Suatu
sore saya sedang berada di apartemen lux-nya
di daerah Dago. Kami berempat saja di ruangan itu. Saya, dia, dan dua
kucingnya, Abstrak dan Absurd (dia memang orang yang kreatif, cemerlang, brilian...).
Sebenarnya saya baru saja datang ke tempat itu dengan agak segan. Saya datang
dengan baju bebas. Baju yang sama yang saya pakai kemarin lusa sewaktu
mengunjunginya; sweater ungu dan celana gombrong biru dongker serupa jins ¾ .
Sangat kontras pakaian saya yang suram ini dengan apartemennya yang sangat
berwarna dan memancarkan aura cerah—meskipun ia seorang lelaki. Hari ini saya
datang untuk meminjam DVD Indiana Jones yang fantastis (sebenarnya saya belum
nonton sih...), rencananya hanya sebentar saja datang ke apartemennya, hanya
untuk mengambil itu saja.
DVD
sudah ada di dalam tas saya. Rasanya tidak sopan kalau buru-buru pulang, muncul
gagasan di benak saya untuk pergi ke balkon dan melihat pemandangan senja Dago
dulu. Saat saya melintas ruangan hendak ke balkon, saya melewati meja makannya
dan melihat pepaya yang sudah seperempatnya dipotong tertelungkup di atas
piring cantik di meja. Saya ingat saya sedang sembelit. Pepaya jelas akan
membantu. Sayangnya, di rumah saya persediaan pisang masih banyak. Ibu saya tak
akan membeli buah-buahan lagi sebelum semuanya hampir habis.
Lalu
saya bertanya padanya, “Hayy, mau saya potongin pepaya?”
Sekelibat
muncul pikiran, ya ampun seperti istri pada suami saja saya bertanya ini...
“Boleh.
Potong aja,” Ia beranjak dari kekhusyukkannya nonton TV kabel dan berkata
begitu sambil mengambil piring dan sebilah pisau dan menyerahkannya pada saya.
Saya mengambil keduanya, membalikkan badan pepaya dan bersiap memotong.
Ia
masih berdiri di sebelah saya.
“Ng...
jujur aja ya, kamu tau kan seorang remaja yang sedang mencapai aktualisasi diri
membutuhkan banyak privasi dan kesendirian?”
Dia
diam sejenak. “Termasuk dalam memotong pepaya?”
“Ya.”
“Potong
aja. Gue nggak akan ganggu kok.”
Sebaiknya
begitu, ujar saya dalam hati.
Saya
memotong pepaya itu setengah. Sisanya yang merupakan ujung yang tertutup kulit
saya telungkupkan lagi pada piring cantik. Yang satunya saya taruh di piring
untuk dipotong. Bentuknya seperti koin jaman batu, berbentuk nyaris lingkaran
dan tengahnya bolong—kalau kita tidak memedulikan biji-bijinya.
Ia
sudah menyiapkan kresek hitam kecil sebagai tempat sampah di sebelah piring.
Saya jadi ingat kebiasaannya yang baru saya sadari sekarang ini. Hayy selalu
menggunakan kresek hitam kecil untuk membuang sampah basah dan mengikatnya
rapat-rapat supaya tidak bersatu dengan sampah kering saat dimasukkan dalam
tempat sampah. Seperti sesuatu...
Saya membelah lingkaran pepaya tersebut dan
agak shock (yang sebenarnya tidak perlu, tapi, yaa, itulah yang terjadi)
mendapati biji-biji bulat hitam yang menempel pada daging pepaya. Banyak
sekali!!
Sebelumnya
saya memang jarang memotong pepaya. Tentu saja saya tahu akan menemukan
biji-biji tersebut di dalam pepaya tapi saya tidak pernah melihat yang sebanyak
ini. Begitu bulat... mengkilat... seperti... seperti kepala!!!
Sepertinya
Hayy menyadari ekspresi muka saya yang mengernyit dengan ekstrim.
Entah
kenapa puluhan—bahkan mungkin ratusan—biji hitam ini bisa membuat saya kaget.
Mengingatkan saya pada alien. Pada pelajaran Biologi, dimana saya harus
remedial terus. Jelas sesuatu yang sangat tidak menyenangkan untuk dinikmati.
“Menarik,
ya?” katanya.
“Apa?”
“Ini...”
Ia memegang biji pepaya tersebut—ya, kalau boleh dikatakan biji—yang seperti
pil telat datang bulan.
“Mengerikan,”
sahut saya.
“Nggak,
ah,” sanggahnya lagi. “Menarik tau. Menarik banget. Lucu, nih, liat coba, dan
perhatikan baik-baik dengan seksama... Bener-bener unik, nggak ada yang seindah
biji pepaya...” Dia nyengir sambil menghela nafas. “Ternyata emang
bener-bener... lucu.”
“Tidak.
Terima kasih.”
“...”
“Kenapa
sih ngeliatinnya gitu banget?”
“Lo
tau nggak, kalau gue ngeliat ini selalu numbuhin minat gue buat masuk Biologi
kuliah entar. Supaya bisa jadi ahli tumbuhan dan ngeliat yang lebih unik lagi.”
“Ah...”
“Kenapa?
Elo jijik?”
“Gak
juga. Cuman belum terbiasa aja kok. Oh ya, nanti saya minta pepayanya juga, ya?
Hehehe...”
“Ya
iyalah, gimana bisa lo mau motongin buat gue kalau bukan karena elo pingin
nyicip juga?”
Penghinaan
atau bukan, tapi itu malah membuat saya makin terkekeh.
Lalu
dia bercerita lagi. “Kalau habis motong pepaya, biasanya gue bisa lama banget
ngamatin ini sambil makan pepayanya.”
“Oh
ya?” Ia masih memegang biji pepaya itu. Memutar mutarnya diapit dua jari.
Saya
seperti mendengarnya berbisik dengan obsesif. “Sungguh menggelitik jiwa...
Sangat... menggugah.”
Ah,
tapi kayaknya nggak mungkin lah ya.
“Kenapa,”
saya bertanya lagi, “kamu bisa tertarik banget sama biji pepaya?”
Dia
diam. Masih mengamati biji di jarinya dengan penuh minat.
“Kalau
boleh rada berumpama ria kayak elo sih ya..., biji ini hitam. Tapi ada
abu-abunya, dan ternyata lembek.”
“Itu yang namanya perumpamaan?
“Bukan dong...Itu namanya deskripsi tau...”
Saya tertawa lagi. Saya seperti melihat refleksi diri saya ada padanya.“Ya udah, langsung aja. Emang, perumpamaan apa yang bisa kamu ambil dari situ?”
“Kayak
seorang pesimis yang ngeliat dunia ini dari sisi hitamnya aja. Nyatanya toh
masih ada warna abu-abu yang cenderung ke putih...”
“Tapi
abu-abu itu cenderung ke hitam juga kan?”
“Di
biji ini kan hitamnya udah banyak. Jadi kalau ada abu-abunya berarti cenderung
ke putih. Semacam gradasi gitulah.”
Saya
mencoba mengerti maksudnya.
“Dan
biji ini nggak sekeras pil telat datang bulan...”
“Haha...”
“Nggak
sekeras ciptaan manusia. Dunia mestinya nggak sekeras yang elo bayangin. Elo
pernah denger kan, kalau Tuhan itu nggak akan pernah ngasih cobaan di luar
kemampuan hamba-Nya? Gue udah to the
point tuh...”
“Tapi
kan tuh biji nggak lembek-lembek amat juga, cenderung keras...”
“Lembek
ah. Nih pegang aja...”
Saya
mengambil biji dari jarinya dan menekan-nekannya. Ya, lembek. “Tapi tengahnya
keras loh.”
“Belah
deh!”
Saya
memejamkan mata dan menarik dua ujung bibir lebar-lebar, mencoba memahami apa
maksud anak ini. “Oke...”
Saya
membelah biji itu. Biji itu terbelah jadi dua, dan terlihatnya warna bagian
dalamnya yang putih.
“Apa
artinya coba?”
Saya
menegakkan badan dan mendapatkan analogi saya sendiri. Dan sadar. “Tau nggak
sih, ini tuh klise banget...”
“Intinya,
kalau elo bisa mengikis yang hitam dengan telaten lo bisa ngedapetin warna
putih.”
“Telaten
ya, itu kuncinya... Klise banget ah, gak suka!”
Dia
tertawa. “Ya udah... Cuman biji pepaya!”
“Lah
trus kenapa bisa bikin kamu sangat tertarik? Emang apa sih pengaruhnya buat
hidup kamu yang bahagia?” Satu tembakan saya lepaskan. Yap, Hayy bukanlah jenis
manusia pesimis seperti saya. Ia tergolong ke dalam Manusia-Manusia Bahagia,
makhluk yang tak pernah mengenal kata susah dan merupakan ciptaan Tuhan yang paling indah dan sempurna. Mengingat ini saya
menghela napas, menyadari kesenjangan yang saya ciptakan sendiri di antara kami
berdua.
Dia
berhenti tertawa. “Elo tau, biji ini ada penopangnya juga loh...” Ia membungkuk
dan mengelus sesuatu yang menempel pada biji. Dan sesuatu itu menempel juga di
daging pepaya.
“Itu
apaan sih?”
Dia
mengangkat bahu. “Tau. Di sekolah belum diajarin.”
“Yang
jelas sekolah nggak akan ngebahas pepaya lah,” ujar saya. Saya melihat semacam
tali penghubung—kalau bisa dibilang begitu—antara biji pepaya dengan dagingnya
itu.
“Trus,
menurut lo...”
“Iya.
Oke. Sip lah. Pasti. Bakal saya cari artinya di rumah.” Apapun itu; pandangan
saya memancarkan hal itu.
Kami
terdiam lagi. Saya meneruskan menguliti pepaya. Sementara dia kembali ke depan
TV dan mulai memindah-mindah channel lagi. Acara kesukaannya tadi sudah usai.
Keheningan
ini membuat saya agak canggung. Lagi-lagi discommunication.
Kami memang biasa berdiskusi akan banyak hal. Mungkin seorang talk active seperti dia pun membutuhkan
waktu untuk berdiam diri juga. Tapi saat sunyi begini benar-benar membuat saya
tidak enak meski itu memberi saya konsentrasi lebih dalam memotong pepaya. Tapi
memangnya siapa yang butuh konsentrasi lebih dalam memotong daging lembek
pepaya?
Piyama
biru muda Hayy dengan motif kotak-kotak biru tua memberi kesan menguatkan
suasana senja yang memasuki apartemennya. Semburat-semburat jingga mulai menghiasi
langit ungu yang kelam, terlihat dari jendela balkon Hayy yang kerainya belum
ditutup. Sudah mau magrib, pasti. Saya akan pulang selepas Isya saja. Hayy
pasti mau mengantarkan dengan motor bebeknya, hehehe...
Akhirnya
muncul ide untuk diperbincangkan di kepala saya.
“Hei,
tadi kamu belum jawab pertanyaan saya!”
“Huh,
yang mana?” Dia menoleh.
“Ya...
yang tadi itu. Apa pengaruhnya arti dari biji pepaya itu buat hidup kamu yang
bahagia? Saya kira kamu ngomong tadi itu cuman untuk nyindir saya doang.”
Dia
tampak senang dengan kejujuran saya.
“Sebenarnya
gue juga baru tertarik sama biji pepaya pas ngeliat elo. Gue jadi ingat sama
para pesimis yang ada di dunia...”
Dia
seperti menerawang. Saya jadi ingat akan Soe Hok Gie yang menganggap dirinya
pesimis. Asumsi saya pesimis yang Hayy maksudkan ini pasti tidak sama dengan
pesimis yang ada pada Gie. Secara jelas kami cuman abg-abg sok pintar dan
pastinya tak selevel dengan Gie.
“Kamu
belum dewasa, Hayy.”
“Elo
juga.”
“Karena
itulah..., tapi pembicaraan kita nggak pernah lepas dari masalah yang kayak
ginian kayaknya...”
“Ya,
itu tandanya pendewasaan. Mungkin...” Kami tertawa. Setelah itu ia
mengangguk-angguk dengan muka polos lalu melanjutkan lagi. “Ya.. jadi gara-gara
biji pepaya gue jadi inget temen-temen gue yang pesimis. Termasuk elo juga.”
“Para
pesimis itu orang-orang yang realistis loh, saya pikir. Mereka pesimis karena menyadari
keadaan mereka dan mereka tau kalau itu nggak bakal bisa diubah, jadi
mereka...”
“Pesimis
itu kan sikap, Neng. Boleh aja lo sadar ama keadaan lo, tapi cara lo
nyikapinnya itu loh, pesimis atau optimis. Jadi bukan para pesimisnya yang
realistis, gue kira. Lagian kata siapa nggak bisa diubah? Itu kan tergantung
elonya sendiri. Kalau elo te-la-ten gue rasa itu bisa mengubah cara pandang lo
sama dunia. Lo aja males.”
“Ya...”
Saya termenung. Namun ternyata saya bisa membalasnya. “Eh, tapi mungkin aja loh
ada hal yang gak bisa diubah. Saya
pernah dengar di RRI kalau korupsi di Indonesia itu nggak akan pernah bisa
diberantas, kata siapa itu namanya, saya lupa. Lagian, generasi kita aja masih
suka tergiur kalau lagi kepepet; pas ulangan nyontek. Saya suka mikir, kapankah
dekadensi moral ini akan segera berakhir...”
Gantian
saya yang terdiam. Ah, tau apa ya saya soal yang begituan. Seharusnya saya
tidak terlalu banyak dengar RRI atau baca KOMPAS. Seharusnya saya jalan-jalan di
mall, belanja dan baca teenlit sambil minum latte.
Mungkin saat saya sudah dewasa saya memang patut tahu yang seperti itu, bukan
sekarang. Seharusnya saya bersenang-senang seperti remaja lainnya dan jangan
dulu ikut pusing memikirkan nasib negeri yang entah akan bisa bertahan apa
tidak puluhan tahun lagi. Sekolah aja masih suka keteteran. Mau jadi apa saya
masih hijau gini mikirin yang terjadi di luar sana sampai-sampai sekolah tidak
lagi dipedulikan?
“Hey,
mikirin apa sih?”
Saya
memandang dia yang tampak perhatian. Gimana caranya kamu bisa menyeimbangkan
kesemuanya itu, Hayy? Saya tahu kamu murid yang cerdas di kelas. Kamu sangat
enak dan nyambung diajak diskusi tentang apa saja. Termasuk diskusi dengan saya
yang kadang malah bikin orang mengernyit heran. Kini kamu senang berumpama
juga, seperti saya saja, tidak ada kerjaan lain apa.
“...”
“...?”
“Udah,
lupain aja...”
Adzan
terdengar bertepatan dengan selesainya saya memotong pepaya menjadi kotak-kotak
kecil. “Yeah, jadi penutup buat makan malam kamu!”
“Makan
sekarang ajalah, kalau kelamaan nggak enak.”
“Terserahlah.
Yang penting saya dapet bagian saya sekarang!” Saya mengambil garpu dengan
riang. Terbayang saat-saat selanjutnya dalam hidup saya waktu dekat ini, beban
di perut saya akan dengan gampang bisa dikeluarkan hingga habis dan legalah
saya...
“Solat?”
“Ya.
Kamu duluan aja.”
Setelah
dia memasuki kamar mandi, saya membereskan sampah dan menyadari akan benda
semacam tali—kalau boleh dikatakan begitu—yang menghubungkan biji pepaya dengan
dagingnya.
Tali
tersebut akan tetap terhubung kalau tak keburu dipotong manusia.
Manusia
tak akan pernah terlepas dari tangan Tuhan-Nya.
Saat
tali tersebut terlepas dari biji, biji itu akan menggelinding jatuh, lalu
dibuang ke kantong sampah oleh manusia.
Sama
halnya pada manusia itu sendiri. Biji itu seperti kehidupan (ya, bibit untuk
jadi the next papaja). Biji itu
adalah manusia. Manusia tetap manusia.
Ya
ya ya, saya mengerti.
Mungkin
Hayy bakal punya persepsi lain. Akan saya tanyakan setelah ini.
8:08 PM
...terjadi gitu aja...
Revisi Akhir: 10:06 PM
23 Mei 2006