di mana Toru menyatakan sikapnya terhadap bunuh diri, yang bisa dikatakan sudah merupakan suatu pesan moral (menurut seseorang di suatu forum berbahasa Indonesia tentang Haruki Murakami). Selain itu kukira ada semacam “kekebalan” bagi orang yang sudah terbiasa larut dalam kemasygulan, sehingga yang lebih mengena baginya dari novel-suram semacam Norwegian Wood ini justru sisi hiburan dan pemikiran.

Pada akhirnya memang optimisme Toru berangsur-angsur pudar hingga ditutup dengan kegalauan. Ketimbang terseret dalam suasana itu terus, mending aku ingat-ingat saja kutipan berikut darinya. Mungkin berguna.

Jangan terlalu serius memikirkan segala sesuatu… —halaman 35        

…menjadi serius tidak selalu sama dengan mendekati kebenaran. –halaman 36

… “… Di dalam masyarakat ada orang yang suka memeriksa jadwal waktu kedatangan dan keberangkatan alat transportasi, seharian ia terus memeriksa jadwal itu. Juga ada orang yang mau membuat perahu sepanjang satu meter dengan menyambung-nyambungkan batang korek api. Jadi tak aneh bukan kalau di masyarakat ada juga orang yang mau memahami aku?” –halaman 209

[]






[1] Diterjemahkan oleh Jonjon Johana. Cet. Keempat, Mei 2013. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain