Sabtu, 31 Desember 2016

Bolos


Belakangan ini sosok itu muncul lagi dalam kepalaku. Ada laki-laki yang jauh lebih besar daripadaku berdiri di balik pagar TK, tersenyum memandangi kami, anak-anak yang sedang memegang pundak satu sama lain beriring-iringan. Sosok itu nantinya lebih daripada sekadar pengamat kami. Ia memainkan lagu dengan kibor mini di kelas dan kami berjoget-joget asal mengikuti iramanya yang riang. Kami berebut naik ayunan yang dengan senang hati ia ayun-ayunkan supaya kami merasakan sensasi terbang tinggi. Ia menangkap kami, menggendong kami, mendekap dengan gemas. Hingga ibu guru mendekatinya, mengatakan sesuatu, dan dengan sedih kami melambaikan tangan padanya. Di belakang, ibu guru bilang, “Kakaknya mau sekolah dulu.”

Kini, setelah aku besar, mengenakan rok abu-abu, dan terkurung oleh tembok kelas serta suara guru menerangkan pelajaran yang sampai kapan pun tidak akan pernah bisa kumengerti, aku mulai mencerna keadaan yang sebenarnya waktu itu. Kakak itu mengenakan celana panjang abu-abu, kemeja putih, dan ransel, persis benar dengan cowok-cowok SMA mana pun di Indonesia. Selain itu, dulu aku masuk TK dari Senin sampai Jumat, pukul delapan sampai sebelas, sedang sekarang, di SMA, aku masuk dari Senin sampai Jumat, pukul tujuh sampai tiga. Baru kusadari, kakak itu sedang membolos.

Kupikir-pikir lagi, aneh juga, ada anak SMA suka mengamati anak-anak TK berkeliaran, dan pada akhirnya berhasil mendekati kami pula. Jangan-jangan dia punya ketertarikan khusus. Jangan-jangan dia sebangsa pedobear! Aku senang, lagi, sama dia waktu itu dan rasa-rasanya dia pernah mengesun pipiku. Hiii ...!

Tetapi, entahkah dia memang mesum atau bukan, aku bisa mengerti sebabnya dia membolos, jika ternyata sama seperti yang kurasakan kini. Lebih asyik kembali ke TK, atau setidaknya bermain bersama anak TK, ketimbang membiarkan diri dirundung soal-soal yang memusingkan. Sayang sekali ibu guru harus memisahkan dia dari kami waktu itu.

Semakin hari, semakin jauh pikiranku tentang kakak itu. Seperti apa dia sekarang? Di mana dia sekarang? Bagaimanakah wajahnya sebetulnya, karena aku lupa, ganteng atau tidak, yang kuingat cuma dia itu kurus dan putih, senyumnya selebar bibir Joker, dan tawanya serenyah kerupuk puli. Kok berani, ya, dia membolos? Berani membolos dan berbuat yang dia suka. Jika dia suka bermain bersama anak TK, apa yang mau kuperbuat jika aku yang membolos? Aku belum tahu. Tetapi, suatu hari kuputuskan untuk membolos sekolah.

Untung sehari-hari aku tidak diantar orang tuaku ke sekolah. Pagi itu aku sengaja naik angkot yang lain, berhenti di masjid pinggir jalan yang sepi, masuk ke kamar mandinya, dan mengganti baju seragamku dengan baju lain yang kubawa dari rumah. Masih belum tahu mau ke mana, begitu keluar dari pelataran masjid aku asal saja mengambil jalan, yang penting tidak mendekati daerah sekolahku. Aku menyusuri jalan raya, masuk ke gang-gang dengan perasaan waswas takut tersesat sekaligus berdebar penasaran, tertantang memecahkan arah untuk kembali ke jalan raya. Sesekali kuhirup udara yang masih sejuk dalam-dalam, hawa kebebasan. Kuamati ibu-ibu di pinggir jalan sedang berbelanja, mengobrol, sambil mengawasi anak-anak berkeliaran.

Setelah beberapa jam berjalan tanpa henti, matahari mulai tinggi, udara semakin hangat, dan aku berkeringat. Aku membeli minuman dingin di pinggir jalan, lalu duduk di tembok yang menjorok dari bawah pagar sebuah perkantoran. Setelah beberapa teguk, aku kembali memikirkan si kakak dari masa TK-ku. Apa dia juga awalnya tidak tahu mau ke mana, berkeluyuran tanpa arah, hingga melewati TK-ku, dan tertarik? Apa setelah ibu guru “mengusir”nya, dia benar-benar kembali ke sekolahnya, atau malah mencari tempat tujuan yang lain? Apa yang dia lakukan sekarang?

Lamunanku pecah ketika ada yang duduk tidak jauh dari tempatku. Ia mas-mas berbaju safari, beremblem pemerintah kota, dan merokok. Lelaki itu mungkin seusia dengan si kakak sekarang. Tetapi sepertinya potongan tubuhnya lain. Ia tidak kurus, tidak putih. Bukan, bukan dia orangnya.

Saat itu masih bisa dibilang pagi, tetapi kukira sudah termasuk jam kantor. Mengapa orang ini malah duduk-duduk santai merokok?

Karena tidak nyaman dengan asap rokok, aku pun beranjak sambil memasukkan botol minuman ke ransel. Tetapi, tiba-tiba aku terjerembap tepat di depan orang itu. Isi ranselku berhamburan, termasuk baju seragam yang tadi kumasukkan asal saja. Orang itu lekas membuang rokoknya, dan membantuku bangkit serta memasukkan isi ranselku sekenanya.

Ketika memegang rok abu-abuku, tahu-tahu ia tertawa. “Masih SMA udah suka bolos. Belajar yang rajin, biar jadi PNS. Jadi PNS tuh susah masuknya, tahu! Hahaha ....”

Aku tidak begitu mengerti yang ia maksudkan, tetapi sontak aku membalas, “Kakak enggak kerja?”

Ia menyahut, “Istirahat sebentar,” sambil mengarahkan kepala pada sekumpulan lelaki berseragam persis dengan dirinya, namun mereka jauh lebih tua. Para bapak-bapak itu juga sedang duduk-duduk santai merokok, tidak jauh dari kami. Beberapa masih memandangi kami, dan sebagian lagi sudah kembali asyik mengobrol.

Setelah mengucapkan terima kasih, aku berlalu sambil terpincang-pincang. Lututku panas, sedang ujung kakiku yang bertubrukan dengan batu terasa nyeri nyut-nyutan. Begitu ada angkot lewat, aku segera menyetopnya. Untung penumpangnya cuma satu, jadi aku bisa menyelonjorkan kaki dan memeriksanya. Celanaku robek di lutut, dan ujung kakiku memerah.

Aku memutuskan untuk berhenti di mal. Terlebih dulu aku mencari plester warna-warni di toko pernak-pernik untuk menutup luka di lututku. Pada akhirnya, aku cuma bermain ponsel dengan memanfaatkan wi fi foodcourt sambil mengudap camilan. Sedikit-sedikit kulihat jam, hingga hari sudah siang namun belum waktunya pulang sekolah. Tampaknya kakiku sudah agak baikan. Jadi aku berjalan-jalan mencuci mata, melihat-lihat barang bagus yang dipajang. Beberapa kali aku berpapasan dengan ibu-ibu berseragam persis dengan mas-mas tadi, berdua-dua atau lebih banyak, sedang memilah baju atau berjalan menggandeng tas belanja. Begitu tiba jam pulang sekolah, aku mencari kamar kecil dan pulang dari mal dengan berbaju seragam.

Setelah hari itu, sementara waktu aku belum tertarik untuk membolos lagi. Memang sekolah terasa menyiksa dengan banyaknya pelajaran yang sulit, jam yang panjang, dan guru-guru yang tidak memahami pikiran serta perasaanku, tetapi sedikitnya kini aku sudah punya tujuan. Apalagi setelah aku meng-googling ‘cara menjadi PNS’. (Mas-mas waktu itu rupanya PNS. Perkataannya masih membekas di kepalaku.) Toh nanti kalau aku sudah menjadi PNS, aku bisa membolos lagi sesekali.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain