Kamis, 10 Desember 2015

#9 Janjiku kepadamu

Pagi itu Dean membulatkan tekad. Begitu sampai di kelas, dia meletakkan ransel di bangku sebelah Zahra yang kosong.

Jelas Zahra terkejut tiba-tiba Dean akan menjadi teman sebangkunya. Tapi ia memilih untuk tetap mendiamkan anak itu. Bahkan ketika Dean menegurnya, sambil menuding ke arah kolong mejanya yang berisi tas oleh-oleh dari luar negeri itu, “Masih belum mau diambil juga?” Zahra diam saja seolah-olah anak itu tidak ada.

Yang menegur Dean malah para guru. Mereka heran karena tumben-tumbenan Dean mau duduk di bangku paling depan—tepat di hadapan meja guru pula. “Kamu datangnya kesiangan? Enggak kebagian tempat duduk yang biasanya?” begitu rata-rata komentar mereka. Dean cuma menjawab sambil cengengesan, “Lagi pengin ganti suasana.”

Ada juga yang menegur, “Kamu udah minta izin sama yang duduk di belakang kamu? Badan kamu kan jangkung. Enggak ngalangin?”

Dean langsung menoleh pada anak-anak yang duduk di barisan tepat di belakang punggungnya.

“Ngalangin enggak?” tanyanya.

“Enggak,” jawab mereka serempak.

Guru itu cuma mencandainya.

“Jadi enggak bisa main game lagi dong,” kata Pak Bagod saat pelajaran Biologi. Ternyata diam-diam ia tahu kelakuan Dean.

Dean cuma menanggapinya dengan tawa renyah, sambil menyahut, “Ah, Bapak mah gitu banget ih.”

Sementara itu kata Bu Diana saat pelajaran Fisika, “Nanti kamu jadi enggak bebas kalau mau ngobrol.”

“Enggak apa-apa, Bu. Kan sekarang mah saya mau merhatiin Ibu aja,” ucap Dean seakan memang maksudnya mau mengambil hati.

“Kalau gitu, sekarang kita ulangan elektromagnetik. Udah pada ngerti bahasan yang kemarin, kan?”

Anak-anak langsung pada menjerit. “Belum, Bu, belum!”

“Ardian aja udah siap sampai pindah duduk ke depan,” sahut Bu Diana dengan cuek. “Ayo, kertasnya dikeluarin!”

Dean menoleh ke belakang, ke arah teman-temannya yang masih pada menggerutu sambil menyobek kertas dari buku tulis masing-masing. Dia mengangkat kedua jari tangan kanannya—jari telunjuk dan jari tengah. Entahkah ada yang melihatnya atau tidak. Peace!

Bu Diana menulis beberapa soal di papan tulis. Tidak banyak. Ia cuma ingin mengetes pemahaman siswa pada pertemuan yang lalu.

Dean menyalin soal dari papan tulis ke kertas dengan tenang, lalu merasa dirinya berhenti berkeringat dan perutnya mulai mulas. Dia menoleh pada Zahra, yang mengerjakan soal dengan posisi menyamping memunggunginya. Dia menoleh ke sisi kanan, terus sampai ke belakang, dan sadar bahwa dirinya dikepung sekumpulan anak yang tidak pernah tergabung dalam Pasukan Sarang Semut. Sementara itu teman-teman yang biasa membantunya, entahkah dengan memberi kode atau menggeser kertasnya agar terlihat oleh Dean, terasa amat sangat jauhnya di belakang.

“Ngeliatin apa, Ardian?” terdengar suara Bu Diana dari arah belakang. Rupanya guru itu sedari tadi berdiri di ujung barisan bangkunya.

Dean kembali menatap kertas di mejanya. Dia berusaha mengingat-ingat apa saja yang dikatakan Bu Diana pada pertemuan yang lalu, lalu menulis saja seadanya. Dean sadar bahwa apa yang dia tulis kemungkinan besar tidak sesuai dengan apa yang ditanyakan dalam soal, atau dia kesulitan menghubungkannya. Dean cuma bisa berharap Bu Diana maklum bahwa sedikitnya ada yang dia tangkap pada pertemuan itu. Setelah menulis beberapa kalimat dan rumus, Dean merasa buntu. Dia bahkan tidak tahu yang sudah ditulisnya itu jawaban untuk soal nomor 1, 2, atau 3. Suara ketukan sepatu Bu Diana di lantai mulai menimbulkan kedutan di keningnya. Dia meletakkan pulpen di meja, menangkupkan kedua belah tangannya di depan mulut, menatap langit-langit, dan mulai memikirkan lagu untuk Rieka sampai Bu Diana menyuruh anak-anak mengumpulkan kertas jawabannya.

Dean tidak tahu bahwa diam-diam Zahra memerhatikannya, terutama pada kertas ulangannya yang ketika dikumpulkan nyaris kosong. Tapi Zahra tetap diam, begitu juga tiap kali Dean memberinya teguran sepanjang hari itu.

“Ke kantin enggak, Zahra?”

“Kamu enggak jajan apa-apa?”

“Mau ke WC, ikut enggak?”

“Tadi barusan Bu Elly ngomong apa, ya?”

Hari yang cukup berat bagi Dean. Tidak biasanya dia sebangku dengan orang yang setidak-responsif itu, tidak bisa diajak mengobrol soal apa pun. Kalaupun bisa, posisi tempat duduk tersebut memungkinkan obrolan cuma bisa dilakukan pada pergantian pelajaran, pelajaran kosong, jam istirahat, dan jam pulang sekolah. Ketika jam pulang sekolah itulah, Dean langsung saja mengutarakannya pada Zahra. Zahra duduk di bangku dekat dinding, sehingga ketika mau keluar ia mesti melewati Dean. Tapi Dean menghalangi jalannya.

“Saya pengin belajar lagi sama kamu,” kata Dean. “Kali ini mah beneran.”

Zahra masih tidak mau melihat padanya, tapi ia menjawab, “Ngapain belajar? Pas ulangan kan tinggal nyontek, atau kerja sama.”

“Jangan suuzan dulu atuh. Siapa tahu kali ini mah saya bener-bener beneran.”

“Kenapa?” Nada Zahra menyelidik.

“Biar kamu mau nerima pemberian ibu saya.”

Muka Zahra makin merengut saja. “Minggir,” katanya.

“Iya enggak? Iya dulu atuh.”

“Minggir ah!”

“Saya serius! Kamu mah jangan gitu banget atuh jadi orang teh. Coba kamu ngasih sesuatu ke orang lain. Maksud kamu baik. Tapi orang itu malah nolak pemberian kamu. Perasaan kamu gimana, sok?”

“Tapi enggak gitu caranya,” Zahra senewen.

“Makanya itu, Zahra, sekarang saya ikutin lah cara kamu. Kamu maunya gimana.”

“Kamu keukeuh banget ih.”

“Kamu juga gitu ke saya.”

Entah kapan Zahra akan berhenti manyun dan mau memandang Dean.

Kata Dean lagi, “Jadi kamu mau apa enggak?”

Zahra masih saja diam.

Lagi-lagi Dean angkat suara, “Kamu kan maunya saya ngerjain sendiri PR sama ulangan. Hayuk. Tapi belajarnya kan saya kan enggak bisa sendirian. Kamu yang bantuin.”

“Ya udah,” kata Zahra.

“Jadi oke, ini teh?”

“Enggak tahu ah!”

“Kok gitu?”

“Minggir atuh!”

Zahra berdiri dan berusaha lewat melalui celah di antara Dean dan meja. Mau tidak mau Dean menyingkir.

Dean lalu buru-buru menggendong ranselnya, tidak lupa mengambil pemberian Bunda dari kolong meja Zahra, dan mengejar cewek itu. Dia mengiringi langkah Zahra sampai ke depan rumahnya. Sepanjang jalan Zahra melangkah cepat-cepat dan tidak menjawab teguran Dean sedikit pun.

Ketika Zahra akan memasuki rumahnya, Dean bertanya lagi, “Kamu mau kan bantuin saya lagi?”

Tapi cewek itu tetap tidak menjawab. Melirik saja tidak. Zahra masuk saja dan menutup pintu depan rumahnya, meninggalkan Dean berdiri di balik pagar sambil menenteng tas karton berisi oleh-oleh ibunya.

Cuaca sangat terik siang itu. Dean tidak betah berdiri lebih lama. Dia melalui pintu pagar rumah Zahra sambil berkata, “Punten,” yang artinya “Permisi” dalam bahasa Sunda. Setelah mencopot sepatu, dia duduk di bangku teras rumah itu dan meletakkan semua bawaannya, termasuk jumper yang semula membungkus badannya.

Lama Dean termangu saja sambil memandangi deretan pot berisi suplir di ujung kakinya. Dia lalu memutuskan untuk mampir ke paviliun Kakek. Kakek mengira Dean akan main-main seperti biasanya. Tapi rupanya Dean cuma mau menitipkan barang. Dia mencari-cari celah yang tersembunyi di ruang depan paviliun Kakek, dan menaruh barang itu di situ.

“Itu apa?” tanya Kakek.

“Tas.”

“Tas siapa?”

“Buat Zahra.

“Enggak dikasihkan langsung aja ke Zahra?”

“Buat kejutan,” kata Dean. Lagaknya mengajak Kakek main rahasia-rahasiaan.

Setelah itu Dean pamit pulang. Kakek heran, tapi membiarkannya saja. Ia tidak tahu bahwa Dean sudah bisa kembali main piano di rumahnya sendiri.

Sesampainya di rumah, Dean memang memainkan pianonya itu. Rumah sedang sepi dan Bik Odah baru saja pulang. Tapi baru sebentar saja bermain, Dean merasa jari-jarinya semakin berat. Bukan cuma karena tuts piano lebih berat daripada tuts kibor, bukan. Ada sesuatu yang lain yang membuat dirinya merasa berat. Lalu dia teringat akan perkataan Bunda, Boleh main sebentar kalau udah belajarnya.

Setelah berusaha bertahan beberapa lama lagi, Dean akhirnya menyerah. Dia lalu melihat-lihat buku pelajarannya, mencari-cari mana yang kira-kira paling gampang. Sosiologi? Dia pun mulai membuka-buka buku itu sambil tiduran di sofa.

.

Pada hari-hari berikutnya Dean terus duduk di samping Zahra, dan Zahra terus mengabaikan Dean. Dean bersikap seolah-seolah Zahra akan memerhatikan kalau dia menegur, sehingga kadang dia terlihat seperti yang bicara sendiri atau pada tembok. Sementara itu Zahra bersikap seolah-olah ia tetap duduk sendiri dan di sampingnya itu cuma angin lalu.

Para guru makin terbiasa dengan kehadiran Dean tepat di muka mereka, dan tidak ragu-ragu memanfaatkannya. Barangkali karena tampang Dean yang peramah seakan selalu siap diajak kerja sama. Tiap kali mereka mau memeragakan sesuatu selagi menerangkan, atau ingin agar siswa mengerjakan soal di papan tulis, atau sekadar menanyakan suatu hal entahkah itu ada sangkut-pautnya dengan pelajaran, biasanya Dean kena. Ada juga guru yang tiap kali menerangkan seakan bicara sendiri sambil duduk saja di balik mejanya, sementara para siswa asyik mengobrol dengan sesamanya. Karena sekarang Dean duduk di depannya, dan (bersikap seolah-olah) memerhatikannya, guru itu merasa akhirnya punya lawan bicara.

Teman-teman Dean sesama gembel alias gerombolan anak belakang tentu saja heran kenapa anak itu mau-maunya duduk di bangku paling depan, tepat di hadapan meja guru pula. Mereka menganggap tindakan Dean itu lebih nekat daripada menjalankan taktik Sarang Semut diawasi guru paling ketat di Smanson, seperti memasukkan kepala ke mulut macan. Apalagi Dean cuma duduk di bangku “keramat” itu ketika ada guru. Pada jam-jam tidak ada pelajaran dia menghampiri teman-teman sebangsanya dulu dan bergabung saja seperti biasanya.

“Kamu lagi pedekate sama Zahra?” ada yang bertanya begitu.

“Enggak,” sahut Dean.

“Mata kamu udah enggak jelas kalau ngelihat papan tulis di belakang?”

“Biasanya juga si Dean mah jarang ngelihat papan tulis!”

“Pakai kacamata atuh.”

“Enggak,” Dean menggeleng juga.

“Kamu lagi ada misi khusus sama guru?”

“Enggak.”

Teman-teman Dean pun tidak mempersoalkannya lagi. Toh Dean saja tidak mempersoalkannya, padahal iya. Diam-diam dia menahan perasaan bosan dan merana sepanjang waktu, hari demi hari. Dia ingin mengobrol dengan teman sebangkunya. Dia ingin mengeluarkan ponselnya dan membuka game. Dia ingin teman sebangkunya membawa tabloid yang bisa dintip sama-sama sementara pelajaran. Dia ingin memejamkan mata dan mimpi seru tiap kali mengantuk tanpa langsung terlihat oleh guru. Dia ingin mengerjakan ulangan di dekat teman-teman yang selalu siap sedia mengulurkan jawaban padanya.

Yang jadi penghiburannya selama jam-jam penuh penderitaan itu hanyalah meredam suara guru yang masuk ke pendengarannya dengan suara lain yang meluap dari hatinya. Suara musik yang ingin dia perdengarkan suatu hari nanti pada Rieka. Atau, kalaupun itu bukan musik yang ingin didengar Rieka, setidaknya dengan mengkhayalkannya saja sudah membuat Dean merasa tenteram sejenak.

Kadang Dean berpikir-pikir untuk kembali duduk bersama anak-anak gembel, mengalami masa SMA yang indah dengan jalan sembunyi-sembunyi. Kadang Dean bertanya-tanya demi apa dia melakukan ini….

Sampai suatu hari, pada pergantian pelajaran, tahu-tahu Zahra bertanya padanya, “Kamu masih perlu dibantuin belajarnya?” Suaranya kecil dan tidak jelas sehingga Dean mesti minta supaya pertanyaan itu diulang. Hampir saja Zahra batal bicara sama sekali.

“Kamu mau?” Dean balas bertanya.

“Belajarnya kan enggak mesti sama saya. Banyak yang lebih pinter dari saya di kelas ini mah.”

“Iya sih. Tapi kamu mau kan?”

“Ya udah.”

“Bener?”

“Iya.”

Senyum Dean makin cerah. “Makasih, Zahra! Hari ini? Boleh?”

Zahra mengangguk.

“Kenapa kamu tahu-tahu jadi mau?”

“Kasihan kamu. Tiap kali ulangan nyerahinnya kertas kosong melulu.”

Dean tertawa saja.

.

Hari belajar bersama Zahra dimulai lagi. Ketika tidak ada PR dan ulangan untuk besoknya, Dean ikut saja apa yang sedang Zahra ingin pelajari. Dean berusaha memusatkan pandangan pada buku pelajaran, biarpun pikirannya tetap saja lari ke sana kemari. Kadang dia tidak tahan untuk bergulingan di karpet sambil mengerang, atau tangannya gatal ingin mencabut ponsel dari saku. Tapi begitu melihat tatapan Zahra, Dean cepat-cepat memperbaiki posisi duduknya dan bersikap kalem.

Ketika terdengar azan asar, biasanya Dean akan menegur Zahra soal pekerjaan rumahnya yang lain. Begitu juga kali ini. “Kamu mau nyapu-nyapu atau nyiram-nyiram dulu?” Tapi Dean tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera kabur ke paviliun Kakek. Dean duduk tegak dan nada pertanyaannya itu seakan dia mengharapkan Zahra untuk cepat kembali.

Zahra pun membuka-buka halaman buku pelajarannya dan menunjuk pada suatu latihan. “Gimana kalau kamu kerjain dulu soal-soal ini?”

Dean melirik halaman itu lalu memandang Zahra. “Cita-cita kamu jadi guru, ya?”

“Kenapa gitu?” Zahra mulai merengut.

“Sukanya ngasih soal.”

“Ya udah kalau enggak mau!”

“Iya, Zahraaa, iya iya iya…!” sahut Dean sambil menyiapkan kertas untuk mencorat-coret soal.

Selepas kepergian Zahra dan coretan sepanjang beberapa baris, Dean merebahkan badan di karpet, mengeluarkan ponsel dari saku, dan membuka game. Akhirnya! Tidak heran ketika Zahra kembali dan melihat hasil pekerjaan Dean, wajahnya langsung cemberut. Dean cengengesan saja dan berkata seakan tidak ada yang salah, “Kerjain bareng, yuk!”

Pada hari-hari setelahnya tetap tidak gampang meninggalkan Dean supaya belajar sendiri tanpa pengawasan. Tapi setidaknya Dean tidak lari ke paviliun Kakek setelah azan asar. Dia cuma tiduran sambil mengutak-atik ponselnya, sementara Zahra menyelesaikan tugas-tugas lainnya dulu. Lalu mereka kembali belajar bersama sampai terdengar azan isya.

Malah jadi Kakek yang mengunjungi ruang tengah lantai dua. Awalnya tidak sengaja. Ia cuma mau mengambil sesuatu di kamar Kang Lutung dan melewati mereka.

“Kamu di sini?” tegur Kakek ketika melihat Dean. “Katanya mau belajar buat UAS.”

“Ini juga lagi belajar, Kek,” Zahra menegaskan.

Kakek pun pergi setelah mendapatkan barang yang ia cari. Tapi beberapa lama kemudian ia kembali dan menegur. “Udah belajarnya?”

“Belum!” seru Zahra.

Dean tergelak saja.

.

Tapi tentu saja Dean kangen pada paviliun Kakek, pada kibor cantik yang makin lama saja tidak kena belaian jarinya, pada koleksi album Kakek yang tidak habis-habis dia dengar, juga pada suara parau Kakek saat menceritakan segala kenangannya yang kadang diselingi dengan nasihat. Maka pada suatu sore, ketika Zahra kembali dari sapu-sapu dan siram-siram—siap meladeni temannya yang bebal itu lagi, Dean bukannya meraih bukunya untuk melanjutkan belajar seperti biasanya. Dia bangkit dari tidurannya, meregangkan badannya, dan malah mengajak Zahra ke paviliun Kakek. “Jangan terlalu diforsir ah,” katanya.

“Ya udah kalau kamu enggak mau belajar lagi,” kata Zahra tanpa bermaksud merajuk.

Lama-lama Zahra bisa juga memaklumi Dean, yang katanya jarang sekali belajar. Belakangan ini hampir tiap hari anak itu ke rumahnya, berkutat dengan pelajaran dari sepulang sekolah sampai menjelang malam. Apalagi UAS makin dekat saja. Zahra sendiri sudah lama tidak menonton drama di TV demi menemani Dean.

“Kamu aja yang ke sana.”

“Kamu ikut juga. Lagian kamu jarang kan ke paviliun kakek kamu. Hayuk…!”

Dean merangkul Zahra, bermaksud menggiringnya. Tapi Zahra langsung melepaskan lengan Dean.

“Iya! Tapi enggak usah pegang-pegang!”

“Hihihi….”

Sesampainya di paviliun, Dean langsung menyapa Kakek. Kakek sedang menonton sinetron seperti biasanya, ketika tidak ada Dean.

“Boleh dengerin album, Kek?” Dean minta izin lebih dulu.

“Boleh atuh.”

Kakek pun mengecilkan volume TV sementara Dean memilih-milih album dan memasangnya di gramofon.

“Udah, kamu duduk di aja di sofa,” kata Dean pada Zahra.

Tampaknya Zahra masih bingung buat apa ia mesti ikut mampir ke tempat Kakek. Ia pun duduk di sofa sambil memandang TV yang suaranya tinggal sayup-sayup, tertimpa alunan lagu dari gramofon yang volumenya lebih kencang.

Sementara itu Dean duduk di depan kibor dan menyalakan alat itu. Jari-jarinya langsung bergerak dengan lincah di atas papan tuts, mengiringi musik kesukaannya. Kepalanya bergerak-gerak. Dia berpaling pada Zahra yang melihatnya dengan raut datar, lalu cuek saja meneruskan permainannya.

“Zahra mah dari kecilnya juga diem aja kalau ada lagu. Lain sama Zia. Ada irama dikit aja, joget dia,” kata Kakek yang baru kembali dari mengambil minuman—untuk dirinya sendiri saja.

Zahra seakan tidak mendengar perkataan kakeknya itu. Bibirnya tetap mengatup rapat. Meski kelihatannya seperti yang cemberut, sebetulnya tidak.

Ketika lagu yang diiringinya habis, Dean beralih memainkan irama lain yang lebih riang. Dia sempat berpaling lagi pada Zahra dan cewek itu masih saja diam, malah memerhatikan entah apa di meja. Dia pun kembali menikmati permainannya. Kakek juga, sesekali mengiringi dengan gerakan kepala dan senandung.

Setelah beberapa lagu lagi yang semakin cepat saja ritmenya, Dean menyudahi permainannya dan bersama Zahra pamit pada Kakek.

Di luar langit sudah gelap sekali. Jelaslah mereka tidak akan melanjutkan pelajaran lagi hari itu. Maka Dean mengiringi Zahra kembali ke rumah cuma untuk mengambil barang-barangnya.

“Kamu mah ada musik teh malah diem ih,” kata Dean.

“Kamu mainnya kayak lagi kesambet,” sahut Zahra.

Dean mesem saja.

.

UAS semakin dekat saja. Pertanyaan Zahra pada suatu sore mengingatkan Dean. “Kamu belajar kayak gini, emangnya mau ngerjain sendiri pas UAS?”

Dean terdiam dulu, lalu, “Enggak tahu. Sebenernya mau belajar atau mau nyontek, saya mah sama-sama males.” Dean mengabaikan muka Zahra yang langsung mengernyit. Lanjutnya, “Kalau temen-temen mah kayaknya ngebet banget dapet jawaban bener sebanyak-banyaknya teh. Padahal mereka di rumahnya belajar. Saya mah biasa aja. Kalau lagi pengin, hayuk. Kalau lagi males mah, ya udah.”

“Kamu sebenernya pengin jadi apa sih?” tanya Zahra tanpa bermaksud apa-apa. Ia cuma takjub karena Dean bisa setidak acuh itu pada urusan sekolah.

“Nanyanya salah,” sahut Dean. “Bukan saya pengin jadi apa, tapi saya pengin ngapain.”

“Kamu pengin ngapain gitu?”

“Pengin bikin lagu buat Rika.”

“Rika?”

Dean memandang Zahra dengan tidak percaya. “Enggak kenal? Anak X-5.” Zahra tampaknya masih belum terbayang. Kata Dean lagi, “Kalau kamu pas MOS segugus sama Deraz, berarti kamu segugus juga sama dia.”

Zahra meng-“oh”-kan saja.

“Pacar…” tambah Dean, “mulai tahun depan.”

Zahra mengerutkan dahi.

Dean tiba-tiba mesem. Dia lalu bercerita pada Zahra bahwa pernah ketika ulangan, ada temannya yang diminta memberikan jawaban. Temannya itu buru-buru menuliskan jawaban di atas secuil kertas, lalu memberikannya pada yang meminta. Ketika gumpalan kertas itu dibuka, isinya nyaris kosong. Rupanya tinta pulpen temannya itu habis. Jadilah, supaya jawaban itu kelihatan, permukaan kertas mesti diarsir dulu. Seperti relief.

Zahra tidak ikut geli, tapi ia menimpali, “Sebenernya, saya juga pernah mau bikin contekan.” Lagi-lagi Dean memandang Zahra dengan tidak percaya. “Waktu itu rasanya enggak pede aja. Hafalannya banyak sih. Terus saya coba salin rangkumannya ke kertas kecil-kecil. Udah saya umpetin di saku. Enggak tahunya, pas ulangan, saya masih inget sama isi contekannya. Enggak jadi dikeluarin deh.”

Dean terbahak-bahak. “Kamu mah kepinteran!”

Zahra menunduk saja, supaya tidak kelihatan bahwa ia tersipu-sipu. Lalu ia terpikir untuk menambahkan, “Mungkin kamu bisa coba. Bikin rangkuman, terus disalin berkali-kali sampai itu nempel di kepala kamu.”

“Mending, kamu mah tulisannya rapi, jelas kebaca. Saya mah kadang enggak bisa baca tulisan saya sendiri.”

“Enggak apa-apa enggak kebaca juga. Yang penting, pas nyalinnya, kamu sambil nginget-nginget.”

“Saya mah mending dengerin kamu jelasin aja deh.”

Zahra mendengus. “Ya udah.” Ia malas berdebat lama-lama.

“Eh, gini-gini saya juga pernah lo ngasih contekan,” kata Dean dengan nada sombong. Ganti Zahra yang memandang Dean dengan ragu. “Dulu kan Deraz sempet tinggalnya di Jerman, terus pas dia pindah ke sini, bahasa Indonesianya jelek banget. Susah ngomong ke dia pakai bahasa Indonesia mah. Pas ada ulangan juga dia enggak bisa ngerjain. Kan saya kasihan. Saya bilang aja ke dia, Lihat jawaban aku aja. Yah, dia nurut. Tapi pas hasilnya dibagiin, kayaknya dia jadi kapok nyontek ke saya lagi. Habis itu dia maunya belajar sendiri aja.”

Zahra terkikih sambil buru-buru menutup mulutnya.

“Kalau mau ketawa, ketawa aja. Enggak usah jaim,” kata Dean. Baru sekali itu dia melihat Zahra kegelian. Biasanya cewek itu cemberut melulu.

Zahra pun menurunkan tangannya dari mulut. Senyumnya masih ada, tapi ia menunduk saja.

Senyum Dean jadi tambah lebar. Zahra sebetulnya manis. Kalau saja cewek itu mau lebih banyak tersenyum.

Ketika Dean pamit dari rumah Zahra hari itu, petang sudah semakin gelap. Tapi itu termasuk cepat untuk hari-hari belakangan ini. Sering kali Dean baru keluar dari sana pukul delapan malam.

Dean mampir dulu ke kios di dekat rumah Zahra. Dia membeli sebatang rokok, dan mengisapnya sambil melanjutkan berjalan ke tempat mencegat angkot. Rasanya seperti melumuri mulut dengan cuka campur keluak. Dia sudah lama tidak merokok, sudah lama juga tidak mampir ke pelataran Tenis Net—tergantikan oleh kunjungan ke paviliun Kakek atau rumah Zahra yang semakin intens. Dia memikirkan Zahra, dan Bunda, dan Rieka—yang tadi pagi turun dari Honda CBR milik pacarnya di pelataran sekolah. Pikirannya itu tidak berujung ke mana-mana selain ke angkasa melalui asap yang membubung dari mulutnya.

Ketika sampai di rumah dan disambut Bunda dengan pertanyaan yang itu-itu saja, Dean langsung menjawabnya dengan, “Udah, sama Zahra,” dan tidak ada tambahan apa-apa lagi di dalam hati, seperti yang biasanya dia perbuat. Udah, (main kibor) sama (Kakek, di paviliun sebelah rumahnya) Zahra.

Setelah itu Dean langsung bersiap-siap tidur. Kepalanya sudah terasa begitu berat, lebih berat daripada bola boling.

.

Untuk menghadapi UAS, kelas Dean melakukan rapat lagi dengan kelas-kelas lainnya, terutama kelas yang akan menjadi partner mereka kali itu—kelas XI IPA 4. Dean ikut kumpul-kumpul. Tapi itu lebih karena dia merindukan keramaian ketimbang ikut membahas rencana. Toh rapatnya cuma sebentar. Setelah itu mereka makan-makan di warung tenda di dekat sekolah.

Ada teman Dean yang bertanya, “Kamu udah jadian sama Zahra?”

Akibatnya teman-teman yang lain jadi ikut menggoda Dean. Dean cuma mesem sambil menyangkal dengan malas, yang malah bikin teman-temannya itu makin asyik meledekinya.

Setelah makan-makan, kebanyakan temannya mau langsung pulang. Toh langit sudah benar-benar gelap. Dean juga, tadinya. Tapi dia teringat bahwa setelah hari itu, dia tidak akan bertemu Zahra lagi sampai hari UAS dimulai. Maka mendadak dia beralih jalan. Teman-temannya heran karena mengira Dean akan segera naik angkot yang sama dengan mereka. Ketika ada yang bilang bahwa Dean mengarah ke rumah Zahra, keyakinan mereka bertambah kuat bahwa memang ada sesuatu di antara keduanya.

Tapi tentu saja itu bukan urusan mereka. Itu urusan Dean untuk mampir dulu ke paviliun Kakek dan mengambil oleh-oleh dari Bunda yang dia titipkan di sana. Barang itu sudah agak berdebu sehingga Dean mengusap-usapnya lebih dulu supaya tidak kotor amat. Setelah minta restu pada Kakek supaya dapat menjalani UAS dengan selamat, barulah Dean beranjak ke rumah Zahra.

Sudah terlalu gelap untuk minta bimbingan belajar. Dean pun tidak berniat untuk masuk ke rumah. Ketika Zahra muncul di hadapannya, Dean berdiri saja di ambang pintu depan dan mengulurkan pemberian Bunda. “Sekarang, kamu udah enggak ada alasan buat nolak, kan?”

Zahra menatap barang itu tapi tangannya malah tertarik ke belakang.

“Ayolah…. Kamu tahu sendiri kan, ulangan saya yang kemarin-kemarin hasilnya enggak parah amat sejak diajarin sama kamu.”

“Tapi…” ujar Zahra dengan ragu.

Dean terus menyodorkannya dan menatap Zahra dengan yakin. “Biar kamu ikhlas juga bantuin sayanya, tapi kamu tetep berhak nerima ini.”

Zahra pun meraih barang itu perlahan-lahan. “Makasih,” ucapnya dengan suara nyaris mencicit. Tapi tampaknya ia masih ingin bicara. Dean tidak jadi segera pamit. Dia menunggu Zahra menyelesaikan kata-katanya. Akhirnya Zahra bersuara, “Kamu mau janji?”

“Janji apa?”

“Janji kalau pas UAS kamu juga ngerjain sendiri,” sahut Zahra dengan susah payah. “Kalau enggak… saya ngerasa yang kemarin itu semuanya sia-sia.”

Dean tersengal dan tersenyum sampai matanya menyipit. “Enggaklah,” ujarnya. “Enggak bakal sia-sia.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain