Senin, 07 Desember 2015

Untuk Adik

#noktahmerahmasakecil

Cerita untuk anak-anak (yang merasa terjebak dalam tubuh orang dewasa)

Disclaimer: Tulisan ini dibuat karena terinspirasi dari cerita “Uang dari Paman” karangan Ganda Rudolf yang termuat dalam suplemen Klasika Kompas, 6 Desember 2015. Mari kita kembali membudayakan kegiatan mendongeng secara masif pada setiap keluarga di seluruh Tanah Air, guna menyebarkan nilai-nilai karakter unggul bangsa melalui dongeng. Yuk, kembali mendongeng! FB: Nusantara Bertutur | Twitter: NBertutur | Website: www.nusantarabertutur.com |

 

Hari itu aku membantu Mamang membereskan dagangan di rumahnya. Sesudah itu, aku diberi tiga lembar uang dua puluh ribu.

“Ini masing-masing satu, ya, buat kamu sama adik-adik kamu!” begitu kata Mamang.

“Makasih, Mang,” kataku.

Aku masukkan uang itu ke kantong celana. Lalu aku berjalan pulang dengan riang. Uang dua puluh ribu ini mending kubelikan apa, ya?

Aku langsung membayangkan sebuah ensiklopedia. Aku melihatnya di kios buku di samping kios milik Mamang. Ensiklopedia itu sangat besar. Kertasnya mengilap dan tebal. Gambarnya banyak dan semuanya berwarna. Tulisannya juga banyak. Aduh, aku sangat ingin memilikinya! Ensiklopedia itu juga kelihatan masih baru. Padahal aku tahu kios itu cuma menjual buku bekas.

Beberapa hari yang lalu, saat ikut Mamang berjualan di kiosnya, aku melihat ada orang yang menanyakan harga buku itu. Pemilik kios itu mengatakan seratus ribu. Tetapi orang itu menawar terus. Ia ingin membeli ensiklopedia itu seharga empat puluh ribu. Pemilik kios itu lalu bilang, “Enam puluh ribu. Enggak bisa kurang lagi.” Ensiklopedia itu pun tidak jadi dibeli.

Tiga kali dua puluh ribu … sama dengan enam puluh ribu!

Mudah-mudah ensiklopedia itu masih ada. Aku ingin cepat-cepat ke sana. Aku tahu mesti naik angkot jurusan mana. Tetapi sebaiknya aku makan siang dan ganti baju dulu.

Aku pun sampai di rumah. Bersamaan dengan itu, terdengar suara “dong dong dong”. Itu tandanya ada penjual es kado. Es berbentuk kotak yang dibungkus plastik. Mungkin karena bentuknya kotak, es itu disebut begitu. Rasanya, ya, tentu saja dingin dan manis.

Mendengar suara itu, adik-adikku berebutan keluar dari dalam rumah. Tetapi, sampai di dekat pintu, mereka malah diam. Penjual es kado itu mendorong gerobaknya melewati jalan di depan rumah kami.

“Kenapa?” tegurku.

“Pengin es kado ….” Fathim melihatku. Dia menunjuk penjual es kado yang mulai jauh.

“Aku juga,” Aziz ikut-ikutan

“Bikin aja sendiri. Air sirup dimasukin ke wadah es batu,” kataku.

Ada suara anak-anak menghentikan penjual es kado itu. Fathim dan Aziz berlari ke pagar. Di situ mereka cuma berdiri. Mereka mengawasi penjual es kado melayani pembeli.

Aku meraba uang di saku celanaku. Uang ini akan lebih bermanfaat jika dibelikan ensiklopedia itu. Es kado dimakan sebentar juga habis. Ensiklopedia lebih awet dan bisa dibaca bersama-sama. Jadi ini untuk Fathim dan Aziz juga, supaya mereka pintar. Nanti mereka pasti akan berterima kasih padaku.

Maka aku pun makan siang, ganti baju, dan pergi ke kios buku.

Untunglah, ensiklopedia itu masih ada! Pemilik kios itu berbaik hati menyampulkannya untukku. Aku pun pulang menenteng plastik berisi ensiklopedia itu dengan gembira.

Ketika aku pulang, Ibu sudah ada di rumah. Ibu menanyakan buku yang kubawa. Aku katakan pada Ibu bahwa aku membelinya dari uang pemberian Mamang. Aku katakan juga bahwa ensiklopedia itu bagus buat kami bertiga. Untunglah Ibu tidak bertanya-tanya lagi. Beliau sedang sibuk menyiapkan lauk untuk makan malam.

Lalu aku menghampiri Fathim dan Aziz. Mereka tampak cemberut.

“Kenapa?” tegurku.

“Pengin cuanki,” kata Fathim.

“Aku juga,” Aziz ikut-ikutan.

“Ini kan sudah ada tahu sama tempe!” sahut Ibu dari dapur.

Fathim dan Aziz terus merengek. Aku perlihatkan ensiklopedia itu pada mereka. Mereka jadi diam. Lalu mereka mulai membuka-buka buku itu. Tetapi mereka cuma melihat gambar-gambarnya. Aziz belum bisa membaca. Fathim sudah bisa membaca, tetapi dia tidak suka. Setelah sampai di halaman terakhir, mereka merengek-rengek ingin Jet-Z lagi.

Dasar adik-adik tidak tahu bersyukur. Mereka tidak boleh ingin jajan ini-itu melulu. Mereka tidak tahu uang Ibu cuma sedikit. Apalagi Bapak sudah tidak ada. Ibu yang mengatakan itu padaku. Kata Ibu, kalau uangnya banyak, beliau pasti akan sering-sering membelikanku buku baru.

Aku katakan pada Fathim dan Aziz, “Daripada jajan mending baca buku. Buku ini Abang belikan buat kalian, supaya kalian pintar! Biar ranking satu terus di kelas. Kalian mau enggak jadi ranking satu?”

“Mau,” kata Fathim.

“Mau,” Aziz ikut-ikutan padahal dia belum sekolah.

“Kalau gitu, bukunya boleh aku kasih nama aku juga, Bang?” tanya Fathim.

“Tulis nama Abang juga,” kataku.

Lalu Fathim menuliskan namaku, namanya, dan nama Aziz di halaman depan ensiklopedia itu. Dia baru belajar menulis, jadi tulisannya besar-besar dan jelek. Tetapi tidak apa-apalah.

Kami melihat-lihat isi buku itu lagi sambil aku menjelaskannya sebisaku.

Lalu terdengar suara siulan, tanda ada penjual putu sedang lewat. Fathim dan Aziz berseru pada Ibu, “Bu, putu, Bu!”

Aku membawa ensiklopedia itu ke kamar. Aku membacanya sampai ketiduran.

Keesokan harinya, di sekolah, aku tidak sabar ingin cepat pulang. Aku ingin membuka-buka ensiklopedia itu lagi. Aku ingin kembali melihat gambar Christopher Columbus, bola dunia, baju zirah, matahari, dan membaca semua tentang itu. Selain itu, ketika membacanya semalam, aku baru tahu bahwa ensiklopedia itu ternyata ada beberapa jilid. Kapan, ya, aku punya uang lagi untuk membeli jilid lainnya?

Sayangnya, hari itu aku tidak bisa cepat-cepat pulang. Ada ekskul pencak silat. Kalau aku pulang cepat, dan ada Ibu di rumah, aku pasti ditanya-tanya. Jadi aku tetap mengikutinya dengan kurang bersemangat.

Akhirnya aku sampai di rumah lagi. Di ruang tengah aku melihat Fathim dan Aziz sedang mengerjakan sesuatu. Majalah-majalah lama berserakan di sekitar mereka. Rupanya mereka sedang membuat gambar tempel. Fathim yang menggunting gambar dari majalah. Aziz yang menempelkannya ke kertas buku gambar. Aku pun duduk di samping mereka.

“Bagus enggak, Bang?” tanya Fathim. Dia belum mengganti seragamnya. Padahal dia pasti sudah pulang dari siang tadi.

“Bagus,” kataku.

Fathim jadi girang. “Aku bisa ranking satu enggak?”

“Bisa.”

“Ini cerita lo, Bang!”

Aziz merebut buku gambar itu dari Fathim, dan membukanya dari halaman pertama. Rupanya mereka telah membuat gambar tempel sampai berlembar-lembar. Hebat juga. Ini pasti karena aku membeli ensiklopedia itu. Dalam semalam mereka langsung jadi pintar! Lalu dengan bersemangat Aziz bercerita padaku sambil menunjuk-nunjuk gambar.

“Ini ada matahari. Mataharinya panas. Tank bajanya nembak matahari. Jeder! Arrgh. Mataharinya sakit.”

Dia membalik halaman berikutnya.

“Ada pahlawan datang. Kamu tidak boleh nembak matahari! Siapa kamu?! Aku jagoan Neon! Tanknya nembak jagoan Neon juga. Jedor! Jedor! Jedor! Darahnya banyak banget. Mataharinya kena darah.”

Aku memerhatikan gambar-gambar yang ditunjuk Aziz. Beberapa gambar kelihatan mengilap karena cahaya lampu.

Mendadak jantungku berdebar kencang. Lalu aku tidak sengaja melihat sesuatu di balik tumpukan majalah. Aku menariknya. Buku itu disampul plastik. Kertasnya tebal dan mengilap. Halamannya sudah diguntingi. Jantungku berdebar semakin kencang.

Kutempeleng mereka satu-satu pakai buku itu.[]

 

Hikmah Cerita

Korupsi adalah perbuatan yang tercela karena memperkaya diri sendiri dengan merugikan pihak lain. Mari kita beli dagangan mamang penjual es kado, cuanki, atau putu yang lewat setiap hari di dekat rumah kita. Mereka juga perlu uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain