Kamis, 06 Agustus 2015

#1 Hari Lainnya di Sekolah dan di Rumah

Ini baru pelajaran pertama hari itu. Langit berangsur cerah, tapi pikiran Dean mulai keruh.

Entah ada orang dari mana menaruh boombox di dalam kepalanya lalu menyetel kaset kesukaan Ayah keras-keras, berganti-ganti antara remix dangdut jaipong dan kecapi suling.

Belum lagi suara Bunda yang selalu saja terngiang-ngiang, segala perhatiannya yang akan tercurah pada Dean begitu mereka bertemu di rumah nanti. Tadi belajar apa aja? Bisa enggak? Ada PR enggak? Ada ulangan? Yang biasanya cuma bisa dijawab Dean dengan gumaman tidak jelas atau sebisa mungkin mengalihkan pembicaraan.

Belajar dari pengalaman serupa yang terus bertambah dari hari ke hari, Dean mesti menyiapkan jawaban terbaik dari sejak pelajaran pertama hari itu. Jadi kalau-kalau nanti Bunda bertanya, Tadi di sekolah ada pelajaran yang susah enggak? Oh, Biologi. Udah sampai mana Biologinya? Dean bisa menjawab, “Sampai sel,” meski yang dia maksud adalah sel-ular phone—telepon seluler—ponsel. Selama pelajaran Biologi itu dia mencuri-curi kesempatan untuk memainkan game di ponselnya di kolong meja. Untung saja Dean berada di bangku deretan paling belakang bersama para gamer kambuhan lainnya, sementara gurunya  duduk di satu-satunya bangku paling depan dan tidak beranjak dari sana sepanjang pelajaran itu.

Dean memang tidak selalu datang cepat ke sekolah. Tapi ketika dia datang cepat, dia selalu memburu bangku paling belakang. Kalaupun dia datang agak telat, dia tetap mencari bangku kosong di deretan belakang. Kalau bangku paling belakang sudah terisi semua, dia akan mencari bangku kosong di deretan kedua dari belakang. Kalau bangku paling belakang dan deretan kedua dari belakang sudah terisi semua, dia akan mencari bangku kosong di deretan ketiga dari belakang. Dan seterusnya. Bagi Dean, duduk di bangku deretan tengah saja rasanya sudah terlalu dekat dengan papan tulis.

.

Ini baru pelajaran kedua hari itu. Langit bertambah cerah, tapi pikiran Dean semakin keruh.

Memang boombox-nya sudah disingkirkan, kaset-kaset pun sudah dikembalikan, tapi kemudian datanglah orkes yang membawakan sebuah lagu, judulnya “Flight of the Bumblebee”, sehingga sekarang rasanya ada seribu lebah beterbangan di dalam kepala Dean. Lagu itu dimainkan terus-menerus seakan tidak akan berhenti. Ketika akhirnya Dean berhasil meredakan serangan lebah itu dan memusatkan perhatian pada papan tulis yang digambari panah-panah dilengkapi rumus vektor, dia merasa lebih baik telinganya diserbu lebah-lebah ketimbang matanya dicoloki panah-panah. Setidaknya lebah-lebah itu tidak menyengat. Mereka cuma ingin bermain musik dengan cara yang mereka bisa. Dean sangat berempati pada mereka.

Tapi Bu Diana tidak. Bu Diana mengusir lebah-lebah itu dengan menyita perhatian Dean, menyuruhnya maju ke depan untuk mengerjakan soal di papan tulis. Dean pun maju dan menghadapi perintah: Tentukan besar dan arah vektor resultan dari vektor A dan B yang masing-masing memiliki besar 3 dan 4 satuan, dan membentuk sudut 600.

Dean menyumbat pantat spidol dengan tutupnya, lalu mengangkat tangan kanan. Ujung spidolnya tertahan di depan papan tulis beberapa lama. Dia lalu memerhatikan lengan kanannya yang menekuk dan bertanya-tanya dalam hati apakah sudut 600 itu besarnya sama dengan sudut antara lengan atas dan lengan bawahnya, atau antara lengan atas dan sisi kanan dadanya?

“Kenapa, Ardian? Ini cuma nge-review soal ulangan yang kemarin lo,” terdengar suara Bu Diana. Wanita itu sedang bersandar pada mejanya sambil bersidekap.

Dean malah tidak ingat ada soal seperti ini pada ulangan Fisika yang lalu. Waktu itu dia cuma mengerjakan halaman pertama, itu pun cuma soal nomor satu. Setelahnya dia menghabiskan sisa waktu ulangan dengan memandangi burung-burung gereja yang mematuki atap bangunan sebelah.

Dean lalu mencoba menggambar panah-panah seperti yang sempat dia perhatikan sebentar tadi. Panah A membentuk sudut dengan panah B, lalu panah R membelah sudut di antara panah A dan panah B. Sudut di antara panah A dan panah R ditandai dengan lingkaran yang bagian tengahnya digarisi, sementara sudut di antara panah R dan panah B diberi lambang yang menurut Dean seperti siomai dimiringkan. Dia lalu menarik garis titik-titik dari ujung panah B ke ujung panah R, dan dari ujung panah R ke ujung panah A. Dia mundur sedikit dan memerhatikan hasil karyanya sejauh itu terlihat seperti layang-layang. Dia memiringkan kepala. Sekarang lingkaran dibelek dan siomai dibalik itu terlihat seperti sepasang mata. Dia menambahkan lengkungan di dekat ujung panah R sehingga layang-layang itu terlihat seperti memiliki wajah yang tersenyum. Terdengar deham-deham menahan tawa.

Bu Diana mengetuk-ngetukkan sepatunya ke lantai. Ia sudah menegur Dean dua kali dengan nada menyindir, tapi anak itu sepertinya tidak memedulikannya, atau malah bingung atau sedang asyik dengan pikirannya sendiri. Ia pun menyuruh Dean kembali ke tempat duduknya, menghapus layang-layang Dean, dan meminta anak lain yang mengerjakan. Anak lain yang tidak mengerjakan soal ulangan yang kemarin dengan baik dan benar.

Dean duduk kembali di bangkunya dengan lega, siap mendengarkan dengungan lebah lagi. Tapi dia melihat teman sebangkunya sedang mencuri-curi baca tabloid bola di kolong meja.

“Inter Milan main, ya, semalam?” tegur Dean dengan suara sepelan mungkin.

“Aku ketiduran, Yan,” sahut Salman dengan suara tidak kalah pelan.

“Jagoin siapa?”

“Ju-ven-tus dong!”

“Anjiiir….”

Sahut-sahutan lirih mereka lambat laun berubah menjadi perdebatan intens sebab kedua belah pihak mengotot dengan kesebelasan masing-masing. Ketika akhirnya mereka berdamai dan bersama-sama menerawang kemungkinan tim yang akan menang pada pertandingan berikutnya, meja mereka diketuk-ketuk. Obrolan mereka buyar. Salman menggagap saat Bu Diana menarik tabloidnya dari kolong meja dan bertanya, “Jadi, Salman, gaya apa yang bekerja pada buku sewaktu jatuh?”

“Gaya bebas…?”

Anak-anak menahan tertawa, tapi Bu Diana mengancamnya, “Sekali lagi kamu main-main, Ardian, kamu ke luar aja, ya!”

Padahal Dean tidak main-main! Di samping gaya para pemain bola sewaktu sedang berlaga di lapangan, cuma itu gaya yang dia tahu kalau diajak ke kolam renang. Itu juga bukannya dia bisa berenang, toh biasanya dia cuma duduk-duduk saja di tempat teduh sambil main-main ponsel.

Lagi pula, Dean cuma ingin membantu temannya yang sedang kesusahan. Itu naluriah!

Dean benar-benar berusaha menutup mulutnya sesudah itu, tapi tidak sampai lama dia mulai bosan. Padahal dia sudah bawa-bawa megafon ke dalam kepalanya, supaya mengalahkan suara-suara lainnya, dan teriak-teriak, “Fokus atuh euy, fokuuus!”

Tidak sampai lama juga, dia sudah jalan-jalan di luar kelas sambil bergandengan tangan dengan Rieka. Mereka berdua saling memandang dan tersenyum. Tahu-tahu ada motor lewat di samping mereka. Kedua orang yang duduk di atas motor itu berhelm tertutup, sehingga tidak kelihatan mukanya. Salah satu orang di motor itu menjambret tas Rieka. Rieka berteriak. Dengan sigap Dean mengejar motor itu sampai ke dalam kelasnya. Detik kemudian Dean sadar bahwa yang dijambret barusan bukannya tas Rieka, tapi mimpinya. Kali ini dia benar-benar disuruh keluar dari kelas untuk cuci muka.

.

Di perjalanan menuju WC, Dean menghitung-hitung. Selama di SMAN Selonongan alias Smanson, ini sudah kali keempat dia disuruh keluar dari kelas untuk cuci muka. Jumlah itu hampir mendekati nilai ulangannya yang paling besar, selama di Smanson juga.

Mendadak Dean terpikir bahwa daripada ke WC untuk cuci muka lebih baik ke kantin untuk mengobrol dengan para penjual di sana. Ada Mas Mayar yang sedang berpikir-pikir untuk berhenti berjualan bakso dan mengojek saja. Ada Teh Lina yang sering digoda Dean tiap kali SMS-an dengan cowoknya sambil mengulek bumbu lotek. Ada Bu Amah yang curhat melulu tentang suaminya yang belum juga mendapat pekerjaan. Tapi sewaktu akan menyeberang ke bangunan sebelah, Dean melihat guru Penjaskes yang sekaligus teman Ayah. Bisa-bisa nanti dia ditegur dan ditanya macam-macam. Dean pun balik dan mencari jalur yang kira-kira bebas-guru.

Dean melangkah ke lorong menuju deretan WC siswa yang dari kejauhan saja kelihatan kumuh dan beraroma solokan. Begitu melintas di depan deretan WC itu, lewat pintu yang menganga, Dean melihat kegelapan di dalam salah satu bilik. Dean merinding. Seperti pintu masuk ke dunia lain. Semencekam apa pun lorong itu, ujungnya menampilkan dunia yang cerah: rumah penjaga sekolah.

Pertama dan terakhir kalinya main ke rumah orang yang sudah belasan tahun menjaga komplek sekolah itu, Dean disuguhi teh manis dan ditawari menonton TV—yang tentu saja dia terima. Padahal di kelas teman-temannya sedang dicekoki sejuta rumus.

Di area sekitar rumah penjaga sekolah itu terdapat bangunan yang digunakan sebagai gudang. Di depan bangunan itu, sebatang pohon yang rindang berdiri tegak. Di bawahnya ada sosok yang dikenali Dean. Anak itu juga mengenakan seragam putih abu-abu. Rambutnya yang keriting mengembang ke atas. Matanya sipit. Jemarinya mengepit puntung sementara mulutnya mengepulkan asap.

“Pantes, tadi di kelas enggak ada.” Dean ikut berjongkok di samping Icang.

Yang ditegur menanggapi Dean dengan embusan asap di sela-sela bibirnya yang menghitam.

Setelah beberapa berdiam-diaman, Icang bersuara, “Kamu tahu enggak anak-anak yang suka nangkring di warnet depan?” kata Icang lagi.

“Yang mana? Bananet?”

“Bukan.... Yang ke dalam lagi.”

“Tenis Net?”

“Nah, itu.”

“Tahu. Kemarin ngobrol-ngobrol sama mereka. Asyik. Pada lucu-lucu. Awalnya tuh saya mau ke warung yang di sebelahnya, beli teh botol. Lagi pada di situ. Kang Cawe kan yang marah-marahin saya pas MOS. Tapi aslinya baik. Pas saya salam, dia bales. Biasa aja, ternyata.”

“Katanya mereka tuh udah dari jaman teteh saya sekolah di sini.”

“Teteh kamu bukannya lulusnya udah lama, ya? Mereka pada enggak naik kelas berapa kali kalau gitu?”

“Bukan…” Icang menggeleng-geleng. “Bastard. Kamu pasti tahu, kan, Bastard? Yang pada suka nangkring di situ tuh anak-anak Bastard.”

Nama itu terpahat di bangku kelas, tergurat di dinding belakang sekolah, tersebar di mana-mana.

Icang menambahkan bahwa si teteh mencemooh geng itu karena cowok-cowok di sana sering menggodanya, memalak PR-nya, dan meminta sontekan saat ulangan.

“Tahu, sih,” ucap Dean. Dia juga tahu bahwa dia sering melakukan perbuatan yang disebut-sebut Icang itu pada beberapa teman sekelasnya. Walau itu bukan karena dia merasa sebagai anak Bastard, tapi karena kepepet saja. “Apa sih kepanjangannya Bastard?”

“Apa, ya?”

Barudak Smanson anu tampan dan cerdas, lain?” Anak-anak Smanson yang tampan dan cerdas, bukan?—begitu kata Dean dalam bahasa Sunda bercampur bahasa Indonesia.

“Bukannya barudak Smanson anu ganteng, pintar, dan… ‘d’-nya apa, ya?”

Kehed?” Artinya kurang lebih “brengsek”.

Keduanya tertawa.

“Ke sana, yuk,” ajak Dean tiba-tiba.

Icang menuding ke arah pohon di belakang mereka. Dean mendongak. Keduanya lalu memanjat pohon itu. Dahannya menjulur sampai melampaui tembok sekolah. Mereka menitinya, lalu melompat ke bawah begitu mencapai ujungnya. Mereka lalu menyeberang jalan yang lebarnya pas-pasan untuk dua mobil, berjalan beberapa meter lagi sampai agak jauh dari sekolah, dan menemukan segerombolan cowok dari sekolah mereka sedang duduk-duduk di pelataran sebuah warnet.

Dean mendekati beberapa orang yang sudah dia kenal cukup akrab, menyalami semuanya, dan memperkenalkan Icang pada mereka. Keduanya pun disambut dengan rokok, remi, gaple, dan buku TTS bersampul potret Bunga Citra Lestari.

.

Dean selalu menyukai apa pun tentang Bunda. Tidak saja pada hari ini, tapi juga pada hari-hari yang telah berlalu dan pada hari-hari yang akan datang. Dean suka belaian lembut Bunda di pipinya, sewaktu dia menyambut wanita yang baru pulang kerja itu di pintu depan. Dean suka oleh-oleh donat J. CO yang dibawakan Bunda. Dean suka aroma tubuh Bunda, yang belum mandi saja harum apalagi kalau sudah mandi. Dean suka melihat Bunda wira-wiri menyiapkan makan malam. Dean suka cara Bunda menegur Zara yang sedari sore mengobrol di telepon dengan cowoknya. Dean suka mendengarkan obrolan Bunda dengan Deraz tentang virus-virusan, yang sepertinya tadi dibicarakan juga oleh Pak Bagod di kelas tapi dia sama sekali tidak paham.

Tapi ada satu hal dari Bunda yang membuat Dean tidak nyaman, dan itu hampir selalu didapatkannya saat Bunda berada di rumah.

Tiba juga gilirannya setelah Zara dan Deraz. Laporan keseharian sambil makan malam bersama-sama di meja makan.

Zara suka membicarakan tentang dirinya sendiri. Ulangan Matematikanya yang mendapat nilai sepuluh. Pujian dari guru biolanya, karena dia sudah mampu memainkan lagu baru dengan sempurna. Namanya diumumkan kepala sekolah saat upacara sebagai juara lomba pidato antar SMP seregional. Tapi sebelum Zara menceritakan lebih banyak, biasanya Dean keburu menyerbunya dengan, “Ah, sombong… sombong… boseeen…. Ceritanya gitu melulu….” yang langsung dibalas adiknya itu dengan kata-kata yang tidak kalah sengit, atau, kalau Dean berada di dekatnya, cubitan keras-keras. Bunda pun menengahi mereka. Tapi ketika ia meminta Zara melanjutkan ceritanya, anak itu sudah telanjur ngambek sementara Dean cuma haha-hihi.

Dengan rendah hati, Deraz tidak punya hal lain untuk diberitakan selain hal yang serupa. Sekolah memilihnya untuk menjadi perwakilan dalam kompetisi debat tingkat regional. Pemerintah meloloskan berkasnya sehingga ia bisa mengikuti konferensi pelajar yang akan diadakan di Wakatobi. Aktivitasnya di OSIS. Kegiatannya di ekskul futsal dan gelanggang. Semuanya diterangkan Deraz dengan singkat, padat, dan jelas. Dean dan Zara manggut-manggut saja, sementara Bunda menanggapinya dengan semringah.

“Nah, Dean?”

Dean bisa saja menceritakan tentang Salman yang belum punya cukup uang untuk membeli jersey Juventus di distro dekat sekolah, atau Zahra yang nilai ulangan Biologinya paling besar di kelas, atau Icang yang berhasil menamatkan satu buku TTS dari mulai jam istirahat sampai jam pulang sekolah, atau siapa saja yang ditemuinya dan mengobrol dengannya hari itu.

“Gitu aja.”

Zara dan Deraz juga sering memberi jawaban yang semacam dengan “gitu aja”, tapi tidak sesering Dean dan mereka sesekali menyelinginya dengan kabar yang membuat senyum Bunda melebar.

Gitu aja tuh gimana?”

“Habis pelajaran Biologi, terus ada Fisika, terus istirahat, terus Agama, Bahasa Indonesia….” Tapi Dean tidak mengikuti dua mata pelajaran yang terakhir sebab waktu itu dia sedang membantu Icang mengerjakan soal-soal di buku TTS sambil makan Jet Z rasa cokelat fiesta dan sesekali menyoraki anak-anak yang sedang adu gaple di sebelahnya. Tentu saja itu bukan kabar yang ingin didengar Bunda. Jadi Dean mengakhirinya dengan, “Gitu aja,” dan tersenyum.

Bunda mendesah.

“Mabal lagi palingan Dean mah, Bun,” celetuk Zara.

Dean memasang tampang sejelek-jeleknya pada Zara. Zara membalasnya dengan menjulurkan lidah. Deraz mundur dari meja makan sambil membawa piringnya yang sudah kosong. Sementara terdengar gemericik air dari bak cuci, mereka diam saja. Baru setelah Deraz pergi, Bunda berkata lagi.

“Dean,” nadanya lembut tapi penuh tekanan. “Dean kan udah SMA. Udah mau masuk perguruan tinggi.”

“Baru juga masuk SMA, Bun,” ucap Dean.

“Iya. Tapi kan, suka enggak kerasa. Tahu-tahu udah mau penjurusan. Tahu-tahu udah mau masuk perguruan tinggi. Dean belum nyiapin apa-apa.” Dean diam saja. Bunda melanjutkan, “Waktu SMP, Dean juga gitu. Dean bilang mau rajin belajar, tapi nilai-nilainya pada turun sampai pernah hampir enggak naik kelas.” Bunda menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya setenang mungkin. “Sekarang, alhamdulillah Dean bisa masuk SMA negeri. SMA Selonongan, lagi. Teman-temannya pada pintar. Dean juga pintar. Tapi jangan sampai terlena. Jadi malas belajar lagi. Pelajaran SMA kan beda sama pelajaran SMP. Harus lebih serius.”

“Iya, Bun.”

“Tahun depan kan penjurusan. Kalau mau masuk IPA, dari sekarang banyak-banyak belajar Fisika, Kimia, Biologi, Matematika. Kalau maunya IPS, banyak-banyak baca Ekonomi, Sosiologi, dan seterusnya. Mainnya dikurangi.”

“Iya, Bun.”

“Boleh main, asal jangan lupa waktu. Dean kan mainnya suka enggak kira-kira.”

“Iya, Bun.”

“Dean mau les?”

“Enggak. Entar aja atuh, Bun, itu mah pas kelas dua atau tiga aja….”

“Iya, siapa tahu, dari sekarang pengin ada yang bantuin belajar buat penjurusan. Entar dicariin yang privat sekalian.”

“Enggak, ah, Bun….”

“Hasil ulangan yang vektor kemarin itu, gimana, udah dibagiin?”

“Mm…. Entarlah, Bun, habis makan.” Dean meringis, seakan makanan yang sedang dia kunyah berasa pahit kalau mereka meneruskan bicara soal itu.

Bunda pun tidak berkata apa-apa lagi.

.

Sehabis makan malam, Bunda duduk di ruang tengah sambil mengoreksi tugas para mahasiswanya. Di sampingnya menumpuk bundelan kertas.

Dean mendekati Bunda yang sedang mencoret halaman demi halaman sebuah bundelan dengan spidol merah. Pada sampul makalah itu Bunda menulis huruf “F-” besar-besar.

“Kenapa, Bun?” tanya Dean sambil duduk di samping Bunda, dipisahkan tumpukan bundelan kertas.

“Ini…. Masak isinya persis banget sama jurnal penelitian orang lain.” Bunda mendesah. Dean pura-pura mengerti.

Dean lalu menyodorkan secarik kertas robekan dari buku tulis ke hadapan Bunda. Terlihat ada banyak bekas lipatan pada kertas itu bahkan lubang di beberapa titik, seakan sempat dibikin jadi burung-burungan beberapa kali tapi gagal. Bunda melihat nama Dean di bagian atas kertas itu disertai keterangan lainnya seperti “X-7”, “ULANGAN FISIKA VEKTOR DAN SKALAR”, tanggal mengerjakan, dan lingkaran yang tampak seperti wajah orang sedang meringis tapi setelah diperhatikan betul-betul rupanya itu angka “¼” yang ditulis besar-besar dengan tinta lalu dihias dengan pensil.

.

“Duh, Yah, tadi dimarahin lagi sama si Bunda,” kata Dean begitu menjawab panggilan telepon dari Ayah.

Di seberang Ayah tertawa.

“Kenapa? Gara-gara nilai ulangan lagi?”

“Heuheuheu….”

“Ya, atuh, gimana kamu teh? Kalau enggak pengin dimarahin Bunda mah, ya, bagusin nilainya.”

“Iya, Ayah.”

Dean menutupi seluruh badannya dengan selimut, maksudnya untuk meredam suara. Dia tahu di sisi lain kamar Deraz belum tidur dan masih membaca dengan penerangan lampu remang. Lampu di langit-langit kamar itu sendiri sudah dipadamkan.

Tadi Ayah sudah menelepon Deraz, lalu Zara, lalu Bunda, dan sekarang gilirannya. Sudah beberapa tahun ini Ayah ditugaskan untuk membina atlet nasional dan harus sering bepergian. Waktu untuk berkumpul bersama sekeluarga pun berkurang karena Ayah pulang cuma sesekali. Meski begitu, Ayah rajin menelepon anggota keluarganya satu per satu atau kadang borongan. Selain Zara, Dean yang paling sering ditelepon Ayah. Dean tidak segan menceritakan apa pun pada Ayah, lain kalau dengan Bunda.

“Ayah, temen-temen aku banyak yang udah bawa motor ke sekolah. Udah pada punya SIM juga. Tapi, lucu, Yah, tahun kelahiran di SIM teh beda sama yang ada di kartu pelajar. Dikurangan tahun kelahirannya teh. Tadi aku lihat SIM punya, ada namanya teh, Icang. Njir, maneh teh geus kolot geuningan,” Dean mengulangi ucapannya dalam bahasa Sunda pada Icang tadi siang, yang kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia kira-kira: Kamu ternyata udah tua, ya. Dean melanjutkan, “Kalau belum tujuh belas tahun mah kan harusnya belum boleh bikin SIM, ya, Yah? Tapi kan udah pada pengin motor-motoran. Ada malah temen-temen aku yang dari SMP nembak SIM-nya. Aku juga maulah, Yah, dibikinin. Sama dibeliin motornya sekalian.”

Ayah tertawa. “Nantilah, pas udah kuliah aja.”

“Sekarang ajalah, Yah….”

“Boleh enggak, sama Bunda?”

Sewaktu hasil penerimaan siswa baru diumumkan, dan Dean lolos ke Smanson, dia ditawari hadiah. Dean pun minta motor. Tapi Bunda menanggapinya dengan ketus, “Jangan! Nanti mainnya tambah sering, tambah jauh! Kalau HP aja enggak apa-apa.”

“Ah, itu mah, kayak kata peribahasa aja, Yah, bagai pungguk merindukan bulan. Itu ada di soal UN Bahasa Indonesia kemarin, euh, masih keingetan aja sampai sekarang,” kata Dean.

“Bagai Dean merindukan motor.” sahut Ayah.

Mereka pun tertawa berbarengan.

“Di sana gimana, Ayah?” kata Dean lagi.

“Yah, gitu aja.”

“Tadi juga jawab gitu ke Bunda dimarahin, Gitu aja teh gimana?” Dean menirukan nada suara Bunda.

Ayah tertawa lagi. “Bunda mah emang gitu orangnya.”

.

Sewaktu hasil penerimaan siswa baru diumumkan, dan nama Dean ada dalam daftar siswa baru SMAN Selonongan Kota Bandung, Bunda terlihat seperti yang mendapat serangan jantung, tapi sudah jelas itu serangan kebahagiaan. Ia menutup mulutnya dengan kedua belah tangan, menurunkan tangannya, lalu mendekatkan lagi matanya ke layar tempat pengumuman terpampang, berkali-kali. Ketika bertemu Dean, ia memeluk anak itu dan mengucapkan selamat sambil memegang kedua belah pipinya dengan gemas. Ketika Dean melihat sendiri daftar siswa baru yang diterima di Smanson tahun ajaran itu, namanya berada di urutan paling bawah sedangkan nama Deraz jauh di sebelah atas.

Bunda juga memeluk dan mengucapkan selamat pada Deraz, meski tidak lebih antusias daripada dengan Dean. Tidak mengherankan jika Deraz bisa masuk ke Smanson sebab nilai-nilainya selama di SMP selalu membaik dari tahun ke tahun. Deraz bisa saja memilih SMA negeri lain yang passing grade-nya lebih tinggi, atau malah SMA di luar kota yang syarat masuknya macam-macam. Tapi Deraz ingin melanjutkan ke sekolah yang sama dengan Dean.

Maka diputuskanlah mereka mendaftar ke Smanson sebagai pilihan pertama, meski baik Dean maupun Bunda sama-sama tidak yakin. Smanson merupakan salah satu SMA negeri favorit di Kota Bandung, meski bukan yang passing grade-nya paling tinggi. Mengingat isi rapor Dean selama SMP, peluangnya bisa diterima di SMA negeri mana pun hanya 0,27%. Maka bagi Bunda diterimanya Dean di Smanson seperti keajaiban.

Sebetulnya itu bukan keajaiban, seandainya Bunda tahu bahwa sewaktu UN berlangsung Dean duduk di belakang Deraz, yang menempatkan lembar jawabannya di meja pada posisi strategis. Itu ditambah SMS berisi kunci jawaban, pastinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain