Minggu, 20 Desember 2015

#10 UAS

Pagi itu Dean merasa seperti tercelup dalam sebuah lagu kesukaan Kakek. Lagu itu berjudul “Good Morning Sun”[1], tampaknya pas untuk didengarkan pada pagi hari, tapi Dean seperti melihat badai tiap kali mendengarkannya. Badai itu kini seakan berpindah ke dalam perutnya. Apalagi ketika Dean melihat, seperti biasanya, Rieka turun dari boncengan Honda CBR Kang Haqi di pelataran sekolah. Dean terus memandang Rieka, dan Rieka juga melihatnya tanpa membuang muka. Malah Dean yang mengalihkan tatapannya lebih dulu. Padahal pagi itu langit sangat cerah.

Ketika akan memasuki kelasnya, Dean melihat Zahra sedang duduk-duduk di teras depan kelas sebelah. Cewek itu bersama beberapa orang cewek lainnya, mungkin mereka sedang menghafal bareng.

Ketika melihat Dean, Zahra segera bangkit. Dean pun mendekati Zahra karena sepertinya cewek itu mau menghampirinya.

“Sini deh,” kata Zahra, sambil menggiring Dean ke tempat yang agak sepi. Zahra menurunkan ranselnya lalu mencari-cari sesuatu di dalam cepuk. Rupanya sebuah spidol hitam.

“Mau kasih contekan?” Dean tersenyum-senyum.

“Mana tangan kamu?”

Dean menyodorkan tangannya dengan bingung. Zahra menariknya dan menulis di telapak tangan Dean dengan huruf kapital semua:

 

KAMU

BISA!

           

Hampir saja Dean menarik tangannya lagi, tapi Zahra memegangnya kuat-kuat. Setelah Zahra selesai, Dean memandangi telapak tangannya yang sudah ditulisi. Dia mengerutkan dahi lalu memandangi Zahra. Zahra tersenyum-senyum saja, lalu kembali pada teman-temannya. Dean mengusap-usapkan telapak tangannya ke kain celana, tapi tulisan itu sudah meresap di kulit.

Dean lalu memasuki kelas dan mencari-cari meja yang bertempelkan kertas bertulisan nama dan nomor peserta ujian miliknya. Rupanya meja itu berada di pojok kiri ruangan. Dean kebagian bangku di sisi kanan, yang bersisian dengan jalur lalu-lalang. Adapun bangku di sebelah kirinya bersisian dengan tembok. Pada sudut kiri atas meja itu Dean membaca nama:

 

ARIFIN BAIHAQI K.

 

Bersamaan dengan itu, Kang Haqi mendekat ke arah Dean dan mengecek meja yang sama. Kang Haqi mengangguk pada Dean. Dean membalasnya dengan senyuman tipis dan memberi jalan bagi Kang Haqi.

Tidak lama kemudian, bel berbunyi. Semua bangku sudah diduduki oleh gabungan anak kelas X-7 dan XI IPA 4. Para pengawas memasuki kelas. Salah seorang pengawas memperlihatkan amplop berisi kertas ujian yang masih disegel, sementara pengawas lainnya membagi-bagikan lembar jawaban komputer dan kertas buram untuk corat-coret.

Mata pelajaran pertama hari itu adalah Kimia. Dean membolak-balik kertas soal lebih dulu. Ada 35 soal pilihan ganda dan 5 soal isian. Dia membaca satu per satu soal dari awal sampai akhir. Yang mudah langsung dia kerjakan, yang sulit dia lompati. Setelah pembacaannya sampai di halaman terakhir, jumlah soal yang sudah dia kerjakan dapat dihitung dengan jari sebelah tangan. Dia kembali lagi ke halaman awal, membaca lagi satu per satu soal yang sebelumnya dia lompati sambil berusaha mengerjakan semampunya. Ada yang berhasil dia temukan jawabannya, banyak lagi yang mesti dia lompati.

Ketika merasa buntu, di kertas buram Dean menuliskan apa pun yang dia ingat dari hasil belajarnya kemarin-kemarin, terlebih dari suara Zahra ketika menjelaskan berbagai persamaan yang membingungkan itu. Dean ingat ketika Zahra menunjukkan bros di jilbabnya dan berkata, Ini dari batu bara, namanya lignit. Dean juga ingat ketika mengikuti Zahra ke dapur, lalu cewek itu memegang wadah sabun pencuci piring, Ini dari minyak bumi, dan panci teflon, Ini polimer dari politetrafluoroetilena, maksudnya apa? dan Dean malah balik tanya dengan tampang benar-benar bingung, Maksudnya apa? Sekarang Dean kembali bertanya pada dirinya sendiri, apa hubungannya ingatan-ingatan ini dengan soal yang dia sedang hadapi—bagaimana menghubungkannya?! Pada akhirnya Dean pun menulis, Bu, saya mah ingetnya cuma ini!, lalu kembali ke halaman pertama kertas soal dan membaca nomor demi nomor sambil sedikit-sedikit menengok rangkumannya.

Dean juga sempat membuka telapak tangan kanannya dan mengintip:

 

KAMU

BISA!

 

Bisa apa? pikir Dean. Ketika kertas soal sudah habis dibaca untuk kesekian kalinya, Dean meremas-remas rambutnya, menenangkan diri, dan bersiap mengaktifkan mode Mata Rajawali. Pada saat itulah, ada yang menyenggol kakinya dari sebelah kiri. Dean lantas melirik Kang Haqi yang tampak sedang serius mengerjakan soal. Dean kembali pada sasarannya semula, yaitu lembar jawaban yang jauhnya dua meja dari meja di depannya, ketika kakinya disenggol lagi dari sebelah kiri, dan bersamaan dengan itu terdengar desisan dari sebelah kanan. Dean menengok ke kanan dan mendapati Kang Endi tengah menatap pengawas di muka kelas, sementara tangan kirinya, yang tersembunyi di bawah meja, mengapit lipatan kertas.

Dean menoleh pada bangku di depan Kang Haqi, yang diisi oleh seorang teteh berjilbab panjang. Di belakang mereka tidak ada siapa pun lagi selain tembok. Dean ikut-ikutan melihat pengawas. Yang satu berjalan pelan-pelan ke arah pintu. Yang satu lagi duduk di balik meja guru dan tampak menunduk, mungkin pada ponselnya. Dean pun ikut-ikutan menunduk, berlagak memerhatikan kertas soalnya lagi, dan langsung disergap perasaan bosan akibat bertemu pertanyaan serta pilihan jawaban yang itu lagi-itu lagi—tidak kunjung dia mengerti.        

“Sst!” terdengar lagi dari arah kanan, juga senggolan pada kakinya dari arah kiri.

Demi apa gua bantuin cowoknya si Rika?

Dean menunduk saja pada kertas soal, lembar jawaban, atau coretannya—berganti-ganti. Dia mulai menorehkan garis tipis-tipis di dalam lingkaran huruf pada lembar jawaban. Tadi A udah. Berarti sekarang B. Eh, ini udah B, berarti C ah. Eh, tapi kayaknya E belum ada.

Tapi setelah gangguan itu terjadi berkali-kali lagi, Dean akhinya mengalihkan tatapannya pada para pengawas. Sementara itu tangannya bergerak pelan-pelan ke arah kanan dan dengan cepat menerima pemberian Kang Endi. Tangan yang sudah diberi “tato” oleh Zahra itu mengenggam lipatan kertas erat-erat dan membawanya ke bawah meja. Dean menoleh pada Kang Haqi, yang sedang memantau pergerakan pengawas, dan menyenggol kakinya. Agak menggeragap, Kang Haqi menengok Dean. Dean mengangkat kepalan tangannya hingga sikutnya berjarak beberapa senti dari tepi meja, lalu membukanya. Lipatan kertas itu jatuh ke lantai sementara telapak tangannya menampakkan tulisan:

 

KAMU

BISA!

 

Dean menurunkan tangannya dan kembali menghadapi lembaran di meja. Dia bersikap setenang mungkin seakan barusan tidak terjadi apa-apa. Tapi dari sudut matanya dia tahu bahwa baik Kang Endi maupun Kang Haqi terkejut oleh perbuatannya.

Ketika Kang Haqi mau mengambil lipatan kertas di dekat kakinya itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan sepatu pada lantai mendekat. Kang Haqi buru-buru menegakkan kembali posisi duduknya. Sementara itu Dean anteng saja sampai pengawas tiba di sisinya dan menegur, “Tadi apa di tangan kamu?”

Dean memperlihatkan telapak tangan kanannya dan tampaklah tulisan itu.

“Apa ini maksudnya?” tanya si pengawas.

“Saya juga enggak tahu, Bu. Temen saya yang nulisin.”

Tidak berlama-lama keheranan, pengawas itu menuding Kang Haqi. “Kamu?”

Kang Haqi mengerutkan dahi, tapi pengawas itu keburu melihat sesuatu di lantai. Ia mengambil benda itu dan membukanya. Lalu ia memandang Dean dan Kang Haqi dengan awas, menyimpan lipatan kertas itu di sakunya, dan kembali ke muka kelas.

Berpuluh pasang mata yang sempat teralih pada mereka pun kembali ke mejanya masing-masing.

.

Setelah dua ujian lagi, diselang istirahat setengah jam tiap kali pergantian pelajaran, UAS hari pertama berakhir. Baru hari pertama…. Keluar dari kelas, Dean langsung mencari-cari langit untuk dia tatap dengan nanar. Dia menimbang-nimbang apakah perlu beli rokok lagi dalam perjalanan ke rumah, atau sebaiknya ke rumah Zahra dulu untuk mempersiapkan materi ujian besok.

Dean baru saja akan membayar rokok di warung samping Tenis Net, ketika tahu-tahu Kang Haqi berada di sisinya. Beberapa anak kelas XI lainnya juga baru datang dan mendekat.

Kang Haqi bilang mau beli teh botol pada penunggu warung, tapi maksud sebenarnya adalah berkata pada Dean, “Masalah kamu sama saya apa sih?”

Dean mencabut rokok yang sudah menempel di bibirnya dan menyahut, “Masalah apa, ya, Kang?”          

 “Jawab we, anjing.”

Sia entong unjang-anjing ka aing[2], biasa wae, anjing.”        Mereka nyaris suntrung-suntrungan, tapi Kang Haqi keburu ditarik teman-temannya.

“Tahan, Qi, masih seminggu lagi,” ujar salah seorang temannya.

Dean memungut rokoknya yang tadi terjatuh. Ketika punggungnya tegak lagi, di kejauhan dia melihat Deraz baru melewati gerbang sekolah. Lalu dia memandang Kang Haqi, yang juga masih menatapnya. Tampaknya Kang Haqi belum puas membalas perlakuan Dean. Dean pun berkata, “Masalah Akang sebenernya sama dia.” Kepalanya menuding ke kejauhan, ke arah Deraz yang tertahan di gerbang. Kembarannya itu sedang bercakap-cakap dengan entah siapa.

Tapi ada banyak anak di situ. Kang Haqi menoleh ke sana dan berpaling pada Dean. “Siapa?”

“Itu, si hujan,” sahut Dean sambil menyulut rokok.

Kang Haqi menoleh lagi, dan berpaling lagi pada Dean. “Kenapa si hujan?”

“Ceweknya Akang kan sukanya cuma sama dia. Kok mau sih diduain?”

“Maksud kamu apa?”

“Gebetannya cewek Akang itu, saya kasih tahu aja, enggak pernah mau dikasih contekan. Sepinter-pinternya orang lain, dia masih lebih percaya sama kerjaannya sendiri.” Dean memandang Deraz sambil mengunyah asap. “Cobalah mikir, apa kurangnya diri Akang sampai Rika masih lebih seneng sama dia.”

Kang Haqi terdiam, Dean juga. Tapi tidak lama-lama.

“Yuk, ah,” pamit Dean sambil menjejalkan pucuk rokok pada dinding, “Saya mesti bimbel lagi,” dan melontarkan benda itu ke tong sampah. Kang Haqi melepasnya dengan makian, tapi Dean tidak acuh. Sebelum berbelok ke arah rumah Zahra, Dean menengok ke gerbang sekolah dan masih ada Deraz di sana. Kembarannya itu juga melihatnya, tapi Dean segera membuang muka dan mendadak tenggorokannya terasa gatal sekali.

.

Ujian demi ujian. Hari demi hari. Kang Endi dan Kang Haqi berusaha menyambungkan rantai jawaban yang tersendat dengan berbagai cara. Mereka tahu bahwa Dean tidak bisa diandalkan. Mereka tahu bahwa Dean berlagak tidak tahu ketika keduanya melontarkan lipatan-gumpalan kertas atau kode-kode pada satu sama lain di balik punggungnya. Tapi entah mereka tahu atau tidak bahwa rantai jawaban X-7 pun tersendat di bangku Dean, tidak seperti sebelumnya. Jika diibaratkan dengan sarang semut, maka ruang tempat Dean berada sudah runtuh dan tidak bisa dilalui oleh semut-semut lagi sehingga mereka langsung saja menuju sasaran berikutnya. Dean juga sudah tidak bisa mengandalkan jurus Mata Rajawali, sejak menyadari bahwa anak-anak yang berada dalam jangkauan pandangnya tidak kalah tolol dari dirinya. Dean mencoba mantra Nyokap lu doktor! tapi tidak selalu berhasil. Dean bahkan tidak sanggup lagi memikirkan lagu untuk Rieka. Otaknya terlalu keruh dan hatinya seakan tertutup oleh kesumpekan akibat terus-terusan dijejali oleh kamu-tahu-apa.

.

Bel berbunyi, menandakan berakhirnya waktu mengerjakan ujian terakhir pada hari terakhir UAS. Anak-anak seakan menyambut pintu surga. Ada yang menyongsongnya dengan semangat, membereskan barangnya cepat-cepat, lalu melesat mengambil ranselnya di bawah papan tulis, dan meninggalkan kelas seperti kilat. Ada juga yang sudah hampir kehabisan tenaga, dan gerakannya yang lamban seakan mau menyerupai zombi.

Kang Haqi diam saja di bangkunya, seperti mau menunggu kelas sepi lebih dulu baru pergi. Kepalanya bersandar pada lipatan kedua lengannya yang menempel di tembok.

Setelah membereskan peralatan ujiannya yang tidak banyak, Dean mengulurkan tangan kanannya pada Kang Haqi.

“Apa?” tanya Kang Haqi sambil menoleh dengan enggan.

“Selamat. UAS-nya udah kelar.”

Kang Haqi tidak menyambut tangan Dean, malah menelengkan kepala ke arah lain.

Dean pun bangkit, mau mengambil ranselnya di muka kelas, ketika tahu-tahu Kang Haqi menyahut.

“Lepasin aja gitu… dia?”

“Baiknya sih gitu, Kang,” jawab Dean dengan kalem. “Biar dia aja yang kesiksa sendiri sama perasaan dia, jangan bawa-bawa Akang.”

Kang Haqi memandang Dean dan mereka bertukar senyuman tipis.

.

Sementara anak-anak Bastard merencanakan touring ke Maribaya, sedangkan Ola, Anne, dan Rio mengajaknya traveling ke Semarang, Dean malah berburu anak-anak yang sama-sama harus ikut remedial—atau siapa saja yang bisa diajak belajar bareng.

Ketika Dean berkunjung ke rumah Zahra untuk entah yang keberapa kalinya dalam bulan itu, cewek itu menanggapinya dengan, “Remed lagi?” Entahkah Dean mengalami halusinasi akibat kebanyakan makan rumus atau pipi Zahra memang makin tembam. Baru kali itu Dean melihat ruang tengah lantai dua tambah berantakan dari hari ke hari, terutama di sekitar TV, oleh tumpukan buku cerita, bungkus DVD, dan toples camilan. Saat itulah Dean sadar bahwa Zahra baru memulai pestanya.

.

Berita baiknya, Ayah sedang libur dan sering berada di rumah. Tiap malam Dean bisa menyusup ke sisi Ayah, entahkah itu di tempat tidurnya di kamar atau di sofa gelar di ruang keluarga sambil menonton TV. Dean suka mengganduli lengan Ayah yang kekar seakan itu bantal guling, dan minta didongengi segala cerita—mulai dari Sakadang Kancil sampai Bunda sewaktu kecil. Itu penghiburannya yang paling mujarab ketimbang main musik atau membayangkan Rieka. Mendengarkan suara Ayah yang dalam dan berat dan meresapinya membuat Dean merasa kembali ke masa dirinya belum ada.



[1] Piero Umiliani (1969)

[2] Sunda (kasar): Kamu jangan ngeanjing-anjingin saya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain