Jumat, 20 Agustus 2021

16. KEGALAUAN

Risky sangat menikmati kamarnya yang baru. Ruangannya lega. Setiap barangnya mendapat tempat. Ketika Mama teriak-teriak memanggilnya dari lantai bawah, ia bisa pura-pura tidak dengar. Dan, sekarang ia bisa mengembangkan hobi barunya yaitu menyanyi. Ia suka belajar sambil menyalakan kaset atau radio, dan kadang-kadang terdorong untuk ikut menyanyi. Tapi, ia tidak mau orang tuanya sampai dengar, dan itu sulit sewaktu kamarnya masih di lantai bawah. Sering kali ia menyanyi tanpa suara, dan itu pun hanya pada waktu-waktu ketika ia yakin semuanya sudah pada tidur atau lagi pada keluar rumah.

Sekarang, di lantai dua, rasanya cukup leluasa asal suaranya tidak keras-keras amat. Terlebih lagi, ia baru menyadari bahwa menongkrong di atap itu menenteramkan. Sewaktu kamarnya masih di lantai bawah, tidak pernah terpikir bila suntuk untuk sekali-kali naik dan menikmati pemandangan dari genteng. Sekarang, ia tinggal jalan beberapa meter dari kamarnya.

Ia paling suka merebahkan diri di genteng, saat malam cerah, merangkai wajah penyanyi kecintaannya dari kerlap-kerlap di langit sambil refleks menyanyikan lagu dengan nada memuja,

Malam-malam aku sendiri ...

Tanpa cintamu lagi ....

Howo ... wouwowo ....

Lalu ia termenung-menung mengingat-ingat kelengkapan lirik lagu itu.

Jauh sudah langkahku

Menyusuri hidupku

Yang penuh tanda tanya ....

Bukannya sekali

Sering 'ku mencoba

Namun 'ku gagal lagi ....

Ia pun kembali ke kamar, duduk di depan meja belajar, menarik laci, mengeluarkan selembar foto bonus dari tabloid, dan mengusap wajah yang tercetak di sana dengan jempolnya, sembari tersenyum lembut.

"Itu siapa, Kak?"

"HIH!"

Gangguan yang menetap paling-paling Adek. Sementara Mama mulai kewalahan naik turun, Adek meloncati anak-anak tangga bagai terbang. Maka Adek menjadi utusan Mama apabila ada perlu dengan Risky. Yang lebih parah, Risky mesti rela menerima kasur lipat di kamarnya kalau-kalau Adek mau menginap. Padahal kamarnya yang dulu kini sudah jadi milik Adek seorang. Ragam coretan cabul dan bercak-bercak mencurigakan di dinding telah ditutupi cat dan langsung ditimpa lagi oleh lukisan manusia gua kreasi Adek. Ada spring bed tempat Adek bisa melonjak-lonjak sepuasnya tanpa peduli peringatan bahwa kasurnya bisa jebol. Ada meja belajar yang satu set dengan rak, lemari, dan laci, tempat menyimpan buku-buku aktivitas milik Adek serta komik-komik yang dicolong dari Risky. Poster-poster wanita seksi bonus tabloid dan majalah digantikan poster-poster Kesatria Baja Hitam, Power Rangers, dan para jagoan Adek lainnya. Adek juga sekarang punya lemari khusus untuk baju-bajunya sendiri—setelah sebelumnya bercampur di mana-mana—walaupun isinya belum banyak. Yang terutama adalah Adek sekarang sudah masuk TK 0 kecil serta TPQ di masjid dekat rumah. Temannya bertambah dan ia mulai dibiasakan untuk tidur di kamar sendiri, meski sering kali ia masih ingin dikeloni, terutama oleh Risky. Apalagi karena di kamar Risky sekarang ada komputer keluaran terkini. Risky pun belajar untuk berdamai dengan keadaan.

"Kakak mau belajar. Adek jangan ribut, ya," kata Risky berulang-ulang, walau tahu percuma saja. Adiknya itu seperti keran bocor, yang mau dirapatkan berkali-kali pun tetap saja memperdengarkan tetesan yang mengganggu dan adakalanya menyemburkan air tak terkendali.

Katakanlah suasana lingkungan sudah agak lebih mendukung. Tapi, itu belum cukup. Risky tahu ada yang perlu diubah juga pada cara belajarnya. Ia berpikiran untuk membuat jadwal. Sebelumnya, ia rambang dan semau-maunya saja. Bila ingin belajar Fisika, ia belajar Fisika. Bila sedang malas dengan Kimia, ia tidak akan mempelajarinya sampai merasa ingin, dan biasanya ia jarang ingin. Tidak heran bila ia sama sekali tidak berkutik untuk bagian Kimia dan Biologi pada dua UMPTN lalu. Bagian IPA Terpadu yang bisa dikerjakannya pun hanya beberapa soal.

Sekarang ia sudah menentukan akan memilih Teknik Elektro dan Teknik Mesin. Sepertinya itu jurusan-jurusan yang memerlukan keunggulan di bidang Fisika, yang memang paling Risky suka—setidaknya dibandingkan dengan yang lain-lain. Tapi, dengan banyaknya pesaing, ia harus dapat mencapai skor yang setinggi-tingginya secara keseluruhan, tidak hanya mengandalkan Fisika. Jadi, ia mesti menyediakan lebih banyak waktu untuk belajar yang lain-lainnya itu, terutama Kimia dan Biologi.

Hmmm ....

Minggu, Matematika. Kamis, Kimia. Rabu dan Sabtu, Biologi, karena sama-sama ada huruf "b". Berarti Selasa dan Jumat, Fisika, sedangkan Senin, karena tidak ada huruf "a", khusus untuk mempelajari soal-soal IPA Terpadu. Risky menuliskannya di kertas dan memutuskan untuk mencobanya. Untuk tiap-tiap hari, ia akan fokus pada pelajaran yang telah ditentukan saja. Ah, kenapa ia tidak mencoba cara begini sewaktu SMA?

Tujuh hari terpakai semua. Risky mempertimbangkan bahwa semestinya ia meluangkan hari libur. Tapi, pertama, ia harus belajar keras dengan memaksimalkan setahun lagi ini. Kedua, kalau sudah suntuk, biasanya ia akan meliburkan diri dengan sendirinya, berhari-hari, malah pernah sampai berminggu-minggu, berkali-kali—argh, itu tidak boleh terjadi lagi! Kalau perlu beristirahat, cukup satu-dua hari saja, maksimal tiga hari, dan tidak boleh beristirahat lagi sampai minimal seminggu setelahnya. Harus disiplin! Ia menambahkan ketentuan tersebut di kertas.

Ketika hendak menempelkan kertas tersebut pada dinding di atas meja belajar, terlintas bagaimana kalau sewaktu-waktu orang tuanya masuk dan melihat ini? Maka Risky pun menempelkannya di dasar laci, berdampingan dengan foto Nike Ardilla. Penempatan yang pas karena kerap kali Risky ingin menengok wajah Sang Bintang Kehidupan. Sekarang, Sang Bintang Kehidupan akan sekalian mengingatkannya agar bersungguh-sungguh menggapai masa depan yang cerah.

Ada satu masalah lagi.

Risky memikirkan Saladin sambil menahan enek, dan memutuskan untuk meniadakan opsi itu sama sekali. Ia lalu mengenang pengalamannya di bimbel selama paruh terakhir masa SMA. Setelah dikeluarkan dari SMA negeri, hanya dapat melanjutkan ke SMA swasta yang tidak begitu bonafide, dan orang tuanya masih mengharapkan masa depan yang cerah untuk dia, Risky dijebloskan ke bimbel dan kursus bahasa Inggris sepulang sekolah.

Selama seminggu, waktu siang atau petang harusnya padat oleh pelajaran-pelajaran tambahan itu. Harusnya, karena nyatanya ia lebih doyan keluyuran di jalan. Kursus bahasa Inggris sih lumayan, tapi bimbel tetap saja menyesakkan bila mesti terkurung di kelas dengan latar suara yang membosankan dan tidak leluasa mengakses hiburan. Kalaupun Risky memaksakan hadir di bimbel, memang kadang-kadang ada materi yang masuk, tapi lebih banyak yang tidak.

Ada banyak materi yang ingin ia tanyakan sebetulnya. Tapi setelah beberapa kali mengacungkan jari, ia menyadari bahwa ia hanya sedang mempertunjukkan kebodohannya di antara anak-anak lain. Walau kelihatannya anak-anak itu acuh tak acuh, tapi kalau ia semakin sering bertanya, lama-kelamaan mereka akan memerhatikannya juga dan diam-diam saling berbisik geli.

"Ck, ck, ck, masak gitu aja enggak ngerti?"

"Harus dijelasin sampai berapa kali?"

"Dari sekolah mana sih?"

Ada satu opsi yang belum pernah Risky coba, yaitu memanggil guru privat ke rumah. Tapi, berapa biayanya? Bukankah di awal Mama sudah memperingatkannya soal uang, dan Risky sendiri sesumbar akan berhasil menembus UMPTN dengan usaha sendiri?

Mungkin ia memang harus sambil bekerja, setidaknya untuk memperoleh sedikit uang untuk membayar guru privat, dan lesnya sendiri biar dilakukan di tempat umum yang sepi—perpustakaan, taman, manalah—jangan di rumah. Ah, seperti yang sedang bertransaksi obat terlarang saja ....

Sabtu pagi, Risky bermotor mencari Pikiran Rakyat. Setelah membeli satu eksemplar, ia duduk dekat-dekat situ lalu meniti iklan baris satu per satu. Tapi, tiap kali menemukan lowongan kerja untuk lulusan SMA, semangatnya malah mengendur. Mungkin belajar sendiri saja cukup, toh masih ada satu tahun lagi. Ia cuma perlu memaksimalkan kesempatan itu.

Tapi, memang ada materi yang benar-benar sulit dimengerti, mau dibaca dan dipikirkan berapa kali juga, dari buku pelajaran terbitan mana pun.

Ia membuka koran sekali lagi, tapi pikirannya tidak dapat berkonsentrasi. Ia menghampiri gerobak bubur ayam dekat situ, makan, berputar-putar, sampai udara mulai panas, baru kembali ke rumah.

Menuju tangga, Risky melewati meja makan. Mama dan Papa sedang duduk. Mama menekuri koran dan, ketika melihat Risky, menyuruhnya mendekat. Risky terkejut mendapati koran Mama sama dengan yang baru ia beli, yang kini tersembunyi dalam tasnya.

"Kamu yang sulit pelajaran apa?" tanya Mama.

Risky mengamati kolom-kolom yang telah dilingkari Mama dengan Stabilo merah. Isinya menawarkan jasa les privat pelajaran sekolah.

"Enggak usah. Aku bisa belajar sendiri!" Risky menjauh.

"Iki!" panggil Papa. "Cobalah dulu!"

Namun Risky telanjur menaiki tangga. Di kamar ia membuka lagi korannya, mengambil Stabilo biru, dan mulai menandai setiap lowongan untuk lulusan SMA. Kemudian ia menilik lagi setiap lowongan yang telah ditandainya, mengambil Stabilo kuning, dan membubuhkan tanda baru untuk pekerjaan yang kelihatannya lumayan. Sebenarnya tidak ada yang betul-betul menarik buat dia. Tapi ia mengingat Lupus, yang masih SMA sudah punya pekerjaan sambilan. Yah, papanya kan sudah meninggal. Selain itu, Lupus juga tampaknya gampang-gampang saja memikat cewek. Sudah punya Poppy—yang pastinya atraktif—masih juga ngelaba. Tapi Risky bukan Lupus! Ia mengangkat tangan, hampir saja menutup lagi koran itu dan mencampakkannya. Tapi, ia meneruskan.

Lalu ia menulis beberapa surat lamaran kerja, mencontoh yang ada di buku pelajaran Bahasa Indonesia SMA. Ia benar-benar mengirimkan semua surat itu, dan hari-hari selanjutnya pun menjadi penantian yang menggelisahkan. Dari pagi sampai sore, ia bertahan di laantai bawah. Kalau-kalau ada telepon untuk dia, menanggapi lamarannya, orang tuanya tidak boleh tahu. Ia menghabiskan waktu di depan TV sambil mengerjakan buku soal. Kadang ia bermain dengan Adek, menemani anak itu tidur siang di kamarnya yang dulu, lalu terbangun gelagapan oleh dering telepon dan memelesat ke ruang tengah.

Sekali ia mendapat panggilan wawancara. Begitu tiba di kantor yang dimaksudkan, ia bertemu banyak penanggap lainnya yang sama-sama menanti. Ia duduk di antara mereka, dan setelah beberapa lama mendapati bahwa beberapa orang mencuri tatap ke arahnya, seakan-akan berpikiran bahwa anak seperti dia lebih cocok duduk nyaman di balik meja kasir toko emas milik orang tuanya di kawasan Cibadak. Padahal orang tua Risky tidak punya toko emas, dan mereka pun tidak tinggal di kawasan Cibadak. Ia butuh pekerjaan ini sekadar untuk membayar les privat, bukan karena orang tuanya tidak mampu menafkahi atau malah beban tulang punggung keluarga telah terlimpahkan padanya, sebagaimana sebagian penanggap yang lain. Biar begitu, ia tetap berhak mencari pekerjaan dan tidak mengatakan motifnya kepada bapak-bapak pewawancara. Setelah berpayah-payah mengarang jawaban untuk setiap pertanyaan, ganti ia menanyakan apakah pekerjaannya bisa paruh waktu saja?

Pada kesempatan yang lain, ketika hendak menyerahkan surat lamaran ke satpam, Risky langsung disuruh menghadap pemilik usaha untuk diwawancarai. Tapi, setelah dipersilakan masuk ke dalam bangunan dan melihat keadaan tempat kerjanya ... ia tidak berselera lagi dan berusaha sesopan mungkin mengundurkan diri.

Sabtu kembali tiba. Risky kembali berkendara pagi-pagi mencari koran. Ia menemukan beberapa lowongan pekerjaan yang sama, yang sudah dilamarnya, masih diiklankan. Ia merasa kecut dan tak pasti.

Tidak ada panggilan lagi.

Ah, lagi pula ia tidak ingin benar-benar melakukan pekerjaan-pekerjaan itu, di tempat-tempat seperti itu. Ia hanya ingin duduk di meja belajarnya, membaca buku pelajaran atau mengerjakan soal sampai menguasai semua materi, sehingga berjaya di UMPTN berikutnya, lalu menjalani tahun-tahun yang bergengsi di ITB, dan begitu lulus langsung mendapatkan tawaran kerja dari mana-mana, apalagi yang punya nama-nama besar.

Tapi, untuk bisa mencapai semua itu, ia mandek di tahap "menguasai semua materi". Ia butuh bantuan, tapi tak mau mengandalkan orang tuanya terus. Biarpun mereka mampu, entahlah, gengsi. Untuk beberapa lama, Risky hanya dapat memikirkannya. Ia masih membolak-balik halaman iklan lowongan kerja, tapi cuma melihat-lihat tanpa tergerak untuk menulis surat lamaran lagi. Panggilan telepon yang datang tidak pernah untuk dia lagi, dan berangsur-angsur ia pun malas menantikannya bahkan pura-pura tidak mendengar saat Mama berteriak menyuruh ia mengangkat yang masuk.

Sabtu kembali tiba, dan Risky memilih untuk tidur saja ketimbang menembus kabut di jalanan demi berburu satu eksemplar koran. Hari-hari berlangsung seperti biasa, sebagaimana pada setahun sebelumnya. Hanya kali ini sesekali Risky disuruh Mama mengantarkan Adek ke TK yang jaraknya memang agak jauh sehingga perlu pakai motor.

Hingga suatu hari Mama menanyai Risky yang lagi menonton TV sambil tiduran di sofa. "Kamu enggak ke mana-mana kan hari ini?"

"Enggak," sahut Risky malas.

"Jangan ke mana-mana, ya, nanti sore."

"Kenapa?" Risky malah jadi ingin ke mana-mana nanti sore.

"Mama udah panggil guru."

"Enggak perlu, Ma!" Risky mengerang.

"Eh, coba ketemu dulu! Awas lo, ya, jangan ke mana-mana!" pungkas Mama sambil berlalu, tak mau mendengar penolakan lebih lanjut.

Risky berdecak. Tapi, mau bagaimana lagi? Pucuk dicinta, ulam pun tiba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain