CV. Garuda Mas Sejahtera, Surabaya
Buku Ipusnas setebal 67 halaman ini memuat 5 tulisan. "KETIKA SEKS JADI TEKS: Kama Sutra, dan lain-lain" mengomentari film Kama Sutra Mira Nair. "PORNOGRAFI DI MEDIA: STANDAR YANG KEREPOTAN" mengenai hubungan antara film dan komik yang saling menginspirasi, termasuk dalam pornografi. "SEKS TAK INGIN SERIUS" mempermasalahkan film komedi seks Indonesia. "EROS DAN HENTAI: MEMAHAMI PORNOGRAFI DALAM KOMIK" menyarikan riwayat komik dewasa di Eropa, Amerika, Jepang, dan Indonesia, sekalian menanggapi penentangan terhadap UU Pornografi. "PORNOGRAFI EISNER" membela trilogi novel grafis Kontrak dengan Tuhan Will Eisner, yang dipulangkan dari Toko Buku Gramedia Karawaci karena mengandung adegan seks.
Mendefinisikan pornografi berikut batas-batasnya itu pelik, karena standar yang relatif dalam kemajemukan masyarakat yang bukan hanya menyangkut budaya melainkan juga masa. Di antara negara-negara yang budayanya bebas saja terdapat aturan yang berbeda-beda mengenai pornografi, sebagaimana yang dibahas dalam buku Erotic Comics in Japan: An Introduction to Eromanga, yang diungkap pula dalam buku ini.
Kalau pengertiannya sekadar yang "membangkitkan hasrat seksual", ini juga relatif, tergantung pada individu atau budaya masing-masing. Ada yang sudah biasa melihat tubuh telanjang, sehingga tidak mudah terangsang. Ada pula yang tak sengaja lihat betis tersingkap langsung tegang. Di tempat yang isinya orang-orang yang pada menutup aurat pun tetap terjadi kasus-kasus pencabulan. Saya tidak nyaman membaca Haruki Murakami, tapi orang lain fine-fine saja. Ada pula karya-karya yang barangkali termasuk saru, tapi alih-alih merangsang, bagi saya pribadi justru berhasil menyampaikan suatu pesan, contohnya: Onani Master Kurosawa, Dua Bersaudara (Yu Hua), "The Dabba Dabba Tree" (Yasutaka Tsutsui).
Selain itu, bagi yang masih ingat agama, ada suatu dilema, sebagaimana diungkap penulis tatkala menonton Kama Sutra Mira Nair: "Tapi sebagai seorang penonton yang orang Timur juga (wa bil khusus, sebagai orang Islam), saya kembali menghadapi dilema yang mungkin tipikal dalam menyaksikan ketelanjangan di layar itu. .... toh saya tetap percaya pada 'dosa', dan bagaimana pun merasa saru dalam menonton serba ketelanjangan itu." (halaman 9 atau 13/67) Ibarat masyarakat Jepang yang katanya butuh katarsis akibat dari budaya yang "mengidealkan pengekangan diri, sementara modernisasi terasa semakin menekan, melahirkan pelepasan dalam imajinasi yang tertuang dan dinikmati pada manga dan anime" (halaman 47 atau 51/67), barangkali memang sudah sewajarnya ada perasaan berkonflik.
Bagaimanapun seksualitas merupakan salah satu persoalan yang mesti dialami sesuatu makhluk dalam usia dewasanya. Seks adalah laku esensial dalam penciptaan; dengan seks, sesuatu makhluk mengada dan melakoni tujuan penciptaannya. Barangkali itu sebabnya dalam Islam selibat tidak disukai; hasrat itu memerlukan penyaluran, yang disyariatkan melalui pernikahan. Meskipun, dalam praktiknya, tidak sesimpel itu mengatasi masalah dengan menikah. Ada yang susah menemukan jodoh. Ada pula yang sudah menikah, tetap liar, atau setelah masalah penyaluran hasrat teratasi secara halal, lantas tertimpa masalah-masalah lainnya.
Maka terciptalah bentuk-bentuk penyaluran lain, misalnya melalui karya seni atau fiksi, meski kemudian timbul soal lain: apakah memang hanya sebagai katarsis atau justru katalis bagi merebaknya kasus-kasus? Ada yang bilang pornografi adalah penyaluran aman, daripada dilampiaskan di kenyataan. Ada pula yang katanya terdorong merudapaksa setelah menonton film dewasa. Ini kayak telur dulu atau ayam dulu.
Penulis cenderung memandang bahwa pornografi tak lebih dari perpanjangan gaya hidup seksual suatu masyarakat (halaman 33 atau 37/67). Contohnya, permintaan yang makin besar akan pornografi anak memungkinkan makin banyak kasus eksploitasi anak untuk memenuhinya. Hal ini disanggah dalam Erotic Comics in Japan. Katanya di Jepang pornografi anak tidak serta-merta meningkatkan kasus eksploitasi anak. Barangkali di Jepang masyarakatnya memang sudah "dewasa", mampu membatasi antara khayalan dan realita. Di Indonesia, kita ingat belum lama ini muncul kasus ibu membuat video mencabuli anak sendiri karena motif ekonomi.
"... menerima kebebasan pornografis bukan tak menyimpan masalah. Argumen moral seringkali dianggap argumen yang lemah. Toh argumen ini selalu ditengok jika kita menemui ekses negatif dari kebebasan. Dan ekses negatif itu memang ada." (halaman 21 atau 25/67)
Sex sells, dan orang pada mau saja membelinya tanpa pikir panjang. dan orang lain ikut kena getahnya. Lama-lama memualkan dihadapkan dengan materi sugestif yang out of place saat membuka media apa pun, mulai dari komik, novel, sampai Duolingo, Instagram Shopee, YouTube, tanpa mesti disebabkan oleh seringnya sengaja membuka situs begitu. Malah di dunia nyata sudah berkali-kali ketika saya lagi anteng di ruang publik, ada saja yang menyodorkan pemandangan tak senonoh.
"Benarkah film mencerminkan penontonnya? Jika film-film sampah dapat penonton berlimpah, ini gejala apa?" (halaman 29 atau 33/67)
Jangan-jangan agama membatasi seks dengan pernikahan karena seks yang berlebih-lebihan tidak pada jalurnya memang hanya akan menghasilkan manusia-manusia sampah?
Apabila dilakukan lembaga publik, sensor malah menuai konflik. Karena repotnya membatasi syahwat orang lain, ujungnya dikembalikan ke tanggung jawab masing-masing. "Tak ada sensor terbaik selain sensor dalam diri kita sendiri--kita sendiri yang mesti pandai menyaring dan kritis," penulis mengutip Marseli dalam Dasar-dasar Apresiasi Film (halaman 22 atau 26/67). Kita sendiri yang butuh mengembangkan kesadaran sampai taraf mana eksposur materi tersebut dapat merusak jiwa, dan memalingkan pandang secepatnya. Jika dikaruniai kreativitas, "Mungkin perlu ada teks lain, yang alternatif juga, mungkin dari Timur juga, yang menyoal penghadiran seks kepada publik di jaman modern ini. Misalnya, .... sebuah teks yang cerdas tentang kenapa menampilkan seks kepada publik adalah sebuah persoalan, dan betapa kita lebih sering lupa, atau pura-pura lupa, pada persoalan itu." (halaman 9 atau 13/67)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar