Ini baru pelajaran
pertama hari itu. Langit berangsur cerah, tapi pikiran Dean mulai keruh.
Entah ada orang dari
mana menaruh boombox di dalam kepalanya
lalu menyetel kaset kesukaan Ayah keras-keras, berganti-ganti antara remix dangdut jaipong dan kecapi suling.
Belum lagi suara Bunda
yang selalu saja terngiang-ngiang, segala perhatiannya yang akan tercurah pada
Dean begitu mereka bertemu di rumah nanti. Tadi
belajar apa aja? Bisa enggak? Ada PR enggak? Ada ulangan? Yang biasanya
cuma bisa dijawab Dean dengan gumaman tidak jelas atau sebisa mungkin
mengalihkan pembicaraan.
Belajar dari pengalaman
serupa yang terus bertambah dari hari ke hari, Dean mesti menyiapkan jawaban
terbaik dari sejak pelajaran pertama hari itu. Jadi kalau-kalau nanti Bunda
bertanya, Tadi di sekolah ada pelajaran
yang susah enggak? Oh, Biologi. Udah sampai mana Biologinya? Dean bisa
menjawab, “Sampai sel,” meski yang dia maksud adalah sel-ular phone—telepon seluler—ponsel. Selama pelajaran Biologi itu dia
mencuri-curi kesempatan untuk memainkan game
di ponselnya di kolong meja. Untung saja Dean berada di bangku deretan
paling belakang bersama para gamer
kambuhan lainnya, sementara gurunya
duduk di satu-satunya bangku paling depan dan tidak beranjak dari sana
sepanjang pelajaran itu.
Dean memang tidak
selalu datang cepat ke sekolah. Tapi ketika dia datang cepat, dia selalu
memburu bangku paling belakang. Kalaupun dia datang agak telat, dia tetap
mencari bangku kosong di deretan belakang. Kalau bangku paling belakang sudah
terisi semua, dia akan mencari bangku kosong di deretan kedua dari belakang.
Kalau bangku paling belakang dan deretan kedua dari belakang sudah terisi semua,
dia akan mencari bangku kosong di deretan ketiga dari belakang. Dan seterusnya.
Bagi Dean, duduk di bangku deretan tengah saja rasanya sudah terlalu dekat
dengan papan tulis.
.
Ini baru pelajaran
kedua hari itu. Langit bertambah cerah, tapi pikiran Dean semakin keruh.
Memang boombox-nya sudah disingkirkan,
kaset-kaset pun sudah dikembalikan, tapi kemudian datanglah orkes yang
membawakan sebuah lagu, judulnya “Flight of the Bumblebee”, sehingga sekarang
rasanya ada seribu lebah beterbangan di dalam kepala Dean. Lagu itu dimainkan
terus-menerus seakan tidak akan berhenti. Ketika akhirnya Dean berhasil
meredakan serangan lebah itu dan memusatkan perhatian pada papan tulis yang
digambari panah-panah dilengkapi rumus vektor, dia merasa lebih baik telinganya
diserbu lebah-lebah ketimbang matanya dicoloki panah-panah. Setidaknya
lebah-lebah itu tidak menyengat. Mereka cuma ingin bermain musik dengan cara
yang mereka bisa. Dean sangat berempati pada mereka.
Tapi Bu Diana tidak. Bu
Diana mengusir lebah-lebah itu dengan menyita perhatian Dean, menyuruhnya maju
ke depan untuk mengerjakan soal di papan tulis. Dean pun maju dan menghadapi
perintah: Tentukan besar dan arah vektor
resultan dari vektor A dan B yang masing-masing memiliki besar 3
dan 4 satuan, dan membentuk sudut 600.
Dean menyumbat pantat
spidol dengan tutupnya, lalu mengangkat tangan kanan. Ujung spidolnya tertahan
di depan papan tulis beberapa lama. Dia lalu memerhatikan lengan kanannya yang
menekuk dan bertanya-tanya dalam hati apakah sudut 600 itu besarnya
sama dengan sudut antara lengan atas dan lengan bawahnya, atau antara lengan
atas dan sisi kanan dadanya?
“Kenapa, Ardian? Ini
cuma nge-review soal ulangan yang
kemarin lo,” terdengar suara Bu Diana. Wanita itu sedang bersandar pada mejanya
sambil bersidekap.
Dean malah tidak ingat
ada soal seperti ini pada ulangan Fisika yang lalu. Waktu itu dia cuma
mengerjakan halaman pertama, itu pun cuma soal nomor satu. Setelahnya dia
menghabiskan sisa waktu ulangan dengan memandangi burung-burung gereja yang mematuki
atap bangunan sebelah.
Dean lalu mencoba
menggambar panah-panah seperti yang sempat dia perhatikan sebentar tadi. Panah
A membentuk sudut dengan panah B, lalu panah R membelah sudut di antara panah A
dan panah B. Sudut di antara panah A dan panah R ditandai dengan lingkaran yang
bagian tengahnya digarisi, sementara sudut di antara panah R dan panah B diberi
lambang yang menurut Dean seperti siomai dimiringkan. Dia lalu menarik garis
titik-titik dari ujung panah B ke ujung panah R, dan dari ujung panah R ke
ujung panah A. Dia mundur sedikit dan memerhatikan hasil karyanya sejauh itu
terlihat seperti layang-layang. Dia memiringkan kepala. Sekarang lingkaran
dibelek dan siomai dibalik itu terlihat seperti sepasang mata. Dia menambahkan
lengkungan di dekat ujung panah R sehingga layang-layang itu terlihat seperti
memiliki wajah yang tersenyum. Terdengar deham-deham menahan tawa.
Bu Diana
mengetuk-ngetukkan sepatunya ke lantai. Ia sudah menegur Dean dua kali dengan
nada menyindir, tapi anak itu sepertinya tidak memedulikannya, atau malah
bingung atau sedang asyik dengan pikirannya sendiri. Ia pun menyuruh Dean
kembali ke tempat duduknya, menghapus layang-layang Dean, dan meminta anak lain
yang mengerjakan. Anak lain yang tidak mengerjakan soal ulangan yang kemarin
dengan baik dan benar.
Dean duduk kembali di
bangkunya dengan lega, siap mendengarkan dengungan lebah lagi. Tapi dia melihat
teman sebangkunya sedang mencuri-curi baca tabloid bola di kolong meja.
“Inter Milan main, ya,
semalam?” tegur Dean dengan suara sepelan mungkin.
“Aku ketiduran, Yan,”
sahut Salman dengan suara tidak kalah pelan.
“Jagoin siapa?”
“Ju-ven-tus dong!”
“Anjiiir….”
Sahut-sahutan lirih
mereka lambat laun berubah menjadi perdebatan intens sebab kedua belah pihak
mengotot dengan kesebelasan masing-masing. Ketika akhirnya mereka berdamai dan
bersama-sama menerawang kemungkinan tim yang akan menang pada pertandingan
berikutnya, meja mereka diketuk-ketuk. Obrolan mereka buyar. Salman menggagap
saat Bu Diana menarik tabloidnya dari kolong meja dan bertanya, “Jadi, Salman,
gaya apa yang bekerja pada buku sewaktu jatuh?”
“Gaya bebas…?”
Anak-anak menahan
tertawa, tapi Bu Diana mengancamnya, “Sekali lagi kamu main-main, Ardian, kamu
ke luar aja, ya!”
Padahal Dean tidak main-main!
Di samping gaya para pemain bola sewaktu sedang berlaga di lapangan, cuma itu
gaya yang dia tahu kalau diajak ke kolam renang. Itu juga bukannya dia bisa
berenang, toh biasanya dia cuma duduk-duduk saja di tempat teduh sambil
main-main ponsel.
Lagi pula, Dean cuma
ingin membantu temannya yang sedang kesusahan. Itu naluriah!
Dean benar-benar
berusaha menutup mulutnya sesudah itu, tapi tidak sampai lama dia mulai bosan.
Padahal dia sudah bawa-bawa megafon ke dalam kepalanya, supaya mengalahkan suara-suara
lainnya, dan teriak-teriak, “Fokus atuh
euy, fokuuus!”
Tidak sampai lama juga,
dia sudah jalan-jalan di luar kelas sambil bergandengan tangan dengan Rieka.
Mereka berdua saling memandang dan tersenyum. Tahu-tahu ada motor lewat di
samping mereka. Kedua orang yang duduk di atas motor itu berhelm tertutup,
sehingga tidak kelihatan mukanya. Salah satu orang di motor itu menjambret tas
Rieka. Rieka berteriak. Dengan sigap Dean mengejar motor itu sampai ke dalam
kelasnya. Detik kemudian Dean sadar bahwa yang dijambret barusan bukannya tas
Rieka, tapi mimpinya. Kali ini dia benar-benar disuruh keluar dari kelas untuk
cuci muka.
.
Di perjalanan menuju
WC, Dean menghitung-hitung. Selama di SMAN Selonongan alias Smanson, ini sudah
kali keempat dia disuruh keluar dari kelas untuk cuci muka. Jumlah itu hampir
mendekati nilai ulangannya yang paling besar, selama di Smanson juga.
Mendadak Dean terpikir
bahwa daripada ke WC untuk cuci muka lebih baik ke kantin untuk mengobrol
dengan para penjual di sana. Ada Mas Mayar yang sedang berpikir-pikir untuk
berhenti berjualan bakso dan mengojek saja. Ada Teh Lina yang sering digoda
Dean tiap kali SMS-an dengan cowoknya sambil mengulek bumbu lotek. Ada Bu Amah
yang curhat melulu tentang suaminya yang belum juga mendapat pekerjaan. Tapi
sewaktu akan menyeberang ke bangunan sebelah, Dean melihat guru Penjaskes yang
sekaligus teman Ayah. Bisa-bisa nanti dia ditegur dan ditanya macam-macam. Dean
pun balik dan mencari jalur yang kira-kira bebas-guru.
Dean melangkah ke
lorong menuju deretan WC siswa yang dari kejauhan saja kelihatan kumuh dan
beraroma solokan. Begitu melintas di depan deretan WC itu, lewat pintu yang
menganga, Dean melihat kegelapan di dalam salah satu bilik. Dean merinding. Seperti pintu masuk ke dunia lain. Semencekam
apa pun lorong itu, ujungnya menampilkan dunia yang cerah: rumah penjaga
sekolah.
Pertama dan terakhir
kalinya main ke rumah orang yang sudah belasan tahun menjaga komplek sekolah
itu, Dean disuguhi teh manis dan ditawari menonton TV—yang tentu saja dia
terima. Padahal di kelas teman-temannya sedang dicekoki sejuta rumus.
Di area sekitar rumah
penjaga sekolah itu terdapat bangunan yang digunakan sebagai gudang. Di depan
bangunan itu, sebatang pohon yang rindang berdiri tegak. Di bawahnya ada sosok
yang dikenali Dean. Anak itu juga mengenakan seragam putih abu-abu. Rambutnya
yang keriting mengembang ke atas. Matanya sipit. Jemarinya mengepit puntung
sementara mulutnya mengepulkan asap.
“Pantes, tadi di kelas
enggak ada.” Dean ikut berjongkok di samping Icang.
Yang ditegur menanggapi
Dean dengan embusan asap di sela-sela bibirnya yang menghitam.
Setelah beberapa
berdiam-diaman, Icang bersuara, “Kamu tahu enggak anak-anak yang suka nangkring
di warnet depan?” kata Icang lagi.
“Yang mana? Bananet?”
“Bukan.... Yang ke
dalam lagi.”
“Tenis Net?”
“Nah, itu.”
“Tahu. Kemarin
ngobrol-ngobrol sama mereka. Asyik. Pada lucu-lucu. Awalnya tuh saya mau ke
warung yang di sebelahnya, beli teh botol. Lagi pada di situ. Kang Cawe kan
yang marah-marahin saya pas MOS. Tapi aslinya baik. Pas saya salam, dia bales.
Biasa aja, ternyata.”
“Katanya mereka tuh
udah dari jaman teteh saya sekolah di sini.”
“Teteh kamu bukannya
lulusnya udah lama, ya? Mereka pada enggak naik kelas berapa kali kalau gitu?”
“Bukan…” Icang menggeleng-geleng.
“Bastard. Kamu pasti tahu, kan, Bastard? Yang pada suka nangkring di situ tuh
anak-anak Bastard.”
Nama itu terpahat di
bangku kelas, tergurat di dinding belakang sekolah, tersebar di mana-mana.
Icang menambahkan bahwa
si teteh mencemooh geng itu karena cowok-cowok di sana sering menggodanya,
memalak PR-nya, dan meminta sontekan saat ulangan.
“Tahu, sih,” ucap Dean.
Dia juga tahu bahwa dia sering melakukan perbuatan yang disebut-sebut Icang itu
pada beberapa teman sekelasnya. Walau itu bukan karena dia merasa sebagai anak
Bastard, tapi karena kepepet saja. “Apa sih kepanjangannya Bastard?”
“Apa, ya?”
“Barudak Smanson anu tampan
dan cerdas, lain?” Anak-anak Smanson yang
tampan dan cerdas, bukan?—begitu kata Dean dalam bahasa Sunda bercampur bahasa
Indonesia.
“Bukannya barudak Smanson anu ganteng, pintar, dan… ‘d’-nya apa, ya?”
“Kehed?” Artinya kurang lebih “brengsek”.
Keduanya tertawa.
“Ke sana, yuk,” ajak
Dean tiba-tiba.
Icang menuding ke arah
pohon di belakang mereka. Dean mendongak. Keduanya lalu memanjat pohon itu.
Dahannya menjulur sampai melampaui tembok sekolah. Mereka menitinya, lalu
melompat ke bawah begitu mencapai ujungnya. Mereka lalu menyeberang jalan yang
lebarnya pas-pasan untuk dua mobil, berjalan beberapa meter lagi sampai agak
jauh dari sekolah, dan menemukan segerombolan cowok dari sekolah mereka sedang
duduk-duduk di pelataran sebuah warnet.
Dean mendekati beberapa
orang yang sudah dia kenal cukup akrab, menyalami semuanya, dan memperkenalkan
Icang pada mereka. Keduanya pun disambut dengan rokok, remi, gaple, dan buku
TTS bersampul potret Bunga Citra Lestari.
.
Dean
selalu menyukai apa pun tentang Bunda. Tidak saja pada hari ini,
tapi juga pada hari-hari yang telah berlalu dan pada hari-hari yang akan
datang. Dean suka belaian lembut Bunda di pipinya, sewaktu dia menyambut wanita
yang baru pulang kerja itu di pintu depan. Dean suka oleh-oleh donat J. CO yang
dibawakan Bunda. Dean suka aroma tubuh Bunda, yang belum mandi saja harum
apalagi kalau sudah mandi. Dean suka melihat Bunda wira-wiri menyiapkan makan
malam. Dean suka cara Bunda menegur Zara yang sedari sore mengobrol di telepon
dengan cowoknya. Dean suka mendengarkan obrolan Bunda dengan Deraz tentang
virus-virusan, yang sepertinya tadi dibicarakan juga oleh Pak Bagod di kelas
tapi dia sama sekali tidak paham.
Tapi ada satu hal dari
Bunda yang membuat Dean tidak nyaman, dan itu hampir selalu didapatkannya saat
Bunda berada di rumah.
Tiba juga gilirannya
setelah Zara dan Deraz. Laporan keseharian sambil makan malam bersama-sama di
meja makan.
Zara suka membicarakan
tentang dirinya sendiri. Ulangan Matematikanya yang mendapat nilai sepuluh.
Pujian dari guru biolanya, karena dia sudah mampu memainkan lagu baru dengan
sempurna. Namanya diumumkan kepala sekolah saat upacara sebagai juara lomba
pidato antar SMP seregional. Tapi sebelum Zara menceritakan lebih banyak,
biasanya Dean keburu menyerbunya dengan, “Ah, sombong… sombong… boseeen…. Ceritanya
gitu melulu….” yang langsung dibalas adiknya itu dengan kata-kata yang tidak
kalah sengit, atau, kalau Dean berada di dekatnya, cubitan keras-keras. Bunda
pun menengahi mereka. Tapi ketika ia meminta Zara melanjutkan ceritanya, anak
itu sudah telanjur ngambek sementara Dean cuma haha-hihi.
Dengan rendah hati,
Deraz tidak punya hal lain untuk diberitakan selain hal yang serupa. Sekolah
memilihnya untuk menjadi perwakilan dalam kompetisi debat tingkat regional.
Pemerintah meloloskan berkasnya sehingga ia bisa mengikuti konferensi pelajar
yang akan diadakan di Wakatobi. Aktivitasnya di OSIS. Kegiatannya di ekskul
futsal dan gelanggang. Semuanya diterangkan Deraz dengan singkat, padat, dan
jelas. Dean dan Zara manggut-manggut saja, sementara Bunda menanggapinya dengan
semringah.
“Nah, Dean?”
Dean bisa saja
menceritakan tentang Salman yang belum punya cukup uang untuk membeli jersey Juventus di distro dekat sekolah,
atau Zahra yang nilai ulangan Biologinya paling besar di kelas, atau Icang yang
berhasil menamatkan satu buku TTS dari mulai jam istirahat sampai jam pulang
sekolah, atau siapa saja yang ditemuinya dan mengobrol dengannya hari itu.
“Gitu aja.”
Zara dan Deraz juga
sering memberi jawaban yang semacam dengan “gitu aja”, tapi tidak sesering Dean
dan mereka sesekali menyelinginya dengan kabar yang membuat senyum Bunda
melebar.
“Gitu aja tuh gimana?”
“Habis pelajaran
Biologi, terus ada Fisika, terus istirahat, terus Agama, Bahasa Indonesia….”
Tapi Dean tidak mengikuti dua mata pelajaran yang terakhir sebab waktu itu dia
sedang membantu Icang mengerjakan soal-soal di buku TTS sambil makan Jet Z rasa
cokelat fiesta dan sesekali menyoraki anak-anak yang sedang adu gaple di
sebelahnya. Tentu saja itu bukan kabar yang ingin didengar Bunda. Jadi Dean
mengakhirinya dengan, “Gitu aja,” dan
tersenyum.
Bunda mendesah.
“Mabal lagi palingan
Dean mah, Bun,” celetuk Zara.
Dean memasang tampang
sejelek-jeleknya pada Zara. Zara membalasnya dengan menjulurkan lidah. Deraz
mundur dari meja makan sambil membawa piringnya yang sudah kosong. Sementara
terdengar gemericik air dari bak cuci, mereka diam saja. Baru setelah Deraz
pergi, Bunda berkata lagi.
“Dean,” nadanya lembut
tapi penuh tekanan. “Dean kan udah SMA. Udah mau masuk perguruan tinggi.”
“Baru juga masuk SMA,
Bun,” ucap Dean.
“Iya. Tapi kan, suka
enggak kerasa. Tahu-tahu udah mau penjurusan. Tahu-tahu udah mau masuk
perguruan tinggi. Dean belum nyiapin apa-apa.” Dean diam saja. Bunda melanjutkan,
“Waktu SMP, Dean juga gitu. Dean bilang mau rajin belajar, tapi nilai-nilainya
pada turun sampai pernah hampir enggak naik kelas.” Bunda menarik napas
dalam-dalam dan mengembuskannya setenang mungkin. “Sekarang, alhamdulillah Dean
bisa masuk SMA negeri. SMA Selonongan, lagi. Teman-temannya pada pintar. Dean
juga pintar. Tapi jangan sampai terlena. Jadi malas belajar lagi. Pelajaran SMA
kan beda sama pelajaran SMP. Harus lebih serius.”
“Iya, Bun.”
“Tahun depan kan
penjurusan. Kalau mau masuk IPA, dari sekarang banyak-banyak belajar Fisika,
Kimia, Biologi, Matematika. Kalau maunya IPS, banyak-banyak baca Ekonomi,
Sosiologi, dan seterusnya. Mainnya dikurangi.”
“Iya, Bun.”
“Boleh main, asal
jangan lupa waktu. Dean kan mainnya suka enggak kira-kira.”
“Iya, Bun.”
“Dean mau les?”
“Enggak. Entar aja atuh, Bun, itu mah pas kelas dua atau
tiga aja….”
“Iya, siapa tahu, dari
sekarang pengin ada yang bantuin belajar buat penjurusan. Entar dicariin yang
privat sekalian.”
“Enggak, ah, Bun….”
“Hasil ulangan yang
vektor kemarin itu, gimana, udah dibagiin?”
“Mm…. Entarlah, Bun,
habis makan.” Dean meringis, seakan makanan yang sedang dia kunyah berasa pahit
kalau mereka meneruskan bicara soal itu.
Bunda pun tidak berkata
apa-apa lagi.
.
Sehabis makan malam,
Bunda duduk di ruang tengah sambil mengoreksi tugas para mahasiswanya. Di
sampingnya menumpuk bundelan kertas.
Dean mendekati Bunda
yang sedang mencoret halaman demi halaman sebuah bundelan dengan spidol merah.
Pada sampul makalah itu Bunda menulis huruf “F-” besar-besar.
“Kenapa, Bun?” tanya
Dean sambil duduk di samping Bunda, dipisahkan tumpukan bundelan kertas.
“Ini…. Masak isinya
persis banget sama jurnal penelitian orang lain.” Bunda mendesah. Dean
pura-pura mengerti.
Dean lalu menyodorkan
secarik kertas robekan dari buku tulis ke hadapan Bunda. Terlihat ada banyak
bekas lipatan pada kertas itu bahkan lubang di beberapa titik, seakan sempat
dibikin jadi burung-burungan beberapa kali tapi gagal. Bunda melihat nama Dean
di bagian atas kertas itu disertai keterangan lainnya seperti “X-7”, “ULANGAN
FISIKA VEKTOR DAN SKALAR”, tanggal mengerjakan, dan lingkaran yang tampak
seperti wajah orang sedang meringis tapi setelah diperhatikan betul-betul
rupanya itu angka “¼” yang ditulis besar-besar dengan tinta lalu dihias dengan
pensil.
.
“Duh, Yah, tadi
dimarahin lagi sama si Bunda,” kata Dean begitu menjawab panggilan telepon dari
Ayah.
Di seberang Ayah
tertawa.
“Kenapa? Gara-gara
nilai ulangan lagi?”
“Heuheuheu….”
“Ya, atuh, gimana kamu teh? Kalau enggak pengin dimarahin Bunda mah, ya, bagusin
nilainya.”
“Iya, Ayah.”
Dean menutupi seluruh
badannya dengan selimut, maksudnya untuk meredam suara. Dia tahu di sisi lain
kamar Deraz belum tidur dan masih membaca dengan penerangan lampu remang. Lampu
di langit-langit kamar itu sendiri sudah dipadamkan.
Tadi Ayah sudah
menelepon Deraz, lalu Zara, lalu Bunda, dan sekarang gilirannya. Sudah beberapa
tahun ini Ayah ditugaskan untuk membina atlet nasional dan harus sering bepergian.
Waktu untuk berkumpul bersama sekeluarga pun berkurang karena Ayah pulang cuma
sesekali. Meski begitu, Ayah rajin menelepon anggota keluarganya satu per satu
atau kadang borongan. Selain Zara, Dean yang paling sering ditelepon Ayah. Dean
tidak segan menceritakan apa pun pada Ayah, lain kalau dengan Bunda.
“Ayah, temen-temen aku
banyak yang udah bawa motor ke sekolah. Udah pada punya SIM juga. Tapi, lucu,
Yah, tahun kelahiran di SIM teh beda
sama yang ada di kartu pelajar. Dikurangan tahun kelahirannya teh. Tadi aku lihat SIM punya, ada
namanya teh, Icang. Njir, maneh teh geus kolot geuningan,”
Dean mengulangi ucapannya dalam bahasa Sunda pada Icang tadi siang, yang kalau
diartikan ke dalam bahasa Indonesia kira-kira: Kamu ternyata udah tua, ya. Dean melanjutkan, “Kalau belum tujuh
belas tahun mah kan harusnya belum boleh bikin SIM, ya, Yah? Tapi kan udah pada
pengin motor-motoran. Ada malah temen-temen aku yang dari SMP nembak SIM-nya.
Aku juga maulah, Yah, dibikinin. Sama dibeliin motornya sekalian.”
Ayah tertawa.
“Nantilah, pas udah kuliah aja.”
“Sekarang ajalah,
Yah….”
“Boleh enggak, sama
Bunda?”
Sewaktu hasil
penerimaan siswa baru diumumkan, dan Dean lolos ke Smanson, dia ditawari
hadiah. Dean pun minta motor. Tapi Bunda menanggapinya dengan ketus, “Jangan!
Nanti mainnya tambah sering, tambah jauh! Kalau HP aja enggak apa-apa.”
“Ah, itu mah, kayak
kata peribahasa aja, Yah, bagai pungguk merindukan bulan. Itu ada di soal UN
Bahasa Indonesia kemarin, euh, masih keingetan aja sampai sekarang,” kata Dean.
“Bagai Dean merindukan
motor.” sahut Ayah.
Mereka pun tertawa
berbarengan.
“Di sana gimana, Ayah?”
kata Dean lagi.
“Yah, gitu aja.”
“Tadi juga jawab gitu
ke Bunda dimarahin, Gitu aja teh gimana?” Dean menirukan nada suara
Bunda.
Ayah tertawa lagi.
“Bunda mah emang gitu orangnya.”
.
Sewaktu hasil
penerimaan siswa baru diumumkan, dan nama Dean ada dalam daftar siswa baru SMAN
Selonongan Kota Bandung, Bunda terlihat seperti yang mendapat serangan jantung,
tapi sudah jelas itu serangan kebahagiaan. Ia menutup mulutnya dengan kedua
belah tangan, menurunkan tangannya, lalu mendekatkan lagi matanya ke layar
tempat pengumuman terpampang, berkali-kali. Ketika bertemu Dean, ia memeluk
anak itu dan mengucapkan selamat sambil memegang kedua belah pipinya dengan
gemas. Ketika Dean melihat sendiri daftar siswa baru yang diterima di Smanson
tahun ajaran itu, namanya berada di urutan paling bawah sedangkan nama Deraz
jauh di sebelah atas.
Bunda juga memeluk dan
mengucapkan selamat pada Deraz, meski tidak lebih antusias daripada dengan
Dean. Tidak mengherankan jika Deraz bisa masuk ke Smanson sebab nilai-nilainya
selama di SMP selalu membaik dari tahun ke tahun. Deraz bisa saja memilih SMA
negeri lain yang passing grade-nya
lebih tinggi, atau malah SMA di luar kota yang syarat masuknya macam-macam.
Tapi Deraz ingin melanjutkan ke sekolah yang sama dengan Dean.
Maka diputuskanlah
mereka mendaftar ke Smanson sebagai pilihan pertama, meski baik Dean maupun
Bunda sama-sama tidak yakin. Smanson merupakan salah satu SMA negeri favorit di
Kota Bandung, meski bukan yang passing
grade-nya paling tinggi. Mengingat isi rapor Dean selama SMP, peluangnya
bisa diterima di SMA negeri mana pun hanya 0,27%. Maka bagi Bunda diterimanya
Dean di Smanson seperti keajaiban.
Sebetulnya itu bukan keajaiban, seandainya Bunda tahu bahwa sewaktu UN berlangsung Dean duduk di belakang Deraz, yang menempatkan lembar jawabannya di meja pada posisi strategis. Itu ditambah SMS berisi kunci jawaban, pastinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar