1
“Bibe
Natalibera,” gumam Yan, saat melihat huruf-huruf yang tertera di dada kanan
baju seragam Bibe. Bibe menoleh. Yan melebarkan senyumnya, dan Bibe membalas
dengan tak mau kalah. “Kayak nama lagu. Kenapa dinamain Natalibera?”
Sebelumnya
Bibe sudah pernah menceritakan asal-usul nama depannya, bahwa “Bibe” bisa
berarti apa saja, misalnya saja Bisa
Berani. Kata Mama, supaya aku jadi anak yang kreatif, enggak pernah putus asa …
cari sebanyak-banyaknya kepanjangan dari namanya sendiri, kata Bibe waktu
itu, dan Yan terbahak. Namun baru kali ini Yan tergelitik untuk menatap dada
gadis itu, yang untung saja sedang mengenakan seragam sekolah.
“Katanya sih,
dulu aku dikiranya mau lahir pas tujuh belas Agustus, prediksinya gitu. Kata
Mama, ‘natalibera’ itu artinya kira-kira ‘terlahir bebas’, jadi pas aja, gitu,
lahir pas hari kemerdekaan, bebas kan artinya merdeka juga …. Enggak tahunya
meleset. Aku baru lahir besoknya. Delapan belas Agustus. Eh, tapi banyak yang
ngira lo aku lahirnya dua lima Desember, mungkin karena namaku ada ‘natal’-nya.
Ada juga yang ngira aku bintangnya Libra, hehehe ….”
Yan ikut
mesem, sementara ingatannya berhasil menyambung ke masa dua puluhan tahun lalu.
Mula-mula ia menyenandungkannya sambil menggoyangkan kepala perlahan, seakan
dengan begitu bisa melancarkan laju ingatannya, lalu ia mengulang melodi itu
dengan kata-kata … “sono … nata … libera
… e libera … saró ….”
Bibe takjub.
Yan memandangnya dengan alis terangkat. “Gitu lagunya,” dan dada Yan pun mulai
sesak, yang menjalar ke hidung, pipi, dan mata. Selain bagian reffrain, frasa “con te” pada lagu itu selalu membuatnya ingin menitikkan air mata.
“Om tahu.”
“Pasti karena
pernah denger sama mamanya Bibe.”
Bibi
membulatkan mulut. Ia tahu, dulu, Mama dan Om Yan sewaktu SMA sesekali
menghabiskan waktu bersama di paviliun Kakek Burhan, mendengarkan koleksi
piringan hitam milik kakeknya Mama. Bibe tahu karena perkenalannya dengan Om
Yan diawali dengan kedatangan pria itu ke rumah Kakek Burhan saat libur
Lebaran, atas undangan Mama, untuk menjemput koleksi piringan hitam tersebut.
Kakeknya Mama—yang ayahnya Kakek Burhan—berwasiat supaya cucunya itu membagi
koleksi tersebut dengan Om Yan. Namun Om Yan baru mengambilnya pada Lebaran
waktu itu, karena baru belakangan ini ia kembali menetap di Bandung, Indonesia,
setelah lama tinggal di luar negeri sejak lulus SMA, yang kalaupun sementara
itu sesekali pulang ke tanah air namun tak pernah sempat mampir.
“Tapi sebel,
Om. Mama sendiri suka ledekin aku Bibe Natadecoco,” Bibe cemberut.
“Hahahaha ….”
Dari dulu
Mama Bibe memang suka membuat Yan terhibur. Kala itu, sepulang sekolah sewaktu
SMA, di paviliun, Zia asal mencomot album koleksi Kakek, dan memutarnya di
gramofon. Musik yang terdengar awalnya tidak begitu menarik, seperti lagu-lagu
instrumental yang biasa diperdengarkan di supermarket. Yan dan Zia tidak
mengacuhkannya, asyik menggosipkan anak-anak di sekolah sambil bersandar pada
sofa. Lalu tahu-tahu terdengar lagu itu, satu-satunya yang ada penyanyinya.
Mereka terdiam. Seusai lagu itu, Zia bangkit dan menyetelnya lagi, lagi, dan
lagi. Setelah beberapa putaran, Yan bisa menangkap setiap suku kata dalam lirik
lagu itu, menyanyikannya dengan gaya Pavarotti dengan suara dibikin semembahana
mungkin yang berujung batuk-batuk. Zia, yang tak pernah mau tahu nada,
menandingi Yan dengan suara terlalu nyaring, gaya rocker, hingga mencekik tenggorokannya sendiri. Pada akhirnya
mereka cuma menggerak-gerakkan mulut tanpa suara, dengan lagak seolah tengah
berduet dalam konser membawakan lagu itu. “Kamu Pavarotti, aku Cindy Lauper,”
kata Zia waktu itu.
Bibe berhasil
menemukan lagu itu di internet. “Yang ini?”
Yan
mengiyakan. Ia menurunkan lagi volume musik yang sedari sebelumnya pun disetel
pelan saja, kini sama sekali tak terdengar.
Mereka pun
terdiam menyimak lagu yang keluar dari gawai Bibe. Lagu itu usai, dan tidak
lama kemudian mobil berbelok ke pelataran bistro di kawasan Ciumbuleuit.
2
Sepeninggal
Kakek, barang-barang di paviliunnya disewakan karena tempat itu hendak
disewakan. Zia pun mengungsikan barang-barang kesayangan Kakek: gitar, kibor,
buku-buku musik, koleksi piringan hitam, gramofon. Ia mengumpulkan semuanya
berdekatan di gudang rumah utama.
Sebelum
meninggal, dalam kelumpuhan nyaris seluruh anggota badannya, Kakek sempat
menunjuk ke arah barang-barangnya itu, dan berucap, “Yan … Yan …” lalu menunjuk
Zia, berusaha melafalkan nama cucunya itu juga, berganti-ganti dengan Yan.
“Iya, Kek,
nanti aku kasih tahu Dean,” Zia menenangkan kakeknya, berucap sepelan dan
sejelas mungkin hingga terulas senyum di wajah itu, yang tampak menua
berabad-abad dalam rentang beberapa tahun saja.
Hampir semua
cucu Kakek bersekolah di SMA yang sama, dan dari situ mereka mengenal Yan—Dean.
Awalnya Dean datang ke rumah hanya untuk belajar bareng, supaya nilai-nilainya
membaik, lalu ibunya senang dan tidak lagi menahan pianonya dalam kamar yang
terkunci. Lalu entah bagaimana anak itu malah tersasar ke paviliun, dan menjadi
partner Kakek yang hendak mengisi masa pensiun dengan belajar memainkan gitar.
Lama-lama Kakek menganggap Dean seperti cucu sendiri, bahkan hubungannya dengan
anak itu lebih akrab ketimbang dengan yang kandung. Ketika Dean belajar
menyeriusi musik di Amerika dan tidak main-main lagi ke paviliun, mulailah
Kakek kena stroke.
Ketika
mendapat kabar bahwa Dean sedang pulang dan berencana mengunjunginya, Zia
mampir ke gudang tempat menaruh barang-barang Kakek. Zia membuka kardus
berisikan kumpulan album, melihat-lihat gambar sampulnya. Sebagian gambar itu
mempertunjukkan wanita telanjang dan dulunya disembunyikan Kakek di kamar,
tetapi Zia menemukannya juga dan memberi tahu Dean. Selain gambar seronok pada
sampul depan, dipindainya juga daftar komposisi pada sampul belakang. Zia
menyisihkan sebagian yang dikenalnya, menimbang-nimbang apakah hendak
menyimpannya sendiri atau memberikan semuanya saja sekalian pada Dean.
Saat itulah,
mata Zia terantuk pada “Nata Libera” dalam album Piero Piccioni. Mendadak surut
keinginannya untuk terus melihat-melihat. Beberapa album terpilih ia taruh di
bagian atas tumpukan dalam kardus.
Nata libera, nata libera,
diingat-ingatnya terus, nata libera
…. Ia mencari tahu artinya di Google Translate. Mestilah itu bahasa Italia.
Malam itu
juga, saat berkumpul bersama suami dan ibu mertuanya di ruang tengah, Zia
mencetuskan, “Gimana kalau Natalibera?”
Suaminya
mengangkat mata dari buku yang tengah dibaca. Mertuanya berhenti menisik.
“Bibe
Natalibera?” Mata Zia berbinar.
Suaminya
terbahak dan memperbaiki posisi duduk, membatasi halaman yang tadi dibaca
dengan sebatang jari. “Beneran?”
Zia melirik
mertuanya.
“Bibe itu
apa?” kata Ali lagi.
“Tapi enak
kan kedengarannya?” Zia kukuh. “Kayak panggilan sayang, gitu. Kayak orang bule
bilang Baby, kita bilang Bibe.”
Ali meringis.
Tidak mendapat tanggapan dari Zia, ia ikut berpaling pada ibunya, yang
tersenyum saja sambil terus menisik. Percakapan itu pun reda dengan sendirinya.
Ali kembali mengangkat kaki, menyandarkan punggung, dan membaca. Zia kembali
menelusuri nama-nama di internet.
Dalam hening
yang dilatari bebunyian serangga dan amfibi, serta pijar oranye bohlam di
langit-langit, tiba-tiba Ibu bersuara, “Mierelle Mathieu.”
Zia dan Ali
menoleh.
“Siapa, Bu?”
“Iya, kan,
Mierelle Mathieu, nama penyanyinya, ‘Nata Libera’?”
Ali mengulang
nama yang disebut ibunya dalam gumaman tak jelas, lalu menyeletuk pada Zia,
“Itu baru nama.”
Zia hanya
mendelik, lalu berpaling pada mertuanya lagi.
“Lagu lama
kan itu?”
Zia
mengangguk. “Iya, Kakek saya punya albumnya.”
“Oh,” sahut Ibu
Ali, tampak takjub. “Bagus lagunya.”
Zia
mengangguk lagi sambil tersenyum. Matanya berbinar lagi.
Mata Ibu
juga, walau sorotnya tetap teduh. Ibu menoleh pada Ali. “Itu lagu sama
bapakmu.”
“Wah,” ganti
Zia yang takjub, bagi Ali tampak dibuat-buat.
Ali menatap
ibunya dengan rikuh.
“Dulu aku
hafal liriknya.” Ibu melirik sekilas potret Bapak pada dinding di belakang Ali.
Ia menoleh lagi pada Zia. “Tahu?”
Zia
menggeleng. “Belum sempat cari liriknya.”
“Ah,” sahut
Ibu, dan mengangkat lagi jahitannya.
Ketika
percakapan terasa akan padam lagi, tahu-tahu Ibu berucap, “Itu tentang
kebebasan. Tutto il mondo ē casa mia. Seluruh dunia adalah rumahku.” Ibu menatap
kedua anak yang memandangnya. “Cerita di lagu itu. Kesadaran bahwa sejatinya
dia manusia bebas, dan dengan kebebasan itu dia pilih ikut kekasihnya. Sedih
senang, sama-sama. Kekasihnya mau ke mana pun, dia turut. Semua tempat sama
saja, asalkan sama-sama kekasihnya. Kalau orang Jawa bilang, surga nunut, neraka katut.”
3
Senyum Ibu
pada malam itu, yang bukan saja di bibir melainkan mencakup sorot matanya,
sinar mukanya, masih lekat di memori. Itu salah satu peristiwa luar biasa dalam
hidup Ali, sebab Ibu tidak sering menampakkan emosi—apalagi jika menyangkut
Bapak. Apalagi, bertahun-tahun kemudian, setelah Ibu meninggal, ia menemukan
surat-surat dari Bapak dalam kotak di bawah lemari, yang tampaknya tidak pernah
dibalas (menurut isi kiriman terakhir), yang tadinya ingin dibakarnya saja
tetapi dikandaskan pikiran bahwa mungkin saja suatu saat ia akan berburu
bajingan kunyuk itu ke alamat yang tertera, walau entah untuk apa.
Agaknya
sewaktu ia sudah SMP ketika, untuk kesekian kali, menanyakan Bapak pada Ibu—“Bapak
…” begitu saja ucapnya, tertahan, sebab tanpa dilanjutkan pun Ibu sudah
tahu—dan Ibu cuma menjawab, “Bapak sudah bebas. Biarkan saja.” Sesaat Ali
mengira bapaknya memang tewas, dihajar “oknum-oknum”. Tetapi, beberapa waktu
kemudian disadarinya bahwa jawaban itu masih samar.
Baru ketika
faktanya menjadi terang, ia pun memahami yang dimaksud ibunya dengan “bebas”.
Kadang
terpikir olehnya bahwa ia memiliki saudara lainnya
nun jauh di sana. Pernah ia ditugaskan meliput ke suatu tempat di negara itu,
dan tanpa dikehendakinya, timbul tenggelam harapan bertemu secara tidak sengaja
orang yang serupa dirinya, barangkali memiliki matanya, rambutnya, hidungnya,
bibirnya, dagunya—apa pun yang menurut orang-orang diwarisinya dari Bapak— yang
sama-sama memiliki wajah itu, bahkan, jika mungkin, wajah itu sendiri yang tahu-tahu hadir di hadapannya. Apa yang
bakal ia perbuat? Memeluknya? Menonjoknya? Mengabaikannya? Tetapi, selalu, pada
akhirnya, itu menjadi sekadar angan yang dipendamnya lagi dalam-dalam.
Suara cangkir
beradu meja membuyarkan lamunan Ali. Dilihatnya Zia sudah membuatkan minuman
baru.
“Tadi
kubilang kopi,” geramnya.
“Inget
jantung,” sahut Zia, kalem.
Ia pun
kembali memandang jendela.
“Duduklah …”
tegur Zia.
Ali beranjak,
dan, baru beberapa langkah, terhenti.
“Kau enggak
cemas?”
“Kenapa?”
“Si Bibe
masih keluyuran malam-malam gini sama lelaki seumuran kau, bujang karatan itu.”
Zia termenung
sesaat, dan kembali berlagak cuek. Diucapkannya dengan sepelan dan setenang
mungkin, “Yan tuh udah kayak keluarga sendiri. Ke Bibe juga nganggep anak
sendiri. Papa sendiri yang enggak pernah mau kalau diajak.”
“Tahu apa dia
soal ngurus anak?” hantam Ali. “Kau enggak bisa sering-sering kasih anak
kesenangan kayak gitu. Bawa dia jalan ke mana pun mau. Enggak ada
habis-habisnya kalau dituruti, anak itu.”
Zia
memalingkan muka.
Terus saja suaminya
mencecar,“Kapan kita bisa sepaham, ha? Kau kasih dia kebebasan, tapi siapa yang
jamin supaya jadinya enggak keterlaluan?”[]