Kamis, 16 Juni 2016

Balasan

Katanya Ali lagi pedekate sama aku. Aku senang-senang saja sama dia. Wajahnya ma­nis. Pakai ka­camata. Rambutnya lurus lebat kayak cowok di iklan sampo. Yang paling penting, ku­litnya lebih gelap daripada aku, hihihi. Terus, dia suka banget ngomongin buku. Aku sering enggak mengerti sama obrolan dia, tapi aku mendengarkan saja. Kan keren cowok suka buku. Ta­pi dia pemalu banget. Kalau dia bicara, pasti sam­bil menunduk-nunduk, jarang melihat mataku. Teman-teman bilang aku mesti lebih aktif sama dia. Jadi aku mengajaknya main ke rumahku.

Belum jam tujuh malam, Ali sudah datang. Ada Reza, teman se­ke­las­ku juga. Enggak tahu kenapa, Ali tampak lebih grogi daripada biasanya. Reza sih gayanya cuek. Setelah beberapa lama ka­mi bertiga diam-diaman, akhirnya Reza yang bicara. Ternyata dia asyik dan rada gila. Kalau mengobrol sa­ma Ali, enggak pernah aku tertawa sesering ini. Kadang Reza menegur Ali supaya ikut bicara. Ali cuma mengangguk-angguk sambil tersenyum-senyum. Kami lanjut lagi deh meng­o­brol­nya berdua. Tahu-tahu sudah jam sembilan malam. Mereka pun pamit pulang.

Besok-besoknya di sekolah aku pengin banget ada kesempatan buat mengobrol sama Reza lagi. Tapi dia berkumpul sama teman-teman cowoknya melulu. Aku merasa enggak enak kalau ti­ba-tiba mendekati dia. Apalagi kalau teman-teman cewekku melihat lalu bikin gosip yang eng­gak-enggak kayak sewaktu aku dengan Ali. Jadi aku cuma bisa mencuri pandang ke Reza dari ja­uh. Aku senang sekali kalau enggak sengaja bisa berdekatan dengan Reza, misalnya sewaktu lagi ker­ja kelompok di kelas, dan dia tersenyum padaku. Ternyata dia enak juga dilihat.

Sudah berminggu-minggu sejak Reza main ke rumahku, tapi belum ada kesempatan buat meng­obrol asyik sama dia. Paling-paling kami cuma saling tegur kalau berpapasan. Apa aku meng­ajaknya ke rumahku saja, ya? Tapi aku enggak mau dia bawa teman, kalau akhirnya cuma ja­di obat nyamuk. Lagian di rumahku kan enggak ada nyamuknya! Tapi masak sih aku melarang dia bawa teman? Kesannya ngebet banget pengin berduaan. Gengsi!

Suatu malam, ketika lagi mengerjakan PR, aku mendengar suara di depan pagar rumahku. Aku melongok ke jendela dan hampir enggak percaya penglihatanku. Cowok itu sedang memasukkan sesuatu ke kotak surat. “Reza!” Dia terkesiap dan men­dongak. Aku buru-buru keluar dari kamar. “Kamu ngapain di sini?” te­gur­ku setelah membuka pagar.

“Ah, kebetulan lewat aja kok.” Dia mengusap-usap belakang kepalanya dengan kikuk.

“Tadi kamu masukin apa?” tanyaku sambil membuka kotak surat.

“Ah, bukan apa-apa, cuma—“

Selembar surat! Aku membuka amplopnya dan membaca isinya. Pipiku memanas. Aku mem­baca surat itu berkali-kali dengan cepat tapi cermat. “Ini … beneran enggak sih?”

“Beneran sih.”

“Reza …!” Panas di pipiku sudah me­rem­bet ke mata.

“Seb—sebenarnya itu ….” Dia makin salah tingkah, tapi menurutku itu cute banget.

“Aku mau!” kataku. “Aku mau jadi pacar kamu!”

Dia malah terperangah. Beberapa lama dia cuma diam.

“Kenapa?” tanyaku. Debaran di dadaku sudah mereda. Entah kenapa ada yang aneh.

Dia menggaruk-garuk kepala, tampak kebingungan. “Suratnya enggak dikasih nama, ya?”

Ganti aku yang terperangah. “Ini bukan surat dari kamu?” kataku pelan.

Ketika dia menjawab, “Bukan,” aku ingin menangis. Kuharap dia mengatakan sebetulnya dia juga suka padaku, mau ber­pa­car­an denganku, seperti dalam cerita yang kubaca di majalah.

“Sebenarnya aku juga suka sama kamu ...” ujarnya, setelah beberapa lama tampak kebingung­an mencari kata. “Kamu asyik, cantik, keren …” ya ampun, aku sudah hampir melonjak ke langit lagi, “tapi ….” Aku benar-benar menangis setelah Reza mengungkapkan alasannya. Ketika Reza pamit, aku memintanya untuk memberi tahu siapa yang menulis surat itu.

Setelah pertemuan itu, hubunganku dengan Reza jadi canggung. Dia enggak ma­in-main de­ngan perkataannya waktu itu. Pantas aku lihat dia memang jarang berdekatan dengan ce­wek. Aku pun berusaha buat ber­hen­ti me­mi­kir­kan Reza, berharap tahun ajaran ini cepat selesai dan setelah itu enggak se­ke­las lagi dengannya.

Hingga suatu hari Ali mendekatiku lagi. Aku malah lupa dia pernah pedekate sama aku! Ke­palaku benar-benar penuh oleh Reza belakangan ini. Kayaknya kali ini Ali serius. Sa­at jam istirahat, dia mengajakku ke tempat yang rada sepi di sekolah lalu menyatakan pe­ra­sa­an­nya.

Aku cuma bisa tersenyum seperti Reza waktu itu, dan mengungkapkan alasan yang sama, “… tapi orang tuaku bilang sebaiknya aku fokus dulu sama pelajaran. Maaf, ya ….”***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain