...
...
...
Hari ini harus
berakhir
Semalaman Hayat berhasil membuat
dirinya merasa lebih rileks. Dengan membayangkan Ayud, tentu saja. Dendamnya
seperti terbalas. Mandi sebelum subuh sangat menyegarkan. Masih gelap ketika
perasaan positif menyemburat di batinnya. Ia kangen menguar senyum dan berjalan
di bawah matahari. Ia akan keluar kamar hari ini demi pasokan ransum dalam
kamarnya.
Bahkan ibunya
heran mendapati anaknya itu sudah terjaga begitu ditelepon. Sembari berpakaian,
Hayat mendengarkan cerita ibunya lewat pengeras suara. Tentang sang kakak yang
makin tidak betah di rumah. Tentang sang adik yang ingin menentukan sendiri
jalan hidupnya. Ibu tak bisa terima itu semua. Tentang dirinya, “Sayang, udah
nyampe bab berapa?” Ibu tahu kalau Hayat belum lama putus, tapi Ibu hanya
menghendaki putranya itu lekas lulus.
Di beranda, ia
mengudap susu cokelat terakhir sebagai sarapan. Jeki mengganti teru-teru bozu
yang sudah kumal dengan yang cemerlang, sekalian menjemur cucian. Bikin Hayat
ingat kalau ada yang harus ia cuci juga, tertinggal di kamar mandi.
Jeki tersenyum
padanya. Hayat membalas.
“Bikin teru-teru bozu juga?” Tatapan Jeki beredar ke atas
kepala Hayat.
Hayat
mendongak. “He… Siapa yang nyangsangin kok ke sini ya? Banyak bener…” Ia
mengambil rentengan kok terbalik tersebut. Ia mengangguk ketika Jeki pamit ke
dalam kamar. Ia mengambil salah satu kok lalu memasang kembali sisanya ke
tempat semula.
Ia pergi ke
kampus sekitar pukul sepuluh. Seseorang di ruangan Pak Sabar memberitahunya
kalau yang bersangkutan baru akan hadir setelah jam istirahat. Maka ia mengisi
waktu dengan membolak-balik hasil cetak pekerjaannya selama berbulan-bulan ini.
Puluhan lembar kertas tersebut sama sekali tidak membuatnya bangga. Namun itu
bekalnya untuk menjadi anak paling dicinta Ibunda.
Ia menatap
gadis di hadapannya dengan sayu.
“Hayat…” Suaranya
masih semerdu dulu.
“Hei.. Selamat
ya yang baru ditoga kemarin…” Hayat bangkit untuk menjabat tangan Ayud.
Tangannya juga masih selembut dulu.
Gadis itu tersipu-sipu. Hayat tergugu.
Pesonanya masih sama seperti dulu.
Hayat menghempaskan tubuhnya ke sandaran beton. Gadis itu
memilih untuk duduk di hadapannya saja, tak di sampingnya. Mereka bertukar
senyum seakan tidak pernah ada perkara di antara mereka.
Padahal sejak resminya perpisahan itu, entah sudah berapa
kali Hayat sengaja memaki-maki si Tomsek di dekat Ayud. Bikin Ayud berang. Luka
batin Hayat kian menganga. Ayud menaburinya dengan garam, lalu meneteskan cairan
jeruk purut.
Seakan Ayud tak pernah menciptakan ritual baru dalam hidup
Hayat.
Ah. Ritual. Tentu Hayat ingat. Ia mengeluarkan botol minum 1
L-nya. Tutupnya cukup besar hingga menyerupai gelas. Ia menuangkan isi botolnya
ke sana, menyuguhkannya untuk tuan putri.
“Ah Hayat...” Ayud tampak malu. Hayat tersenyum pahit. Namun
Ayud cicipi juga air dalam gelas-gelasan itu.
Hayat juga tidak memakai kendaraan bermotor ke kampus. Jarak
antara kosannya dengan kampus relatif dekat. Maka ia menggunakan sepeda dengan
model yang membuat Ayud bisa membonceng, baik di depan maupun di belakang.
Dengan rendah hati Hayat mengungkapkan maksudnya pakai sepeda macam demikian
bukan karena ia ramah lingkungan, melainkan ingin pamer kemesraan ke seantero
kampus. Sekarang Hayat ingin menukar sepedanya dengan BMX saja.
“Udah jarang kelihatan di kampus, Yat, ngapain aja?”
“Yah… Lagi sibuk nyariin orang aja…”
“Nyariin orang?”
…yang
bakal selalu ada di samping saya setiap saya bangun tidur.
“…iya… biasalah, proyekan dosen.”
Ayud manggut-manggut seraya menghabiskan isi tutup botol
Hayat. Ketika ia meletakkannya di meja yang memisahkan mereka, Hayat menuangkan
air lagi. Ia tidak tahan untuk tidak mengatakan yang sebenarnya. Ia juga tidak
tahan untuk tidak membuat pipinya basah lagi. Tapi pria punya harga diri.
“Ayud…” Seseorang memanggil dengan lembut. Ia seorang dosen
muda sekaligus konsultan di perusahaan bonafide. Ia piawai memainkan saksofon
dan sungguhan menggemari John Coltrane. Anggota kehormatan unit jazz yang biasa
tampil dalam pertunjukan serius. Ia membeli Nissan keluaran mutakhir dengan
penghasilannya sendiri. Ketika melihat cincin melingkar di jari manis Ayud,
Hayat tahu bahwa tidak lama lagi gadis itu akan diboyong juga ke rumah elit di
kawasan utara kota. Segala kemapanan pria itu hanyalah kebrengsekan di mata
Hayat.
…i just want someone to say to me no, oh,
oh, oh… I'll always be there when you wake,
yea-ah… you know I'd like to keep my cheeks dry
today… so stay with me and I'll have it made… and I'll have it made and I'll have it made, oh… lord no no… you know I'm really gonna, really gonna
have it made… you know I'll have it made…[1]
Ayud tidak menyentuh gelas-gelasan itu lagi. Setelah “dah,
Hayat” yang bersemangat, gadis itu pergi dengan serpihan hati Hayat
melayang-layang mengikuti lenggoknya.
Ke
manapun kamu pergi, Hayat memandang cakrawala, ada seberkas mendung di sana,
Hayat tertegun, senang memercik, ia mengeluarkan pisau lipat dari ranselnya
lalu memotong bagian dari langit yang mengelabu itu seukuran kartu pos, saya akan mengirim ini ke sana. Mulai
sekarang tidak ada lagi senja buat kamu, saya ganti sama mendung.[2]
Menjelang habis jam istirahat, Hayat sudah menanti di depan
ruangan Pak Sabar. Ia duduk saja dan tidak tahu apa yang ia harus lakukan.
Seorang teman perempuan melintas lalu berhenti ketika melihat sesuatu digantung
terbalik di bagian luar ransel Hayat.
“Apa ini?”
Hayat berdecak seraya mencomot kok yang bermata, bermulut,
dan beralis itu dari tangan Deya.
“Nungguin hujan ya?”
Hayat tak acuh.
“Aku bisa bikinin yang lebih bagus lo.”
Hayat diam saja. Deya
malah duduk di sampingnya. Hayat sedikit menjauhkan diri.
“Enggak usah nunggu hujan. Di kolam renang aja, sambil
berenang, sambil...”
“Heuh?” Hayat sok tak mengerti apa yang cewek sok mengerti
ini ucapkan.
“Iya… Kan sama-sama enggak keliatan.” Tepat ketika Hayat menoleh,
Deya menunjuk bagian bawah mata.
Cara yang lebih efisien sebetulnya, tapi Hayat tidak bisa
berenang.
...
...
...
[1]
Blind Melon – No Rain
[2] Ya. Seno Gumira
Ajidarma.
...Eyang Budi telah memperingatkan, hati-hati, kamu seharusnya belajar dari Wayne Danton dan Rafilus...
...untuk sehari penuh yang telah saya habiskan hanya untuk membuat satu cerpen sepanjang 26 halaman A5, Eyang?
...untuk sepanjang hidup kamu.
Ah, Eyang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar