Sabtu, 03 Maret 2012

Lagu Hujan (Bagian 4 dari 7)

...
...
...

Hari ini harus berakhir

Semalaman Hayat berhasil membuat dirinya merasa lebih rileks. Dengan membayangkan Ayud, tentu saja. Dendamnya seperti terbalas. Mandi sebelum subuh sangat menyegarkan. Masih gelap ketika perasaan positif menyemburat di batinnya. Ia kangen menguar senyum dan berjalan di bawah matahari. Ia akan keluar kamar hari ini demi pasokan ransum dalam kamarnya.
        Bahkan ibunya heran mendapati anaknya itu sudah terjaga begitu ditelepon. Sembari berpakaian, Hayat mendengarkan cerita ibunya lewat pengeras suara. Tentang sang kakak yang makin tidak betah di rumah. Tentang sang adik yang ingin menentukan sendiri jalan hidupnya. Ibu tak bisa terima itu semua. Tentang dirinya, “Sayang, udah nyampe bab berapa?” Ibu tahu kalau Hayat belum lama putus, tapi Ibu hanya menghendaki putranya itu lekas lulus.
         Di beranda, ia mengudap susu cokelat terakhir sebagai sarapan. Jeki mengganti teru-teru bozu yang sudah kumal dengan yang cemerlang, sekalian menjemur cucian. Bikin Hayat ingat kalau ada yang harus ia cuci juga, tertinggal di kamar mandi.
         Jeki tersenyum padanya. Hayat membalas.
“Bikin teru-teru bozu juga?” Tatapan Jeki beredar ke atas kepala Hayat.
         Hayat mendongak. “He… Siapa yang nyangsangin kok ke sini ya? Banyak bener…” Ia mengambil rentengan kok terbalik tersebut. Ia mengangguk ketika Jeki pamit ke dalam kamar. Ia mengambil salah satu kok lalu memasang kembali sisanya ke tempat semula.
    Ia pergi ke kampus sekitar pukul sepuluh. Seseorang di ruangan Pak Sabar memberitahunya kalau yang bersangkutan baru akan hadir setelah jam istirahat. Maka ia mengisi waktu dengan membolak-balik hasil cetak pekerjaannya selama berbulan-bulan ini. Puluhan lembar kertas tersebut sama sekali tidak membuatnya bangga. Namun itu bekalnya untuk menjadi anak paling dicinta Ibunda.
         Ia menatap gadis di hadapannya dengan sayu.
         “Hayat…” Suaranya masih semerdu dulu.
        “Hei.. Selamat ya yang baru ditoga kemarin…” Hayat bangkit untuk menjabat tangan Ayud.
Tangannya juga masih selembut dulu.
Gadis itu tersipu-sipu. Hayat tergugu.
Pesonanya masih sama seperti dulu.
Hayat menghempaskan tubuhnya ke sandaran beton. Gadis itu memilih untuk duduk di hadapannya saja, tak di sampingnya. Mereka bertukar senyum seakan tidak pernah ada perkara di antara mereka.
Padahal sejak resminya perpisahan itu, entah sudah berapa kali Hayat sengaja memaki-maki si Tomsek di dekat Ayud. Bikin Ayud berang. Luka batin Hayat kian menganga. Ayud menaburinya dengan garam, lalu meneteskan cairan jeruk purut.
Seakan Ayud tak pernah menciptakan ritual baru dalam hidup Hayat.
Ah. Ritual. Tentu Hayat ingat. Ia mengeluarkan botol minum 1 L-nya. Tutupnya cukup besar hingga menyerupai gelas. Ia menuangkan isi botolnya ke sana, menyuguhkannya untuk tuan putri.
“Ah Hayat...” Ayud tampak malu. Hayat tersenyum pahit. Namun Ayud cicipi juga air dalam gelas-gelasan itu.
Hayat juga tidak memakai kendaraan bermotor ke kampus. Jarak antara kosannya dengan kampus relatif dekat. Maka ia menggunakan sepeda dengan model yang membuat Ayud bisa membonceng, baik di depan maupun di belakang. Dengan rendah hati Hayat mengungkapkan maksudnya pakai sepeda macam demikian bukan karena ia ramah lingkungan, melainkan ingin pamer kemesraan ke seantero kampus. Sekarang Hayat ingin menukar sepedanya dengan BMX saja.
“Udah jarang kelihatan di kampus, Yat, ngapain aja?”
“Yah… Lagi sibuk nyariin orang aja…”
“Nyariin orang?”
…yang bakal selalu ada di samping saya setiap saya bangun tidur.
“…iya… biasalah, proyekan dosen.”
Ayud manggut-manggut seraya menghabiskan isi tutup botol Hayat. Ketika ia meletakkannya di meja yang memisahkan mereka, Hayat menuangkan air lagi. Ia tidak tahan untuk tidak mengatakan yang sebenarnya. Ia juga tidak tahan untuk tidak membuat pipinya basah lagi. Tapi pria punya harga diri.
“Ayud…” Seseorang memanggil dengan lembut. Ia seorang dosen muda sekaligus konsultan di perusahaan bonafide. Ia piawai memainkan saksofon dan sungguhan menggemari John Coltrane. Anggota kehormatan unit jazz yang biasa tampil dalam pertunjukan serius. Ia membeli Nissan keluaran mutakhir dengan penghasilannya sendiri. Ketika melihat cincin melingkar di jari manis Ayud, Hayat tahu bahwa tidak lama lagi gadis itu akan diboyong juga ke rumah elit di kawasan utara kota. Segala kemapanan pria itu hanyalah kebrengsekan di mata Hayat.
…i just want someone to say to me no, oh, oh, oh I'll always be there when you wake, yea-ah you know I'd like to keep my cheeks dry today so stay with me and I'll have it made and I'll have it made and I'll have it made, oh lord no no you know I'm really gonna, really gonna have it made you know I'll have it made[1]
Ayud tidak menyentuh gelas-gelasan itu lagi. Setelah “dah, Hayat” yang bersemangat, gadis itu pergi dengan serpihan hati Hayat melayang-layang mengikuti lenggoknya.
Ke manapun kamu pergi, Hayat memandang cakrawala, ada seberkas mendung di sana, Hayat tertegun, senang memercik, ia mengeluarkan pisau lipat dari ranselnya lalu memotong bagian dari langit yang mengelabu itu seukuran kartu pos, saya akan mengirim ini ke sana. Mulai sekarang tidak ada lagi senja buat kamu, saya ganti sama mendung.[2]
Menjelang habis jam istirahat, Hayat sudah menanti di depan ruangan Pak Sabar. Ia duduk saja dan tidak tahu apa yang ia harus lakukan. Seorang teman perempuan melintas lalu berhenti ketika melihat sesuatu digantung terbalik di bagian luar ransel Hayat.
“Apa ini?”
Hayat berdecak seraya mencomot kok yang bermata, bermulut, dan beralis itu dari tangan Deya.
“Nungguin hujan ya?”
Hayat tak acuh.
“Aku bisa bikinin yang lebih bagus lo.”
 Hayat diam saja. Deya malah duduk di sampingnya. Hayat sedikit menjauhkan diri.
“Enggak usah nunggu hujan. Di kolam renang aja, sambil berenang, sambil...”
“Heuh?” Hayat sok tak mengerti apa yang cewek sok mengerti ini ucapkan.
“Iya… Kan sama-sama enggak keliatan.” Tepat ketika Hayat menoleh, Deya menunjuk bagian bawah mata.
Cara yang lebih efisien sebetulnya, tapi Hayat tidak bisa berenang.

...
...
...

[1] Blind Melon – No Rain
[2] Ya. Seno Gumira Ajidarma.


...Eyang Budi telah memperingatkan, hati-hati, kamu seharusnya belajar dari Wayne Danton dan Rafilus...
...untuk sehari penuh yang telah saya habiskan hanya untuk membuat satu cerpen sepanjang 26 halaman A5, Eyang?
...untuk sepanjang hidup kamu.
Ah, Eyang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain