Pagi itu Dean
membulatkan tekad. Begitu sampai di kelas, dia meletakkan ransel di bangku
sebelah Zahra yang kosong.
Jelas Zahra terkejut
tiba-tiba Dean akan menjadi teman sebangkunya. Tapi ia memilih untuk tetap
mendiamkan anak itu. Bahkan ketika Dean menegurnya, sambil menuding ke arah
kolong mejanya yang berisi tas oleh-oleh dari luar negeri itu, “Masih belum mau
diambil juga?” Zahra diam saja seolah-olah anak itu tidak ada.
Yang menegur Dean malah
para guru. Mereka heran karena tumben-tumbenan Dean mau duduk di bangku paling
depan—tepat di hadapan meja guru pula. “Kamu datangnya kesiangan? Enggak
kebagian tempat duduk yang biasanya?” begitu rata-rata komentar mereka. Dean
cuma menjawab sambil cengengesan, “Lagi pengin ganti suasana.”
Ada juga yang menegur,
“Kamu udah minta izin sama yang duduk di belakang kamu? Badan kamu kan
jangkung. Enggak ngalangin?”
Dean langsung menoleh
pada anak-anak yang duduk di barisan tepat di belakang punggungnya.
“Ngalangin enggak?”
tanyanya.
“Enggak,” jawab mereka
serempak.
Guru itu cuma
mencandainya.
“Jadi enggak bisa main game lagi dong,” kata Pak Bagod saat
pelajaran Biologi. Ternyata diam-diam ia tahu kelakuan Dean.
Dean cuma menanggapinya
dengan tawa renyah, sambil menyahut, “Ah, Bapak mah gitu banget ih.”
Sementara itu kata Bu
Diana saat pelajaran Fisika, “Nanti kamu jadi enggak bebas kalau mau ngobrol.”
“Enggak apa-apa, Bu.
Kan sekarang mah saya mau merhatiin Ibu aja,” ucap Dean seakan memang maksudnya
mau mengambil hati.
“Kalau gitu, sekarang
kita ulangan elektromagnetik. Udah pada ngerti bahasan yang kemarin, kan?”
Anak-anak langsung pada
menjerit. “Belum, Bu, belum!”
“Ardian aja udah siap
sampai pindah duduk ke depan,” sahut Bu Diana dengan cuek. “Ayo, kertasnya
dikeluarin!”
Dean menoleh ke
belakang, ke arah teman-temannya yang masih pada menggerutu sambil menyobek
kertas dari buku tulis masing-masing. Dia mengangkat kedua jari tangan
kanannya—jari telunjuk dan jari tengah. Entahkah ada yang melihatnya atau
tidak. Peace!
Bu Diana menulis
beberapa soal di papan tulis. Tidak banyak. Ia cuma ingin mengetes pemahaman
siswa pada pertemuan yang lalu.
Dean menyalin soal dari
papan tulis ke kertas dengan tenang, lalu merasa dirinya berhenti berkeringat
dan perutnya mulai mulas. Dia menoleh pada Zahra, yang mengerjakan soal dengan
posisi menyamping memunggunginya. Dia menoleh ke sisi kanan, terus sampai ke
belakang, dan sadar bahwa dirinya dikepung sekumpulan anak yang tidak pernah
tergabung dalam Pasukan Sarang Semut. Sementara itu teman-teman yang biasa
membantunya, entahkah dengan memberi kode atau menggeser kertasnya agar
terlihat oleh Dean, terasa amat sangat jauhnya di belakang.
“Ngeliatin apa,
Ardian?” terdengar suara Bu Diana dari arah belakang. Rupanya guru itu sedari
tadi berdiri di ujung barisan bangkunya.
Dean kembali menatap
kertas di mejanya. Dia berusaha mengingat-ingat apa saja yang dikatakan Bu
Diana pada pertemuan yang lalu, lalu menulis saja seadanya. Dean sadar bahwa
apa yang dia tulis kemungkinan besar tidak sesuai dengan apa yang ditanyakan
dalam soal, atau dia kesulitan menghubungkannya. Dean cuma bisa berharap Bu
Diana maklum bahwa sedikitnya ada yang dia tangkap pada pertemuan itu. Setelah
menulis beberapa kalimat dan rumus, Dean merasa buntu. Dia bahkan tidak tahu
yang sudah ditulisnya itu jawaban untuk soal nomor 1, 2, atau 3. Suara ketukan
sepatu Bu Diana di lantai mulai menimbulkan kedutan di keningnya. Dia meletakkan
pulpen di meja, menangkupkan kedua belah tangannya di depan mulut, menatap
langit-langit, dan mulai memikirkan lagu untuk Rieka sampai Bu Diana menyuruh
anak-anak mengumpulkan kertas jawabannya.
Dean tidak tahu bahwa
diam-diam Zahra memerhatikannya, terutama pada kertas ulangannya yang ketika
dikumpulkan nyaris kosong. Tapi Zahra tetap diam, begitu juga tiap kali Dean
memberinya teguran sepanjang hari itu.
“Ke kantin enggak,
Zahra?”
“Kamu enggak jajan
apa-apa?”
“Mau ke WC, ikut
enggak?”
“Tadi barusan Bu Elly
ngomong apa, ya?”
Hari yang cukup berat
bagi Dean. Tidak biasanya dia sebangku dengan orang yang setidak-responsif itu,
tidak bisa diajak mengobrol soal apa pun. Kalaupun bisa, posisi tempat duduk
tersebut memungkinkan obrolan cuma bisa dilakukan pada pergantian pelajaran,
pelajaran kosong, jam istirahat, dan jam pulang sekolah. Ketika jam pulang
sekolah itulah, Dean langsung saja mengutarakannya pada Zahra. Zahra duduk di
bangku dekat dinding, sehingga ketika mau keluar ia mesti melewati Dean. Tapi
Dean menghalangi jalannya.
“Saya pengin belajar
lagi sama kamu,” kata Dean. “Kali ini mah beneran.”
Zahra masih tidak mau
melihat padanya, tapi ia menjawab, “Ngapain belajar? Pas ulangan kan tinggal
nyontek, atau kerja sama.”
“Jangan suuzan dulu atuh. Siapa tahu kali ini mah saya bener-bener beneran.”
“Kenapa?” Nada Zahra
menyelidik.
“Biar kamu mau nerima
pemberian ibu saya.”
Muka Zahra makin
merengut saja. “Minggir,” katanya.
“Iya enggak? Iya dulu atuh.”
“Minggir ah!”
“Saya serius! Kamu mah
jangan gitu banget atuh jadi orang teh. Coba kamu ngasih sesuatu ke orang
lain. Maksud kamu baik. Tapi orang itu malah nolak pemberian kamu. Perasaan
kamu gimana, sok?”
“Tapi enggak gitu
caranya,” Zahra senewen.
“Makanya itu, Zahra,
sekarang saya ikutin lah cara kamu. Kamu maunya gimana.”
“Kamu keukeuh banget ih.”
“Kamu juga gitu ke
saya.”
Entah kapan Zahra akan
berhenti manyun dan mau memandang Dean.
Kata Dean lagi, “Jadi
kamu mau apa enggak?”
Zahra masih saja diam.
Lagi-lagi Dean angkat
suara, “Kamu kan maunya saya ngerjain sendiri PR sama ulangan. Hayuk. Tapi
belajarnya kan saya kan enggak bisa sendirian. Kamu yang bantuin.”
“Ya udah,” kata Zahra.
“Jadi oke, ini teh?”
“Enggak tahu ah!”
“Kok gitu?”
“Minggir atuh!”
Zahra berdiri dan
berusaha lewat melalui celah di antara Dean dan meja. Mau tidak mau Dean
menyingkir.
Dean lalu buru-buru
menggendong ranselnya, tidak lupa mengambil pemberian Bunda dari kolong meja
Zahra, dan mengejar cewek itu. Dia mengiringi langkah Zahra sampai ke depan
rumahnya. Sepanjang jalan Zahra melangkah cepat-cepat dan tidak menjawab
teguran Dean sedikit pun.
Ketika Zahra akan
memasuki rumahnya, Dean bertanya lagi, “Kamu mau kan bantuin saya lagi?”
Tapi cewek itu tetap
tidak menjawab. Melirik saja tidak. Zahra masuk saja dan menutup pintu depan
rumahnya, meninggalkan Dean berdiri di balik pagar sambil menenteng tas karton
berisi oleh-oleh ibunya.
Cuaca sangat terik
siang itu. Dean tidak betah berdiri lebih lama. Dia melalui pintu pagar rumah
Zahra sambil berkata, “Punten,” yang
artinya “Permisi” dalam bahasa Sunda. Setelah mencopot sepatu, dia duduk di
bangku teras rumah itu dan meletakkan semua bawaannya, termasuk jumper yang semula membungkus badannya.
Lama Dean
termangu saja sambil memandangi deretan pot berisi suplir di ujung kakinya. Dia
lalu memutuskan untuk mampir ke paviliun Kakek. Kakek mengira Dean akan
main-main seperti biasanya. Tapi rupanya Dean cuma mau menitipkan barang. Dia
mencari-cari celah yang tersembunyi di ruang depan paviliun Kakek, dan menaruh
barang itu di situ.
“Itu apa?” tanya
Kakek.
“Tas.”
“Tas siapa?”
“Buat Zahra.
“Enggak
dikasihkan langsung aja ke Zahra?”
“Buat kejutan,”
kata Dean. Lagaknya mengajak Kakek main rahasia-rahasiaan.
Setelah itu Dean
pamit pulang. Kakek heran, tapi membiarkannya saja. Ia tidak tahu bahwa Dean
sudah bisa kembali main piano di rumahnya sendiri.
Sesampainya di
rumah, Dean memang memainkan pianonya itu. Rumah sedang sepi dan Bik Odah baru
saja pulang. Tapi baru sebentar saja bermain, Dean merasa jari-jarinya semakin
berat. Bukan cuma karena tuts piano lebih berat daripada tuts kibor, bukan. Ada
sesuatu yang lain yang membuat dirinya merasa berat. Lalu dia teringat akan
perkataan Bunda, Boleh main sebentar kalau
udah belajarnya.
Setelah berusaha
bertahan beberapa lama lagi, Dean akhirnya menyerah. Dia lalu melihat-lihat
buku pelajarannya, mencari-cari mana yang kira-kira paling gampang. Sosiologi?
Dia pun mulai membuka-buka buku itu sambil tiduran di sofa.
.
Pada hari-hari
berikutnya Dean terus duduk di samping Zahra, dan Zahra terus mengabaikan Dean.
Dean bersikap seolah-seolah Zahra akan memerhatikan kalau dia menegur, sehingga
kadang dia terlihat seperti yang bicara sendiri atau pada tembok. Sementara itu
Zahra bersikap seolah-olah ia tetap duduk sendiri dan di sampingnya itu cuma
angin lalu.
Para guru makin
terbiasa dengan kehadiran Dean tepat di muka mereka, dan tidak ragu-ragu
memanfaatkannya. Barangkali karena tampang Dean yang peramah seakan selalu siap
diajak kerja sama. Tiap kali mereka mau memeragakan sesuatu selagi menerangkan,
atau ingin agar siswa mengerjakan soal di papan tulis, atau sekadar menanyakan
suatu hal entahkah itu ada sangkut-pautnya dengan pelajaran, biasanya Dean
kena. Ada juga guru yang tiap kali menerangkan seakan bicara sendiri sambil
duduk saja di balik mejanya, sementara para siswa asyik mengobrol dengan
sesamanya. Karena sekarang Dean duduk di depannya, dan (bersikap seolah-olah)
memerhatikannya, guru itu merasa akhirnya punya lawan bicara.
Teman-teman Dean
sesama gembel alias gerombolan anak belakang tentu saja heran kenapa anak itu
mau-maunya duduk di bangku paling depan, tepat di hadapan meja guru pula.
Mereka menganggap tindakan Dean itu lebih nekat daripada menjalankan taktik Sarang Semut diawasi guru paling ketat
di Smanson, seperti memasukkan kepala ke mulut macan. Apalagi Dean cuma duduk
di bangku “keramat” itu ketika ada guru. Pada jam-jam tidak ada pelajaran dia
menghampiri teman-teman sebangsanya dulu dan bergabung saja seperti biasanya.
“Kamu lagi
pedekate sama Zahra?” ada yang bertanya begitu.
“Enggak,” sahut
Dean.
“Mata kamu udah
enggak jelas kalau ngelihat papan tulis di belakang?”
“Biasanya juga
si Dean mah jarang ngelihat papan tulis!”
“Pakai kacamata atuh.”
“Enggak,” Dean
menggeleng juga.
“Kamu lagi ada
misi khusus sama guru?”
“Enggak.”
Teman-teman Dean
pun tidak mempersoalkannya lagi. Toh Dean saja tidak mempersoalkannya, padahal
iya. Diam-diam dia menahan perasaan bosan dan merana sepanjang waktu, hari demi
hari. Dia ingin mengobrol dengan teman sebangkunya. Dia ingin mengeluarkan
ponselnya dan membuka game. Dia ingin
teman sebangkunya membawa tabloid yang bisa dintip sama-sama sementara
pelajaran. Dia ingin memejamkan mata dan mimpi seru tiap kali mengantuk tanpa
langsung terlihat oleh guru. Dia ingin mengerjakan ulangan di dekat teman-teman
yang selalu siap sedia mengulurkan jawaban padanya.
Yang jadi
penghiburannya selama jam-jam penuh penderitaan itu hanyalah meredam suara guru
yang masuk ke pendengarannya dengan suara lain yang meluap dari hatinya. Suara
musik yang ingin dia perdengarkan suatu hari nanti pada Rieka. Atau, kalaupun
itu bukan musik yang ingin didengar Rieka, setidaknya dengan mengkhayalkannya
saja sudah membuat Dean merasa tenteram sejenak.
Kadang Dean
berpikir-pikir untuk kembali duduk bersama anak-anak gembel, mengalami masa SMA
yang indah dengan jalan sembunyi-sembunyi. Kadang Dean bertanya-tanya demi apa
dia melakukan ini….
Sampai suatu
hari, pada pergantian pelajaran, tahu-tahu Zahra bertanya padanya, “Kamu masih
perlu dibantuin belajarnya?” Suaranya kecil dan tidak jelas sehingga Dean mesti
minta supaya pertanyaan itu diulang. Hampir saja Zahra batal bicara sama
sekali.
“Kamu mau?” Dean
balas bertanya.
“Belajarnya kan
enggak mesti sama saya. Banyak yang lebih pinter dari saya di kelas ini mah.”
“Iya sih. Tapi
kamu mau kan?”
“Ya udah.”
“Bener?”
“Iya.”
Senyum Dean
makin cerah. “Makasih, Zahra! Hari ini? Boleh?”
Zahra
mengangguk.
“Kenapa kamu
tahu-tahu jadi mau?”
“Kasihan kamu.
Tiap kali ulangan nyerahinnya kertas kosong melulu.”
Dean tertawa
saja.
.
Hari belajar
bersama Zahra dimulai lagi. Ketika tidak ada PR dan ulangan untuk besoknya,
Dean ikut saja apa yang sedang Zahra ingin pelajari. Dean berusaha memusatkan pandangan
pada buku pelajaran, biarpun pikirannya tetap saja lari ke sana kemari. Kadang
dia tidak tahan untuk bergulingan di karpet sambil mengerang, atau tangannya
gatal ingin mencabut ponsel dari saku. Tapi begitu melihat tatapan Zahra, Dean
cepat-cepat memperbaiki posisi duduknya dan bersikap kalem.
Ketika terdengar
azan asar, biasanya Dean akan menegur Zahra soal pekerjaan rumahnya yang lain.
Begitu juga kali ini. “Kamu mau nyapu-nyapu atau nyiram-nyiram dulu?” Tapi Dean
tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera kabur ke paviliun Kakek. Dean duduk
tegak dan nada pertanyaannya itu seakan dia mengharapkan Zahra untuk cepat
kembali.
Zahra pun
membuka-buka halaman buku pelajarannya dan menunjuk pada suatu latihan. “Gimana
kalau kamu kerjain dulu soal-soal ini?”
Dean melirik
halaman itu lalu memandang Zahra. “Cita-cita kamu jadi guru, ya?”
“Kenapa gitu?”
Zahra mulai merengut.
“Sukanya ngasih
soal.”
“Ya udah kalau
enggak mau!”
“Iya, Zahraaa,
iya iya iya…!” sahut Dean sambil menyiapkan kertas untuk mencorat-coret soal.
Selepas
kepergian Zahra dan coretan sepanjang beberapa baris, Dean merebahkan badan di
karpet, mengeluarkan ponsel dari saku, dan membuka game. Akhirnya! Tidak heran ketika Zahra kembali dan melihat hasil
pekerjaan Dean, wajahnya langsung cemberut. Dean cengengesan saja dan berkata
seakan tidak ada yang salah, “Kerjain bareng, yuk!”
Pada hari-hari
setelahnya tetap tidak gampang meninggalkan Dean supaya belajar sendiri tanpa
pengawasan. Tapi setidaknya Dean tidak lari ke paviliun Kakek setelah azan
asar. Dia cuma tiduran sambil mengutak-atik ponselnya, sementara Zahra
menyelesaikan tugas-tugas lainnya dulu. Lalu mereka kembali belajar bersama
sampai terdengar azan isya.
Malah jadi Kakek
yang mengunjungi ruang tengah lantai dua. Awalnya tidak sengaja. Ia cuma mau
mengambil sesuatu di kamar Kang Lutung dan melewati mereka.
“Kamu di sini?”
tegur Kakek ketika melihat Dean. “Katanya mau belajar buat UAS.”
“Ini juga lagi
belajar, Kek,” Zahra menegaskan.
Kakek pun pergi
setelah mendapatkan barang yang ia cari. Tapi beberapa lama kemudian ia kembali
dan menegur. “Udah belajarnya?”
“Belum!” seru
Zahra.
Dean tergelak
saja.
.
Tapi tentu saja
Dean kangen pada paviliun Kakek, pada kibor cantik yang makin lama saja tidak
kena belaian jarinya, pada koleksi album Kakek yang tidak habis-habis dia
dengar, juga pada suara parau Kakek saat menceritakan segala kenangannya yang
kadang diselingi dengan nasihat. Maka pada suatu sore, ketika Zahra kembali
dari sapu-sapu dan siram-siram—siap meladeni temannya yang bebal itu lagi, Dean
bukannya meraih bukunya untuk melanjutkan belajar seperti biasanya. Dia bangkit
dari tidurannya, meregangkan badannya, dan malah mengajak Zahra ke paviliun
Kakek. “Jangan terlalu diforsir ah,” katanya.
“Ya udah kalau
kamu enggak mau belajar lagi,” kata Zahra tanpa bermaksud merajuk.
Lama-lama Zahra
bisa juga memaklumi Dean, yang katanya jarang sekali belajar. Belakangan ini
hampir tiap hari anak itu ke rumahnya, berkutat dengan pelajaran dari sepulang
sekolah sampai menjelang malam. Apalagi UAS makin dekat saja. Zahra sendiri
sudah lama tidak menonton drama di TV demi menemani Dean.
“Kamu aja yang
ke sana.”
“Kamu ikut juga.
Lagian kamu jarang kan ke paviliun kakek kamu. Hayuk…!”
Dean merangkul
Zahra, bermaksud menggiringnya. Tapi Zahra langsung melepaskan lengan Dean.
“Iya! Tapi
enggak usah pegang-pegang!”
“Hihihi….”
Sesampainya di
paviliun, Dean langsung menyapa Kakek. Kakek sedang menonton sinetron seperti
biasanya, ketika tidak ada Dean.
“Boleh dengerin
album, Kek?” Dean minta izin lebih dulu.
“Boleh atuh.”
Kakek pun
mengecilkan volume TV sementara Dean memilih-milih album dan memasangnya di
gramofon.
“Udah, kamu
duduk di aja di sofa,” kata Dean pada Zahra.
Tampaknya Zahra
masih bingung buat apa ia mesti ikut mampir ke tempat Kakek. Ia pun duduk di
sofa sambil memandang TV yang suaranya tinggal sayup-sayup, tertimpa alunan
lagu dari gramofon yang volumenya lebih kencang.
Sementara itu
Dean duduk di depan kibor dan menyalakan alat itu. Jari-jarinya langsung
bergerak dengan lincah di atas papan tuts, mengiringi musik kesukaannya.
Kepalanya bergerak-gerak. Dia berpaling pada Zahra yang melihatnya dengan raut
datar, lalu cuek saja meneruskan permainannya.
“Zahra mah dari
kecilnya juga diem aja kalau ada lagu. Lain sama Zia. Ada irama dikit aja,
joget dia,” kata Kakek yang baru kembali dari mengambil minuman—untuk dirinya
sendiri saja.
Zahra seakan
tidak mendengar perkataan kakeknya itu. Bibirnya tetap mengatup rapat. Meski
kelihatannya seperti yang cemberut, sebetulnya tidak.
Ketika lagu yang
diiringinya habis, Dean beralih memainkan irama lain yang lebih riang. Dia
sempat berpaling lagi pada Zahra dan cewek itu masih saja diam, malah
memerhatikan entah apa di meja. Dia pun kembali menikmati permainannya. Kakek
juga, sesekali mengiringi dengan gerakan kepala dan senandung.
Setelah beberapa
lagu lagi yang semakin cepat saja ritmenya, Dean menyudahi permainannya dan
bersama Zahra pamit pada Kakek.
Di luar langit
sudah gelap sekali. Jelaslah mereka tidak akan melanjutkan pelajaran lagi hari
itu. Maka Dean mengiringi Zahra kembali ke rumah cuma untuk mengambil
barang-barangnya.
“Kamu mah ada
musik teh malah diem ih,” kata Dean.
“Kamu mainnya
kayak lagi kesambet,” sahut Zahra.
Dean mesem saja.
.
UAS semakin
dekat saja. Pertanyaan Zahra pada suatu sore mengingatkan Dean. “Kamu belajar
kayak gini, emangnya mau ngerjain sendiri pas UAS?”
Dean terdiam
dulu, lalu, “Enggak tahu. Sebenernya mau belajar atau mau nyontek, saya mah
sama-sama males.” Dean mengabaikan muka Zahra yang langsung mengernyit.
Lanjutnya, “Kalau temen-temen mah kayaknya ngebet banget dapet jawaban bener
sebanyak-banyaknya teh. Padahal
mereka di rumahnya belajar. Saya mah biasa aja. Kalau lagi pengin, hayuk. Kalau
lagi males mah, ya udah.”
“Kamu sebenernya
pengin jadi apa sih?” tanya Zahra tanpa bermaksud apa-apa. Ia cuma takjub
karena Dean bisa setidak acuh itu pada urusan sekolah.
“Nanyanya
salah,” sahut Dean. “Bukan saya pengin jadi apa, tapi saya pengin ngapain.”
“Kamu pengin
ngapain gitu?”
“Pengin bikin
lagu buat Rika.”
“Rika?”
Dean memandang
Zahra dengan tidak percaya. “Enggak kenal? Anak X-5.” Zahra tampaknya masih
belum terbayang. Kata Dean lagi, “Kalau kamu pas MOS segugus sama Deraz,
berarti kamu segugus juga sama dia.”
Zahra
meng-“oh”-kan saja.
“Pacar…” tambah
Dean, “mulai tahun depan.”
Zahra
mengerutkan dahi.
Dean tiba-tiba
mesem. Dia lalu bercerita pada Zahra bahwa pernah ketika ulangan, ada temannya
yang diminta memberikan jawaban. Temannya itu buru-buru menuliskan jawaban di
atas secuil kertas, lalu memberikannya pada yang meminta. Ketika gumpalan
kertas itu dibuka, isinya nyaris kosong. Rupanya tinta pulpen temannya itu
habis. Jadilah, supaya jawaban itu kelihatan, permukaan kertas mesti diarsir
dulu. Seperti relief.
Zahra tidak ikut
geli, tapi ia menimpali, “Sebenernya, saya juga pernah mau bikin contekan.”
Lagi-lagi Dean memandang Zahra dengan tidak percaya. “Waktu itu rasanya enggak
pede aja. Hafalannya banyak sih. Terus saya coba salin rangkumannya ke kertas
kecil-kecil. Udah saya umpetin di saku. Enggak tahunya, pas ulangan, saya masih
inget sama isi contekannya. Enggak jadi dikeluarin deh.”
Dean
terbahak-bahak. “Kamu mah kepinteran!”
Zahra menunduk
saja, supaya tidak kelihatan bahwa ia tersipu-sipu. Lalu ia terpikir untuk menambahkan,
“Mungkin kamu bisa coba. Bikin rangkuman, terus disalin berkali-kali sampai itu
nempel di kepala kamu.”
“Mending, kamu
mah tulisannya rapi, jelas kebaca. Saya mah kadang enggak bisa baca tulisan
saya sendiri.”
“Enggak apa-apa
enggak kebaca juga. Yang penting, pas nyalinnya, kamu sambil nginget-nginget.”
“Saya mah
mending dengerin kamu jelasin aja deh.”
Zahra mendengus.
“Ya udah.” Ia malas berdebat lama-lama.
“Eh, gini-gini
saya juga pernah lo ngasih contekan,” kata Dean dengan nada sombong. Ganti
Zahra yang memandang Dean dengan ragu. “Dulu kan Deraz sempet tinggalnya di
Jerman, terus pas dia pindah ke sini, bahasa Indonesianya jelek banget. Susah
ngomong ke dia pakai bahasa Indonesia mah. Pas ada ulangan juga dia enggak bisa
ngerjain. Kan saya kasihan. Saya bilang aja ke dia, Lihat jawaban aku aja. Yah, dia nurut. Tapi pas hasilnya dibagiin,
kayaknya dia jadi kapok nyontek ke saya lagi. Habis itu dia maunya belajar
sendiri aja.”
Zahra terkikih
sambil buru-buru menutup mulutnya.
“Kalau mau
ketawa, ketawa aja. Enggak usah jaim,” kata Dean. Baru sekali itu dia melihat
Zahra kegelian. Biasanya cewek itu cemberut melulu.
Zahra pun
menurunkan tangannya dari mulut. Senyumnya masih ada, tapi ia menunduk saja.
Senyum Dean jadi
tambah lebar. Zahra sebetulnya manis. Kalau saja cewek itu mau lebih banyak
tersenyum.
Ketika Dean
pamit dari rumah Zahra hari itu, petang sudah semakin gelap. Tapi itu termasuk
cepat untuk hari-hari belakangan ini. Sering kali Dean baru keluar dari sana
pukul delapan malam.
Dean mampir dulu
ke kios di dekat rumah Zahra. Dia membeli sebatang rokok, dan mengisapnya
sambil melanjutkan berjalan ke tempat mencegat angkot. Rasanya seperti melumuri
mulut dengan cuka campur keluak. Dia sudah lama tidak merokok, sudah lama juga tidak
mampir ke pelataran Tenis Net—tergantikan oleh kunjungan ke paviliun Kakek atau
rumah Zahra yang semakin intens. Dia memikirkan Zahra, dan Bunda, dan
Rieka—yang tadi pagi turun dari Honda CBR milik pacarnya di pelataran sekolah.
Pikirannya itu tidak berujung ke mana-mana selain ke angkasa melalui asap yang
membubung dari mulutnya.
Ketika sampai di
rumah dan disambut Bunda dengan pertanyaan yang itu-itu saja, Dean langsung
menjawabnya dengan, “Udah, sama Zahra,” dan tidak ada tambahan apa-apa lagi di
dalam hati, seperti yang biasanya dia perbuat. Udah, (main kibor) sama (Kakek, di paviliun sebelah rumahnya) Zahra.
Setelah itu Dean
langsung bersiap-siap tidur. Kepalanya sudah terasa begitu berat, lebih berat
daripada bola boling.
.
Untuk menghadapi
UAS, kelas Dean melakukan rapat lagi dengan kelas-kelas lainnya, terutama kelas
yang akan menjadi partner mereka kali itu—kelas XI IPA 4. Dean ikut
kumpul-kumpul. Tapi itu lebih karena dia merindukan keramaian ketimbang ikut
membahas rencana. Toh rapatnya cuma sebentar. Setelah itu mereka makan-makan di
warung tenda di dekat sekolah.
Ada teman Dean
yang bertanya, “Kamu udah jadian sama Zahra?”
Akibatnya
teman-teman yang lain jadi ikut menggoda Dean. Dean cuma mesem sambil
menyangkal dengan malas, yang malah bikin teman-temannya itu makin asyik
meledekinya.
Setelah
makan-makan, kebanyakan temannya mau langsung pulang. Toh langit sudah
benar-benar gelap. Dean juga, tadinya. Tapi dia teringat bahwa setelah hari
itu, dia tidak akan bertemu Zahra lagi sampai hari UAS dimulai. Maka mendadak
dia beralih jalan. Teman-temannya heran karena mengira Dean akan segera naik
angkot yang sama dengan mereka. Ketika ada yang bilang bahwa Dean mengarah ke
rumah Zahra, keyakinan mereka bertambah kuat bahwa memang ada sesuatu di antara
keduanya.
Tapi tentu saja
itu bukan urusan mereka. Itu urusan Dean untuk mampir dulu ke paviliun Kakek
dan mengambil oleh-oleh dari Bunda yang dia titipkan di sana. Barang itu sudah
agak berdebu sehingga Dean mengusap-usapnya lebih dulu supaya tidak kotor amat.
Setelah minta restu pada Kakek supaya dapat menjalani UAS dengan selamat,
barulah Dean beranjak ke rumah Zahra.
Sudah terlalu
gelap untuk minta bimbingan belajar. Dean pun tidak berniat untuk masuk ke
rumah. Ketika Zahra muncul di hadapannya, Dean berdiri saja di ambang pintu
depan dan mengulurkan pemberian Bunda. “Sekarang, kamu udah enggak ada alasan
buat nolak, kan?”
Zahra menatap
barang itu tapi tangannya malah tertarik ke belakang.
“Ayolah…. Kamu
tahu sendiri kan, ulangan saya yang kemarin-kemarin hasilnya enggak parah amat
sejak diajarin sama kamu.”
“Tapi…” ujar
Zahra dengan ragu.
Dean terus
menyodorkannya dan menatap Zahra dengan yakin. “Biar kamu ikhlas juga bantuin
sayanya, tapi kamu tetep berhak nerima ini.”
Zahra pun meraih
barang itu perlahan-lahan. “Makasih,” ucapnya dengan suara nyaris mencicit.
Tapi tampaknya ia masih ingin bicara. Dean tidak jadi segera pamit. Dia
menunggu Zahra menyelesaikan kata-katanya. Akhirnya Zahra bersuara, “Kamu mau
janji?”
“Janji apa?”
“Janji kalau pas
UAS kamu juga ngerjain sendiri,” sahut Zahra dengan susah payah. “Kalau enggak…
saya ngerasa yang kemarin itu semuanya sia-sia.”
Dean tersengal
dan tersenyum sampai matanya menyipit. “Enggaklah,” ujarnya. “Enggak bakal
sia-sia.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar