#noktahmerahmasakecil
Cerita untuk
anak-anak (yang merasa terjebak dalam tubuh orang dewasa)
Disclaimer:
Tulisan ini dibuat karena terinspirasi dari cerita “Uang dari Paman” karangan Ganda
Rudolf yang termuat dalam suplemen Klasika Kompas, 6 Desember 2015. Mari kita kembali membudayakan kegiatan mendongeng
secara masif pada setiap keluarga di seluruh Tanah Air, guna menyebarkan
nilai-nilai karakter unggul bangsa melalui dongeng. Yuk, kembali mendongeng!
FB: Nusantara Bertutur | Twitter: NBertutur | Website: www.nusantarabertutur.com |
Hari itu aku membantu Mamang membereskan dagangan di
rumahnya. Sesudah itu, aku diberi tiga lembar uang dua puluh ribu.
“Ini masing-masing satu, ya, buat kamu sama adik-adik kamu!”
begitu kata Mamang.
“Makasih, Mang,” kataku.
Aku masukkan uang itu ke kantong celana. Lalu aku berjalan
pulang dengan riang. Uang dua puluh ribu ini mending kubelikan apa, ya?
Aku langsung membayangkan sebuah ensiklopedia. Aku melihatnya
di kios buku di samping kios milik Mamang. Ensiklopedia itu sangat besar.
Kertasnya mengilap dan tebal. Gambarnya banyak dan semuanya berwarna.
Tulisannya juga banyak. Aduh, aku sangat ingin memilikinya! Ensiklopedia itu
juga kelihatan masih baru. Padahal aku tahu kios itu cuma menjual buku bekas.
Beberapa hari yang lalu, saat ikut Mamang berjualan di
kiosnya, aku melihat ada orang yang menanyakan harga buku itu. Pemilik kios itu
mengatakan seratus ribu. Tetapi orang itu menawar terus. Ia ingin membeli
ensiklopedia itu seharga empat puluh ribu. Pemilik kios itu lalu bilang, “Enam
puluh ribu. Enggak bisa kurang lagi.” Ensiklopedia itu pun tidak jadi dibeli.
Tiga kali dua puluh ribu … sama dengan enam puluh ribu!
Mudah-mudah ensiklopedia itu masih ada. Aku ingin cepat-cepat
ke sana. Aku tahu mesti naik angkot jurusan mana. Tetapi sebaiknya aku makan
siang dan ganti baju dulu.
Aku pun sampai di rumah. Bersamaan dengan itu, terdengar
suara “dong dong dong”. Itu tandanya ada penjual es kado. Es berbentuk kotak
yang dibungkus plastik. Mungkin karena bentuknya kotak, es itu disebut begitu.
Rasanya, ya, tentu saja dingin dan manis.
Mendengar suara itu, adik-adikku berebutan keluar dari dalam
rumah. Tetapi, sampai di dekat pintu, mereka malah diam. Penjual es kado itu
mendorong gerobaknya melewati jalan di depan rumah kami.
“Kenapa?” tegurku.
“Pengin es kado ….” Fathim melihatku. Dia menunjuk penjual es
kado yang mulai jauh.
“Aku juga,” Aziz ikut-ikutan
“Bikin aja sendiri. Air sirup dimasukin ke wadah es batu,”
kataku.
Ada suara anak-anak menghentikan penjual es kado itu. Fathim
dan Aziz berlari ke pagar. Di situ mereka cuma berdiri. Mereka mengawasi
penjual es kado melayani pembeli.
Aku meraba uang di saku celanaku. Uang ini akan lebih
bermanfaat jika dibelikan ensiklopedia itu. Es kado dimakan sebentar juga
habis. Ensiklopedia lebih awet dan bisa dibaca bersama-sama. Jadi ini untuk
Fathim dan Aziz juga, supaya mereka pintar. Nanti mereka pasti akan berterima
kasih padaku.
Maka aku pun makan siang, ganti baju, dan pergi ke kios buku.
Untunglah, ensiklopedia itu masih ada! Pemilik kios itu
berbaik hati menyampulkannya untukku. Aku pun pulang menenteng plastik berisi
ensiklopedia itu dengan gembira.
Ketika aku pulang, Ibu sudah ada di rumah. Ibu menanyakan
buku yang kubawa. Aku katakan pada Ibu bahwa aku membelinya dari uang pemberian
Mamang. Aku katakan juga bahwa ensiklopedia itu bagus buat kami bertiga.
Untunglah Ibu tidak bertanya-tanya lagi. Beliau sedang sibuk menyiapkan lauk
untuk makan malam.
Lalu aku menghampiri Fathim dan Aziz. Mereka tampak cemberut.
“Kenapa?” tegurku.
“Pengin cuanki,” kata Fathim.
“Aku juga,” Aziz ikut-ikutan.
“Ini kan sudah ada tahu sama tempe!” sahut Ibu dari dapur.
Fathim dan Aziz terus merengek. Aku perlihatkan ensiklopedia
itu pada mereka. Mereka jadi diam. Lalu mereka mulai membuka-buka buku itu.
Tetapi mereka cuma melihat gambar-gambarnya. Aziz belum bisa membaca. Fathim
sudah bisa membaca, tetapi dia tidak suka. Setelah sampai di halaman terakhir,
mereka merengek-rengek ingin Jet-Z lagi.
Dasar adik-adik tidak tahu bersyukur. Mereka tidak boleh
ingin jajan ini-itu melulu. Mereka tidak tahu uang Ibu cuma sedikit. Apalagi
Bapak sudah tidak ada. Ibu yang mengatakan itu padaku. Kata Ibu, kalau uangnya
banyak, beliau pasti akan sering-sering membelikanku buku baru.
Aku katakan pada Fathim dan Aziz, “Daripada jajan mending
baca buku. Buku ini Abang belikan buat kalian, supaya kalian pintar! Biar
ranking satu terus di kelas. Kalian mau enggak jadi ranking satu?”
“Mau,” kata Fathim.
“Mau,” Aziz ikut-ikutan padahal dia belum sekolah.
“Kalau gitu, bukunya boleh aku kasih nama aku juga, Bang?”
tanya Fathim.
“Tulis nama Abang juga,” kataku.
Lalu Fathim menuliskan namaku, namanya, dan nama Aziz di
halaman depan ensiklopedia itu. Dia baru belajar menulis, jadi tulisannya
besar-besar dan jelek. Tetapi tidak apa-apalah.
Kami melihat-lihat isi buku itu lagi sambil aku
menjelaskannya sebisaku.
Lalu terdengar suara siulan, tanda ada penjual putu sedang
lewat. Fathim dan Aziz berseru pada Ibu, “Bu, putu, Bu!”
Aku membawa ensiklopedia itu ke kamar. Aku membacanya sampai
ketiduran.
Keesokan harinya, di sekolah, aku tidak sabar ingin cepat
pulang. Aku ingin membuka-buka ensiklopedia itu lagi. Aku ingin kembali melihat
gambar Christopher Columbus, bola dunia, baju zirah, matahari, dan membaca
semua tentang itu. Selain itu, ketika membacanya semalam, aku baru tahu bahwa
ensiklopedia itu ternyata ada beberapa jilid. Kapan, ya, aku punya uang lagi
untuk membeli jilid lainnya?
Sayangnya, hari itu aku tidak bisa cepat-cepat pulang. Ada
ekskul pencak silat. Kalau aku pulang cepat, dan ada Ibu di rumah, aku pasti
ditanya-tanya. Jadi aku tetap mengikutinya dengan kurang bersemangat.
Akhirnya aku sampai di rumah lagi. Di ruang tengah aku
melihat Fathim dan Aziz sedang mengerjakan sesuatu. Majalah-majalah lama
berserakan di sekitar mereka. Rupanya mereka sedang membuat gambar tempel.
Fathim yang menggunting gambar dari majalah. Aziz yang menempelkannya ke kertas
buku gambar. Aku pun duduk di samping mereka.
“Bagus enggak, Bang?” tanya Fathim. Dia belum mengganti
seragamnya. Padahal dia pasti sudah pulang dari siang tadi.
“Bagus,” kataku.
Fathim jadi girang. “Aku bisa ranking satu enggak?”
“Bisa.”
“Ini cerita lo, Bang!”
Aziz merebut buku gambar itu dari Fathim, dan membukanya dari
halaman pertama. Rupanya mereka telah membuat gambar tempel sampai
berlembar-lembar. Hebat juga. Ini pasti karena aku membeli ensiklopedia itu.
Dalam semalam mereka langsung jadi pintar! Lalu dengan bersemangat Aziz
bercerita padaku sambil menunjuk-nunjuk gambar.
“Ini ada matahari. Mataharinya panas. Tank bajanya nembak
matahari. Jeder! Arrgh. Mataharinya sakit.”
Dia membalik halaman berikutnya.
“Ada pahlawan datang. Kamu tidak boleh nembak matahari! Siapa
kamu?! Aku jagoan Neon! Tanknya nembak jagoan Neon juga. Jedor! Jedor! Jedor!
Darahnya banyak banget. Mataharinya kena darah.”
Aku memerhatikan gambar-gambar yang ditunjuk Aziz. Beberapa
gambar kelihatan mengilap karena cahaya lampu.
Mendadak jantungku berdebar kencang. Lalu aku tidak sengaja
melihat sesuatu di balik tumpukan majalah. Aku menariknya. Buku itu disampul
plastik. Kertasnya tebal dan mengilap. Halamannya sudah diguntingi. Jantungku
berdebar semakin kencang.
Kutempeleng mereka satu-satu pakai buku itu.[]
Hikmah Cerita
Korupsi adalah perbuatan yang tercela karena memperkaya diri sendiri dengan merugikan pihak lain. Mari kita beli dagangan mamang penjual es kado, cuanki, atau putu yang lewat setiap hari di dekat rumah kita. Mereka juga perlu uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar