Kamis, 24 Maret 2016

Bibe Natalibera

1

“Bibe Natalibera,” gumam Yan, saat melihat huruf-huruf yang tertera di dada kanan baju seragam Bibe. Bibe menoleh. Yan melebarkan senyumnya, dan Bibe membalas dengan tak mau kalah. “Kayak nama lagu. Kenapa dinamain Natalibera?”

Sebelumnya Bibe sudah pernah menceritakan asal-usul nama depannya, bahwa “Bibe” bisa berarti apa saja, misalnya saja Bisa Berani. Kata Mama, supaya aku jadi anak yang kreatif, enggak pernah putus asa … cari sebanyak-banyaknya kepanjangan dari namanya sendiri, kata Bibe waktu itu, dan Yan terbahak. Namun baru kali ini Yan tergelitik untuk menatap dada gadis itu, yang untung saja sedang mengenakan seragam sekolah.

“Katanya sih, dulu aku dikiranya mau lahir pas tujuh belas Agustus, prediksinya gitu. Kata Mama, ‘natalibera’ itu artinya kira-kira ‘terlahir bebas’, jadi pas aja, gitu, lahir pas hari kemerdekaan, bebas kan artinya merdeka juga …. Enggak tahunya meleset. Aku baru lahir besoknya. Delapan belas Agustus. Eh, tapi banyak yang ngira lo aku lahirnya dua lima Desember, mungkin karena namaku ada ‘natal’-nya. Ada juga yang ngira aku bintangnya Libra, hehehe ….”

Yan ikut mesem, sementara ingatannya berhasil menyambung ke masa dua puluhan tahun lalu. Mula-mula ia menyenandungkannya sambil menggoyangkan kepala perlahan, seakan dengan begitu bisa melancarkan laju ingatannya, lalu ia mengulang melodi itu dengan kata-kata … “sono … nata … libera … e libera … saró ….”

Bibe takjub. Yan memandangnya dengan alis terangkat. “Gitu lagunya,” dan dada Yan pun mulai sesak, yang menjalar ke hidung, pipi, dan mata. Selain bagian reffrain, frasa “con te” pada lagu itu selalu membuatnya ingin menitikkan air mata.

“Om tahu.”

“Pasti karena pernah denger sama mamanya Bibe.”

Bibi membulatkan mulut. Ia tahu, dulu, Mama dan Om Yan sewaktu SMA sesekali menghabiskan waktu bersama di paviliun Kakek Burhan, mendengarkan koleksi piringan hitam milik kakeknya Mama. Bibe tahu karena perkenalannya dengan Om Yan diawali dengan kedatangan pria itu ke rumah Kakek Burhan saat libur Lebaran, atas undangan Mama, untuk menjemput koleksi piringan hitam tersebut. Kakeknya Mama—yang ayahnya Kakek Burhan—berwasiat supaya cucunya itu membagi koleksi tersebut dengan Om Yan. Namun Om Yan baru mengambilnya pada Lebaran waktu itu, karena baru belakangan ini ia kembali menetap di Bandung, Indonesia, setelah lama tinggal di luar negeri sejak lulus SMA, yang kalaupun sementara itu sesekali pulang ke tanah air namun tak pernah sempat mampir.

“Tapi sebel, Om. Mama sendiri suka ledekin aku Bibe Natadecoco,” Bibe cemberut.

“Hahahaha ….”

Dari dulu Mama Bibe memang suka membuat Yan terhibur. Kala itu, sepulang sekolah sewaktu SMA, di paviliun, Zia asal mencomot album koleksi Kakek, dan memutarnya di gramofon. Musik yang terdengar awalnya tidak begitu menarik, seperti lagu-lagu instrumental yang biasa diperdengarkan di supermarket. Yan dan Zia tidak mengacuhkannya, asyik menggosipkan anak-anak di sekolah sambil bersandar pada sofa. Lalu tahu-tahu terdengar lagu itu, satu-satunya yang ada penyanyinya. Mereka terdiam. Seusai lagu itu, Zia bangkit dan menyetelnya lagi, lagi, dan lagi. Setelah beberapa putaran, Yan bisa menangkap setiap suku kata dalam lirik lagu itu, menyanyikannya dengan gaya Pavarotti dengan suara dibikin semembahana mungkin yang berujung batuk-batuk. Zia, yang tak pernah mau tahu nada, menandingi Yan dengan suara terlalu nyaring, gaya rocker, hingga mencekik tenggorokannya sendiri. Pada akhirnya mereka cuma menggerak-gerakkan mulut tanpa suara, dengan lagak seolah tengah berduet dalam konser membawakan lagu itu. “Kamu Pavarotti, aku Cindy Lauper,” kata Zia waktu itu.

Bibe berhasil menemukan lagu itu di internet. “Yang ini?”

Yan mengiyakan. Ia menurunkan lagi volume musik yang sedari sebelumnya pun disetel pelan saja, kini sama sekali tak terdengar.

Mereka pun terdiam menyimak lagu yang keluar dari gawai Bibe. Lagu itu usai, dan tidak lama kemudian mobil berbelok ke pelataran bistro di kawasan Ciumbuleuit.

2

Sepeninggal Kakek, barang-barang di paviliunnya disewakan karena tempat itu hendak disewakan. Zia pun mengungsikan barang-barang kesayangan Kakek: gitar, kibor, buku-buku musik, koleksi piringan hitam, gramofon. Ia mengumpulkan semuanya berdekatan di gudang rumah utama.

Sebelum meninggal, dalam kelumpuhan nyaris seluruh anggota badannya, Kakek sempat menunjuk ke arah barang-barangnya itu, dan berucap, “Yan … Yan …” lalu menunjuk Zia, berusaha melafalkan nama cucunya itu juga, berganti-ganti dengan Yan.

“Iya, Kek, nanti aku kasih tahu Dean,” Zia menenangkan kakeknya, berucap sepelan dan sejelas mungkin hingga terulas senyum di wajah itu, yang tampak menua berabad-abad dalam rentang beberapa tahun saja.

Hampir semua cucu Kakek bersekolah di SMA yang sama, dan dari situ mereka mengenal Yan—Dean. Awalnya Dean datang ke rumah hanya untuk belajar bareng, supaya nilai-nilainya membaik, lalu ibunya senang dan tidak lagi menahan pianonya dalam kamar yang terkunci. Lalu entah bagaimana anak itu malah tersasar ke paviliun, dan menjadi partner Kakek yang hendak mengisi masa pensiun dengan belajar memainkan gitar. Lama-lama Kakek menganggap Dean seperti cucu sendiri, bahkan hubungannya dengan anak itu lebih akrab ketimbang dengan yang kandung. Ketika Dean belajar menyeriusi musik di Amerika dan tidak main-main lagi ke paviliun, mulailah Kakek kena stroke.

Ketika mendapat kabar bahwa Dean sedang pulang dan berencana mengunjunginya, Zia mampir ke gudang tempat menaruh barang-barang Kakek. Zia membuka kardus berisikan kumpulan album, melihat-lihat gambar sampulnya. Sebagian gambar itu mempertunjukkan wanita telanjang dan dulunya disembunyikan Kakek di kamar, tetapi Zia menemukannya juga dan memberi tahu Dean. Selain gambar seronok pada sampul depan, dipindainya juga daftar komposisi pada sampul belakang. Zia menyisihkan sebagian yang dikenalnya, menimbang-nimbang apakah hendak menyimpannya sendiri atau memberikan semuanya saja sekalian pada Dean.

Saat itulah, mata Zia terantuk pada “Nata Libera” dalam album Piero Piccioni. Mendadak surut keinginannya untuk terus melihat-melihat. Beberapa album terpilih ia taruh di bagian atas tumpukan dalam kardus.

Nata libera, nata libera, diingat-ingatnya terus, nata libera …. Ia mencari tahu artinya di Google Translate. Mestilah itu bahasa Italia.

Malam itu juga, saat berkumpul bersama suami dan ibu mertuanya di ruang tengah, Zia mencetuskan, “Gimana kalau Natalibera?”

Suaminya mengangkat mata dari buku yang tengah dibaca. Mertuanya berhenti menisik.

“Bibe Natalibera?” Mata Zia berbinar.

Suaminya terbahak dan memperbaiki posisi duduk, membatasi halaman yang tadi dibaca dengan sebatang jari. “Beneran?”

Zia melirik mertuanya.

“Bibe itu apa?” kata Ali lagi.

“Tapi enak kan kedengarannya?” Zia kukuh. “Kayak panggilan sayang, gitu. Kayak orang bule bilang Baby, kita bilang Bibe.”

Ali meringis. Tidak mendapat tanggapan dari Zia, ia ikut berpaling pada ibunya, yang tersenyum saja sambil terus menisik. Percakapan itu pun reda dengan sendirinya. Ali kembali mengangkat kaki, menyandarkan punggung, dan membaca. Zia kembali menelusuri nama-nama di internet.

Dalam hening yang dilatari bebunyian serangga dan amfibi, serta pijar oranye bohlam di langit-langit, tiba-tiba Ibu bersuara, “Mierelle Mathieu.”

Zia dan Ali menoleh.

“Siapa, Bu?”

“Iya, kan, Mierelle Mathieu, nama penyanyinya, ‘Nata Libera’?”

Ali mengulang nama yang disebut ibunya dalam gumaman tak jelas, lalu menyeletuk pada Zia, “Itu baru nama.”

Zia hanya mendelik, lalu berpaling pada mertuanya lagi.

“Lagu lama kan itu?”

Zia mengangguk. “Iya, Kakek saya punya albumnya.”

“Oh,” sahut Ibu Ali, tampak takjub. “Bagus lagunya.”

Zia mengangguk lagi sambil tersenyum. Matanya berbinar lagi.

Mata Ibu juga, walau sorotnya tetap teduh. Ibu menoleh pada Ali. “Itu lagu sama bapakmu.”

“Wah,” ganti Zia yang takjub, bagi Ali tampak dibuat-buat.

Ali menatap ibunya dengan rikuh.

“Dulu aku hafal liriknya.” Ibu melirik sekilas potret Bapak pada dinding di belakang Ali. Ia menoleh lagi pada Zia. “Tahu?”

Zia menggeleng. “Belum sempat cari liriknya.”

“Ah,” sahut Ibu, dan mengangkat lagi jahitannya.

Ketika percakapan terasa akan padam lagi, tahu-tahu Ibu berucap, “Itu tentang kebebasan. Tutto il mondo ē casa mia. Seluruh dunia adalah rumahku.” Ibu menatap kedua anak yang memandangnya. “Cerita di lagu itu. Kesadaran bahwa sejatinya dia manusia bebas, dan dengan kebebasan itu dia pilih ikut kekasihnya. Sedih senang, sama-sama. Kekasihnya mau ke mana pun, dia turut. Semua tempat sama saja, asalkan sama-sama kekasihnya. Kalau orang Jawa bilang, surga nunut, neraka katut.”

3

Senyum Ibu pada malam itu, yang bukan saja di bibir melainkan mencakup sorot matanya, sinar mukanya, masih lekat di memori. Itu salah satu peristiwa luar biasa dalam hidup Ali, sebab Ibu tidak sering menampakkan emosi—apalagi jika menyangkut Bapak. Apalagi, bertahun-tahun kemudian, setelah Ibu meninggal, ia menemukan surat-surat dari Bapak dalam kotak di bawah lemari, yang tampaknya tidak pernah dibalas (menurut isi kiriman terakhir), yang tadinya ingin dibakarnya saja tetapi dikandaskan pikiran bahwa mungkin saja suatu saat ia akan berburu bajingan kunyuk itu ke alamat yang tertera, walau entah untuk apa.

Agaknya sewaktu ia sudah SMP ketika, untuk kesekian kali, menanyakan Bapak pada Ibu—“Bapak …” begitu saja ucapnya, tertahan, sebab tanpa dilanjutkan pun Ibu sudah tahu—dan Ibu cuma menjawab, “Bapak sudah bebas. Biarkan saja.” Sesaat Ali mengira bapaknya memang tewas, dihajar “oknum-oknum”. Tetapi, beberapa waktu kemudian disadarinya bahwa jawaban itu masih samar.

Baru ketika faktanya menjadi terang, ia pun memahami yang dimaksud ibunya dengan “bebas”.

Kadang terpikir olehnya bahwa ia memiliki saudara lainnya nun jauh di sana. Pernah ia ditugaskan meliput ke suatu tempat di negara itu, dan tanpa dikehendakinya, timbul tenggelam harapan bertemu secara tidak sengaja orang yang serupa dirinya, barangkali memiliki matanya, rambutnya, hidungnya, bibirnya, dagunya—apa pun yang menurut orang-orang diwarisinya dari Bapak— yang sama-sama memiliki wajah itu, bahkan, jika mungkin, wajah itu sendiri yang tahu-tahu hadir di hadapannya. Apa yang bakal ia perbuat? Memeluknya? Menonjoknya? Mengabaikannya? Tetapi, selalu, pada akhirnya, itu menjadi sekadar angan yang dipendamnya lagi dalam-dalam.

Suara cangkir beradu meja membuyarkan lamunan Ali. Dilihatnya Zia sudah membuatkan minuman baru.

“Tadi kubilang kopi,” geramnya.

“Inget jantung,” sahut Zia, kalem.

Ia pun kembali memandang jendela.

“Duduklah …” tegur Zia.

Ali beranjak, dan, baru beberapa langkah, terhenti.

“Kau enggak cemas?”

“Kenapa?”

“Si Bibe masih keluyuran malam-malam gini sama lelaki seumuran kau, bujang karatan itu.”

Zia termenung sesaat, dan kembali berlagak cuek. Diucapkannya dengan sepelan dan setenang mungkin, “Yan tuh udah kayak keluarga sendiri. Ke Bibe juga nganggep anak sendiri. Papa sendiri yang enggak pernah mau kalau diajak.”

“Tahu apa dia soal ngurus anak?” hantam Ali. “Kau enggak bisa sering-sering kasih anak kesenangan kayak gitu. Bawa dia jalan ke mana pun mau. Enggak ada habis-habisnya kalau dituruti, anak itu.”

Zia memalingkan muka.

Terus saja suaminya mencecar,“Kapan kita bisa sepaham, ha? Kau kasih dia kebebasan, tapi siapa yang jamin supaya jadinya enggak keterlaluan?”[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain