Kamis, 28 Februari 2019

Petunjuk Mendetail tentang Cara Membuat Manga yang Cocok bagi Pemula yang Sama Sekali Tidak Berbakat namun Berkemauan Kuat

(Lagu untuk mengiringi pembacaan ini:)





Suatu ketika pada 2003 di sebuah SMP di Kodya Bandung …



Ketika kembali duduk di bangkunya, Fazaha memerhatikan di kolong ada buku lumayan besar dengan sampul berwarna. Fazaha menarik keluar buku dalam plastik bersegel itu.

sumber gambar

How to Draw and Create Manga

Fazaha tercengang.

Ia membuka segel. Rupanya ada dua buku: volume satu dan volume dua. Ketika membalik sampul buku volume pertama, Fazaha menemukan secarik kertas bertulisan:

JAHE-CHAN
BAIKAN YUK
^_^

Fazaha gondok. Ia menoleh ke seberang kelas 1A. Alfian melambaikan tangannya dengan girang. Fazaha mendesah. Ia kembali pada buku itu. Namun guru keburu datang. Cepat-cepat ia menutup dan mendorong buku itu ke kolong.



Alfian seakan-akan sudah tahu Fazaha akan menghampirinya sepulang sekolah.

“Ini apa?” Fazaha masih belum mau tersenyum. Ia menyorongkan plastik berisi dua volume buku itu.

“Buku.

“Iya, tahu, ini buku!” sahut Fazaha. “Maksudnya apa?”

“Buat kamu.”

“Beneran?”

Alfian mengangguk-angguk.

Fazaha mengeluarkan buku volume pertama. Ia membuka sampul belakangnya lalu memperlihatkan halaman terakhir. Sebuah tanda tangan dengan pulpen memenuhi hampir seluruh halaman itu. Di bawahnya ada nama: Risky.

“Ini punya orang?”

“Oh!” Alfian terkejut, seakan-akan baru mengetahui adanya tanda tangan itu. “Iya, memang asalnya itu punya Kak Iki. Tapi katanya boleh buat kamu.”

“Heh?”

“Sekarang kita baikan, kan, Jahe-chan?”

“Entar dulu! Kenapa aku dikasihnya buku bekas?”

“Tapi kan masih bagus? Itu Kak Iki belinya masih baru lo!”

Benar kata Alfian. Kondisi buku itu memang seperti yang belum pernah disentuh, walaupun tidak terbungkus ketat seperti di toko.

Namun Fazaha tidak secepat itu percaya. “Bener, dikasih buat aku?”

“Beneran! Kata Kak Iki boleh!”

“Jangan-jangan kamu ngambil enggak bilang-bilang!”

“Eeeh, enak aja!”

Fazaha bimbang. Ia baru sekilas melihat-lihat isi buku itu. Kelihatannya isinya keren dan sesuai dengan yang ia perlukan. Ia ingin membaca buku itu betul-betul dengan leluasa. Tetapi, bisakah Alfian dipercaya? Mengingat ulah cowok itu sebelumnya ….



Ketika itu, Fazaha keluar dari ruang mading sekolah sambil menahan tangis. Ia lalu terduduk di balik bangunan sekolah yang sepi. Di tempat itu kadang-kadang ia melewati jam istirahat berdua dengan Alfian sambil makan jajanan. Ketika Fazaha sedang mengusap air mata, Alfian muncul.

“Jahe-chan! Kamu kenapa? Kamu habis dijahatin orang?!”

Sambil menahan isak, Fazaha bercerita, “Komik aku dibilang jelek.” Lalu tangisnya keluar lagi.

“Siapa?!”

“Ya, enggak tahu!" Gulungan-gulungan kertas itu masuk ke kotak saran mading tanpa diberi nama. "Terus, yang ngomen bukan cuma dia aja ….” Fazaha menangkupkan kepalanya ke pangkuan. “Aku enggak bisa bikin komik ….”

“Jahe-chan, kamu jangan patah semangat. Komik kamu baru pertama kali dimuat di mading, kan?”

Tangis Fazaha bertambah kencang. Walaupun komiknya baru sekali itu tampil di mading sekolah, gambarnya telah berkali-kali terbit di Bobo serta memenangkan lomba. Tetapi, rupanya, menggambar komik sama sekali berbeda dari gambar anak-anak yang biasa dibuatnya. Ketika menggambar komiknya yang akhirnya dicela orang itu, tidak terhitung berapa kali Fazaha menghapus dan menggambar ulang. Selain itu, ia harus mencari cerita yang menarik. Karena tenggat waktu, memang kemarin ia asal saja mencomot dari cerpen di majalah remaja milik kakaknya.

Pokoknya bikin komik itu rumit sekali!

“Jahe-chan, jangan menyerah. Nanti kalau bikin komik lagi, lihatin ke aku dulu aja.”

Fazaha tahu Alfian suka membaca komik. Mungkin Alfian memang bisa membantu Fazaha untuk membuat komik yang lebih baik.

Beberapa minggu kemudian, Fazaha selesai membuat komik baru. Kali ini jumlah halamannya lebih banyak. Ia menyerahkan komik itu kepada Alfian.

“Aku bawa pulang, ya.”

Fazaha mengangguk.

Besoknya Fazaha menanyakan komiknya kepada Alfian. Alfian bilang ia belum selesai memperbaiki komik Fazaha.

“Apanya yang perlu dibenerin?”

“Ada deh! Pokoknya nanti komik kamu jadi lebih menarik.”

Fazaha mengerutkan kening.

Hari demi hari Fazaha lalui tanpa absen menanyakan komiknya kepada Alfian. Alasan lainnya, “Entar tunggu kakak aku pulang. Aku mau lihatin komik kamu ke Kak Iki. Kak Iki baru pulang Sabtu.”

Fazaha menunggu.

Ketika hari yang dinantikan tiba, Fazaha menangis lagi melihat komiknya. Alfian ternyata telah mengacak-acak komiknya! Setiap muncul karakter perempuan dalam komik itu, Alfian menghapus bagian dada dan paha ke bawah, kemudian menggambarnya ulang. Dadanya menjadi lebih besar. Rok atau celana ditinggikan sehingga pahanya menjadi terbuka.

Komik itu sampai ringsek karena digulung Fazaha kemudian dipakai untuk menggebuki Alfian sekuat-kuatnya.

Fazaha tidak mau berbicara kepada Alfian lagi.

Sampai Alfian memasukkan kedua volume buku itu ke kolong bangkunya.



Fazaha sangat menginginkan buku itu. Kalau ia beli sendiri, sepertinya harganya cukup mahal.

“Ya udah, aku pinjam dulu, ya.”

“Kan memang buat kamu.”

“Ih, aku enggak percaya sama kamu!”

“Eh!? Tapi kita udah baikan, kan? JAHE-CHAAAN!”

Fazaha berlari secepat-cepatnya dari Alfian.



Begitu sampai di rumah, di kamarnya, Fazaha langsung mengeluarkan buku dari plastik. Kedua buku itu masing-masing tebalnya hanya delapan puluhan halaman dan terdiri dari empat bab.

Dua bab awal dalam volume pertama mengajarkan cara menggambar kepala dan wajah serta tubuh dan gerakan. Rupanya untuk membuat bagian-bagian tubuh itu diperlukan sketsa lebih dahulu. Kalau begitu, Fazaha membayangkan, nantinya tetap saja akan banyak menghapus juga. Tetapi, cara ini mestilah akan membuat gambarnya menjadi lebih rapi.

Buku itu mendetail sekali dengan menunjukkan cara menggambar kepala dan wajah dari berbagai sudut: depan, samping, ¾ depan, ¾ belakang, ¾ atas, ¾ depan atas, ¾ depan bawah, termasuk tentang pergerakan mulut dan perbedaan bentuk mata dari sudut yang berlainan itu. Belum lagi cara menggambar tiap-tiap objek wajah: mata, hidung, bibir dan mulut, rambut, sampai ke perubahannya agar menghasilkan beragam ekspresi.

Terungkap pula rahasia menggambar tubuh yang ternyata dengan lebih dahulu membuat kerangka seperti layangan kemudian bentuk-bentuk seperti tabung, kubus, bola, dan sebagainya. Sebelum mencoba membuat komik, Fazaha lebih terpaku kepada kepala dan wajah saja sebab itulah yang paling menarik. Ia terkesan dengan mata ala komik-komik serial cantik Jepang yang besar berbinar-binar, juga senang bermain-main dengan gaya rambut. Tetapi, ketika membuat komik, ternyata ia kesulitan meneruskan dari bagian kepala itu ke bawah. Sudah rapi-rapi di bagian atas, eh, tubuhnya tidak sesuai.

Apalagi ketika ia ingin menggambar gerakan tangan. Kalau di gambar anak-anak yang biasa dibuatnya, dengan mudah ia menggambar lekukan-lekukan jari yang kadang jumlahnya hanya empat pada satu tangan. Tetapi, dalam komik gaya Jepang ini, tangan mesti digambar dengan mendetail. Ia ingin membuat jari-jari yang lentik seperti yang betulan, tetapi betapa susahnya! Ternyata, menggambar telapak tangan, juga kaki, memerlukan sketsa lebih dahulu juga.

Ada perbedaan dalam menggambar tiap-tiap bagian tubuh cowok dan cewek, yang disesuaikan lagi dengan usia karakternya. Buku itu juga menujukkan cara menggambar karakter chibi serta pakaian yang ternyata bergantung kepada jenis kain, pergerakan badan, bahkan pengaruh angin!

Kemudian ada yang dinamakan inking atau meninta dan tracing atau menjiplak. Dalam membuat komik kemarin, Fazaha hanya mengandalkan kertas, pensil, penghapus, dan penggaris. Rupanya bagi komikus profesional, ada peralatan lain yang harus dimiliki. Mulai dari kertas, pena, sampai tinta, ada banyak macam dengan kegunaan masing-masing. Tidak hanya itu, ada juga peralatan besar seperti meja tracing, mesin fotokopi, bahkan komputer!

Menyusun cerita pun ternyata tidak sembarangan. Ada tema, gaya cerita, dan plot yang mesti ditentukan. Menyusun panel ada triknya tersendiri. Ada berbagai cara membuat latar belakang serta bentuk balon kata dengan efek yang berbeda-beda pula. Membuat komik sebaiknya direncanakan dulu di kertas lain!

Fazaha menutup volume pertama dengan kewalahan.

Setelah diam sejenak, ia menguatkan diri untuk membuka volume kedua. 

sumber gambar

Sepintas, isi bab kesatu volume kedua sepertinya tidak begitu berbeda dengan yang ada di volume pertama. Baru Fazaha menyadari bahwa gaya dalam komik Jepang itu berbeda-beda. Ada yang simpel, ada yang realistis dengan lebih banyak detail, dan lain-lainnya. Padahal sebelum ini ia memandang komik Jepang dalam satu gaya saja, ya … gaya Jepang.

Kemudian ada latar belakang! Sebelumnya Fazaha hanya berfokus pada manusia. Rupanya apa yang ada di belakang tokoh juga harus diperhatikan! Buku itu memberi petunjuk menggambar objek-objek alam seperti batu, pohon, rumput dan tanah, sampai bangunan dengan menggunakan perspektif. Kebetulan Fazaha sudah mendapatkan sedikit materi menggambar perspektif dalam pelajaran Seni.

Ada cara yang lebih gampang untuk membuat latar belakang daripada dengan menggambar perspektif, yaitu dengan menjiplak foto atau gambar di majalah. Tetapi, cara itu memakan banyak modal. Malah, kalau mau lebih canggih lagi, komputer dan scanner diperlukan. Menghasilkan gambar menggunakan komputer sama sekali tidak terbayang oleh Fazaha sebelumnya.

Penggunaan komputer dibahas lebih lanjut di bab ketiga. Buku itu bilang, penggunaan komputer tidaklah harus. Malah, keahlian menggambar lebih terasah jika semuanya dikerjakan dengan tangan. Tetapi, penggunaan komputer dapat menyingkat waktu dan menyediakan efek-efek yang berbeda. Kalau menggunakan komputer dan scanner, Fazaha mesti mempelajari software-software, misalnya Adobe Photoshop.

Fazaha membuka bab terakhir dalam buku itu, lalu tersadar. Tidak saja harus menguasai aneka cara menggambar baik dengan tangan maupun komputer, ia juga mesti pintar mengkhayal untuk membuat kisah yang mengasyikkan. Ketika menggambar, tentu saja Fazaha sambil mengkhayal yang kemudian ia tuangkan di kertas dengan pensil, spidol, atau krayon dan sebagainya. Tetapi khayalannya tidak bergerak ke mana-mana, tidak menjadi cerita!

Buku ini juga menjelaskan cara-cara untuk membuat kisah yang menghibur. Cerita harus unik, masuk akal, rapi, jelas, tidak membingungkan, menampilkan tokoh-tokoh yang persis dengan orang-orang di kehidupan nyata, mengandung banyak kejutan, hingga membikin pembaca penasaran dan geregetan.

Sebelum diwujudkan menjadi komik, cerita sebaiknya dituliskan lebih dahulu untuk menjelaskan isi tiap-tiap panel. Peletakkan panel-panel tersebut dalam satu halaman mestilah memudahkan orang untuk membacanya. Mangaka harus pintar memainkan sudut pandang dalam tiap-tiap panel karena suasana yang ditampilkan juga akan berbeda-beda.

Fazaha menutup buku dengan puyeng.

Tuh, kan, bikin komik itu memang rumit! Tetapi, setidaknya buku ini telah memecah kerumitan itu menjadi penjelasan-penjelasan yang terperinci. Orang yang tidak berbakat sekalipun bisa saja membuat komik asalkan mau mengikuti petunjuk buku ini dengan sungguh-sungguh dan bertekad keras.

Tiap halaman dari kedua volume buku ini membutuhkan latihan tersendiri. Entah berapa lama waktu yang mesti dihabiskan sampai Fazaha dapat menguasai setiap keterampilan yang diperlukan untuk membuat komik yang baik. Fazaha tidak bisa sekadar meminjam buku ini. Ia harus memilikinya.

Kalau beli sendiri, harganya berapa, ya?

Mama mau membelikan tidak, ya?

Kalau pakai uang saku sendiri, Fazaha khawatir tidak bisa jajan untuk beberapa lama.

Tetapi, bukankah Alfian bilang buku ini memang untuk dia?

Fazaha merasa masih belum bisa memercayai anak itu. Ia tidak mau diberikan barang curian.

Terlintas gagasan di benaknya.

Ah, tidak, tidak, itu pasti memalukan!

Tetapi ….



Keesokan harinya di kelas, Fazaha menghampiri Alfian.

“Aku mau ketemu sama kakak kamu.”

“Eh, kenapa?”

“Pengin mastiin bukunya memang buat aku.”

Alfian manyun seraya semakin menyipitkan matanya. “Kamu masih enggak percaya sama aku.”

“Gimana?” kejar Fazaha.

Alfian mengembuskan napas. “Ya udah ….”

“Ya udah apa!?”

“Ya entar aku bilang sama kakak aku.”

“Bener, ya!?”

“… iya ….”

“Aku enggak mau percaya sama kamu sampai kamu bener-bener ngebuktiin …” Fazaha mengguncang-guncang kerah seragam Alfian.

“... iyaaa …”



Sulit memulai pembacaan buku ini tanpa ikut mencorat-coret sketsa -_1



... bersambung ke NaNoWrimo 2019, kalau Allah menghendaki.

Jumat, 22 Februari 2019

Bukit Candi Ketika Sepi

Saya pertama kali diajak ke Bukit Candi ketika sedang ramai-ramainya, yaitu pada Minggu pagi. Sejak turun dari angkot di Alun-alun, banyak orang menyertai kami dengan pakaian olahraga menyusuri jalan menanjak. Tanjakannya tidak curam amat, tetapi cukup bikin terengah-engah bagi yang tidak terbiasa berolahraga. 

Mendekati puncak, keadaan penuh sesak oleh pengunjung dan pedagang. Suasananya kurang lebih seperti Gasibu atau Tegallega pada waktu yang sama.

Di puncak ada lapangan besar dengan dua gawang dari bambu serta area-area gundul lain sebagai spot untuk menikmati pemandangan serupa lukisan di bawahnya. Di sisinya terdapat bukit kecil yang dinamakan Bukit Candi, disebabkan oleh bentuknya yang berundak-undak menyerupai candi.

Pada kesempatan pertama itu, kami tidak sempat naik ke bukit. Banyaknya orang membikin saya tidak berselera untuk berlama-lama ke mana-mana. Kami cuma jajan tahu crispy lalu menyingkir ke area yang sebetulnya tidak sepi amat. Namun di situ kami bisa duduk memakan jajanan sembari menikmati pemandangan kali yang membelah lautan sawah di bawah dan tidak bisa berbuat apa-apa terhadap anak-anak SMP yang meletakkan sampah mereka begitu saja.

Sepulangnya dari situ, saya berangan-angan untuk suatu saat kembali mengunjungi Bukit Candi ketika sepi sekaligus turun mandi main air di kali seperti bidadari.

Kesempatan itu datang baru-baru ini.

Pada Kamis (22/2/2019) sekitar pukul tujuh pagi kami berangkat. Tidak jauh dari jalan masuk di seberang Alun-alun, kami terhambat oleh pusaran motor. Pengendara datang dari empat penjuru mata angin. Memang di perempatan itu tidak ada lampu lalu lintas dan agak ke atas terdapat beberapa sekolah. Parkir motor untuk siswa SMAN 1 Cicalengka--salah satu sekolah tersebut--sampai memakan beberapa pelataran rumah warga sekitar.

Lepas dari pusaran kemacetan, perjalanan mulai tenang namun bukannya tanpa kegetiran. (#alah) Kami menyaksikan pembangunan di kanan-kiri jalan yang mengkhawatirkan, di antaranya karena tidak kunjung selesai atau lahan yang teramat curam. Banyak juga ditemui titik-titik pembuangan sampah yang mengeluarkan bau sengit.

Segala permasalahan umat manusia tersebut tergusah begitu kami mendekati puncak. Pemandangan kota dari ketinggian memang biasanya menakjubkan. Dari sisi pembatas jalan kami bisa melihat jalan kereta, karena kebetulan sedang ada kereta yang melintas, meliuk-liuk seperti ulat berwarna perak. Padahal itu bukan ulat betulan, cuma ulat besi, kereta yang dari ketinggian tampak menyerupai ulat, tetapi tetap saja saya bergidik jijik. Biar begitu, seandainya saya fotografer dengan kamera canggih, tentu pemandangan kereta yang menyerupai ulat itu akan menjadi objek yang sangat menarik.

Sayang jalan keretanya tidak terlihat
dengan kamera ponsel android saya
yang tipe sangat-sederhana-sekali.
Teman saya yang warga Cicalengka sudah mewanti-wanti bahwa Bukit Candi ketika sepi menjadi ajang pemuda-pemuda setempat untuk indehoi. Tetapi, alhamdulillah, tampaknya pagi itu diberkahi bagi kami, sehingga kami tidak harus menyaksikan kemaksiatan di muka bumi. Saat kami datang, tidak ada orang lainnya di tempat itu. Dalam kesempatan begitu, it's a must untuk menaiki Bukit Candi sampai puncaknya.

Bukit Candi dilihat dari sisi jalan.
Akan tetapi, hujan semalam membuat tanah yang kami pijak menjadi lembap. Sol alas kaki kami menjadi tebal oleh tanah. Memang langkah menjadi agak berat, namun tanggung ah.

Selagi mengarungi lapangan lembap menuju bukit itulah kami mendapat adanya fenomena aneh berupa lingkaran besar di tanah. Lingkaran itu terlihat karena warnanya lebih gelap dibandingkan dengan tanah di sekitarnya. Teman saya bilang itu jejak kendaraan. Tetapi menurut saya itu tidak mungkin sebab kendaraan memiliki beban yang mestilah menimbulkan galur-galur, sementara yang ini rata saja dengan tanah di sekitarnya. Mungkinkah itu sebenarnya ...

... jejak alien?

*selipkan soundtrack The X-Files

Jalan setapak menaiki bukit tampak amat curam tanpa pijakan yang mantap. Kami melangkah dengan merayap menyerupai kera atau malah spiderman sebagai upaya berhati-hati. Sesekali kami meluapkan keraguan, kepanikan, berikut kegentaran, namun secara keseluruhan kami bergembira ria. Maksudnya, sambil tertawa-tawa (atau teriak-teriak).

Akhirnya kami tiba di puncak.

Sudah lama tidak bersinggungan langsung dengan alam liar, saya merasa kegirangan dan mengeksplorasi titik-titik tanpa tumbuhan yang hanya sedikit dibandingkan dengan area yang saking lebatnya oleh tumbuhan sampai-sampai tidak mungkin ditembus tanpa golok. Teman saya bilang dulunya, sekitar sepuluh tahun lalu, ketika terakhir kali ia mendaki ke puncak bukit itu, lahan yang lebat oleh tumbuhan liar itu berupa kebun. Tampaknya sekarang kebun itu telah lama ditelantarkan.

Sambil duduk di sebuah batu lebar, menikmati masing-masing sebutir jeruk entah keprok atau kino, dan menghadap sinar matahari pukul delapan pagi kurang, kami mengkhayalkan dibangunnya tangga yang aman dari bawah ke puncak, ditatanya lahan bekas kebun itu menjadi tempat yang Instagram-able dan seterusnya.

Di sini saya sempat ragu untuk mengambil foto atau menyimpan keindahan pemandangan yang terlihat untuk diri saya sendiri. Saya dan teman membuat pembenaran dengan membahas sedikit tentang "sampah fotografi", yang setelah membaca artikel bersangkutan secara utuh entah apakah memang ada hubungannya.

Meskipun begitu, sesungguhnya pemandangan dari puncak Bukit Candi tidak semuanya indah. Saya mendapati satu titik, di sisi lapangan di bawah, yang berupa jajaran sampah plastik sepanjang entah berapa meter. Walaupun dipikir-pikir lagi, sebetulnya itu indah juga karena berwarna-warni--tidak cuma cokelat dan hijau. Ibarat kata, ada sentuhan modernitas agar seluruh pemandangan ini tidak semata alami. Sebab yang berlebihan itu memuakkan. (#apacoba)

Dari puncak juga terlihat bahwa di lapangan ternyata tidak hanya terdapat satu lingkaran besar, tetapi ada juga dua lingkaran lain yang lebih kecil. Saya menunjukkan kepada teman saya bedanya lingkaran itu dengan galur-galur yang lebih mungkin merupakan jejak kendaraan. Ini menguatkan dugaan saya bahwa lingkaran-lingkaran itu sebenarnya ...

... jejak alien?

*putar lagi soundtrack The X-Files

Setelah "menanam" (baca: melempar ke semak-semak) biji jeruk berikut kulitnya, mengharapkannya agar tumbuh berbuah lebat memberi makan pengunjung dan menjadi amal jariah bagi kami, kami pun menyudahi aktvitas yang sangat menyehatkan itu dan menghadapi masalah berikutnya: mencari jalan turun. Kami menemukan jalan setapak yang kira-kira aman untuk dituruni, dan melaluinya sembari berjongkok. Rasanya memang seperti disetrap atau habis ditangkap polisi, namun kini kami mengerti sebabnya jalan bebek kerap digunakan sebagai hukuman: Ini semata soal survival.

Kami menghabiskan beberapa saat di teras masjid terdekat untuk mencungkili tanah dari sol alas kaki menggunakan ranting atau tongkat yang ditemukan di jalan.

Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke kali ...

... yang ternyata harus dengan menerobos kebun orang.

Yang dimaksud dengan menerobos ini bukan sekadar lewat di tepiannya, melainkan membelah di tengah-tengahnya, yang membuat kami ragu untuk meneruskan.

Lagi pula arus kalinya sedang deras dan sepertinya tidak aman untuk main air di sana. (#penghiburan)

Jadi kami hanya duduk-duduk di naungan beratapkan lembaran karung pupuk dan berbangkukan bilah-bilah bambu, kemudian turun sedikit dan menghabiskan waktu sejenak di area yang datar (sebelum terhambat oleh kebun orang itu) untuk menikmati pemandangan dan mengambil foto.

Di sini saya menyesal karena tidak mengambil foto sewaktu berada di puncak Bukit Candi. Baru terpikirkan oleh saya untuk memamerkan keindahan pemandangan ini pada teman-teman mengobrol di luar negeri 

(Sekaligus untuk menunjukkan kemungkinan jejak alien, tentunya.)

(*tet not tet not tet nooot ....)

Kali impian yang rupanya belum kondusif untuk dikunjungi.
Melihat jalur cahaya berasa mendengar koor dari langit.
Sumedang di sebelah mana, hayo?
Ini baru yang namanya refreshing! Bukannya menghabiskan seharian di perpustakaan daerah untuk membaca buku yang menjelimet--itu mah repressing.

Merasa cukup bersinggungan dengan alam luas, kami pun pulang dengan melanjutkan khayalan dibangunnya trotoar di sepanjang jalan dari dan ke Bukit Candi supaya kami sebagai pejalan kaki punya jalur yang layak untuk melangkah tanpa harus menghindari becek dan sampah, tanpa mesti sesekali diklakson kendaraan dari belakang.

Begitu sampai di rumah, kami tidak melakukan apa pun lagi sampai setelah zuhur selain menunaikan sunah rasul, yaitu tidur.

Untuk mencapai Bukit Candi langsung dari Kota Bandung (baca: tanpa menumpang lebih dahulu di rumah teman yang warga Cicalengka), kita bisa menaiki KRD jurusan Cicalengka dengan harga tiket untuk saat ini lima ribu rupiah. Dari Stasiun Cicalengka, kendaraan umum berikutnya adalah angkot hijau yang melewati Alun-alun dengan ongkos untuk saat ini dua ribu atau tiga ribu rupiah. Kemudian kita tinggal mengikuti jalan masuk di seberang Alun-alun sampai ke puncak, tanpa harus ripuh oleh belokan mana yang mesti diambil. Perjalanan dengan kaki ini tidak sampai satu jam, mungkin hanya sekitar setengah jam. Selamat refreshing yang sesungguhnya, wahai orang kota!

Sabtu, 16 Februari 2019

Masih Mau Jadi Orang Kaya?

Saya mendengar tentang film ini pertama kali dari teman saya. Setelah melihat trailernya di Youtube, saya merasa agak tertarik. Tetapi ketertarikan saya menonton film ini tidak sebesar pada Terlalu Tampan. Setidaknya tidak sampai membikin saya rela pergi sendirian ke bioskop--Terlalu Tampan itu yang pertama.

Sebulan lebih berlalu. Saya kembali bertemu dengan teman saya itu dan film Orang Kaya Baru masih ada di bioskop. Dia ternyata belum menonton film itu. Saya mau menemani dia.
 
sumber
Maka, pada hari Valentine, kami sebagai pasangan teman, pergi ke Festival Citylink untuk menonton pemutaran pada pukul 16.55 WIB dengan HTM Rp 30.000,00.

Ruangan terisi tidak sampai setengahnya, tetapi jumlah penontonnya masih lebih banyak daripada sewaktu saya menonton Terlalu Tampan beberapa waktu lalu--yang padahal premiernya belakangan.

Singkat cerita, saya mengakak lebih banyak saat menonton film ini ketimbang Terlalu Tampan. Tetapi, karena beberapa faktor yang bersifat pribadi, saya merasakan euforia yang berbeda. Terlalu Tampan dikemas secara keremaja-remajaan, tentu saja, yang lebih sesuai dengan jiwa saya dan karena itu lebih menarik secara visual. Untuk Orang Kaya Baru, ketimbang menyoroti aspek komedinya, saya merasa lebih berat pada pesan moralnya ...

... yang sepertinya agak rumit untuk disimpulkan. 

Film ini mungkin meledek para OKB, tetapi mungkin juga hendak memperingati orang-orang yang hendak menjadi kaya bahwa kaya mendadak itu bisa mengakibatkan berbagai efek negatif. 

Entah juga apa bedanya antara kaya mendadak dan kaya bertahap sih.

Untuk mengatasi efek-efek negatif itu, orang mesti memiliki sikap mental tertentu dalam menghadapi dan mengelola kekayaannya. Maka, sudah siapkah Anda menjadi kaya? Kalau sampai sekarang Anda belum kaya, ya mungkin karena memang Anda belum siap untuk kaya. Maksudnya, kalau Anda tiba-tiba kaya, mudaratnya mungkin lebih besar daripada hidup Anda yang sekarang. Mungkin.

Seperti Terlalu Tampan yang menunjukkan bahwa memiliki ketampanan berlebih(an) dari sananya itu tidak selalu menyenangkan, menjadi kaya dari lahir juga belum tentu enak, kali, ya?

Tiap-tiap keadaan itu, tampan atau jelek, kaya atau miskin, sudah sepaket dengan keuntungan dan kerugian masing-masing. Ujung-ujungnya, apa pun keadaan kita, yang bisa kita lakukan hanya mensyukurinya and make the best of it untuk menggapai rida Allah.

Oke, entri kali ini lebih random daripada biasanya.

Dalam film ini, saya cenderung merasa relate pada Duta, yang karena merasa kaya, lantas menjadi yakin untuk menggapai mimpinya. Tetapi ternyata kekayaannya itu rekayasa belaka (kalau bukan ilusi), sehingga dalam keadaan kepepet mau tidak mau ia mengorbankan idealismenya.

Selebihnya, saya gagal relate. Boleh jadi impian menjadi kaya baru muncul ketika saya sudah merasakan kekurangan yang teramat sangat, seperti orang yang sudah berhari-hari tidak makan lalu menjadi kalap ketika disodori makanan. Biarpun ke mana-mana naik sepeda, jarang beli pakaian baru, hanya punya kurang dari setengah juta per bulan untuk bersenang-senang, tidak punya rekening di bank jangankan asuransi, dan pernikahan sakinah mawadah tampak di luar jangkauan, saya masih dapat merasa nyaman berkecukupan. Saya belum berpikiran untuk menjadi kaya, enggak tahu kalau nanti ....

Rabu, 13 Februari 2019

Kenapa Terlalu Tampan Penting untuk Ditonton?

KARENA: saya termasuk barisan penggemar seri Terlalu Tampan di Webtoon, HAHAHAHAHAHA.

Ketika menonton film ini, saya baru menyadari bahwa "Pak Archewe" itu
dibaca "Pakar Cewek", bukan "Pacar Cewek"  (sumber gambar)
Ketika dikenalkan adik saya pada komik tersebut, saya langsung menyukainya dengan segala kehiperbolaannya yang melucukan. Memang selanjutnya saya tidak mengikuti seri itu karena faktor-faktor teknis dan pada dasarnya sudah kurang suka membaca komik. Tetapi ketika melihat trailernya di Youtube, saya langsung bergereget ingin menonton film adaptasinya, tidak sabar menanti hari-hari setelah 31 Januari 2018, tanggal premiernya. Di samping memang saya punya kepenasaranan khusus pada tayangan versi live action dari komik atau apa pun, saya butuh hiburan dan kesegaran dong (#apasih).

Seperti yang diutarakan dalam entri sebelumnya, saya mesti melalui perjuangan berat untuk dapat menonton film ini. (Oke, ketularan lebay.) Karena saya mesti pulang pergi dengan sepeda dan cuma tahu 21. Saya sempat putus asa ketika mengecek situs 21 dan di Bandung Terlalu Tampan tinggal diputar di Ciwalk, Ubertos, dan Jatos. Semuanya jauh dari rumah. Yang paling dekat di Ciwalk mahal pula.

Saya merasa aneh dengan kenyataan ini. Padahal belum dua minggu penayangan, tetapi kenapa film tersebut sudah turun layar dari kebanyakan 21 yang ada di Bandung? Padahal menurut beberapa review di Youtube yang satu saya tonton dan sebagian saya cuma lihat thumbnail-nya, film itu tampaknya cukup bagus. Beberapa review dalam bentuk tulisan juga menyetujui. Komedinya lebih baik dibandingkan dengan Orang Kaya Baru, katanya. Tetapi malah Orang Kaya Baru yang lebih tahan di bioskop. Saya berasumsi mungkin karena Terlalu Tampan ini terkesan remaja banget sekalay, sementara Orang Kaya Baru sepertinya lebih appeal bagi kalangan yang lebih luas.

Selain itu, di dunia nyata, orang-orang di sekitar saya, yang dalam percakapan mereka saya singgung tentang film ini, pada tidak menunjukkan ketertarikan. Bahkan adik saya yang mengenalkan komik ini kepada saya, yang ternyata telah menonton bersama temannya padahal tadinya mau saya ajak bareng, tampak tidak begitu merekomendasikan film ini. Bagi dia, ceritanya drama remaja biasa seperti di FTV sedangkan komedinya garing.

Tadinya saya mau ikhlas saja menunggu sampai film ini muncul di LK21 atau televisi. Lagi pula, ada saat-saat ketika film ini tidak lagi terasa begitu menarik.

Sampai suatu kali saya membuka Kompas. Kalau tidak capek, saya ingin rutin membaca koran--yang kebetulan dilanggan anggota keluarga di rumah--sebelum tidur. Ketika melihat iklan bioskop, khususnya poster Terlalu Tampan, biasanya saya merasa biasa saja diselipi sedikit membatin, Kapan ya bisa nonton? Namun kali itu muncul kesadaran bahwa BIOSKOP BUKAN CUMA 21. Ada juga CGV--beberapa teaternya di Bandung.

Paginya, pada hari yang tampak bagus untuk menonton bioskop karena hari nomat, saya membuka situs CGV dan mencari film Terlalu Tampan, lokasinya di Bandung, yang menawarkan HTM nomat paling murah.

Siang itu juga saya meluncur dengan sepeda ke BEC untuk merelakan Rp 35.000,00 dan menanti pemutaran pada pukul 13.20 WIB.

Memasuki Teater 6, saya melihat ada dua mbak-mbak duduk di bangku paling atas. Saya sendiri memilih bangku D8 biar pas di tengah-tengah. Menjelang pemutaran datang sepasang cowok-cewek yang duduk tepat di belakang saya. Ketika film sudah berjalan, datang lagi empat sekawan cewek semua yang juga duduk tepat di belakang saya. Di tengah pemutaran, dua cewek yang duduk di paling atas keluar. (WHY?!?!) Kalau bukan karena suara yang sesekali muncul dari belakang, plus sekali tendangan di kursi, saya sudah hampir merasa cuma seorang diri yang menonton di ruangan itu. Seolah-olah, film itu diputar hanya untuk saya.

Oke, cukup pengantarnya.

Untung selama menonton enggak mimisan, kejang-kejang,
atau pingsan  (sumber gambar)
***

Saya keluar dari bioskop dengan perasaan puas dan tanpa penyesalan, tentu saja. Lagi pula, sesal itu tak ada gunanya (#pembelaan).

Terlalu Tampan bukan film drama remaja biasa. Terlalu Tampan memadamkan nafsu yang tak pernah ada untuk menonton Dilan 1991. Terlalu Tampan tidak sekadar mengandalkan kutipan-kutipan aneh dari cowok sok keren dengan cewek pendamping yang entah apakah yang tampak dari dirinya selain kecantikan dan keluguan.

Saya bukan penggemar film yang kerap kalap menambah GB di harddisk dari situs bajak laut. Cuma sejak mengenal film semacam trilogi Naked Gun, Airplane, dan sebagainya, kepekaan saya mulai tersentuh untuk memerhatikan efek-efek komedi yang disajikan dalam satu potongan gambar. Sejak berusaha mempelajari teknik menulis novel secara dramatis pula, saya merasa mulai peka dengan pengembangan karakter, pembangunan konflik, dan segala unsur yang menjadikan suatu karya benar-benar kreatif dan bukan sekadar bercerita. Dari sedikit wawasan yang masih jauh dari menjadikan saya pakar itu, saya menyimpulkan bahwa: Terlepas dari kontennya yang pro pacaran padahal pacaran itu mendekati zina kemasannya yang berkesan tersegmentasi abis (: seolah-olah khusus remaja), Terlalu Tampan merupakan film komedi yang uwah.

Siapa tidak geli ketika trio bully yang sengaja tidak naik kelas sampai tiga kali itu diperkenalkan secara anime.

Siapa tidak mesem ketika kepala sekolah ditampilkan seperti bos yakuza bertato sepanjang lengan.

Siapa tidak geleng-geleng kepala ketika kemunculan Amanda si Terlalu Cantik kerap diiringi kelopak mawar yang beterbangan.

Siapa yang tidak menikmati lagu HIVI! "Siapkah Kau 'Tuk Jatuh Cinta Lagi" yang menjadi latar ketika Kulin menginsafi bahwa dirinya tidak lebih daripada sekadar obat nyamuk.

Entahkah ada yang memerhatikan pantulan Kibo yang berubah-ubah di cermin di belakangnya saat berbicara dengan Kulin.

Entahkah ada yang mengamati keharuan Sidi karena SMA BBM menerima prom gabungan sampai-sampai air matanya mengental keluar lewat satu lubang hidung.

Entahkah ada yang menyadari bahwa cuplikan Cinta Jose seolah-olah isyarat bahwa si pembuat film memang sadar bahwa konflik yang disajikan itu sangat telenovela sekali. Terasa lucunya enggak sih, my love?

Tapi gayanya jangan ikutan Lupus dong, Mas.
(sumber gambar)
Selain itu, ketika tahu bahwa adik saya sudah menonton, saya memintanya untuk menceritakan film tersebut secara jauh lebih mendetail daripada yang ada di review-review, seperti bagaimana pemecahan konfliknya. Namanya juga penggemar spoiler, dibeberkan begitu tidak menyurutkan ketertarikan saya akan film itu. JUSTRU SAYA MAKIN TERTARIK. Sebab, saya suka tokoh utama yang antihero. Saya suka karakter berhati busuk biarpun tampangnya jauh dari busuk. Sebab, di situlah letak pergulatan manusia, pelajarannya: bagaimana menaklukkan setan-setan yang ada di dalam diri. 

Bisa dibilang, sekarang saya lebih suka versi adaptasinya daripada yang asli, biarpun Kulin versi komik mungkin lebih patut diteladani karena antipacaran, wkwk. Kalau komiknya sekadar menyajikan hiburan, filmnya bisa dijadikan pelajaran berkomedi.

Satu lagi yang lucu dari film Terlalu Tampan, yang baru terpikirkan, 30 September 2019

Kulin sebal sama keluarganya karena memanfaatkan ketampanan dia untuk keuntungan mereka. Tapi kemudian dia juga mengelabui teman dan gebetannya demi keuntungan dia sendiri. Jadi, keluarga ini bukan hanya pada rupawan, tapi juga sama-sama manipulatif. Dan, Kulin baru tersadarkan justru ketika menonton telenovela yang ceritanya persis dengan persoalan dia. Sepertinya ini yang dimaksud dengan bahasa visual.

Satu lagi yang tersirat dari film Terlalu Tampan, yang sebenarnya sudah dari lama terpikirkan tapi baru kali ini ingin menuliskannya, 1 Desember 2019

Gambar Moch. Hatta pada dinding di atas kepala tempat tidur Kulon mungkin menunjukkan kepribadian mereka yang agak-agak mirip: introver, rajin belajar, dan enggak pecicilan sama cewek :v

Jumat, 08 Februari 2019

Pilih Petualanganmu

Ketika melintas kata "petualangan", serta-merta saya membayangkan Indiana Jones, atau Alfred Russel Wallace dalam Kepulauan Nusantara. Saya bukan penggemar fiksi petualangan, baik sebagai pembaca, penonton, apalagi pengarang. Saya cenderung mendefinisikan diri sebagai manusia gua yang menanti stegodon datang sendiri, dalam keadaan sudah diiris-iris dan diasapi. Kehidupan saya cenderung monoton, toto tenterem kerto rahajo gemah ripah loh jinawi apalah--setidaknya untuk sementara ini.

Saya tidak bisa menulis tentang petualangan.

Sampai hari ini ketika adik saya sedang di rumah untuk entah berapa hari, meninggalkan sejenak kehidupannya sebagai mahasiswi di Bogor. Adik saya itu yang mengenalkan Terlalu Tampan kepada saya beberapa tahun lalu sewaktu sedang bengong di rumah nenek saat Lebaran. Saya langsung menyukai komik webtoon itu dengan segala kehiperbolaannya. Lama saya tidak mengikutinya, tahu-tahu muncul trailer versi live action komik tersebut di Youtube. Serta-merta saya ingin menontonnya. Tetapi, sejak premiernya pada 31 Januari sampai kemarin, saya belum sempat menonton film itu di bioskop terdekat dan termurah. Maka, pagi ini, ketika mendapati adik saya benar-benar pulang, saya berpikiran untuk mengajaknya menonton film tersebut. Tetapi, ketika mengecek jadwal tayangnya di bioskop terdekat dan termurah, ternyata film itu sudah tidak ada.

Oh, sedihnya. Aku sedih sekali.



Saya mencoba mencari film itu di bioskop mana pun di Bandung yang masih menayangkannya. Pilihan jatuh pada Festival Citylink yang sepertinya relatif dekat--dibandingkan dengan bioskop-bioskop lain--dari rumah saya dengan waktu pemutaran pukul 14.20 WIB dan harga tiket Rp 30.000.

Namun ternyata adik saya sudah menonton film itu dengan temannya di Bogor. Apa boleh buat, kalau saya benar-benar bertekad menonton Terlalu Tampan di bioskop sesegera mungkin, saya mesti pergi sendiri.

Tetapi, saya bukan pengendara mobil ataupun motor. Karena hanya manusia gua yang tabletnya masih terbuat dari batu asahan, saya juga tidak bisa mengandalkan ojek daring. Untuk mencapai tempat yang kurang familier itu, saya mesti naik angkot atau sepeda. Masalahnya, saya mesti mencari tahu angkot jurusan mana saja atau rute terbaik untuk dilewati sepeda. Katakanlah saya ingin menghemat, maka sepeda menjadi opsi satu-satunya.

Tetapi, mengarungi jalan besar menuju Festival Citylink merupakan tantangan tersendiri.

Memang dalam beberapa tahun ini saya telah berani bersepeda di jalan raya dan mencapai berbagai tempat di Kota Bandung. Tetapi, untuk melalui jalan sebesar Jalan Pelajar Pejuang, Jalan BKR, dan Jalan Peta, jujur saja saya malas. Kalau sekadar menyusuri pinggir jalan dan tinggal belok sih tidak apa-apa. Tetapi kalau mesti menyeberang atau berganti jalur, saya mesti ekstra berhati-hati karena di jalan semacam itu kendaraan bermotor cenderung melaju dengan beringas.

Seketika itulah saya menyadari bahwa jika sehabis jumatan ini saya mencoba naik sepeda ke Festival Citylink demi menonton Terlalu Tampan, kemudian pulangnya supaya tidak harus menyeberangi jalan besar saya mencari jalan alternatif, melewati gang-gang yang serupa labirin dengan risiko kesasar dan kehujanan--padahal masih di dalam kota--bukankah itu suatu petualangan?

Malah, bukan hanya itu:

Jika saya tidak punya uang dan mesti bertahan hidup dengan mengandalkan atau mencari apa pun yang bisa didapat secara cuma-cuma, bukankah itu petualangan?

Jika saya membacai tulisan-tulisan--terutama fiksi yang sampai kini masih cenderung lebih saya sukai untuk diterjemahkan--yang ada di situs Words Without Borders, yang diterjemahkan dari berbagai bahasa yang ada di seluruh dunia, meliputi aneka budaya, pengalaman, dan situasi hidup, dan berusaha mentransformasikannya ke dalam kata-kata saya sendiri kemudian menampilkannya dalam bentuk yang bisa dinikmati sesama pembaca bahasa Indonesia, bukankah itu suatu petualangan--lebih tepatnya, pengalaman batin?

Dan, dalam petualangan batin, bukan hanya fiksi dunia, melainkan juga segala buku yang tersedia cuma-cuma baik di rumah maupun perpustakaan-perpustakaan umum yang kini cukup banyak tersebar di seantero Kota Bandung, segala orang yang ditemui dan berinteraksi dengan kita baik yang baru maupun yang sehari-hari namun ada saja polah tingkahnya, bukankah itu juga suatu petualangan?

Maka, petualangan tidak mesti diartikan sebagai pencarian harta karun di hutan belantara, ataupun melancong ke berbagai negara dengan menguras uang, tenaga, dan bahan bakar fosil, tetapi segala sesuatu yang menantang, yang baru, yang seru, yang asing, yang pada intinya mengundang daya tarik sekaligus mengandung risiko, yang sudah tersedia di sekitar kita.

Maka, akankah sehabis jumatan ini saya jadi bersepeda ke Festival Citylink hanya demi menonton Terlalu Tampan kemudian langsung pulang melewati jalan-jalan kecil dengan risiko kesasar dan kehujanan?

Akankah saya berhasil memenuhi angan-angan muluk saya menjelajahi setiap pelosok Kota Bandung dengan sepeda?

Ide menulis diambil dari 365 Days of Writing Prompts (oleh The Editors WordPress.com, hak cipta © 2013 oleh The Daily Post) tanggal 6 Februari.

Jumat, 01 Februari 2019

Apa itu "flangiprop"?

Paddle Pop varian pelangi yang populer di masyarakat.
(sumber)
Setelah menelusuri kata ini di Google dan membaca sekilas beberapa hasil pencarian, saya berpendapat kata ini mungkin semacam "alamakjang", "hwarakadah", dan sebagainya dalam bahasa Indonesia--kata-kata yang mungkin sebetulnya tidak ada artinya tetapi sengaja diciptakan untuk membuat ungkapan baru dan tiap orang mungkin punya definisi bervariasi sampai dibakukan oleh KBBI ...? Beberapa hasil pencarian itu mencoba untuk membedah "flangiprop" dari kemungkinan asal katanya, yang mungkin hanya menarik bagi peminat linguistik. Ada juga yang mencoba untuk menguraikan kesan yang diperolehnya akan kata itu. Bagi penutur asli bahasa Inggris, "flangiprop" mungkin cukup mengena, sedangkan saya penutur asli bahasa Indonesia yang lebih akrab dengan ungkapan seperti "bujubuneng". Kalau kata ini pertama kali saya ketahui bukan dari membaca melainkan mendengar, saya mungkin akan menangkapnya sebagai "pelangi pop" atau "Paddle Pop, kali?"

Mario suka jamur karena dapat
membuatnya tumbuh besar.
Makanlah jamur.
(sumber)
Seandainya suku kata yang terakhir itu "pop", bukannya "prop", maka kata ini mengesankan sesuatu yang muncul tiba-tiba, yang sebetulnya arti dari kata "pop" itu sendiri. Adapun "flangi", selain mirip "pelangi", juga seperti ketika orang Indonesia mencoba mengucapkan "fungi" sebagai "fangi" sebelum mengetahui bahwa penutur asli bahasa Inggris mengucapkannya sebagai "fangjai". Maka dari sini "flangiprop" atau "fungipop" itu mungkin semacam jamur yang muncul tiba-tiba seperti dalam permainan Mario Bros.

Sebagian jamur baik diolah
sebagai masakan menyehatkan.
(sumber)
"Pop" juga dapat berarti sesuatu yang populer, sehingga boleh jadi "fungipop" berarti jamur yang populer di masyarakat seperti jamur tiram, jamur kancing, dan jamur shiitake.

Fungipop juga dapat berarti suatu genre musik pada tahun 1960-1970-an yang mana para musisinya dalam berproses kreatif mengandalkan jamur adiktif seperti jamur tahi sapi (contohnya dalam cerpen "Johnny Mushroom" karangan Zaky Yamani, tetapi sepertinya itu bukan cerpen soal musik) sehingga karya yang dihasilkan bernuansa psychedelic atau apalah, sehingga genre ini lebih tepatnya disebut sebagai psychedelic funk-y-pop.

Akan tetapi, mengonsumsi jamur adiktif
dapat mengakibatkan vertigo.
(sumber)
Kesimpulannya, "flangiprop" merupakan nomina yang memiliki definisi sebagai berikut:
  1. Ungkapan untuk membikin lawan bicaramu mengernyit.
  2. Paddle Pop pelangi.
  3. Jamur dalam permainan Mario Bros.
  4. Segala jamur yang populer di masyarakat sebagai bahan masakan.
  5. Genre musik tahun 1960-1970-an yang dihasilkan dari penggunaan jamur adiktif.
  6. Kata yang sengaja diciptakan siapa pun itu di balik The Daily Post untuk memancing partisipan mengarang bebas.
Ide menulis diambil dari 365 Days of Writing Prompts (oleh The Editors WordPress.com, hak cipta © 2013 oleh The Daily Post) tanggal 1 Februari.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain