Ketika aku pulang, jejak kaki bertebaran di lantai dan aroma
pesing merebak ke mana-mana. Harusnya sebelum berbelanja tadi aku keluarkan
dulu si kucing, bahkan kalau perlu aku kunci pintu. Kebiasaan. Tempatku berbelanja
cuma beberapa meter dari rumah soalnya.
Sekarang si kucing tidak tampak, hanya bekas kebiadabannya,
dan aku yang mesti membereskan itu.
Setelah meletakkan belanjaan di dapur, segera aku melayap ke
sumber aroma dan membanjurnya berkali-kali. Kucing memang begitu. Tak tahu cara
menyiram kencingnya sendiri.
Ketika dia lewat tanpa sedikit pun melirik padaku, aku
menegurnya, entah untuk yang keberapa kali dalam seumur hidup kami, “Kalau
habis kencing tuh disiram dong!”
Tetap saja dia tidak menengokku. Dia malah naik ke sofa dan
tiduran.
Percuma memang bicara sama kucing. Jadinya cuma omong kosong.
Manusia menggonggong kucing berlalu, begitu barangkali dia pikir. Apalagi dia
pejantan. Memang tabiatnya kencing di mana-mana. Di pinggir jalan, sambil
dilihat orang lewat pun tak apa. Tapi kalau sampai dia mengencingi betina lain,
awas saja. Bukan apa-apa. Populasi kucing di kampung ini sudah kelewat banyak!
Habis kencingnya, aku mengepel jejak kakinya yang hampir
kering. Kucing memang begitu. Tak tahu mesti mengelap kaki di keset. Cuek saja
kelayapan ke mana-mana tanpa peduli kakinya yang dekil. Aku pun ogah
membersihkan kakinya itu, jangankan memandikan seluruh tubuhnya sekalian. Dia
akan memberontak dan jadinya malah aku yang belepotan air sabun. Dia lebih suka
mandi sendiri, tapi jarang dia lakukan. Apalagi dia pejantan. Yang paling dia
suka cuma memandikan lidah kecil di selangkangannya itu, sampai menjulur
kemerahan. Aku saja jijik melihatnya! Dia cuma menguap lebar-lebar, ketika aku
menggosok kuat-kuat jejak kakinya sambil menggerutu keras-keras.
Ketika aku membereskan belanjaan di dapur, barulah dia
mendekatiku dan mengeong-eong dengan berisik. Aku tahu artinya: “Aku lapar!
Lapar nih! Lapar banget! Lapar, aduh!”. Ke mana pun aku bergerak, dia
mengikutiku. “Kok enggak ada makanan? Aku belum makan! Mana ikan? Mana ayam?”
serunya. Dia tidak sadar sama sekali sudah membuang waktuku tadi cuma untuk membersihkan
kencing dan jejak kakinya.
Sekarang mana sempat aku menyiapkan makanan untuk dirinya? Aku
harus segera pergi ke tempat Ibu Edi dan menyelesaikan jahitan. Lagi pula tadi
pagi sekali aku sudah memberi dia sepotong pindang sisa kemarin. Sekarang
bahkan belum siang dan dia sudah minta lagi? Kucing memang begitu. Rakusnya
terlalu!
“Sana! Cari makan sendiri!” aku balas menghardiknya. Dia
terdiam, dan mengeong dengan ciut. Aku melihat dia pergi ke teras dan merasa
agak menyesal, tapi … biar saja!
Setelah merasa pasti dia tidak akan mengangguku lagi, aku
mengeluarkan wadah dari Ceu Mimin. Tadi aku sempat mampir dulu ke rumahnya. Dia
baru masak pepes ikan, dan memberiku sebiji. Aku meletakkan itu di piring dan
memasukkannya ke lemari, di atas tumpukan wadah yang tak terpakai. Kalau aku
menaruh itu di meja, kemungkinan besar si kucing akan menemukannya dan
menghabiskannya sendirian. Sudah begitu, dia akan membiarkan sisanya terserak di
tempat dia makan dan lagi-lagi aku yang mesti membereskan. Kucing memang
begitu. Cuma peduli urusan perut ke bawah, dan cuma untuk dirinya sendiri.
Setelah urusan dapur beres, dan aku sendiri sudah berganti
baju dan berdandan sekenanya, aku mencari-cari si kucing. Dia sudah tidak di
sofa. Aku memasuki kamar tidur, kamar mandi, dapur, sampai ruang depan, sambil
memanggil-manggil namanya. Dia tidak ada di mana-mana. Barangkali dia sudah
keluyuran lagi entah ke mana. Ya sudahlah. Langsung kukunci saja pintunya.
Kalau sampai terlambat lagi ke tempat Ibu Edi, nanti aku tidak enak.
Tapi, ealah, mana
kuncinya?! Biasanya aku menancapkan itu di lubang pegangan pintu sebelah dalam.
Siapa yang mencabutnya? Duh …! Dengan cemas aku menengok jam dinding lalu
menarik gorden hingga menutupi jendela ruang depan, dan menutup pintu. Terpaksa
aku ke rumah Ceu Mimih lagi, yang letaknya cuma sepelemparan batu, untuk
menitipkan rumah. Sekalian aku mengembalikan wadah miliknya yang sudah dicuci
bersih-bersih.
Di tempat Ibu Edi, di garasinya yang gelap dan pengap, aku
menjahit sampai petang. Selain aku, ada beberapa orang lainnya. Sebagian
laki-laki yang terbiasa menginjak-injak mesin sambil mengepulkan asap dari
mulut tak henti-henti, membikin ruangan tambah terasa sesak. Keluar dari situ
sore-sore, biasanya pundakku nyeri, kepalaku puyeng, dan bajuku beraroma
kretek.
Petang itu segala perasaan suntuk itu tidaklah seberapa
dibandingkan sebiji pepes ikan yang menantiku di rumah. Aku tahu cara Ceu Mimih
memasaknya. Dia pernah mengajariku, dan aku masih ingat rasanya. Wangi bumbunya
saja sudah bikin liur mendesak-desak mulut. Aku sampai lupa untuk mencari
tukang kunci dulu, barangkali masih ada yang buka. Tahu-tahu aku sudah sampai
di jalanan kampungku.
Sebelum ke rumah, aku mampir dulu ke Ceu Mimih untuk
mengucapkan terima kasih. Ceu Mimih mengangguk saja. Dari senyumnya, aku merasa
ada yang janggal. Tapi aku tidak enak mengganggu dia lebih lama. Maka aku
pura-pura tidak menyadarinya, dan segera pamit.
Aku pun masuk ke rumahku. Baru jalan beberapa langkah di
ruang tengah, aku mendengar seperti ada suara sesuatu terjepit—menjerit. Aku
menghampiri ke dapur dan melihat kucingku sedang menunggangi betina.
Cepat-cepat aku mengambil sapu dan memukuli mereka. Lantas
mereka terbirit-birit, sampai menyasar masuk ke kamar dulu baru menemukan pintu
depan yang masih terbuka lebar.
Brengsek! Seenaknya kawin di rumah orang! Dari mana mereka
masuk? Setelah membanting pintu depan keras-keras, aku mengeceki jendela,
merapatkan yang rupanya agak terbuka. Brengsek! Brengseeek!
Sampai lama jantungku terus berdentam-dentam. Memasuki dapur
pun rasanya segan. Aroma bekas percintaan binatang masih menguar dan membikinku
muak. Brengsek!
Aku berusaha tak peduli. Aku lapar. Aku butuh pepes ikanku.
Kutahan-tahan geregetan dan kubuka lemari. Brengseeek…!
Helaian daun pisang dan sisa-sisa tulang ikan terserak di
samping tempat sampah. Aku terduduk dan terisak, dan terkulai.
Beberapa lama yang kuperbuat cuma mengucurkan air dari mata
dan hidung sampai membasahi lantai, merintih bersama cacing-cacing di perutku.
Barangkali tempatku rebah sekarang ini adalah tempat kedua kucing tadi
tunggang-tunggangan, tangisku menjadi-jadi. Rasanya aku ingin meremas-remas
lantai sampai remuk, seperti cacing-cacing itu meremas-remas perutku.
Setelah entah berapa jam barulah aku terdiam. Sambil merasakan
aliran di wajahku mulai kering, dalam kepalaku terbit sesosok lelaki. Lelaki
yang setia, perhatian, dan mampu menafkahi, mengasihi, serta merawatku.
Membayangkan senyumnya saja membikin dadaku hangat. Sejenak aku lupa kenapa aku
mesti menangis sementara aku masih bisa mengkhayalkan keindahan semacam
dirinya.
Tapi entahkah lelaki itu mau dengan perempuan yang tidak
punya kelebihan apa-apa seperti diriku. Kebisaanku cuma menjahit. Itu pun
setelah diajari oleh Ibu Edi dan rekan-rekan di garasinya. Sebelumnya aku tidak
berdaya. Kebisaanku cuma mengasuh kucing.
Sekali lagi aku menggigil akibat sedu-sedan. Cuma kucing yang
sudi tinggal bersamaku. Sejak kecil, ketika aku ditinggal kedua orang tuaku ke
pasar—ke jalanan, temanku cuma kucing. Kucing-kucing kampung yang berkeliaran.
Kucing-kucing kurus yang selalu minta makan. Ada yang suaranya memelas
mengibakan, ada yang suaranya menggertak seperti preman.
Tapi, kucingku yang sekarang lain daripada yang lain. Lain
penampilannya, lain juga tindak-tanduknya. Kucingku kali ini benar-benar bagus,
dulunya. Aku ingat saat-saat awal bertemu dengannya. Tak ada buduk, tak ada
kurap. Rambutnya lebat dan panjang. Matanya bulat, besar, berbinar. Suaranya
manja menggemaskan.
Aku sering memberi dia makan. Bukan cuma nasi campur ikan
asin seperti biasanya. Apa pun yang aku makan, aku bagi dengan dirinya.
Dengan segera kami menjadi akrab. Dia sering mengikutiku ke
mana-mana.
Dia senang mengusap-usapkan tubuhnya ke leherku, hingga ke
kakiku. Aku juga senang mengelus-elusnya, kepalanya, dadanya, ekornya. Aku
rajin memandikan dirinya, dan dia memberikan diriku kehangatan saat malam.
Lalu kami menjadi tak terpisahkan, hidup bersama dan berharap
bahagia selama-lamanya.
Tapi, kucing ya kucing. Lama-kelamaan, dia bosan dengan
dirimu. Lama-kelamaan, dia cuma ingat padamu ketika lapar. Lama-kelamaan, dia
sibuk mencari betina lain. Lama-kelamaan, kejorokannya menebar di mana-mana dan
kamu capek membersihkannya. Lama-kelamaan, kamu ingin membuang dia dan mencari
teman hidup yang lain, yang tidak cuma mementingkan dirinya sendiri, yang tidak
akan membiarkan dirimu kesepian.
Ya …. Barangkali memang sudah saatnya aku mencari lelaki
betulan, bukan lelaki kucing macam dirinya. Lelaki yang dapat diandalkan
sebagai teman seumur hidup. Lelaki yang bertanggung jawab atas diriku, tak akan
membiarkanku banting tulang demi bisa membayar kontrakan, listrik, air, gas,
dan makan ini-itu. Lelaki yang akan menendang kucing itu jauh-jauh dari rumah
ini.
Lantai terasa semakin dingin. Dengan pilu aku beranjak ke
kamar dan rebah lagi di kasur tanpa mengganti baju. Menangis membikinku capek.
Setengah lelap, di kejauhan aku mendengar balada sendu tengah diraungkan seekor
pejantan. Entah betina mana lagi yang dia pikat. Sedihnya, suaranya terasa
merdu. Bagai ninabobo yang menghanyutkanku ke alam kelam tanpa mimpi. Andai itu
dia nyanyikan untukku. Andai aku menjadi satu-satunya betina yang dia buru.
Berhari-hari setelah aku memukuli si kucing dengan sapu, dia
tidak pulang. Selama itu bagai masa berkabung bagiku. Walau sudah lama kami
tidak saling berbagi kehangatan, tapi ritual memberi dia makan dan membersihkan
sisa kejorokannya telah menjadi bagian dari hidupku sehari-hari.
Aku rindu saat-saat dia mengeong padaku seakan ingin mengajakku
mengobrol, dan aku benar-benar menanggapinya. Dia pun menjadi tempatku
meluapkan isi hatiku, keluh-kesahku. Walau dia tak bisa memberikan jawaban, aku
selalu menganggap bahwa dia sesungguhnya mendengarkanku, dan itu saja sudah mengurangi
sedikit beban jiwaku.
Maka ketika akhirnya dia menampakkan diri, ingin memasuki
dapur tapi ragu, aku menyambutnya, menunjukkan bahwa aku sudah tidak marah.
“Sini, mau makan?” tegurku dengan halus. Segera aku mengambil
piring, menyiapkan nasi dan lauk untuknya.
Dia pun berani mendekatiku, tampak menyesal. Dia mengeong
lemah, seakan menyatakan permintaan maaf.
Oh, bagaimana sampai hati aku menolak makhluk yang telah
menemaniku selama ini? Apalagi dia pulang dalam keadaan mengenaskan begitu:
rambut amburadul, kulit koyak-moyak, muka belepotan darah. Selebihnya dia
begitu kumal dan kuyu. Kucing memang begitu. Apalagi dia pejantan. Mungkin akhirnya
dia sadar betapa sulitnya mencari ikan di luar sana, sampai mesti berebut
dengan kucing lain. Makanya dia kembali.
Kumandikan si kucing pelan-pelan dengan air hangat supaya dia
merasa nyaman dan tidak kesakitan. Kuobati luka-lukanya. Setelah tubuhnya bersih,
aku memberi dia makan sekali lagi. Dia makan dengan lahap sementara aku
mengusap-usap bagian tubuhnya yang tidak luka. Malam itu dia tidur dalam
pelukanku.
Tapi, kucing ya kucing. Ketika aku bangun, dia entah ke mana.
Tinggal aku yang bingung mesti makan apa untuk hari itu
hingga beberapa hari ke depan. Semua jatah lauk sudah kuberikan pada si kucing
semalam. Upah menjahit belum turun. Tabunganku sudah terpakai untuk biaya bikin kunci baru,
sebagian lagi kuserahkan pada Ibu kemarin untuk biaya operasi.
Di ruang depan masih ada kaleng berisi beberapa keping
biskuit. Aku menghabiskan itu untuk sarapan, lalu mandi dan berkunjung ke Ibu
Edi.
Melihat parasku, tampaknya dia sudah maklum akan maksud
kedatanganku. Dia melesakkan lipatan uang ke tanganku. Bibirnya tersungging ke
atas tapi bukan senyum. “Suamimu belum kerja lagi?”
Diingatkan pada si gembul buluan, yang kerjanya cuma makan, buang
air, dan berburu betina itu, aku berusaha supaya tak terlihat masam. “Dia cuma
kucing!”[]
201508-03
Tidak ada komentar:
Posting Komentar