Minggu, 08 Maret 2015

Musik untuk Teman Tidur

Malam itu Bibe dan mamanya tidur bersebelahan di kasur Bibe. Kasur untuk satu orang sebenarnya. Sejak Bibe kecil, Mama suka mendampinginya seperti itu. Tapi sekarang badan Bibe sudah lebih besar daripada mamanya. Maka kalau Mama ingin tidur bersama, Bibe memilih tempat di sisi luar kasur—sementara Mama di dekat tembok—sebab rasanya lebih leluasa. Mama berbaring menyamping ke arah Bibe, sementara Bibe telentang namun kepalanya agak berpaling dari Mama. Benaknya melayang ke mana-mana, mencari jalan menuju lelap, yang sekaligus menjadi gerbang ke alam mimpi. Tapi kantuknya malah lari, begitu ia menyadari kalau jemari Mama sedang bermain-main dengan rambutnya. Jemari itu membelah rambutnya, dari atas ke bawah, seakan ingin merasai kehalusannya, terus dan terus, naik-turun-naik-turun dengan perlahan. Ia juga merasa Mama sedang memandanginya. Maka ia terus mempertahankan posisi kepalanya supaya tidak berpaling pada Mama, tapi jangan sampai terlihat jengah atau semacamnya. Rileks saja. Lalu seiring dengan gerakan jemari Mama, tahu-tahu Bibe mendengar alunan musik di dalam kepalanya. Musik yang belakangan ini memang sedang senang-senangnya bermain di dalam kepalanya. Musik yang didengarnya semata karena ingin merasa lebih dekat dengan pemilik jari-jari yang mendentingkannya. Tapi ternyata lama-lama musik semacam itu enak juga, terutama ketika didengarkan baik-baik. Selama ini, ia menyukai musik tertentu karena teman-temannya juga menyukainya: lagu-lagu yang asyik dinyanyikan beramai-ramai waktu menongkrong di karaokean. Ia juga diam-diam menyukai lagu-lagu zaman dulu dengan lirik yang mengharu-biru; hanya karena Mama doyan memutarnya berkali-kali sedari ia masih kecil. Lagu-lagu yang berlirik. Sering kali ia tidak peduli pada apapun yang disampaikan lirik-lirik itu. Tapi sejak mengenal musik Om Yan, lagu-lagu semacam itu terdengar seperti bebunyian belaka. Tang-ting-tung. Jrang-jreng-jrong. Waw-wew-wow. Perkataan apapun yang dinyanyikan sang vokalis malah terasa mengganggunya. Sementara saat mendengarkan musik Om Yan, ia bertanya-tanya: Beginikah musik yang sebenar-benarnya musik? Yang tidak ada liriknya. Musik itu sendiri yang berbicara, melalui instrumen yang dibawakan oleh orang-orang yang tersembunyi—tidak terlihat. Mata ingin terpejam saja saat telinga mencoba meresapinya. Bukan karena mengantuk, melainkan untuk memberi ruang lebih bagi meletupnya imajinasi. Sesekali, ketika ada instrumen baru yang menyusup dalam pendengarannya, ia menebak-nebak, apa itu masih suara flute?, tapi kedengarannya seperti biola, apa ini suara gitar?, atau jangan-jangan piano? Ah, betapa butanya ia soal musik! Coba kalau dulu ia becus saat dikursuskan oleh Mama—sampai sekarang ia hanya bisa memainkan lagu-lagu sederhana dengan gitar. Tapi instrumen apapun itu yang sedang bermain tidaklah penting amat. Sebab telinganya, imajinasinya, hatinya sudah telanjur diombang-ambingkan suasana yang ditimbulkan oleh musik; diayun-ayun sampai melambung, dibuai-belai angin semilir yang tahu-tahu berembus dari pendengarannya, dibawa masuk ke dalam rasa yang tidak terperikan… seperti saat jemari Mama mengelus rambutnya bagai sedang memetik harpa. Oh, ia tidak tahu apa memang ada harpa dalam musik yang sedang mengalun dalam kepalanya itu. Seakan-akan penggubahnya tahu bahwa pendengarnya, Bibe ini, akan mengalami momen tertentu dan membuatkan musik untuk mengiringinya. Ah, atau tepatnya, pemain pianonya! Sebab bagian pianonyalah yang mengiang-ngiang di dalam kepala Bibe seiring gerakan jemari Mama. Dentingannya lembut sekali. Seakan-akan berbagi perasaan yang sama dengan yang tengah dialami Bibe.

Alunan itu terputus ketika tahu-tahu kepala Papa menongol di ambang pintu yang memang tidak ditutup. Mukanya sepet, matanya mengejap-ngejap terkena sorot lampu yang benderang, pertanda baru terjaga.

“Kok sempit-sempitan?” Tangan Papa menempel pada kosen. “Pindah sana.” Kepala Papa mengarah ke kamar sebelah yang kasurnya memang cukup untuk mereka bertiga. Kalau Papa sedang tidak bertugas dan tinggal di rumah, mereka sering tidur bareng-bareng di situ, terutama sewaktu Bibe masih kecil. Tapi karena Papa sering bepergian, Bibe dan Mama malah terbiasa tidur di kasur yang lebih sempit. Sebetulnya Bibe ingin tidur sendirian saja, tapi Mama selalu ingin menempel dengannya dan “lupa” balik ke kamar satunya.

“Papa ikut sini aja,” kata Mama.

Papa cuma mengernyit, lalu terdengar badannya diempaskan ke sofa ruang tengah yang gelap, dan TV dinyalakan.

Barulah setelah itu Bibe bisa memejamkan mata karena benar-benar terlelap. Ia sempat terbangun dan telinganya menangkap suara TV, tapi elusan Mama di rambutnya tidak lagi terasa. Dilihatnya mata Mama pun sudah terpejam, wajahnya masih terarah pada Bibe, sementara jemarinya diam di ujung-ujung rambut panjang itu.

“Ma…” Bibe bersuara pelan. “Mau dielus lagi.”

“…mm?” Rupanya Mama masih bisa menanggapinya. Matanya tampak berat sewaktu membuka.

“Enggak jadi.” Bibe kembali pada posisinya, telentang dan berusaha tidak berpaling pada Mama.

Tapi rupanya Mama masih mendengarnya. Pelan-pelan jemari itu mengusap-usap rambutnya lagi, kena kulit kepalanya, sampai Bibe terlelap lagi. Dan ketika Bibe terbangun lagi, dilihatnya Mama sudah memunggunginya, mendempet tembok seperti ikan sapu-sapu. Suasana begitu gelap dan senyap. Tidak ada lagi suara TV. Lampu kamar Bibe pun sudah dimatikan, mestinya oleh Papa.

*

Beberapa waktu sesudah malam itu, siang-siang Bibe jalan-jalan bersama Om Yan. Sudah berkali-kali seperti itu: Om Yan menjemput Bibe sepulang sekolah, lalu mereka akan makan-makan di suatu tempat, entahkah di kafe atau restoran rekomendasi masing-masing, atau di kawasan pinggir kota yang udaranya sejuk. Lalu mereka akan mengobrolkan apa saja, sepuas-puasnya. Bagaimana seorang “om” yang usianya kira-kira empat puluh tahun (tapi kelihatannya kurang dari itu!) nyambung dengan remaja seusia Bibe yang ceriwis bukan main, hanya mereka yang tahu rahasianya. Kali ini Om Yan memarkir mobilnya di sisi hamparan perkebunan teh. Kaca jendela dibuka lebar-lebar. Begitu juga perbekalan mereka: sebaskom es krim rasa stroberi, cokelat, moka, dan teh hijau yang dikais berdua, ditempatkan di tengah-tengah mereka, di dekat rem tangan. Dingin di luar, dingin di dalam. Tapi mereka merasakannya di awal saja. Di tengah-tengah obrolan, mendadak Bibe teringat pada malam Mama mengelus rambutnya dan permainan piano Om Yan.

“Eh, Om, aku dengerin lagu-lagunya Om di Youtube, lo.”

“Iya?” Om Yan tersenyum di sela-sela meramu campuran stroberi-cokelat-moka-teh-hijau yang pas dalam sendok plastiknya. Dalam album yang dimaksud Bibe kemudian, ia sekadar pemain piano dalam arahan seorang komponis kawakan asal Cannes. Bibe sudah tahu itu.

“Waktu Mama lagi ngelus-ngelus rambut aku pas mau tidur…” Bibe terdiam sejenak sebelum melanjutkan, “enggak tahu kenapa, kebayang lagu itu.”

Senyum Om Yan tidak terartikan oleh Bibe, sebab tidak mungkin mengatakan pada gadis itu kalau ia mengalami hal serupa dengan teman tidurnya selama tinggal di Boston. Pada suatu malam, ia memandangi punggung wanita yang tengah lelap itu, dan mulai mengelus rambutnya yang panjang pelan-pelan sekali, hingga dalam kepalanya sayup-sayup mengalun sebuah melodi, yang begitu saja keluar dari dirinya. Begitu pula yang terjadi saat sedang merekam aransemen gubahan komponis yang bekerja sama dengannya itu di studio; “kecelakaan” itu membuatnya malu—ia pemain paling junior dalam grup itu—tapi sang komponis menyukainya, dan gerakan tangan lelaki gaek itu mengisyaratkan: “Lanjutkan,” dan proses rekaman pun diulang dengan “sedikit” improvisasi yang bagi pendengar tertentu ternyata melenakan, namun tidak termasuk kekasihnya itu. Wanita itu hampir tidak pernah mendengarkan permainannya kecuali kalau sedang sangat suntuk dan membutuhkan hiburan, dan musik yang diminta pun yang riang-riang saja seperti “The Entertainer” dari Scott Joplin atau “Swanee” dari George Gershwin, bukan yang lembut cenderung pilu, sebagaimana yang didengarnya kala mengelus rambut wanita itu pada larut malam, yang setelah belasan tahun lamanya menjadi mitra yang klop di tempat tidur, akhirnya ia tinggalkan jua; wanita itu tidak pernah mau dipasangkan cincin olehnya.

Maka yang dikatakannya pada Bibe hanya, “Mungkin karena judulnya dari bahasa Latinnya ‘Urang-aring’?”[]

 

Credit to: Claude Bolling – “Tendre” (Picnic Suite: Track 06)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain