Rabu, 30 Desember 2015

#11 Final

Remedial baru habis ketika tidak ada waktu lagi bagi para guru. Mereka harus segera mengisikan nilai ke dalam rapot.

Dean pun terkapar hingga tibanya hari pembagian rapot. Selama itu Dean membayangkan hal-hal indah yang akan dia peroleh ketika liburan nanti. Janji Ayah membawa anak-anaknya berkeliling Jawa Barat naik mobil. Kesempatan untuk memainkan Baby (oh, ya, ada Marimar juga!) sepuas-puasnya. Minta izin pada Kakek untuk bermalas-malasan di paviliunnya sambil mendengarkan koleksi albumnya seharian. Reuni bareng teman-teman SMP dan SD. Belum lagi ikut touring ke Maribaya dan traveling ke Semarang yang entah kapan—Dean belum menanyakan waktunya. Terlalu banyak kenikmatan sampai-sampai Dean ragu dirinya bisa menjangkau satu saja di antaranya.

Dean merasa baru kali itu dia berupaya begitu keras, hingga menyadari ada begitu banyak hal yang dia lewatkan—Baby, jalan-jalan ke mana saja hati ingin, menongkrong bersama teman-teman. Ada perasaan tidak rela jika pengorbanannya itu berujung pada kesia-siaan, dan akibatnya dia jadi cemas. Dia belum tahu hasilnya. Dia tidak mau tahu. Dia tidak mau ikut ke sekolah hari itu ketika Ayah mengajaknya. Dia meringkuk saja di kasur dan menggeleng lemas.

“Cepet pulang, Yah…” ucap Dean dengan suara serak.

“Iya.”

“Dean sakit?” Bunda muncul di ambang pintu kamar Dean, sedang memasang jam di pergelangan tangan kiri.

“Biasa, Bunda, pengin males-malesan dulu,” malah Ayah yang jawab sambil mengacak-acak rambut Dean.

Dean berguling ke ujung kasur untuk melepas kepergian kedua orangtuanya.

Tidak lama kemudian terdengarlah derum mobil Bunda lamat-lamat menghilang. Lalu Deraz pamit mau seleksi AFS. Zara juga, alasannya ia panitia buku kenang-kenangan untuk anak kelas IX dan ada rapat di sekolah.

Dean pun sendirian di rumah. Dalam keadaan sunyi sepi begini biasanya dia tergoda untuk berbuat sesuatu. Mengelus-elus Baby, misalnya. Dia menyeret kakinya ke ruang keluarga, mengangkat kap pianonya seakan itu beban tiga kilo, dan terduduk di atas bangku. Setelah beberapa lama menggenjrang-genjreng asal-asalan, Dean sadar bahwa jemarinya sudah terlalu terbiasa dengan kibor di paviliun Kakek. Perlu pembiasaan lagi dengan Baby. Dia juga tidak tahu mau memainkan lagu apa. Tidak terbayang apa-apa.

Dean mengambil minuman kotak dari kulkas, dan terpikir untuk ke ruang tengah. Biasanya dia enggan masuk ke ruangan itu kalau bukan karena disuruh Bunda belajar sama-sama di sana. Bunda yang biasanya berada di ruangan itu, untuk membaca atau lembur.

Luas ruangan itu separuh ruang keluarga, tapi isinya padat. Hampir setiap sisi temboknya dilekati lemari berkaca yang tingginya mendekati langit-langit, serta bingkai-bingkai yang memuat piagam dan foto. Mulai dari foto Ayah dikalungi medali, foto Bunda ketika petinggi universitas memindahkan tali di topinya yang persegi, foto Deraz bersama para juara lainnya di perlombaan yang ia ikuti, sampai foto Zara memeluk piala pada acara perpisahan kelas. Sambil menyeruput minuman dingin, Dean memandangi foto-foto itu lalu beralih pada deretan trofi di dalam lemari. Dia merasa kasihan pada Deraz. Deraz sering mengumpulkan trofi, tapi baru dibelikan hadiah oleh Bunda ketika Dean mendapat nilai bagus. Padahal itu tidak sering.

Dean lalu kembali ke ruang keluarga, menyalakan TV plasma, dan menontonnya sambil tiduran.

.

Sudah lewat tengah hari tapi Ayah dan Bunda belum kembali. Deraz dan Zara juga. Padahal tadi Ayah mengiyakan untuk pulang cepat. Pembagian rapot semestinya tidak makan waktu selama ini, apalagi mereka berangkat sejak pagi. Dean mencoba menelepon Ayah. Ponsel Ayah berdering tepat di bawahnya, rupanya terselip di sisi sofa. Dean mencoba menelepon Bunda. Biasanya Bunda tidak pernah lupa membawa ponselnya. Tapi sama saja. Tidak ada jawaban. Jangan-jangan Ayah dan Bunda makan-makan dulu di luar. Dean akan protes nanti.

Setelah mengubrak-abrik isi kulkas dan memakan apa pun yang kelihatannya enak, Dean tiduran lagi di sofa. Dia sudah hampir masuk ke alam mimpi ketika mendengar suara pagar didorong. Derum mobil memasuki garasi. Itu pasti mereka!

Dean baru saja terduduk di sofa ketika Bunda masuk ke ruang keluarga, tepatnya ke arah kamarnya. Wajahnya merah, matanya sembap, dan mulutnya tertutup oleh sebelah tangan—seakan kalau tidak ditahan begitu ada yang akan meloncat keluar. Dean sempat melihat punggung Bunda yang gemetar sebelum pintu kamar tertutup. Mendadak Dean merasa ada yang membekap sekujur badannya dengan setrum. Kerongkongannya sakit saat menelan dan jakunnya berat. Lebih-lebih ketika dia mendengar suara-suara dari arah depan rumah. Pintu pagar, pintu mobil, dan pintu depan berturut-turut ditutup. Ketika melihat Dean, Ayah membanting map ke arahnya seperti ninja melempar shuriken pada musuh. Kertas dari dalam map-map itu pun seketika berserakan. Lalu Ayah membuka pintu kamar dan mengempaskannya hingga seluruh rumah seakan berguncang. Dean tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya di dalam. Dean cuma mendengar seruan Ayah, “Udah, udah, enggak usah nangis!” tapi sepertinya tangisan Bunda malah makin kencang.

Setelah beberapa saat, Dean akhirnya bisa menggerakkan badan dan menarik napas dalam-dalam. Dia melangkah dengan hati-hati, berusaha tidak menginjak sekaligus tidak melihat apa pun yang tertulis pada kertas-kertas yang terserak itu. Dia memasuki kamarnya, mencari-cari inhaler, menghirupnya kuat-kuat, dan telentang di kasur.

Suara-suara itu masih kedengaran sampai menembus tembok kamarnya.

Setelah napasnya reda, dia pun meraih jumper, jin, dan dompet tanpa terpikir mau ke mana.

.

Dean seperti terseret ke lorong waktu, ke masa belasan tahun lalu di suatu tempat yang tidak dia tinggali lagi. Dia sedang berdiri tidak jauh dari balik sebuah pintu, tempat asalnya suara-suara yang membuatnya terbangun malam itu. Suara-suara yang menimbulkan keresahan di dalam dirinya, untuk kali pertama di dalam hidupnya.

Entah sudah berapa lama berlalu sejak Oma-Opa buyut membawa Deraz pergi. Opa buyut selalu ramah pada Dean. Oma buyut juga, tapi tidak selalu. Dean tahu dari cara Bunda memandang Oma buyut. Ada nada yang khas dalam suara Bunda tiap kali berbicara pada Oma buyut, tentang Oma buyut. Termasuk pada malam itu. Tapi sekarang pun Ayah tidak mau tahu.

Di balik pintu itu ada yang saling berteriak, lalu ada yang berteriak dan ada yang menangis. Di balik pintu yang lain tiba-tiba ada yang menangis juga. Dean menoleh ke belakang. Sekarang ada dua orang yang menangis. Dean tidak tahu yang mana yang mesti dia dekati lebih dulu. Keduanya sama-sama kedengaran tidak berdaya. Tapi Ayah telah memilih. Pintu di depan Dean tiba-tiba terbuka. Dean memandang Ayah dan Ayah menatap dirinya. Ayah melewati Dean dan masuk ke kamar yang satu lagi. Ia menggendong Zara dan mengusap-usap kepalanya. Dean kembali melihat ke depan dan mendekati Bunda. Bunda merengkuh dirinya, dan Dean merasa ada yang ikut meluap dari matanya.

.

Ayah pernah bercerita bahwa semasa dirinya dan Bunda kecil, komplek perumahan yang ditinggali Oma dan Opa ramai oleh anak-anak—baik anak-anak pemukim maupun anak-anak kampung di sekitar situ. Apalagi ketika sore. Anak-anak akan menyamperi satu sama lain. Ada yang bertanding bola atau mengadu layangan di lapangan. Ada yang bersepeda ramai-ramai mengeliling komplek sampai perkampungan. Ada yang senang berkumpul di rumah saja. Ada juga yang mencari gara-gara dengan anak-anak komplek sebelah sampai timbul tawur. Ayah dan teman-temannya kadang mengajak Bunda keluar untuk main sama-sama. Tapi Bunda sering tidak mau. Mungkin Bunda takut diajak tawur dengan anak-anak komplek sebelah, begitu canda Ayah.

Kini komplek itu tampak lengang.

Oma dan Opa mendiami rumah besar bercat putih di tepi perempatan jalan. Dean mendorong pagar putih kecil yang membatasi jalan dengan taman rumah, lalu masuk melalui pintu samping yang kebetulan tidak dikunci. Di balik pintu ada ruang makan yang bersisian dengan dapur, dan Oma serta pembantunya yang tampak sedang memasak sesuatu.

Oma terkejut melihat Dean, sekaligus sangat senang. Ia segera menurunkan panci di atas kompor yang sudah dipadamkan, lalu mencopot sarung tangan jumbo dari kedua tangannya dan menyongsong Dean. Matanya berbinar-binar. Dean segera merangkul omanya yang semakin pendek saja, atau dia yang semakin jangkung.

“Dean…. Oma kangen deh. Udah lama Dean enggak main ke sini. Sombong, ya….” Oma balas mendekap cucunya itu. Dean merunduk sementara Oma berjinjit untuk mengecup kedua belah pipinya dengan gemas. Terhirup oleh Dean aroma badan Oma yang selalu membuatnya merasa nyaman. “Pantas Oma mendadak kepengin masak. Tahunya Dean dateng. Kok sendirian? Udah makan siang, Sayang?” Sambil memberondong Dean dengan pertanyaan, Oma menggiring cucunya itu duduk di kursi ruang makan.

“Belum, Oma. Oma bikin apa gitu?”

“Oma lagi nyoba bikin bikin skutel stroberi. Kalau berhasil kan Oma bisa pamer sama teman-teman arisan Oma.”

“Terus yang di panci apa, Oma?”

“Kolak stroberi, Sayang.”

“Lagi panen stroberi, ya, Oma?”

“Iya. Tunggu, ya, Oma bikinin minuman dulu.” Oma mencubit pelan pipi Dean sebelum berlalu.

“Stroberi lagi, Oma?”

“Iya, strawberry punch. Mau kan?”

“Mau.”

Dean tersenyum-senyum menyaksikan Oma yang wira-wiri menyiapkan sendiri santapan untuknya. Dia lalu bangkit melongok ke ruang tengah. “Opa mana, Oma?”

“Tadi sih ke lapangan. Enggak tahu tuh kok sampai sekarang belum pulang. Dean entar nginep di sini kan?”

Mengingat keadaan di rumah sebelum ditinggalkannya tadi, Dean menjawab, “Mung… kin….” Pandangannya tertumbuk pada piano di sisi tangga. Dia pun mendekat.

Terdengar suara Oma, “Kok mungkin. Iya dong….”

Piano upright di sisi tangga itu sudah berubah fungsi menjadi tempat memajang foto. Entah sudah berapa lama benda itu tidak digunakan, dan entah sudah berapa tua juga usianya. Yang bisa memainkan benda itu, dulu, cuma Bunda dan Oma. Oma belajar piano sewaktu kecil, tapi karena selalu merajuk tiap kali gurunya datang akhirnya ia berhenti. Bunda lebih tahan belajar piano daripada Oma, tapi akhirnya tidak meneruskan juga. Adiknya Bunda, Om Alfian, tidak berminat pada piano sama sekali. Lagi pula, ketika Om Alfian tumbuh, Oma buyut sudah pindah dari rumah itu untuk selama-lamanya, ikut tinggal bersama suaminya di Freiburg.

Dean memindahkan satu per satu bingkai foto pada kap ke bagian atas badan piano. Sebagian dari foto itu berwarna hitam-putih. Setiap anggota keluarga ada fotonya masing-masing, baik sendirian maupun bersama yang lain. Oma. Opa. Bunda. Om Alfian. Bunda dengan Ayah. Om Alfian dengan istrinya. Dean, Deraz, dan Zara. Anak-anak Om Alfian dengan istrinya—yang jarang bertemu karena mereka sekeluarga tinggal di luar negeri. Lalu ada juga foto Oma buyut, dan suaminya. Lain dengan Oma dan Bunda yang mewarisi ciri kaukasoid dari Opa buyut, tiap detail pada wajah Oma buyut menunjukkan kekhasannya sebagai seorang perempuan pribumi berdarah ningrat. Tatapan matanya lembut tapi menusuk. Senyumnya luwes sekaligus anggun.

Taplak rajutan Oma disingkirkan. Terdengar derit yang mengiris telinga ketika Dean mengangkat kap piano itu. Dean menarik bangku dari bawah papan tuts dan mendudukinya. Dengan hati-hati dia menjatuhkan jemarinya pada tuts. Dia mencobanya berkali-kali dengan wajah mengernyit lalu curiga bagian dalam piano itu sudah berkarat. Dia mendengus.

Terdengar cakap-cakap di dapur. Rupanya Opa sudah pulang! Dean mendekati Opa lalu menyalami tangannya yang kapalan—entah karena dulu sering memegang pisau bedah atau karena sekarang rajin menggenggam raket tenis. Mata Opa yang sipit dan berkantung itu tampak tersenyum saat mengamati si cucu. Selain karena kulitnya yang putih, Opa sering dikira orang Korea padahal urang awak.

Setelah makan siang bersama Opa, Dean dan Oma menyantap skutel dan mengobrolkan apa saja di sofa ruang tengah. Cuma Oma yang tidak menegur ketika Dean yang tinggi badannya sudah menjulang itu masih ingin bermanja-manja dengannya.

“Oma, pianonya dibenerin dong,” kata Dean. Jemarinya merayap ke ujung rambut Oma, memainkan helaian-helaian yang sebenarnya sudah memutih itu. Oma secara rutin mengecat rambutnya dengan warna aslinya yang kecokelatan.

“Kalau pianonya dibenerin Dean mau mainin?”

“Iya. Mainin buat Oma.”

 “Nanti Oma bilang sama Opa.”

“Bener, ya, Oma?”

“Iya.”

“Oma, Bunda senang enggak sih main piano?”

Oma bergumam panjang sambil mengingat-ingat. “Mungkin senang. Tapi waktu Oma buyut pergi, jadi jarang main.”

Dean menyandarkan kepalanya pada lengan Oma. “Cerita, dong, Oma, tentang Oma buyut.”

“Kan udah pernah?”

“Lagi, Oma.”

Oma pun bercerita. Suara Oma seperti biskuit yang renyah ketika digigit, lalu krim di dalamnya melumerkan rasa lembut dan manis ke seluruh lidah ketika dicecap. Tidak tergesa-gesa, dan tidak juga terlalu pelan.

 

Pada zaman dulu kala, ada seorang perempuan dari Priangan yang menikah dengan seorang lelaki berkebangsaan Jerman. Perempuan itu anak bangsawan setempat, sementara sang lelaki sedang magang pada pamannya yang membuka usaha di daerah itu. Pada waktu itu usia mereka masih sangat muda, belum mencapai kepala dua. Pernikahan mereka awalnya tidak direstui oleh keluarga dari pihak perempuan. Tapi mereka sangat kukuh dengan hubungan mereka. Hampir saja mereka kawin lari. Akhirnya keluarga dari pihak perempuan pun memberikan restunya.

Perempuan itu kemudian melahirkan tiga orang anak. Pada waktu itu juga sedang terjadi perang di mana-mana, termasuk di negara asal sang lelaki. Seusai perang, lelaki itu diminta pulang untuk membantu membangun kembali bisnis keluarganya. Karena keadaan di sana tidak lebih baik daripada di negeri istrinya, maka lelaki itu meninggalkan perempuan itu dan anak-anak mereka. Ia berjanji akan segera kembali.

Minggu berganti bulan. Keduanya rajin berkirim surat pada satu sama lain. Tapi lama-kelamaan kiriman surat dari lelaki itu semakin jarang hingga berhenti sama sekali. Juga kiriman uang. Mau tidak mau perempuan itu mengandalkan bantuan kerabat untuk menghidupi anak-anaknya. Bulan berganti tahun. Tetap tidak ada kabar. Ia sudah menyurati keluarga lelaki itu, siapa tahu terjadi sesuatu yang buruk pada diri suaminya. Tapi tetap tidak ada kabar.

Karena tidak mau bergantung pada kerabatnya terus, perempuan itu berusaha untuk mulai menghidupi dirinya dan ketiga anaknya secara mandiri. Ia menjalankan usaha perkebunan warisan keluarga. Berkat sifatnya yang keras dan gigih, usaha itu berjalan dengan baik. Anak-anak lelakinya ia sekolahkan setinggi-tingginya sampai ke luar negeri, sementara anak perempuannya ia jaga dengan sebaik-baiknya. Ketika menemukan calon pendamping yang ia rasa tepat untuk anak perempuannya, dan tentunya sudah kenal baik juga dengan keluarga lelaki itu, ia pun menjodohkan keduanya.

 

“Oh, makanya Oma pas lulus SMA langsung nikah sama Opa, ya. Asyik dong, Oma.”

Oma tersipu, lalu melanjutkan ceritanya.

 

Ketika tidak sedang meninjau perkebunannya, perempuan itu tinggal bersama keluarga anak perempuannya. Ia ikut mengasuh cucunya, yang seorang perempuan juga. Ia sangat sayang pada cucunya dan memerhatikan sekali pendidikan anak itu. Ia sering menemani cucunya mengerjakan PR dan membantu anak itu memahami pelajaran yang sulit dimengerti. Ia mengajari cucunya bermacam-macam keterampilan, khususnya yang berhubungan dengan keputrian seperti memasak, menjahit, dan menata rumah. Ia memanggil guru piano ke rumah supaya cucunya itu bisa bersenang-senang dengan memainkan alat musik. Ia yang menentukan kapan cucunya belajar dan bermain.

 

“Kalau ayahnya Dean datang, mau ngajak main, pasti nanya dulu ke Oma, Oma buyutnya lagi ada enggak? Dulu pernah tahu-tahu Oma buyut muncul, Ayah langsung kabur,” Oma mengenang sambil tertawa kecil seakan itu lucu.

Dean memandang Oma dengan ngeri. Seandainya dia yang berada dalam posisi Bunda pada waktu itu, Oma buyut mungkin bakal sering memukuli pantatnya dan mengurungnya di kamar. Oma buyut mungkin baru akan mengizinkannya keluar dari kamar hanya pada waktu makan dan sekolah.

“Lanjutin lagi enggak ceritanya?”

“Lanjutin, Oma, hehehe.”

Oma pun kembali bercerita.

 

Cucu perempuan itu hampir selalu patuh. Sesekali saja dia bermain di luar, hanya ketika neneknya tidak berada di rumah. Memang, kadang mereka bertengkar. Cucu perempuan itu merasa hidupnya seperti di penjara. Neneknya bersikeras bahwa semua itu demi kebaikan anak itu sendiri. Sementara ibu anak itu hanya bisa menyaksikan dari jauh, tidak pernah berani untuk mengusik kemauan sang nenek.

 

Oma terdiam.

Dean terus memandangi Oma dan terpikir untuk memintanya berhenti saja kalau-kalau merasa tidak nyaman.

Tapi senyum Oma berangsur-angsur kembali.

 

Pada suatu sore yang tenang, perempuan yang sudah jadi nenek itu berjalan-jalan di perkebunannya. Lalu di kejauhan tampak sesosok lelaki. Lama-kelamaan, ia bisa melihat sosok itu dengan jelas. Badannya yang jangkung dan rambutnya yang cokelat mengingatkan perempuan itu pada seseorang. Orang yang amat ia rindukan setelah berpuluh tahun tanpa kabar. Langkah-langkah panjang itu semakin mendekat, terus mendekat.

 

“Itu Opa buyut, ya, Oma? Opa buyut ke mana aja sih, Oma? Kok lama banget perginya?”

“Ceritanya panjaaang banget.”

“Rangkumannya aja, Oma.”

Setelah beberapa teguk strawberry punch, Oma pun melanjutkan.

 

Bisnis keluarga lelaki itu hancur akibat perang, dan ia diminta untuk membantu membangunnya kembali dari awal. Lelaki itu pun tertahan di negaranya. Ia sering mengirim surat pada istrinya. Awalnya kiriman suratnya itu selalu berbalas, tapi lama-kelamaan tidak lagi.

Berkali-kali lelaki itu menyempatkan diri kembali ke Indonesia untuk mencari istri dan anak-anaknya. Ketika datang ke daerah tempatnya tinggal dulu, warga setempat bilang padanya bahwa di situ telah terjadi pemberontakan. Ada banyak warga yang mengungsi, tapi ada juga yang tewas. Lelaki itu terus mencari informasi, tapi sepertinya ia diarahkan ke tempat-tempat yang salah.

Tentu saja ia mencari kerabat istrinya untuk mendapatkan kebenaran. Tapi kerabat yang ia temui itu menutup-nutupi keberadaan istri dan anak-anaknya. Rupanya ada sebagian kerabat istrinya yang masih tidak senang padanya. Selain itu, ia telanjur dianggap sebagai lelaki tidak bertanggung jawab karena telah menelantarkan keluarga.

 

“Tapi akhirnya ketemu juga, ya, Oma.”

“Iya, bersyukur sekali….” Oma mengangguk. Senyumnya semakin sejuk. “Pada bisa ngumpul lagi…. Terus, Oma jadi tahu kalau vati-nya Oma itu yang senang main piano. Mungkin karena itu Oma buyut pengin anak-cucunya juga bisa main piano.”

Dean tersenyum melihat sinar di mata Oma. Dean saja kangen ketika sudah terlalu lama tidak bertemu Ayah, dan itu paling-paling cuma beberapa minggu—coba sampai beberapa puluh tahun! Teringat Ayah, Dean jadi murung lagi. Cepat-cepat dia mengalihkan pikirannya. “Lanjut, Oma….”

 

Akhirnya, perempuan itu mau memaafkan suaminya. Lelaki itu sungguh-sungguh berjanji tidak akan meninggalkannya lagi.

Mereka pun kembali tinggal bersama-sama. Pada awalnya keduanya tinggal bersama keluarga anak perempuan mereka. Apalagi pada waktu itu anak perempuan mereka belum lama melahirkan anak kedua—seorang cucu laki-laki.

Sampai kemudian keduanya memutuskan untuk mengunjungi anak-anak mereka yang lain—yang tentunya sudah punya keluarga masing-masing juga. Setelah itu mereka akan menikmati sisa hidup di kampung halaman lelaki itu, di sebuah kota kecil di selatan Jerman. Tepatnya, di pinggir sebuah hutan lebat yang tampak kehitaman apabila dilihat dari kejauhan.

Meski berat, perempuan itu melepaskan anak dan cucunya untuk menjalani kehidupan mereka sendiri. Ia melimpahkan urusan perkebunannya pada orang lain, dan ikut “pulang” bersama suaminya. Mereka tidak akan membiarkan satu sama lain terpisah lagi, kecuali oleh kematian. Dan, mereka pun hidup bahagia untuk selama-lamanya.

 

Dean bertepuk tangan pelan. “Ceritanya bagus, Oma.” Oma tersipu lagi sampai Dean merasa geli.

“Berarti waktu itu Bunda masih SMA, ya, Oma?”

“Iya.”

“Kalau Oma buyut enggak pergi, mungkin pas lulus SMA Bunda juga langsung dinikahin, kali, ya?”

“Mungkin… hehehe.”

Keriput di wajah Oma semakin tampak ketika ia terkikih-kikih begitu, tapi Dean senang melihatnya. Menurutnya, itulah yang menjadikan Oma seorang Oma. Oma yang selalu sayang dan penuh kasih pada cucunya. Maka dia sulit menerima bentuk rasa sayang Oma buyut pada cucunya sendiri, Bunda. Dean membayangkan Bunda yang ketika itu masih SMA bersorak-sorai merayakan kebebasannya, segera setelah Oma buyut pergi bersama suaminya ke tempat yang sangat jauh.

“Dari Bunda kuliah S1, Oma mulai cari-cari. Oma kenalin Bunda sama anak temen-temennya Oma. Pada ganteng-ganteng, pinter, tinggi-tinggi sekolahnya, dari keluarga baik-baik, tapi enggak ada yang Bunda suka. Malah, udah beberapa kali ada laki-laki dateng ke rumah, temennya Bunda, pengin ngajak keluar, apalah, tapi sama Bunda malah dicuekkin. Kalau ada yang ngajak ngobrol, nanggepinnya galak. Bunda bilang ke Oma, Bunda pengin selesein spesialisnya dulu, baru mikirin itu. Pas spesialisnya udah selesai, eh, Bunda bilang pengin S2 dulu. Eh, S2-nya malah di luar negeri. Kan jadi jauh sama Oma. Oma ketar-ketir banget waktu itu. Tapi Bunda itu, sifatnya kayak Oma buyut. Kalau pengin A, ya harus A.”

Dean memperbaiki posisi duduknya dan dengan penuh minat memandangi Oma yang terus bercerita.

“Udah gitu, tamat S2, Bunda masih pengin ngelanjutin lagi. Katanya dapet beasiswa penelitian inilah, itulah. Kapan selesainya? Kalau aja waktu itu diizinin sama Opa, Oma pengin terbang ke Amerika, ikut tinggal sama Bunda, nyariin Bunda laki-laki sana kalau perlu. Tapi waktu itu Opa masih kerja, Om Alfian juga masih sekolah. Oma cuma bisa harap-harap cemas. Oma pusing tiap kali mikirin Bunda, takut jodohnya pada keburu diambil orang.”

Oma berhenti sebentar untuk menelan seteguk lagi minumannya.

“Lanjutin?”

“Iya atuh, Oma….”

Oma menghela napas dan bersandar lagi pada sofa. “Yah, untung akhirnya Bunda ketemu lagi sama ayahnya Dean.” Oma menatap Dean sambil melebarkan senyumnya. “Waktu itu, ketemu di mana, ya, mereka, katanya…. Pokoknya ayahnya Dean lagi balapan, terus Bunda lagi ada di sana juga, nonton, ketemu, ngobrol-ngobrol, terus janjian buat ketemu lagi di sini, di rumah sini, kayak waktu dulu, pas masih pada bocah-bocah.” Oma terdiam sebentar, sebelum melanjutkan, “Dulu, nininya Dean kan kerja di sini. Kadang anaknya dibawa….”

Dean sudah mendengar cerita itu berkali-kali. Dia tidak pernah bertemu dengan kakek dari pihak ayahnya. Sejak Ayah masih anak-anak, Enin harus berjuang sendiri menghidupi keluarganya. Tiap hari Enin pergi ke komplek perumahan dekat kampung tempatnya tinggal, dan menawarkan bantuan pada para ibu-ibu. Enin pintar masak, jadi para ibu-ibu dengan senang hati memberi pekerjaan padanya. Salah satu di antara para ibu-ibu itu adalah ibunya Bunda—Oma. Ketika sedang bekerja di salah satu rumah, kadang Enin membawa anaknya—Ayah dan atau adiknya Ayah. Karena itulah Ayah kenal Bunda dan anak-anak sebayanya yang tinggal di komplek perumahan itu. Ayah juga sering menjadi teman mengobrol Oma sejak dulu.

“Pas ayahnya Dean ke sini, Oma cerita aja tentang Bunda. Kalau Bunda itu susah banget disuruh nikah. Waktu itu Bunda juga lagi ada. Eh, ayahnya Dean terus bilang, Kalau sama saya aja gimana?” Oma tertawa. “Oma kira ayahnya Dean cuma bercanda. Tapi Bunda nanggepinnya serius.” Oma meneguk minumannya lagi.

“Terus?”

“Terus, Bunda nikah sama ayahnya Dean.”

“Ah… gitu doang, Oma?”

“Iya, gitu.”

.

Tapi pada waktu itu Bunda masih ingin meneruskan kehidupan akademisnya di Boston. Setelah menikah, Bunda kembali tinggal di Boston sementara Ayah bolak-balik ke sana kemari antara menengok istri dan mengikuti kejuaraan. Ketika Bunda hamil, Ayah berhenti jadi atlet. Ia ikut tinggal di Boston untuk mengurus Bunda, lalu Deraz dan Dean yang lahir kemudian. Dua tahun berselang, Bunda melahirkan Zara. Dari pagi sampai malam Bunda sibuk di kampus, sementara sepanjang hari Ayah mengasuh anak-anak di rumah.

Lalu datanglah Oma-Opa buyut. Walau usia mereka hampir mencapai kepala delapan, kondisi mereka masih segar bugar dan mampu berjalan-jalan ke tempat yang jauh tanpa ditemani orang lain.

Dean ingat buyutnya itu tinggal cukup lama bersama mereka, walau ketika malam keduanya sepertinya tidur di tempat lain.

Pada anak-anak, mereka baik sekali, suka mengajak main dan jalan-jalan, serta membelikan barang-barang. Oma buyut senang menimang-nimang Zara, menggodanya sampai tergeli-geli. Opa buyut sering merangkul Deraz dan Dean supaya bersandar di dekatnya, lalu memancing keduanya berceloteh.

Tapi Dean jadi waspada sejak melihat buyutnya itu bicara pada kedua orang tuanya pada suatu malam. Saat itu Deraz dan Zara sudah tidur. Dean juga, sebetulnya. Tapi dia terbangun karena menyadari Ayah tidak sedang bersama-sama mereka, dan mestinya pada waktu itu Bunda sudah pulang. Dia mendengar suara bercakap-cakap, mengikutinya, dan memerhatikan. Belum pernah dia melihat Bunda setegang itu. Padahal suara Oma buyut pelan saja, agak berat. Ketika kedua orang tuanya ganti berbicara, Oma buyut menghardik mereka. Dean kembali ke kamar dengan ketakutan. Dia tutup telinganya rapat-rapat dengan bantal sampai ketiduran. Ketika terbangun lagi, dia melihat Bunda sedang terisak di dekatnya. Ayah di samping Bunda. Tapi Dean terlalu mengantuk.

Sejak malam itu Dean lebih suka menempel pada Ayah ketimbang menanggapi apa pun yang ditawarkan Oma-Opa buyut padanya. Biarpun Oma-Opa buyut mengajak ke taman bermain kesukaannya, dan Ayah sedang sibuk membereskan rumah, Dean tetap tidak mau. Dia terus saja memegangi baju Ayah sampai Oma-Opa buyut pergi dengan kedua saudaranya.

Apalagi ketika Bunda pulang dan bertemu Oma buyut, Dean ingin lari saja dan bersembunyi di mana pun. Pokoknya jangan sampai pembicaraan mereka sampai ke telinganya. Dia tidak tahan mendengar nada Bunda pada Oma buyut, begitu juga sebaliknya. Memang sesekali keduanya tampak baik-baik saja ketika bersama, terutama ketika ada anak-anak. Tapi Dean menyaksikan itu dengan waswas.

Lalu tibalah hari ketika mereka membawa Deraz pergi. Zara terlalu kecil untuk mengerti, tapi Dean hampir menangis ketika mereka pulang dari bandara selepas mengantar Oma-Opa buyut dan Deraz. Dia sering bertanya ke mana Deraz dan merasa gelisah, meski Ayah selalu bisa menenangkan dirinya lagi. Lama-kelamaan Dean menerima kepergian kembarannya. Tapi rupanya tidak begitu dengan kedua orang tuanya. Bunda dan Ayah yang biasanya kompak jadi doyan mencak-mencak pada satu sama lain, dengan nama Deraz disebut-sebut. Barulah ketika mereka pindah ke Indonesia, Dean tidak pernah mendengar percekcokan itu lagi.

.

Ketika langit menjelang gelap, Dean ditelepon oleh Zara. Dari melihat nama peneleponnya saja, Dean sudah menduga apa yang akan dikatakan Zara. Dean juga sudah tahu apa yang akan dikatakan Oma ketika dia menyampaikan perkataan adiknya itu. Oma malah meraih ponsel Dean, menyapa cucu perempuannya, dan minta disambungkan dengan Bunda. Selama bermenit-menit kemudian, Oma sibuk melancarkan bujuk rayu. Dean mendengarkannya dengan waswas. Pulang atau tidak—itu tergantung pada suasana hati kedua orang tuanya dan dia belum tahu. Oma akhirnya menutup telepon dan mengeluh sambil cemberut, “Duh, bundanya Dean itu….”

Jadinya malah Opa dan Oma yang mengantar Dean pulang. Oma membawakan kudapan buatannya siang tadi. Semua anggota keluarga ada di rumah. Ayah. Bunda. Deraz. Zara. Dean terus memerhatikan raut muka Ayah dan Bunda ketika mengobrol dengan Opa dan Oma, juga setelah keduanya pergi. Mereka bersikap seakan kejadian tadi siang itu tidak ada. Malah Dean merasa senang ketika Ayah menegurnya, menyuruhnya makan lagi oleh-oleh dari Oma.

“Banyak banget Oma ngasihnya,” kata Ayah.

“Iya, Yah,” ujar Dean dengan pipi gembung. Mulutnya sedang terisi penuh oleh skutel.

“Enin mau enggak, yah, diwadahin?” kata Ayah lagi sambil bangkit, lalu mencari-cari wadah di lemari dapur.

“Ayah mau ke mana?” tanya Zara ketika melihat Ayah mengenakan jaket.

“Mau ke Enin. Ikut?”

“Mmm…. Enggak, ah!”         

Ketika Ayah pergi sendirian dengan motor sambil membawa beberapa wadah berisikan kudapan Oma, barulah Dean sadar. Dia belum melihat Ayah dan Bunda menegur satu sama lain sedari tadi. 

.

Ayah tidak bilang bakal pulang malam itu atau tidak. Dean sudah menanyakannya lewat SMS, lalu merasakan getaran di sisi sofa yang sedang dia tiduri. Ayah masih belum juga menyadari ponselnya terselip di situ.

Ruang keluarga sudah digelapkan. Tinggal cahaya dari TV plasma menyorot Dean yang masih dalam penantian. Entah sudah pukul berapa ketika Bunda keluar dari kamar dan menegurnya.

“Enggak tidur?”

“Belum ngantuk.”

Dean menyadari Bunda sedang memandanginya. Dia pun beringsut ke ujung sofa supaya Bunda leluasa duduk di sampingnya.

“Bunda pengin ngobrol sama Dean.”

“Iya, Bun,” sahut Dean. Agak tidak mengerti.

“Di teras belakang, mau?” Kepala Bunda menuding sedikit ke arah yang dimaksud.

“Iya, Bun,” sahut Dean lagi.

“Dean duluan ke sana, ya. Pakai baju hangatnya. Bunda mau bikin minum dulu. Dean mau minum apa?”

“Cokelat.”

Dean langsung bangkit dan mencomot kardigan dari gantungan baju di samping lemarinya. Dean berasa oma-oma. Tapi tadi Bunda juga mengenakan kardigan. Kompakan.

Angin menyerbu Dean begitu pintu belakang dibuka, tapi setelahnya sunyi senyap saja. Lampu-lampu berkilauan menghias taman yang gulita. Di pojok ada balai-balai yang lampunya tidak sedang dinyalakan. Di situ Dean pernah melihat Ayah merokok sendirian malam-malam, ketika Bunda tidak ada.

Dean duduk di salah satu kursi besi ukir di teras, menanti Bunda dan secangkir cokelat hangat. Tidak lama kemudian yang dinanti pun tiba. Bunda juga membuat cokelat untuk dirinya sendiri. Cokelat buatan Bunda selalu lebih harum dan khas rasanya ketimbang buatan kafe mana pun, meski diseduh dari bubuk instan. Kegemaran Bunda dalam meracik teh tampaknya terpakai juga ketika membuat cokelat. Bersama-sama mereka menghirup minuman itu.

Bunda meletakkan cangkirnya pada tatakan di meja, terdiam sebentar sebelum berkata, “Dean.”

“Ya, Bunda?” Dean meletakkan cangkirnya juga.

“Maafin Bunda, ya, Dean. Maafin Ayah juga.”

Dean terkesiap. “Minta maaf kenapa, Bunda?”

Bunda malah tersenyum, seakan geli dengan reaksi Dean. Ia meraih map yang terletak di kursi di sampingnya. Dean tidak melihat ada benda itu sebelumnya. Bunda menyingkirkan cangkir-cangkir cokelat ke tepi, sehingga ada cukup ruang di meja untuk menyibak map itu dan memperlihatkan isinya. Hasil psikotes Dean dari masa ke masa.

“Dean inget Bu Mira?”

Dean berpikir-pikir lalu menggeleng, hanya merasa samar ketika dia SD dia pernah dibawa menemui seorang wanita. Wanita itu menyodorkan banyak gambar dan kertas ke hadapannya, bertanya ini-itu, dan setelahnya mereka mengobrol banyak sekali.

“Bu Mira bilang, Dean enggak ada masalah apa-apa. Dean cuma gampang bosan di kelas. Gitu?”

Dean mulai menangkap arah pembicaraan. Lagi-lagi…. Dia menjawab saja, “Ya.”

Bunda mengangkat lembaran demi lembaran dari map itu, membacanya sepintas-sepintas. Diam-diam Dean melihat tiga digit angka yang ada lembaran tertentu. Tiga digit angka yang selalu berganti-ganti, tapi besaran masing-masing tidak berselisih jauh. Dean tidak paham arti tiga digit angka itu. Bunda sering menyinggungnya setelah menjelaskan suatu hal berulang-ulang, tapi Dean tetap tidak paham. Pada akhirnya Bunda selalu cuma bisa bilang, Kamu bisa, tapi kamu enggak mau.

Kepala Bunda terangkat sedikit. Wajahnya mengarah ke langit yang kelam. Ia tampak merenungkan sesuatu. Entah apa. Alisnya semakin berkerut dan matanya mulai redup. Lalu ia memandang Dean lagi. Suaranya lirih, “Dean maunya jadi apa?” Nada Bunda seperti lazimnya orang tua menanyakan cita-cita pada anaknya.

Itu bukan pertanyaan yang baru sekali Bunda sampaikan pada Dean. Dean ingat pernah menjawab ingin jadi astronaut, penyelam, penari balet, pembalap liar, sampai kolektor Dragon Ball dan Pokemon. Lalu sampai belakangan dia ingin membuat lagu untuk Rieka. Tapi dia merasa tidak bisa bilang pada Bunda seperti pada Zahra, Nanyanya salah, bukan mau jadi apa, tapi mau ngapain. Maka dia menggeleng saja, menjawab, “Belum tahu.”

“Kalau Dean ngerasa enggak cocok belajar di SMA Selonongan, di sekolah negeri, Bunda nanti carikan sekolah yang pas, atau, kalau perlu guru yang khusus sekalian. Kayak Deraz waktu baru pindah sama Oma-Opa buyut, awalnya kan manggil guru dulu ke rumah.” Dean diam saja. Bunda mengusap pipi kanan anaknya dan tersenyum. “Bunda mah sayang kalau Dean punya potensi tapi enggak berkembang.”

“Dean enggak apa-apa kok, Bun, di Smanson. Enak kok di sana. Luas. Banyak tempat mainnya. Banyak temennya.”

Bunda tampak geli. Tapi Dean tahu bahwa Bunda sama sekali tidak terhibur. Tatapan Bunda pindah ke lantai, lalu ke rumput, dan entah ke mana lagi yang searah.  “Ayah juga bilangnya gitu. Ayah pengin anak-anak di sekolah yang biasa-biasa aja, biar gaul sama masyarakat…” lalu suaranya memelan, “…biar Ayah masih sanggup bayarnya….”

Dean tersengat, tapi segan mengatakannya. Dia cuma sadar bahwa rumah Oma lebih besar, pembantunya ada tiga, dan Bunda yang biasa membelikan anak-anaknya hadiah, bukan Ayah.

“Mmm… Bunda,” sahut Dean, sebelum perasaan tidak enak di hatinya menjadi-jadi, “Jadi, rapot Dean tadi gimana? Dean naik kelas… kan?”

Melihat perubahan raut wajah Bunda, Dean malah panik. Ya ampun, Bunda, jangan nangis lagi!

 

X

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain