Rabu, 13 Januari 2021

Beribadah dengan Hati Nurani

Gambar dari Tokopedia.
Penulis : Dr. Muhammad bin Hasan bin ‘Aqil Musa As-Syarif

Penerjemah : Dadan Kamal

Penerbit : Media Qalbu, Bandung

ISBN : 979-3892-27-7

Cetakan 1, Juni 2006 

Ada tiga bab dalam buku ini.

Bab 1. Hati dan Cara Ia Beribadah

Menurut Ibnu Taimiyah, ibadah adalah segala ucapan dan tingkah laku, baik lahir maupun batin, yang dicintai dan diridai Allah. Yang dimaksud dengan ibadah hati adalah tingkah laku batin yang berpengaruh terhadap ucapan dan tingkah laku lahir (halaman 16-17).

Hati dapat rusak karena terlalu terpaut pada urusan dunia, dosa, terlalu banyak bergaul dengan orang lain, banyak makan, dan banyak tidur (halaman 53). Cara menghidupkan hati yaitu dengan mengingat Allah, mengingat kematian, ziarah kubur, serta berkunjung kepada orang-orang yang saleh (halaman 50).

Berpikir, merenung, berkontemplasi tentang Allah, cara menghindari larangan-Nya, serta hari akhir juga merupakan bentuk ibadah hati (halaman 44).

Bab 2. Ibadah Hati yang Asasi

Bentuk ibadah hati yang dikemukakan dalam buku ini yaitu ikhlas, tobat, tawakal, takut kepada Allah, dan berharap kepada Allah.

Pembahasan tentang ikhlas cukup membuat stres, karena rasanya mustahil. Bahkan kalaupun kita sudah berusaha mengerjakan amal saleh, masih sangat mungkin dicemari oleh niat-niat lain yang duniawi. Maka dikatakan bahwa kalau bisa ikhlas sebentar saja sudah syukur.

Memang ada pemakluman bahwa ikhlas sangat sulit, dan sebenarnya niat-niat terselubung itu bukannya memusnahkan pahala sama sekali melainkan menguranginya saja.

Wajar kalau kita beramal karena niat yang tidak ikhlas lillahi taala. Tapi, seiring dengan bertambahnya ilmu dan kesadaran, kita mesti meluruskannya. Mungkin di sini perlunya introspeksi niat secara berkala, untuk meluruskannya sebagaimana dilafalkan dalam doa iftitah.

Gambar dari RisalahMuslim.

Selain itu, ketidakikhlasan bukannya alasan untuk tidak beramal.

Agaknya ikhlas semakin sulit bila tidak benar-benar mengenal atau memahami Allah, yaitu kepada siapa amalan dipersembahkan.

Lagi pula, dalam kesempitan hati dan kebodohan akal sebagian manusia, tampaknya lebih mudah bila niat diterjemahkan ke dalam manfaat-manfaat praktis. Akal manusia mungkin terjebak dalam tataran duniawi, sehingga tidak sampai pada Tuhan. Untuk bisa mencapai taraf ikhlas, sepertinya manusia mesti meninggikan akalnya dan meluaskan hatinya.

Hal yang dapat membangkitkan keikhlasan dalam beramal yaitu doa, ilmu, semangat jihad, bersahabat dengan orang-orang ikhlas, serta membaca sejarah orang-orang saleh (halaman 86).

Bab 3. Beberapa Akhlak Fundamental

Bila ibadah hati merupakan fondasi, maka akhlak adalah bangunan yang memperkokohnya (halaman 179). Akhlak yang fundamental yaitu jujur, sabar, dan tawadhu.

Mengenai kejujuran, saya pikir sangat relevan dengan fenomena kekinian khususnya menyangkut media sosial. Melimpah konten kabar burung dan lucu-lucuan, tapi berikut ini patut diperhatikan.

Suatu malam aku bermimpi dua lelaki datang kepadaku … mereka berkata: ‘Adapun yang kamu lihat robek sudut mulutnya adalah seorang pendusta, ia mengatakan perkataan dusta sehingga perkataan dustanya itu menyebar luas, maka ia harus menanggung semua dosanya. Ia diperlakukan begitu sampai hari kiamat.” (HR Bukhari) (halaman 183)

Celakalah orang yang berkata dusta dengan tujuan agar ditertawakan orang banyak. Celakalah dia, celakalah dia!” (HR. Tirmidzi) (halaman 184)

Kesimpulan

Ibadah hati dan akhlak fundamental sebagaimana yang dituntunkan dalam buku ini sangatlah penting karena merupakan landasan dari perbuatan, bahkan menentukan bagaimana suatu perbuatan diterima Allah. Di samping penjelasan dan contoh, buku ini juga menyertakan petunjuk praktis.

Kebetulan, bersamaan dengan buku ini, saya membaca Mindfulness for Dummies[1]. Timbul pertanyaan apakah ibadah hati itu serupa dengan being mode, sedangkan ibadah lahir itu doing mode; dan apakah teknik-teknik mindfulness dalam buku itu bisa diterapkan untuk memperbaiki ibadah hati. Menurut buku itu dalam bab 7, “Using Mindfulness for Yourself and Others”, singkatnya,

Doing mode is energetic and all about carrying out actions and changing things. Being mode is a soothing state of mind where you acknowledge things as they are.

Menurut saya, buku ini layak untuk dibaca berkali-kali meski ada riwayat-riwayatnya yang tidak mudah dicerna.



[1] Edisi ketiga. Penulis Shamash Alidina. Penerbit John Wiley & Sons, Inc., New Jersey, 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain