Selasa, 25 Februari 2025

Menguak Kehidupan Klub Malam Jakarta Era Ali Sadikin

Gambar screenshot dari Ipusnas.
oleh Pusat Data dan Analisa Tempo
Penerbit TEMPO Publishing
ISBN 978-623-262-599-0 (PDF)

Sedikit yang saya ketahui tentang Ali Sadikin (CMIIW): ialah gubernur DKI Jakarta era 1970-an yang banyak jasanya dalam pembangunan ibu kota negara ini. Biaya pembangunan antara lain diambil dari pajak industri kehidupan malam yang kontroversial. Lebih banyak tentang Gubernur Ali, ditinjau melalui sudut pandang pribadi, ada dalam autobiografi Ajip Rosidi, Hidup tanpa Ijazah. Namun, dalam buku tersebut lebih banyak diuraikan jasa Gubernur Ali terhadap Dewan Kesenian Jakarta. Tokoh pembangunan lain yang dekat dengan Ajip Rosidi adalah Sjaruddin Prawiranegara, yang pernah menjadi Gubernur Bank Indonesia. Baik Ali Sadikin maupun Sjafrudin Prawiranegara beragama Islam, sebagaimana tampak dari namanya. Dalam pandangan Ajip Rosidi, keduanya menjalankan agama sewajarnya: dengan Ali Sadikin salat Jumat bersama, dengan Sjafrudin Prawiranegara menerbitkan buku kumpulan pemikiran tentang Islam. Namun, yang pertama mendukung industri kehidupan malam, yang kedua mendukung riba--dua hal yang bukankah tidak semestinya didukung dalam Islam? Ini menarik. Apa jadinya bila kedua tokoh muslim tersebut, selaku penentu kebijakan di pusat negara, bersikap fundamental menurut agama yang baik mereka maupun mayoritas masyarakat anut sekalipun hanya di KTP? "Dengan adanja night club yang menghidupi 5.000 orang, belum termasuk keluarganja, saja kira saja mendapat pahala. Pahala itu saja kira lebih tinggi dari maksiat ...." begitu penjelasan Ali Sadikin di depan para gubernur dan bupati se-Indonesia, membuka artikel pertama di buku ini. Entah apakah beliau pernah mendengar konsep "dosa jariah", bagaimana suatu perbuatan maksiat dapat mengakibatkan maksiat-maksiat lainnya. Bagaimanapun, kita mesti memaklumi posisi beliau-beliau sekalian situasi negara ini untuk dapat mengamalkan agama secara kafah. Lagi pula, berkat kebijakan beliau-beliau, sepatutnya kita bersyukur Indonesia jadi agak "maju", tidak terbelakang amat, dalam sistem perekonomian hawa nafsu yang menguasai dunia dewasa ini. Alhamdulillah .... 

Dengan pernyataannya itu, tampak Gubernur Ali memaklumi pandangan umum terhadap klub malam. Kontroversi bukan hanya karena bertentangan dengan kitab suci, melainkan juga kekhawatiran pribadi nyonya-nyonya bila tempat itu jadi sarana tuan-tuan pada madon. Namun Gubernur Ali bersikeras bahwa night club bukan untuk maksiat--ada tempat lain untuk itu--melainkan sekadar hiburan, di samping cara pemerintah untuk membangun metropolitan dan mengeruk pendapatan. Klub malam merupakan atribut yang dianggap harus ada di sebuah kota metropolitan (halaman 5). Usaha ini masuk dalam bidang kepariwisataan. Jadi orang-orang berduit tak perlu jauh-jauh ke Singapura atau Hongkong untuk cari hiburan, di Jakarta pun bisa (halaman 17). Lagi pula, tujuan orang ke klub malam berbeda-beda, bukan cuma untuk ditemani hostes, melainkan ada yang hanya ingin relaks atau urusan bisnis. Tiap klub juga beda-beda fasilitasnya, tidak mesti menyajikan seni copot pakaian.

Sebagaimana tampak di judul, buku ini memuat artikel-artikel menyangkut kehidupan klub malam Jakarta era Ali Sadikin, tepatnya dari 1971 sampai 1973. Klub malam sebagaimana yang digambarkan dalam artikel-artikel ini tidaklah sebagaimana klub malam yang saya bayangkan. Sebagai generasi yang yang baru lahir beberapa dekade setelah masa pemerintahan Ali Sadikin, klub malam yang saya ketahui adalah tempat berkumpulnya muda-mudi trendi buat ajep-ajep sampai dini hari. Istilah lainnya: dugem atau clubbing. Namun, klub malam yang saya tangkap dari artikel-artikel dalam buku ini sasarannya tampak masih sebatas bapak-bapak berduit, khususnya lagi yang berkulit kuning (halaman 52), sebelum berangsur-angsur menjangkau kalangan yang lebih muda. 

Sambutan masyarakat terhadap "kebebasan" ini pun tampak masih sungkan. Disorot betapa dari banyaknya nama klub malam yang lahir, dengan segera pada almarhum karena berbagai alasan. 

Pemerintah banyak campur tangan, mulai dari mensyaratkan lisensi (istilahnya sekarang mungkin: sertifikasi) bagi hostes sampai membatasi penampil agar tidak membuka semuanya dan bukan pula wanita dari bangsa sendiri, sehingga perlu mengimpor dari luar negeri antara lain Australia dan Filipina.

Untuk menarik perhatian pengunjung, pengelola klub malam melakukan berbagai "inovasi", seperti meniadakan cover charge, mengganti striptis dengan gulat dan Emilia Contessa, sampai mengadakan acara untuk anak-anak dan remaja. Pengelola pun berkeluh kesah. Bila ditiadakan cover charge, memang banyak pengunjung, tetapi cuma meminum Coca Cola terus menonton pertunjukan sampai habis. Sebetulnya cover charge utama dalam bisnis klub malam untuk menyeleksi yang masuk, tapi karena kompetisi yang berlebih-lebihan, maka ditiadakan (mungkinkah juga karena tidak begitu banyak orang yang berduit ketika itu?). Memang industri ini menyediakan banyak lapangan kerja, tetapi sempat pula ada manajer yang mengeluh soal mempekerjakan wanita sekalipun hanya sebagai hostes, karena tidak bisa dikerasi tidak bisa juga dibiarkan semaunya. 

Bisnis klub malam sementara ini pun megap-megap karena ketiadaan bakat maupun ketiadaan pasaran. Asosiasi Klub Malam Indonesia tidak menjalankan fungsinya secara memuaskan. Bermunculan bisnis kehidupan malam jenis lainnya seperti rumah mandi uap, panti pijat, dan bar, yang menjadi saingan. Ini baru pada awal 1970-an, setelah direstui Gubernur Ali Sadikin. Sekitar sedekade kemudian, terbit Menyusuri Remang-remang Jakarta, menelusuri tempat yang barangkali yang dimaksudkan Gubernur Ali sebagai tempat khusus maksiat kalau bukan klub malam itu. Jakarta Undercover yang mengover kehidupan malam era 2000-an mungkin boleh dibilang sebagai kelanjutan dari topik ini. Selama masih ada orang-orang punya duit dan butuh duit, yang tidak hendak menghabiskan malam dengan tidur nyenyak saja di rumah, sepertinya bisnis ini dapat terus bertahan sampai kiamat.

Minggu, 02 Februari 2025

Korban Dua Keganasan

Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul
Penulis: Darmaningtyas
Penerbit: Yogyakarta, Salwa Press, 2002

SEAKAN meniru jejak antropolog Prancis, Emile Durkheim, yang meneliti fenomena bunuh diri, Darmaningtyas meneliti hal serupa. Durkheim mengerjakan dalam konteks di Prancis, Darmaningtyas menulisnya dalam konteks di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan sang penulis memang menggunakan paradigma Durkheimian dalam karyanya ini. 

Emile Durkheim menulis buku Le Suicide (1897) dan kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris pada 1951 (Suicide: A Study in Sociology). Durkheim mengungkapkan fenomena bunuh diri sebagai gejala kejiwaan individual, psikososial, struktural, dan alam semesta. Ia menggolongkan gejala universal bunuh diri menjadi empat bentuk: egoistik, altruistik, anomik, dan fatalistik.

Tingginya frekuensi bunuh diri di Gunung Kidul, terutama sejak pertengahan tahun 1980-an, membuat orang setempat percaya bahwa pulung gantung terjadi karena sejumlah anggota masyarakat melakukan perilaku yang dipantangkan. Menurut mitos setempat, pulung gantung akan didahului sebuah tanda di langit pada malam hari. Bentuknya adalah cahaya bulat berekor, berwarna kemerahan agak kekuningan dengan semburat biru yang meluncur cepat menuju rumah calon korban.

Berdasarkan data yang dia kumpulkan pada tahun 1980-2001, Darmaningtyas menunjukkan bahwa para pelaku bunuh diri didominasi kaum lelaki berusia 35-50 tahun, miskin, buta huruf, dan terisolasi secara geografis, mobilitas sosialnya rendah dan kabur kanginan (asal-usul dan tujuan tidak jelas). Hampir semua pelaku bunuh diri yang ditelusuri lebih jauh latar belakangnya berasal dari kelompok rentan ekonomi, sosial, pendidikan, dan kesehatan. Peletup bunuh diri ini adalah depresi panjang karena utang, malu tak tertanggungkan, dan sakit kronis.

Lalu apa yang dilakukan para pejabat setempat? Para pejabat justru bagian dari masalah, karena banyak dari mereka yang tidak bisa memikirkan dengan sungguh-sungguh kehidupan masyarakatnya. Koperasi Unit Desa (KUD) berubah maknanya menjadi "Kuperasi Uang Desa". Para birokrat lebih senang menangguk keuntungan di antara terpuruknya masyarakat. Kajian Darmaningtyas ini menunjukkan potret ketidakberdayaan paling telak dari masyarakat pedesaan di Jawa akibat marginalisasi, involusi, dan korban dari keganasan alam serta keganasan birokrat lokal.

Suryasmoro Ispandrihari
Alumni Jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta



Sumber: Tempo No. 25/XXXI/19-25 Agustus 2002



Klik gambar agar terlihat lebih jelas.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain