Remedial baru
habis ketika tidak ada waktu lagi bagi para guru. Mereka harus segera
mengisikan nilai ke dalam rapot.
Dean pun terkapar
hingga tibanya hari pembagian rapot. Selama itu Dean membayangkan hal-hal indah
yang akan dia peroleh ketika liburan nanti. Janji Ayah membawa anak-anaknya
berkeliling Jawa Barat naik mobil. Kesempatan untuk memainkan Baby (oh, ya, ada
Marimar juga!) sepuas-puasnya. Minta izin pada Kakek untuk bermalas-malasan di
paviliunnya sambil mendengarkan koleksi albumnya seharian. Reuni bareng
teman-teman SMP dan SD. Belum lagi ikut touring
ke Maribaya dan traveling ke Semarang
yang entah kapan—Dean belum menanyakan waktunya. Terlalu banyak kenikmatan
sampai-sampai Dean ragu dirinya bisa menjangkau satu saja di antaranya.
Dean merasa baru
kali itu dia berupaya begitu keras, hingga menyadari ada begitu banyak hal yang
dia lewatkan—Baby, jalan-jalan ke mana saja hati ingin, menongkrong bersama
teman-teman. Ada perasaan tidak rela jika pengorbanannya itu berujung pada
kesia-siaan, dan akibatnya dia jadi cemas. Dia belum tahu hasilnya. Dia tidak
mau tahu. Dia tidak mau ikut ke sekolah hari itu ketika Ayah mengajaknya. Dia
meringkuk saja di kasur dan menggeleng lemas.
“Cepet pulang,
Yah…” ucap Dean dengan suara serak.
“Iya.”
“Dean sakit?”
Bunda muncul di ambang pintu kamar Dean, sedang memasang jam di pergelangan
tangan kiri.
“Biasa, Bunda,
pengin males-malesan dulu,” malah Ayah yang jawab sambil mengacak-acak rambut
Dean.
Dean berguling
ke ujung kasur untuk melepas kepergian kedua orangtuanya.
Tidak lama
kemudian terdengarlah derum mobil Bunda lamat-lamat menghilang. Lalu Deraz
pamit mau seleksi AFS. Zara juga, alasannya ia panitia buku kenang-kenangan
untuk anak kelas IX dan ada rapat di sekolah.
Dean pun
sendirian di rumah. Dalam keadaan sunyi sepi begini biasanya dia tergoda untuk
berbuat sesuatu. Mengelus-elus Baby, misalnya. Dia menyeret kakinya ke ruang
keluarga, mengangkat kap pianonya seakan itu beban tiga kilo, dan terduduk di
atas bangku. Setelah beberapa lama menggenjrang-genjreng asal-asalan, Dean
sadar bahwa jemarinya sudah terlalu terbiasa dengan kibor di paviliun Kakek.
Perlu pembiasaan lagi dengan Baby. Dia juga tidak tahu mau memainkan lagu apa.
Tidak terbayang apa-apa.
Dean mengambil
minuman kotak dari kulkas, dan terpikir untuk ke ruang tengah. Biasanya dia
enggan masuk ke ruangan itu kalau bukan karena disuruh Bunda belajar sama-sama
di sana. Bunda yang biasanya berada di ruangan itu, untuk membaca atau lembur.
Luas ruangan itu
separuh ruang keluarga, tapi isinya padat. Hampir setiap sisi temboknya
dilekati lemari berkaca yang tingginya mendekati langit-langit, serta
bingkai-bingkai yang memuat piagam dan foto. Mulai dari foto Ayah dikalungi
medali, foto Bunda ketika petinggi universitas memindahkan tali di topinya yang
persegi, foto Deraz bersama para juara lainnya di perlombaan yang ia ikuti,
sampai foto Zara memeluk piala pada acara perpisahan kelas. Sambil menyeruput
minuman dingin, Dean memandangi foto-foto itu lalu beralih pada deretan trofi
di dalam lemari. Dia merasa kasihan pada Deraz. Deraz sering mengumpulkan
trofi, tapi baru dibelikan hadiah oleh Bunda ketika Dean mendapat nilai bagus.
Padahal itu tidak sering.
Dean lalu
kembali ke ruang keluarga, menyalakan TV plasma, dan menontonnya sambil
tiduran.
.
Sudah lewat
tengah hari tapi Ayah dan Bunda belum kembali. Deraz dan Zara juga. Padahal
tadi Ayah mengiyakan untuk pulang cepat. Pembagian rapot semestinya tidak makan
waktu selama ini, apalagi mereka berangkat sejak pagi. Dean mencoba menelepon
Ayah. Ponsel Ayah berdering tepat di bawahnya, rupanya terselip di sisi sofa.
Dean mencoba menelepon Bunda. Biasanya Bunda tidak pernah lupa membawa
ponselnya. Tapi sama saja. Tidak ada jawaban. Jangan-jangan Ayah dan Bunda
makan-makan dulu di luar. Dean akan protes nanti.
Setelah
mengubrak-abrik isi kulkas dan memakan apa pun yang kelihatannya enak, Dean
tiduran lagi di sofa. Dia sudah hampir masuk ke alam mimpi ketika mendengar
suara pagar didorong. Derum mobil memasuki garasi. Itu pasti mereka!
Dean baru saja
terduduk di sofa ketika Bunda masuk ke ruang keluarga, tepatnya ke arah
kamarnya. Wajahnya merah, matanya sembap, dan mulutnya tertutup oleh sebelah
tangan—seakan kalau tidak ditahan begitu ada yang akan meloncat keluar. Dean
sempat melihat punggung Bunda yang gemetar sebelum pintu kamar tertutup.
Mendadak Dean merasa ada yang membekap sekujur badannya dengan setrum.
Kerongkongannya sakit saat menelan dan jakunnya berat. Lebih-lebih ketika dia
mendengar suara-suara dari arah depan rumah. Pintu pagar, pintu mobil, dan
pintu depan berturut-turut ditutup. Ketika melihat Dean, Ayah membanting map ke
arahnya seperti ninja melempar shuriken
pada musuh. Kertas dari dalam map-map itu pun seketika berserakan. Lalu Ayah
membuka pintu kamar dan mengempaskannya hingga seluruh rumah seakan berguncang.
Dean tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya di dalam. Dean cuma mendengar
seruan Ayah, “Udah, udah, enggak usah nangis!” tapi sepertinya tangisan Bunda
malah makin kencang.
Setelah beberapa
saat, Dean akhirnya bisa menggerakkan badan dan menarik napas dalam-dalam. Dia
melangkah dengan hati-hati, berusaha tidak menginjak sekaligus tidak melihat
apa pun yang tertulis pada kertas-kertas yang terserak itu. Dia memasuki
kamarnya, mencari-cari inhaler, menghirupnya kuat-kuat, dan telentang di kasur.
Suara-suara itu
masih kedengaran sampai menembus tembok kamarnya.
Setelah napasnya
reda, dia pun meraih jumper, jin, dan
dompet tanpa terpikir mau ke mana.
.
Dean seperti
terseret ke lorong waktu, ke masa belasan tahun lalu di suatu tempat yang tidak
dia tinggali lagi. Dia sedang berdiri tidak jauh dari balik sebuah pintu,
tempat asalnya suara-suara yang membuatnya terbangun malam itu. Suara-suara
yang menimbulkan keresahan di dalam dirinya, untuk kali pertama di dalam
hidupnya.
Entah sudah
berapa lama berlalu sejak Oma-Opa buyut membawa Deraz pergi. Opa buyut selalu
ramah pada Dean. Oma buyut juga, tapi tidak selalu. Dean tahu dari cara Bunda
memandang Oma buyut. Ada nada yang khas dalam suara Bunda tiap kali berbicara
pada Oma buyut, tentang Oma buyut. Termasuk pada malam itu. Tapi sekarang pun
Ayah tidak mau tahu.
Di balik pintu
itu ada yang saling berteriak, lalu ada yang berteriak dan ada yang menangis.
Di balik pintu yang lain tiba-tiba ada yang menangis juga. Dean menoleh ke
belakang. Sekarang ada dua orang yang menangis. Dean tidak tahu yang mana yang
mesti dia dekati lebih dulu. Keduanya sama-sama kedengaran tidak berdaya. Tapi
Ayah telah memilih. Pintu di depan Dean tiba-tiba terbuka. Dean memandang Ayah
dan Ayah menatap dirinya. Ayah melewati Dean dan masuk ke kamar yang satu lagi.
Ia menggendong Zara dan mengusap-usap kepalanya. Dean kembali melihat ke depan
dan mendekati Bunda. Bunda merengkuh dirinya, dan Dean merasa ada yang ikut
meluap dari matanya.
.
Ayah pernah
bercerita bahwa semasa dirinya dan Bunda kecil, komplek perumahan yang
ditinggali Oma dan Opa ramai oleh anak-anak—baik anak-anak pemukim maupun anak-anak
kampung di sekitar situ. Apalagi ketika sore. Anak-anak akan menyamperi satu
sama lain. Ada yang bertanding bola atau mengadu layangan di lapangan. Ada yang
bersepeda ramai-ramai mengeliling komplek sampai perkampungan. Ada yang senang
berkumpul di rumah saja. Ada juga yang mencari gara-gara dengan anak-anak
komplek sebelah sampai timbul tawur. Ayah dan teman-temannya kadang mengajak
Bunda keluar untuk main sama-sama. Tapi Bunda sering tidak mau. Mungkin Bunda
takut diajak tawur dengan anak-anak komplek sebelah, begitu canda Ayah.
Kini komplek itu
tampak lengang.
Oma dan Opa
mendiami rumah besar bercat putih di tepi perempatan jalan. Dean mendorong
pagar putih kecil yang membatasi jalan dengan taman rumah, lalu masuk melalui
pintu samping yang kebetulan tidak dikunci. Di balik pintu ada ruang makan yang
bersisian dengan dapur, dan Oma serta pembantunya yang tampak sedang memasak
sesuatu.
Oma terkejut
melihat Dean, sekaligus sangat senang. Ia segera menurunkan panci di atas
kompor yang sudah dipadamkan, lalu mencopot sarung tangan jumbo dari kedua
tangannya dan menyongsong Dean. Matanya berbinar-binar. Dean segera merangkul
omanya yang semakin pendek saja, atau dia yang semakin jangkung.
“Dean…. Oma
kangen deh. Udah lama Dean enggak main ke sini. Sombong, ya….” Oma balas
mendekap cucunya itu. Dean merunduk sementara Oma berjinjit untuk mengecup
kedua belah pipinya dengan gemas. Terhirup oleh Dean aroma badan Oma yang
selalu membuatnya merasa nyaman. “Pantas Oma mendadak kepengin masak. Tahunya
Dean dateng. Kok sendirian? Udah makan siang, Sayang?” Sambil memberondong Dean
dengan pertanyaan, Oma menggiring cucunya itu duduk di kursi ruang makan.
“Belum, Oma. Oma
bikin apa gitu?”
“Oma lagi nyoba bikin
bikin skutel stroberi. Kalau berhasil kan Oma bisa pamer sama teman-teman
arisan Oma.”
“Terus yang di panci
apa, Oma?”
“Kolak stroberi,
Sayang.”
“Lagi panen stroberi,
ya, Oma?”
“Iya. Tunggu, ya, Oma
bikinin minuman dulu.” Oma mencubit pelan pipi Dean sebelum berlalu.
“Stroberi lagi, Oma?”
“Iya, strawberry punch. Mau kan?”
“Mau.”
Dean tersenyum-senyum
menyaksikan Oma yang wira-wiri menyiapkan sendiri santapan untuknya. Dia lalu
bangkit melongok ke ruang tengah. “Opa mana, Oma?”
“Tadi sih ke lapangan.
Enggak tahu tuh kok sampai sekarang belum pulang. Dean entar nginep di sini
kan?”
Mengingat keadaan di
rumah sebelum ditinggalkannya tadi, Dean menjawab, “Mung… kin….” Pandangannya
tertumbuk pada piano di sisi tangga. Dia pun mendekat.
Terdengar suara Oma,
“Kok mungkin. Iya dong….”
Piano upright di sisi tangga itu sudah berubah
fungsi menjadi tempat memajang foto. Entah sudah berapa lama benda itu tidak
digunakan, dan entah sudah berapa tua juga usianya. Yang bisa memainkan benda
itu, dulu, cuma Bunda dan Oma. Oma belajar piano sewaktu kecil, tapi karena selalu
merajuk tiap kali gurunya datang akhirnya ia berhenti. Bunda lebih tahan
belajar piano daripada Oma, tapi akhirnya tidak meneruskan juga. Adiknya Bunda,
Om Alfian, tidak berminat pada piano sama sekali. Lagi pula, ketika Om Alfian
tumbuh, Oma buyut sudah pindah dari rumah itu untuk selama-lamanya, ikut
tinggal bersama suaminya di Freiburg.
Dean memindahkan satu
per satu bingkai foto pada kap ke bagian atas badan piano. Sebagian dari foto
itu berwarna hitam-putih. Setiap anggota keluarga ada fotonya masing-masing,
baik sendirian maupun bersama yang lain. Oma. Opa. Bunda. Om Alfian. Bunda
dengan Ayah. Om Alfian dengan istrinya. Dean, Deraz, dan Zara. Anak-anak Om
Alfian dengan istrinya—yang jarang bertemu karena mereka sekeluarga tinggal di
luar negeri. Lalu ada juga foto Oma buyut, dan suaminya. Lain dengan Oma dan
Bunda yang mewarisi ciri kaukasoid dari Opa buyut, tiap detail pada wajah Oma
buyut menunjukkan kekhasannya sebagai seorang perempuan pribumi berdarah
ningrat. Tatapan matanya lembut tapi menusuk. Senyumnya luwes sekaligus anggun.
Taplak rajutan Oma
disingkirkan. Terdengar derit yang mengiris telinga ketika Dean mengangkat kap
piano itu. Dean menarik bangku dari bawah papan tuts dan mendudukinya. Dengan
hati-hati dia menjatuhkan jemarinya pada tuts. Dia mencobanya berkali-kali
dengan wajah mengernyit lalu curiga bagian dalam piano itu sudah berkarat. Dia
mendengus.
Terdengar cakap-cakap
di dapur. Rupanya Opa sudah pulang! Dean mendekati Opa lalu menyalami tangannya
yang kapalan—entah karena dulu sering memegang pisau bedah atau karena sekarang
rajin menggenggam raket tenis. Mata Opa yang sipit dan berkantung itu tampak
tersenyum saat mengamati si cucu. Selain karena kulitnya yang putih, Opa sering
dikira orang Korea padahal urang awak.
Setelah makan siang
bersama Opa, Dean dan Oma menyantap skutel dan mengobrolkan apa saja di sofa
ruang tengah. Cuma Oma yang tidak menegur ketika Dean yang tinggi badannya
sudah menjulang itu masih ingin bermanja-manja dengannya.
“Oma, pianonya
dibenerin dong,” kata Dean. Jemarinya merayap ke ujung rambut Oma, memainkan
helaian-helaian yang sebenarnya sudah memutih itu. Oma secara rutin mengecat
rambutnya dengan warna aslinya yang kecokelatan.
“Kalau pianonya
dibenerin Dean mau mainin?”
“Iya. Mainin buat Oma.”
“Nanti Oma bilang sama Opa.”
“Bener, ya, Oma?”
“Iya.”
“Oma, Bunda senang
enggak sih main piano?”
Oma bergumam panjang
sambil mengingat-ingat. “Mungkin senang. Tapi waktu Oma buyut pergi, jadi
jarang main.”
Dean menyandarkan
kepalanya pada lengan Oma. “Cerita, dong, Oma, tentang Oma buyut.”
“Kan udah pernah?”
“Lagi, Oma.”
Oma pun bercerita.
Suara Oma seperti biskuit yang renyah ketika digigit, lalu krim di dalamnya
melumerkan rasa lembut dan manis ke seluruh lidah ketika dicecap. Tidak
tergesa-gesa, dan tidak juga terlalu pelan.
Pada zaman dulu kala, ada seorang perempuan dari Priangan yang menikah
dengan seorang lelaki berkebangsaan Jerman. Perempuan itu anak bangsawan
setempat, sementara sang lelaki sedang magang pada pamannya yang membuka usaha
di daerah itu. Pada waktu itu usia mereka masih sangat muda, belum mencapai
kepala dua. Pernikahan mereka awalnya tidak direstui oleh keluarga dari pihak
perempuan. Tapi mereka sangat kukuh dengan hubungan mereka. Hampir saja mereka
kawin lari. Akhirnya keluarga dari pihak perempuan pun memberikan restunya.
Perempuan itu kemudian melahirkan tiga orang anak. Pada waktu itu juga
sedang terjadi perang di mana-mana, termasuk di negara asal sang lelaki. Seusai
perang, lelaki itu diminta pulang untuk membantu membangun kembali bisnis
keluarganya. Karena keadaan di sana tidak lebih baik daripada di negeri
istrinya, maka lelaki itu meninggalkan perempuan itu dan anak-anak mereka. Ia
berjanji akan segera kembali.
Minggu berganti bulan. Keduanya rajin berkirim surat pada satu sama lain.
Tapi lama-kelamaan kiriman surat dari lelaki itu semakin jarang hingga berhenti
sama sekali. Juga kiriman uang. Mau tidak mau perempuan itu mengandalkan
bantuan kerabat untuk menghidupi anak-anaknya. Bulan berganti tahun. Tetap
tidak ada kabar. Ia sudah menyurati keluarga lelaki itu, siapa tahu terjadi
sesuatu yang buruk pada diri suaminya. Tapi tetap tidak ada kabar.
Karena tidak mau bergantung pada kerabatnya terus, perempuan itu berusaha
untuk mulai menghidupi dirinya dan ketiga anaknya secara mandiri. Ia
menjalankan usaha perkebunan warisan keluarga. Berkat sifatnya yang keras dan
gigih, usaha itu berjalan dengan baik. Anak-anak lelakinya ia sekolahkan
setinggi-tingginya sampai ke luar negeri, sementara anak perempuannya ia jaga
dengan sebaik-baiknya. Ketika menemukan calon pendamping yang ia rasa tepat
untuk anak perempuannya, dan tentunya sudah kenal baik juga dengan keluarga
lelaki itu, ia pun menjodohkan keduanya.
“Oh, makanya Oma pas
lulus SMA langsung nikah sama Opa, ya. Asyik dong, Oma.”
Oma tersipu, lalu
melanjutkan ceritanya.
Ketika tidak sedang meninjau perkebunannya, perempuan itu tinggal bersama
keluarga anak perempuannya. Ia ikut mengasuh cucunya, yang seorang perempuan
juga. Ia sangat sayang pada cucunya dan memerhatikan sekali pendidikan anak
itu. Ia sering menemani cucunya mengerjakan PR dan membantu anak itu memahami
pelajaran yang sulit dimengerti. Ia mengajari cucunya bermacam-macam
keterampilan, khususnya yang berhubungan dengan keputrian seperti memasak,
menjahit, dan menata rumah. Ia memanggil guru piano ke rumah supaya cucunya itu
bisa bersenang-senang dengan memainkan alat musik. Ia yang menentukan kapan
cucunya belajar dan bermain.
“Kalau ayahnya Dean
datang, mau ngajak main, pasti nanya dulu ke Oma, Oma buyutnya lagi ada enggak?
Dulu pernah tahu-tahu Oma buyut muncul, Ayah langsung kabur,” Oma mengenang
sambil tertawa kecil seakan itu lucu.
Dean memandang Oma
dengan ngeri. Seandainya dia yang berada dalam posisi Bunda pada waktu itu, Oma
buyut mungkin bakal sering memukuli pantatnya dan mengurungnya di kamar. Oma
buyut mungkin baru akan mengizinkannya keluar dari kamar hanya pada waktu makan
dan sekolah.
“Lanjutin lagi enggak
ceritanya?”
“Lanjutin, Oma,
hehehe.”
Oma pun kembali
bercerita.
Cucu perempuan itu hampir selalu patuh. Sesekali saja dia bermain di luar,
hanya ketika neneknya tidak berada di rumah. Memang, kadang mereka bertengkar.
Cucu perempuan itu merasa hidupnya seperti di penjara. Neneknya bersikeras
bahwa semua itu demi kebaikan anak itu sendiri. Sementara ibu anak itu hanya
bisa menyaksikan dari jauh, tidak pernah berani untuk mengusik kemauan sang
nenek.
Oma terdiam.
Dean terus memandangi
Oma dan terpikir untuk memintanya berhenti saja kalau-kalau merasa tidak
nyaman.
Tapi senyum Oma
berangsur-angsur kembali.
Pada suatu sore yang tenang, perempuan yang sudah jadi nenek itu
berjalan-jalan di perkebunannya. Lalu di kejauhan tampak sesosok lelaki.
Lama-kelamaan, ia bisa melihat sosok itu dengan jelas. Badannya yang jangkung
dan rambutnya yang cokelat mengingatkan perempuan itu pada seseorang. Orang
yang amat ia rindukan setelah berpuluh tahun tanpa kabar. Langkah-langkah
panjang itu semakin mendekat, terus mendekat.
“Itu Opa buyut, ya,
Oma? Opa buyut ke mana aja sih, Oma? Kok lama banget perginya?”
“Ceritanya panjaaang
banget.”
“Rangkumannya aja,
Oma.”
Setelah beberapa teguk strawberry punch, Oma pun melanjutkan.
Bisnis keluarga lelaki itu hancur akibat perang, dan ia diminta untuk
membantu membangunnya kembali dari awal. Lelaki itu pun tertahan di negaranya.
Ia sering mengirim surat pada istrinya. Awalnya kiriman suratnya itu selalu
berbalas, tapi lama-kelamaan tidak lagi.
Berkali-kali lelaki itu menyempatkan diri kembali ke Indonesia untuk
mencari istri dan anak-anaknya. Ketika datang ke daerah tempatnya tinggal dulu,
warga setempat bilang padanya bahwa di situ telah terjadi pemberontakan. Ada
banyak warga yang mengungsi, tapi ada juga yang tewas. Lelaki itu terus mencari
informasi, tapi sepertinya ia diarahkan ke tempat-tempat yang salah.
Tentu saja ia mencari kerabat istrinya untuk mendapatkan kebenaran. Tapi
kerabat yang ia temui itu menutup-nutupi keberadaan istri dan anak-anaknya.
Rupanya ada sebagian kerabat istrinya yang masih tidak senang padanya. Selain
itu, ia telanjur dianggap sebagai lelaki tidak bertanggung jawab karena telah
menelantarkan keluarga.
“Tapi akhirnya ketemu
juga, ya, Oma.”
“Iya, bersyukur
sekali….” Oma mengangguk. Senyumnya semakin sejuk. “Pada bisa ngumpul lagi….
Terus, Oma jadi tahu kalau vati-nya
Oma itu yang senang main piano. Mungkin karena itu Oma buyut pengin
anak-cucunya juga bisa main piano.”
Dean tersenyum melihat
sinar di mata Oma. Dean saja kangen ketika sudah terlalu lama tidak bertemu
Ayah, dan itu paling-paling cuma beberapa minggu—coba sampai beberapa puluh tahun!
Teringat Ayah, Dean jadi murung lagi. Cepat-cepat dia mengalihkan pikirannya.
“Lanjut, Oma….”
Akhirnya, perempuan itu mau memaafkan suaminya. Lelaki itu sungguh-sungguh
berjanji tidak akan meninggalkannya lagi.
Mereka pun kembali tinggal bersama-sama. Pada awalnya keduanya tinggal
bersama keluarga anak perempuan mereka. Apalagi pada waktu itu anak perempuan
mereka belum lama melahirkan anak kedua—seorang cucu laki-laki.
Sampai kemudian keduanya memutuskan untuk mengunjungi anak-anak mereka
yang lain—yang tentunya sudah punya keluarga masing-masing juga. Setelah itu
mereka akan menikmati sisa hidup di kampung halaman lelaki itu, di sebuah kota
kecil di selatan Jerman. Tepatnya, di pinggir sebuah hutan lebat yang tampak
kehitaman apabila dilihat dari kejauhan.
Meski berat, perempuan itu melepaskan anak dan cucunya untuk menjalani
kehidupan mereka sendiri. Ia melimpahkan urusan perkebunannya pada orang lain,
dan ikut “pulang” bersama suaminya. Mereka tidak akan membiarkan satu sama lain
terpisah lagi, kecuali oleh kematian. Dan, mereka pun hidup bahagia untuk
selama-lamanya.
Dean bertepuk tangan
pelan. “Ceritanya bagus, Oma.” Oma tersipu lagi sampai Dean merasa geli.
“Berarti waktu itu
Bunda masih SMA, ya, Oma?”
“Iya.”
“Kalau Oma buyut enggak
pergi, mungkin pas lulus SMA Bunda juga langsung dinikahin, kali, ya?”
“Mungkin… hehehe.”
Keriput di wajah Oma
semakin tampak ketika ia terkikih-kikih begitu, tapi Dean senang melihatnya.
Menurutnya, itulah yang menjadikan Oma seorang Oma. Oma yang selalu sayang dan penuh kasih pada cucunya. Maka dia
sulit menerima bentuk rasa sayang Oma buyut pada cucunya sendiri, Bunda. Dean
membayangkan Bunda yang ketika itu masih SMA bersorak-sorai merayakan
kebebasannya, segera setelah Oma buyut pergi bersama suaminya ke tempat yang
sangat jauh.
“Dari Bunda kuliah S1,
Oma mulai cari-cari. Oma kenalin Bunda sama anak temen-temennya Oma. Pada
ganteng-ganteng, pinter, tinggi-tinggi sekolahnya, dari keluarga baik-baik,
tapi enggak ada yang Bunda suka. Malah, udah beberapa kali ada laki-laki dateng
ke rumah, temennya Bunda, pengin ngajak keluar, apalah, tapi sama Bunda malah
dicuekkin. Kalau ada yang ngajak ngobrol, nanggepinnya galak. Bunda bilang ke
Oma, Bunda pengin selesein spesialisnya dulu, baru mikirin itu. Pas
spesialisnya udah selesai, eh, Bunda bilang pengin S2 dulu. Eh, S2-nya malah di
luar negeri. Kan jadi jauh sama Oma. Oma ketar-ketir banget waktu itu. Tapi
Bunda itu, sifatnya kayak Oma buyut. Kalau pengin A, ya harus A.”
Dean memperbaiki posisi
duduknya dan dengan penuh minat memandangi Oma yang terus bercerita.
“Udah gitu, tamat S2,
Bunda masih pengin ngelanjutin lagi. Katanya dapet beasiswa penelitian inilah,
itulah. Kapan selesainya? Kalau aja waktu itu diizinin sama Opa, Oma pengin
terbang ke Amerika, ikut tinggal sama Bunda, nyariin Bunda laki-laki sana kalau
perlu. Tapi waktu itu Opa masih kerja, Om Alfian juga masih sekolah. Oma cuma
bisa harap-harap cemas. Oma pusing tiap kali mikirin Bunda, takut jodohnya pada
keburu diambil orang.”
Oma berhenti sebentar
untuk menelan seteguk lagi minumannya.
“Lanjutin?”
“Iya atuh, Oma….”
Oma menghela napas dan
bersandar lagi pada sofa. “Yah, untung akhirnya Bunda ketemu lagi sama ayahnya
Dean.” Oma menatap Dean sambil melebarkan senyumnya. “Waktu itu, ketemu di
mana, ya, mereka, katanya…. Pokoknya ayahnya Dean lagi balapan, terus Bunda
lagi ada di sana juga, nonton, ketemu, ngobrol-ngobrol, terus janjian buat
ketemu lagi di sini, di rumah sini, kayak waktu dulu, pas masih pada
bocah-bocah.” Oma terdiam sebentar, sebelum melanjutkan, “Dulu, nininya Dean
kan kerja di sini. Kadang anaknya dibawa….”
Dean sudah mendengar
cerita itu berkali-kali. Dia tidak pernah bertemu dengan kakek dari pihak
ayahnya. Sejak Ayah masih anak-anak, Enin harus berjuang sendiri menghidupi
keluarganya. Tiap hari Enin pergi ke komplek perumahan dekat kampung tempatnya
tinggal, dan menawarkan bantuan pada para ibu-ibu. Enin pintar masak, jadi para
ibu-ibu dengan senang hati memberi pekerjaan padanya. Salah satu di antara para
ibu-ibu itu adalah ibunya Bunda—Oma. Ketika sedang bekerja di salah satu rumah,
kadang Enin membawa anaknya—Ayah dan atau adiknya Ayah. Karena itulah Ayah
kenal Bunda dan anak-anak sebayanya yang tinggal di komplek perumahan itu. Ayah
juga sering menjadi teman mengobrol Oma sejak dulu.
“Pas ayahnya Dean ke
sini, Oma cerita aja tentang Bunda. Kalau Bunda itu susah banget disuruh nikah.
Waktu itu Bunda juga lagi ada. Eh, ayahnya Dean terus bilang, Kalau sama saya aja gimana?” Oma
tertawa. “Oma kira ayahnya Dean cuma bercanda. Tapi Bunda nanggepinnya serius.”
Oma meneguk minumannya lagi.
“Terus?”
“Terus, Bunda nikah
sama ayahnya Dean.”
“Ah… gitu doang, Oma?”
“Iya, gitu.”
.
Tapi pada waktu itu
Bunda masih ingin meneruskan kehidupan akademisnya di Boston. Setelah menikah,
Bunda kembali tinggal di Boston sementara Ayah bolak-balik ke sana kemari
antara menengok istri dan mengikuti kejuaraan. Ketika Bunda hamil, Ayah
berhenti jadi atlet. Ia ikut tinggal di Boston untuk mengurus Bunda, lalu Deraz
dan Dean yang lahir kemudian. Dua tahun berselang, Bunda melahirkan Zara. Dari
pagi sampai malam Bunda sibuk di kampus, sementara sepanjang hari Ayah mengasuh
anak-anak di rumah.
Lalu datanglah Oma-Opa
buyut. Walau usia mereka hampir mencapai kepala delapan, kondisi mereka masih
segar bugar dan mampu berjalan-jalan ke tempat yang jauh tanpa ditemani orang
lain.
Dean ingat buyutnya itu
tinggal cukup lama bersama mereka, walau ketika malam keduanya sepertinya tidur
di tempat lain.
Pada anak-anak, mereka
baik sekali, suka mengajak main dan jalan-jalan, serta membelikan
barang-barang. Oma buyut senang menimang-nimang Zara, menggodanya sampai
tergeli-geli. Opa buyut sering merangkul Deraz dan Dean supaya bersandar di
dekatnya, lalu memancing keduanya berceloteh.
Tapi Dean jadi waspada
sejak melihat buyutnya itu bicara pada kedua orang tuanya pada suatu malam.
Saat itu Deraz dan Zara sudah tidur. Dean juga, sebetulnya. Tapi dia terbangun
karena menyadari Ayah tidak sedang bersama-sama mereka, dan mestinya pada waktu
itu Bunda sudah pulang. Dia mendengar suara bercakap-cakap, mengikutinya, dan
memerhatikan. Belum pernah dia melihat Bunda setegang itu. Padahal suara Oma
buyut pelan saja, agak berat. Ketika kedua orang tuanya ganti berbicara, Oma
buyut menghardik mereka. Dean kembali ke kamar dengan ketakutan. Dia tutup
telinganya rapat-rapat dengan bantal sampai ketiduran. Ketika terbangun lagi,
dia melihat Bunda sedang terisak di dekatnya. Ayah di samping Bunda. Tapi Dean
terlalu mengantuk.
Sejak malam itu Dean
lebih suka menempel pada Ayah ketimbang menanggapi apa pun yang ditawarkan
Oma-Opa buyut padanya. Biarpun Oma-Opa buyut mengajak ke taman bermain
kesukaannya, dan Ayah sedang sibuk membereskan rumah, Dean tetap tidak mau. Dia
terus saja memegangi baju Ayah sampai Oma-Opa buyut pergi dengan kedua saudaranya.
Apalagi ketika Bunda
pulang dan bertemu Oma buyut, Dean ingin lari saja dan bersembunyi di mana pun.
Pokoknya jangan sampai pembicaraan mereka sampai ke telinganya. Dia tidak tahan
mendengar nada Bunda pada Oma buyut, begitu juga sebaliknya. Memang sesekali
keduanya tampak baik-baik saja ketika bersama, terutama ketika ada anak-anak.
Tapi Dean menyaksikan itu dengan waswas.
Lalu tibalah hari
ketika mereka membawa Deraz pergi. Zara terlalu kecil untuk mengerti, tapi Dean
hampir menangis ketika mereka pulang dari bandara selepas mengantar Oma-Opa
buyut dan Deraz. Dia sering bertanya ke mana Deraz dan merasa gelisah, meski
Ayah selalu bisa menenangkan dirinya lagi. Lama-kelamaan Dean menerima
kepergian kembarannya. Tapi rupanya tidak begitu dengan kedua orang tuanya.
Bunda dan Ayah yang biasanya kompak jadi doyan mencak-mencak pada satu sama
lain, dengan nama Deraz disebut-sebut. Barulah ketika mereka pindah ke
Indonesia, Dean tidak pernah mendengar percekcokan itu lagi.
.
Ketika langit menjelang
gelap, Dean ditelepon oleh Zara. Dari melihat nama peneleponnya saja, Dean
sudah menduga apa yang akan dikatakan Zara. Dean juga sudah tahu apa yang akan
dikatakan Oma ketika dia menyampaikan perkataan adiknya itu. Oma malah meraih
ponsel Dean, menyapa cucu perempuannya, dan minta disambungkan dengan Bunda.
Selama bermenit-menit kemudian, Oma sibuk melancarkan bujuk rayu. Dean
mendengarkannya dengan waswas. Pulang atau tidak—itu tergantung pada suasana
hati kedua orang tuanya dan dia belum tahu. Oma akhirnya menutup telepon dan
mengeluh sambil cemberut, “Duh, bundanya Dean itu….”
Jadinya malah Opa dan
Oma yang mengantar Dean pulang. Oma membawakan kudapan buatannya siang tadi.
Semua anggota keluarga ada di rumah. Ayah. Bunda. Deraz. Zara. Dean terus
memerhatikan raut muka Ayah dan Bunda ketika mengobrol dengan Opa dan Oma, juga
setelah keduanya pergi. Mereka bersikap seakan kejadian tadi siang itu tidak
ada. Malah Dean merasa senang ketika Ayah menegurnya, menyuruhnya makan lagi
oleh-oleh dari Oma.
“Banyak banget Oma ngasihnya,”
kata Ayah.
“Iya, Yah,” ujar Dean
dengan pipi gembung. Mulutnya sedang terisi penuh oleh skutel.
“Enin mau enggak, yah,
diwadahin?” kata Ayah lagi sambil bangkit, lalu mencari-cari wadah di lemari
dapur.
“Ayah mau ke mana?”
tanya Zara ketika melihat Ayah mengenakan jaket.
“Mau ke Enin. Ikut?”
“Mmm…. Enggak, ah!”
Ketika Ayah pergi
sendirian dengan motor sambil membawa beberapa wadah berisikan kudapan Oma,
barulah Dean sadar. Dia belum melihat Ayah dan Bunda menegur satu sama lain
sedari tadi.
.
Ayah tidak bilang bakal
pulang malam itu atau tidak. Dean sudah menanyakannya lewat SMS, lalu merasakan
getaran di sisi sofa yang sedang dia tiduri. Ayah masih belum juga menyadari
ponselnya terselip di situ.
Ruang keluarga sudah
digelapkan. Tinggal cahaya dari TV plasma menyorot Dean yang masih dalam
penantian. Entah sudah pukul berapa ketika Bunda keluar dari kamar dan
menegurnya.
“Enggak tidur?”
“Belum ngantuk.”
Dean menyadari Bunda
sedang memandanginya. Dia pun beringsut ke ujung sofa supaya Bunda leluasa
duduk di sampingnya.
“Bunda pengin ngobrol
sama Dean.”
“Iya, Bun,” sahut Dean.
Agak tidak mengerti.
“Di teras belakang,
mau?” Kepala Bunda menuding sedikit ke arah yang dimaksud.
“Iya, Bun,” sahut Dean
lagi.
“Dean duluan ke sana,
ya. Pakai baju hangatnya. Bunda mau bikin minum dulu. Dean mau minum apa?”
“Cokelat.”
Dean langsung bangkit
dan mencomot kardigan dari gantungan baju di samping lemarinya. Dean berasa
oma-oma. Tapi tadi Bunda juga mengenakan kardigan. Kompakan.
Angin menyerbu Dean
begitu pintu belakang dibuka, tapi setelahnya sunyi senyap saja. Lampu-lampu
berkilauan menghias taman yang gulita. Di pojok ada balai-balai yang lampunya
tidak sedang dinyalakan. Di situ Dean pernah melihat Ayah merokok sendirian
malam-malam, ketika Bunda tidak ada.
Dean duduk di salah
satu kursi besi ukir di teras, menanti Bunda dan secangkir cokelat hangat.
Tidak lama kemudian yang dinanti pun tiba. Bunda juga membuat cokelat untuk
dirinya sendiri. Cokelat buatan Bunda selalu lebih harum dan khas rasanya
ketimbang buatan kafe mana pun, meski diseduh dari bubuk instan. Kegemaran
Bunda dalam meracik teh tampaknya terpakai juga ketika membuat cokelat.
Bersama-sama mereka menghirup minuman itu.
Bunda meletakkan
cangkirnya pada tatakan di meja, terdiam sebentar sebelum berkata, “Dean.”
“Ya, Bunda?” Dean
meletakkan cangkirnya juga.
“Maafin Bunda, ya,
Dean. Maafin Ayah juga.”
Dean terkesiap. “Minta
maaf kenapa, Bunda?”
Bunda malah tersenyum,
seakan geli dengan reaksi Dean. Ia meraih map yang terletak di kursi di
sampingnya. Dean tidak melihat ada benda itu sebelumnya. Bunda menyingkirkan
cangkir-cangkir cokelat ke tepi, sehingga ada cukup ruang di meja untuk
menyibak map itu dan memperlihatkan isinya. Hasil psikotes Dean dari masa ke
masa.
“Dean inget Bu Mira?”
Dean berpikir-pikir
lalu menggeleng, hanya merasa samar ketika dia SD dia pernah dibawa menemui
seorang wanita. Wanita itu menyodorkan banyak gambar dan kertas ke hadapannya,
bertanya ini-itu, dan setelahnya mereka mengobrol banyak sekali.
“Bu Mira bilang, Dean
enggak ada masalah apa-apa. Dean cuma gampang bosan di kelas. Gitu?”
Dean mulai menangkap
arah pembicaraan. Lagi-lagi…. Dia
menjawab saja, “Ya.”
Bunda mengangkat
lembaran demi lembaran dari map itu, membacanya sepintas-sepintas. Diam-diam
Dean melihat tiga digit angka yang ada lembaran tertentu. Tiga digit angka yang
selalu berganti-ganti, tapi besaran masing-masing tidak berselisih jauh. Dean
tidak paham arti tiga digit angka itu. Bunda sering menyinggungnya setelah
menjelaskan suatu hal berulang-ulang, tapi Dean tetap tidak paham. Pada
akhirnya Bunda selalu cuma bisa bilang, Kamu
bisa, tapi kamu enggak mau.
Kepala Bunda terangkat
sedikit. Wajahnya mengarah ke langit yang kelam. Ia tampak merenungkan sesuatu.
Entah apa. Alisnya semakin berkerut dan matanya mulai redup. Lalu ia memandang
Dean lagi. Suaranya lirih, “Dean maunya
jadi apa?” Nada Bunda seperti lazimnya orang tua menanyakan cita-cita pada
anaknya.
Itu bukan pertanyaan
yang baru sekali Bunda sampaikan pada Dean. Dean ingat pernah menjawab ingin
jadi astronaut, penyelam, penari balet, pembalap liar, sampai kolektor Dragon
Ball dan Pokemon. Lalu sampai belakangan dia ingin membuat lagu untuk Rieka.
Tapi dia merasa tidak bisa bilang pada Bunda seperti pada Zahra, Nanyanya salah, bukan mau jadi apa, tapi mau ngapain. Maka dia
menggeleng saja, menjawab, “Belum tahu.”
“Kalau Dean ngerasa
enggak cocok belajar di SMA Selonongan, di sekolah negeri, Bunda nanti carikan
sekolah yang pas, atau, kalau perlu guru yang khusus sekalian. Kayak Deraz
waktu baru pindah sama Oma-Opa buyut, awalnya kan manggil guru dulu ke rumah.”
Dean diam saja. Bunda mengusap pipi kanan anaknya dan tersenyum. “Bunda mah
sayang kalau Dean punya potensi tapi enggak berkembang.”
“Dean enggak apa-apa
kok, Bun, di Smanson. Enak kok di sana. Luas. Banyak tempat mainnya. Banyak
temennya.”
Bunda tampak geli. Tapi
Dean tahu bahwa Bunda sama sekali tidak terhibur. Tatapan Bunda pindah ke
lantai, lalu ke rumput, dan entah ke mana lagi yang searah. “Ayah juga bilangnya gitu. Ayah pengin
anak-anak di sekolah yang biasa-biasa aja, biar gaul sama masyarakat…” lalu
suaranya memelan, “…biar Ayah masih sanggup bayarnya….”
Dean tersengat, tapi
segan mengatakannya. Dia cuma sadar bahwa rumah Oma lebih besar, pembantunya
ada tiga, dan Bunda yang biasa membelikan anak-anaknya hadiah, bukan Ayah.
“Mmm… Bunda,” sahut
Dean, sebelum perasaan tidak enak di hatinya menjadi-jadi, “Jadi, rapot Dean
tadi gimana? Dean naik kelas… kan?”
Melihat perubahan raut
wajah Bunda, Dean malah panik. Ya ampun,
Bunda, jangan nangis lagi!
X
Tidak ada komentar:
Posting Komentar