Minggu, 29 Mei 2016

Hidupku dulu tak begini. Tapi semua berubah sejak air bersih berhenti mengalir. Pompanya rusak dan Ayah belum ada kesempatan—entah waktu, entah uang—untuk memperbaiki. Kalaupun ada air yang lain, yang diperoleh dengan jet pump, tercium bau logam dan warnanya agak kekuningan. Maka untuk keperluan masak, minum, sikat gigi, dan sebagainya, kami harus membeli, baik dari mobil yang lewat maupun dalam kemasan plastik di toko.

Aliran air dari jet pump kadang mandek. Pada saat seperti itu kami mandi hanya dengan segayung air—kadang kurang dari itu—dan waslap. Kalau hendak buang kotoran, tidak cukup air untuk menggelontornya. Akhirnya, ibuku memutuskan untuk menjatah setiap penggunaan air. Botol kemasan berbagai ukuran itu diisinya dengan air penuh-penuh. Tutup botol dilubanginya kecil-kecil. Kata Ibu, supaya irit, keluarkan airnya melalui lubang-lubang kecil itu.

Ibu menyerahkan padaku botol ukuran 2 L, “Ini untuk sekali mandi,” dan botol ukuran 600 ml, “Ini untuk cebok.”

“Ngeguyurnya gimana, Bu?” tanyaku sambil melirik kamar mandi yang kering kerontang sekaligus menguarkan bau.

Ibuku malah menyodorkan sekop dan menoleh ke tanah kosong di belakang rumah. “Cari semak-semak.”

*

Ibu menyuruh kami mandi sambil memijak baskom besar supaya airnya tertampung. Air bekas mandi hendak digunakan lagi untuk mencuci kendaraan.

Saat-saat pertama menggunakan botol berlubang untuk mandi rasanya nelangsa. Sampai kapan harus kujalani derita ini?  Jika ada waktu luang, Ayah berusaha memperbaiki sendiri pompa itu, yang selalu berujung dengan suasana hatinya memburuk. Tidak tentu jawabnya. Bagaikan gerak serpihan hijau atau hitam yang melayang-layang dalam air di botol. Sering kali airnya keburu habis sebelum semua bagian tubuh yang bersabun terbasuh. Kadang aku keluar dari kamar mandi dengan sebelah lengan masih licin, atau rambut berbusa. Kuambil waslap lalu kucelupkan ke air bekas mandi di baskom untuk mengelap bagian-bagian yang belum terbilas.

Setidaknya, mandi dengan cara begitu terasa lebih menyegarkan ketimbang sepenuhnya dengan waslap. Untuk melipur hati, kukhayalkan mandi di bawah shower seperti orang bule. Hanya saja shower yang ini mesti dipegang tangan sendiri dan beratnya lumayan. Lama-lama, aku pun terbiasa. Malah, aku bisa menyisakan air dalam botol.

Adakalanya saat hujan, khususnya jika bukan malam-malam, kami sekeluarga keluar, membawa sampo, sabun, sikat gigi, dan odol.

“Puas-puasin, Nak!” kata orang tuaku.

Shower raksasa!” ujarku.

*

Di belakang rumah kami terdapat tanah kosong. Tanah itu terapit oleh deretan rumah di keempat sisinya. Dulunya tanah itu merupakan semacam jalur di antara dua deretan rumah yang saling membelakangi. Orang dapat keluar-masuk dari ujung satu ke ujung lainnya. Karena populasi makin padat, orang pun membangun rumah di kedua sisi yang tadinya merupakan jalan keluar-masuk. Jalur itu pun tidak bisa dilalui lagi dan terbengkalai. Semak liar bertumbuhan, makin lama makin rimbun. Para pemukim di sekitar situ tidak tertarik memanfaatkannya untuk apa pun, jangankan menginjaknya. Rata-rata pemukim membangun pagar tinggi yang membatasi halaman rumah mereka dengan tanah itu, sehingga keduanya bagaikan dunia yang berlainan. Rumah kami termasuk yang tidak berpagar. Kata Ayah, bikin pagar itu mahal. Pernah, ketika bermain-main di seputar areal itu, aku mendapati rumah besar dengan pagar tinggi dan pekarangan luas. Dari sela-sela pagar, kulihat di pekarangan itu ada patung burung yang tampak menarik. Tapi itu cerita lain.

Di tanah kosong itulah aku belajar menggali dan menimbun tanah. “Gali yang dalam, tutup yang rapat. Jangan sampai baunya kecium,” pesan Ibu selalu. Tak jemu-jemunya pula Ibu mengisikan air di botol-botol untuk kami: Ayah, aku, adikku, dan ia sendiri.

Segala perbekalan yang diperlukan untuk buang hajat dimasukkan dalam keresek. Selain sekop dan botol 600 ml yang terisi penuh oleh air, kami membawa: segenggam sabun, untuk cebok yang lebih bersih; sabit, jikalau semak terlalu tebal untuk ditembus; senter, saat langit sudah gelap; jas hujan, kalau turun air dari langit; dan, sejak Ayah bertemu ular, tabung garam. Kejadian bertemu ular juga pernah kualami. Ular itu tahu-tahu menclok di hadapanku ketika aku sedang berkonsentrasi mengejan. Kotoran yang sudah separuh keluar terpaksa kurelakan masuk kembali, demi mencomot tabung garam di sisi dan menyemburkan isinya pada ular yang lantas lari terbirit-birit.

Suatu kali Ibu menginjak kotoran entah siapa di tanah kosong itu. Selain mewanti-wanti supaya menggali-tutup lubang dengan benar, Ibu mencanangkan ketentuan baru. Kami harus menandai titik tempat habis buang hajat. Ibu membuat bendera kecil-kecil dari tusuk sate dan mika. Tiap kali hendak menembus semak, kami mesti menulis tanggal pada mika dengan spidol lalu membawanya serta. Ibu akan mengomel jika kami lupa.

*

Tidak terasa waktu berlalu. Kami telah begitu terbiasa dengan minimnya air dan buang hajat di balik semak. Persoalan pompa seakan tenggelam dalam-dalam ke alam bawah sadar; tak pernah lagi muncul pada percakapan makan malam, namun sesekali timbul dalam lelapnya angan. Mimpiku kadang berupa limpahan air jernih yang membanjur tubuhku dari segala arah. Tanah kosong di belakang rumah seluruhnya berubah jadi kolam renang. Para tetangga tetap tak tertarik menggunakannya. Hanya aku, adikku, ayahku, dan ibuku yang menikmati bercebar-cebur dalam beningnya air yang terhampar luas.

Entah sejak kapan tahu-tahu muncul tumbuhan pepaya, mangga, pisang, jambu, alpukat, singkong, aren, cabai, mentimun, tomat, dan sebagainya di tanah kosong itu, terutama di sekitar belakang rumah kami. Selain itu, entah dari mana Ayah membawa pulang ayam-ayam dan melepasnya di situ. Kadang, sehabis dari buang hajat, Ayah atau Ibu membawa serta sebongkah pepaya, daun-daun singkong, berbutir-butir cabai …. Siang-siang saat hari libur, aku dan adikku menggelar tikar di teras belakang, Ayah memotong ayam, Ibu menyiapkan sambal, lalap, dan nasi dari padi-padian liar yang ternyata tumbuh juga di tanah kosong itu.

“Nikmatnya makan dari hasil jerih payah sendiri,” desah Ayah sambil mengunyah makanan dengan lahap.

Aku mengangguk-angguk dengan mulut penuh, teringat saat-saat ketika sembelit.

Perjalanan untuk buang hajat pun menjadi sangat kunikmati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain