Selasa, 23 Mei 2006

Perumpamaan Biji Pepaya [—part of Manusia-Manusia Bahagia—]

 

Suatu sore saya sedang berada di apartemen lux-nya di daerah Dago. Kami berempat saja di ruangan itu. Saya, dia, dan dua kucingnya, Abstrak dan Absurd (dia memang orang yang kreatif, cemerlang, brilian...). Sebenarnya saya baru saja datang ke tempat itu dengan agak segan. Saya datang dengan baju bebas. Baju yang sama yang saya pakai kemarin lusa sewaktu mengunjunginya; sweater ungu dan celana gombrong biru dongker serupa jins ¾ . Sangat kontras pakaian saya yang suram ini dengan apartemennya yang sangat berwarna dan memancarkan aura cerah—meskipun ia seorang lelaki. Hari ini saya datang untuk meminjam DVD Indiana Jones yang fantastis (sebenarnya saya belum nonton sih...), rencananya hanya sebentar saja datang ke apartemennya, hanya untuk mengambil itu saja.

DVD sudah ada di dalam tas saya. Rasanya tidak sopan kalau buru-buru pulang, muncul gagasan di benak saya untuk pergi ke balkon dan melihat pemandangan senja Dago dulu. Saat saya melintas ruangan hendak ke balkon, saya melewati meja makannya dan melihat pepaya yang sudah seperempatnya dipotong tertelungkup di atas piring cantik di meja. Saya ingat saya sedang sembelit. Pepaya jelas akan membantu. Sayangnya, di rumah saya persediaan pisang masih banyak. Ibu saya tak akan membeli buah-buahan lagi sebelum semuanya hampir habis.

Lalu saya bertanya padanya, “Hayy, mau saya potongin pepaya?”

Sekelibat muncul pikiran, ya ampun seperti istri pada suami saja saya bertanya ini...

“Boleh. Potong aja,” Ia beranjak dari kekhusyukkannya nonton TV kabel dan berkata begitu sambil mengambil piring dan sebilah pisau dan menyerahkannya pada saya. Saya mengambil keduanya, membalikkan badan pepaya dan bersiap memotong.

Ia masih berdiri di sebelah saya.

“Ng... jujur aja ya, kamu tau kan seorang remaja yang sedang mencapai aktualisasi diri membutuhkan banyak privasi dan kesendirian?”

Dia diam sejenak. “Termasuk dalam memotong pepaya?”

“Ya.”

“Potong aja. Gue nggak akan ganggu kok.”

Sebaiknya begitu, ujar saya dalam hati.

Saya memotong pepaya itu setengah. Sisanya yang merupakan ujung yang tertutup kulit saya telungkupkan lagi pada piring cantik. Yang satunya saya taruh di piring untuk dipotong. Bentuknya seperti koin jaman batu, berbentuk nyaris lingkaran dan tengahnya bolong—kalau kita tidak memedulikan biji-bijinya.

Ia sudah menyiapkan kresek hitam kecil sebagai tempat sampah di sebelah piring. Saya jadi ingat kebiasaannya yang baru saya sadari sekarang ini. Hayy selalu menggunakan kresek hitam kecil untuk membuang sampah basah dan mengikatnya rapat-rapat supaya tidak bersatu dengan sampah kering saat dimasukkan dalam tempat sampah. Seperti sesuatu...

Saya membelah lingkaran pepaya tersebut dan agak shock (yang sebenarnya tidak perlu, tapi, yaa, itulah yang terjadi) mendapati biji-biji bulat hitam yang menempel pada daging pepaya. Banyak sekali!!

Sebelumnya saya memang jarang memotong pepaya. Tentu saja saya tahu akan menemukan biji-biji tersebut di dalam pepaya tapi saya tidak pernah melihat yang sebanyak ini. Begitu bulat... mengkilat... seperti... seperti kepala!!!

Sepertinya Hayy menyadari ekspresi muka saya yang mengernyit dengan ekstrim.

Entah kenapa puluhan—bahkan mungkin ratusan—biji hitam ini bisa membuat saya kaget. Mengingatkan saya pada alien. Pada pelajaran Biologi, dimana saya harus remedial terus. Jelas sesuatu yang sangat tidak menyenangkan untuk dinikmati.

“Menarik, ya?” katanya.

“Apa?”

“Ini...” Ia memegang biji pepaya tersebut—ya, kalau boleh dikatakan biji—yang seperti pil telat datang bulan.

“Mengerikan,” sahut saya.

“Nggak, ah,” sanggahnya lagi. “Menarik tau. Menarik banget. Lucu, nih, liat coba, dan perhatikan baik-baik dengan seksama... Bener-bener unik, nggak ada yang seindah biji pepaya...” Dia nyengir sambil menghela nafas. “Ternyata emang bener-bener... lucu.”

“Tidak. Terima kasih.”

“...”

“Kenapa sih ngeliatinnya gitu banget?”

“Lo tau nggak, kalau gue ngeliat ini selalu numbuhin minat gue buat masuk Biologi kuliah entar. Supaya bisa jadi ahli tumbuhan dan ngeliat yang lebih unik lagi.”

“Ah...”

“Kenapa? Elo jijik?”

“Gak juga. Cuman belum terbiasa aja kok. Oh ya, nanti saya minta pepayanya juga, ya? Hehehe...”

“Ya iyalah, gimana bisa lo mau motongin buat gue kalau bukan karena elo pingin nyicip juga?”

Penghinaan atau bukan, tapi itu malah membuat saya makin terkekeh.

Lalu dia bercerita lagi. “Kalau habis motong pepaya, biasanya gue bisa lama banget ngamatin ini sambil makan pepayanya.”

“Oh ya?” Ia masih memegang biji pepaya itu. Memutar mutarnya diapit dua jari.

Saya seperti mendengarnya berbisik dengan obsesif. “Sungguh menggelitik jiwa... Sangat... menggugah.”

Ah, tapi kayaknya nggak mungkin lah ya.

“Kenapa,” saya bertanya lagi, “kamu bisa tertarik banget sama biji pepaya?”

Dia diam. Masih mengamati biji di jarinya dengan penuh minat.

“Kalau boleh rada berumpama ria kayak elo sih ya..., biji ini hitam. Tapi ada abu-abunya, dan ternyata lembek.”

“Itu yang namanya perumpamaan?

“Bukan dong...Itu namanya deskripsi tau...”

Saya tertawa lagi. Saya seperti melihat refleksi diri saya ada padanya.“Ya udah, langsung aja. Emang, perumpamaan apa yang bisa kamu ambil dari situ?”

“Kayak seorang pesimis yang ngeliat dunia ini dari sisi hitamnya aja. Nyatanya toh masih ada warna abu-abu yang cenderung ke putih...”

“Tapi abu-abu itu cenderung ke hitam juga kan?”

“Di biji ini kan hitamnya udah banyak. Jadi kalau ada abu-abunya berarti cenderung ke putih. Semacam gradasi gitulah.”

Saya mencoba mengerti maksudnya.

“Dan biji ini nggak sekeras pil telat datang bulan...”

“Haha...”

“Nggak sekeras ciptaan manusia. Dunia mestinya nggak sekeras yang elo bayangin. Elo pernah denger kan, kalau Tuhan itu nggak akan pernah ngasih cobaan di luar kemampuan hamba-Nya? Gue udah to the point tuh...”

“Tapi kan tuh biji nggak lembek-lembek amat juga, cenderung keras...”

“Lembek ah. Nih pegang aja...”

Saya mengambil biji dari jarinya dan menekan-nekannya. Ya, lembek. “Tapi tengahnya keras loh.”

“Belah deh!”

Saya memejamkan mata dan menarik dua ujung bibir lebar-lebar, mencoba memahami apa maksud anak ini. “Oke...”

Saya membelah biji itu. Biji itu terbelah jadi dua, dan terlihatnya warna bagian dalamnya yang putih.

“Apa artinya coba?”

Saya menegakkan badan dan mendapatkan analogi saya sendiri. Dan sadar. “Tau nggak sih, ini tuh klise banget...”

“Intinya, kalau elo bisa mengikis yang hitam dengan telaten lo bisa ngedapetin warna putih.”

“Telaten ya, itu kuncinya... Klise banget ah, gak suka!”

Dia tertawa. “Ya udah... Cuman biji pepaya!”

“Lah trus kenapa bisa bikin kamu sangat tertarik? Emang apa sih pengaruhnya buat hidup kamu yang bahagia?” Satu tembakan saya lepaskan. Yap, Hayy bukanlah jenis manusia pesimis seperti saya. Ia tergolong ke dalam Manusia-Manusia Bahagia, makhluk yang tak pernah mengenal kata susah dan merupakan ciptaan Tuhan yang  paling indah dan sempurna. Mengingat ini saya menghela napas, menyadari kesenjangan yang saya ciptakan sendiri di antara kami berdua.

Dia berhenti tertawa. “Elo tau, biji ini ada penopangnya juga loh...” Ia membungkuk dan mengelus sesuatu yang menempel pada biji. Dan sesuatu itu menempel juga di daging pepaya.

“Itu apaan sih?”

Dia mengangkat bahu. “Tau. Di sekolah belum diajarin.”

“Yang jelas sekolah nggak akan ngebahas pepaya lah,” ujar saya. Saya melihat semacam tali penghubung—kalau bisa dibilang begitu—antara biji pepaya dengan dagingnya itu.

“Trus, menurut lo...”

“Iya. Oke. Sip lah. Pasti. Bakal saya cari artinya di rumah.” Apapun itu; pandangan saya memancarkan hal itu.

Kami terdiam lagi. Saya meneruskan menguliti pepaya. Sementara dia kembali ke depan TV dan mulai memindah-mindah channel lagi. Acara kesukaannya tadi sudah usai.

Keheningan ini membuat saya agak canggung. Lagi-lagi discommunication. Kami memang biasa berdiskusi akan banyak hal. Mungkin seorang talk active seperti dia pun membutuhkan waktu untuk berdiam diri juga. Tapi saat sunyi begini benar-benar membuat saya tidak enak meski itu memberi saya konsentrasi lebih dalam memotong pepaya. Tapi memangnya siapa yang butuh konsentrasi lebih dalam memotong daging lembek pepaya?

Piyama biru muda Hayy dengan motif kotak-kotak biru tua memberi kesan menguatkan suasana senja yang memasuki apartemennya. Semburat-semburat jingga mulai menghiasi langit ungu yang kelam, terlihat dari jendela balkon Hayy yang kerainya belum ditutup. Sudah mau magrib, pasti. Saya akan pulang selepas Isya saja. Hayy pasti mau mengantarkan dengan motor bebeknya, hehehe...

Akhirnya muncul ide untuk diperbincangkan di kepala saya.

“Hei, tadi kamu belum jawab pertanyaan saya!”

“Huh, yang mana?” Dia menoleh.

“Ya... yang tadi itu. Apa pengaruhnya arti dari biji pepaya itu buat hidup kamu yang bahagia? Saya kira kamu ngomong tadi itu cuman untuk nyindir saya doang.”

Dia tampak senang dengan kejujuran saya.

“Sebenarnya gue juga baru tertarik sama biji pepaya pas ngeliat elo. Gue jadi ingat sama para pesimis yang ada di dunia...”

Dia seperti menerawang. Saya jadi ingat akan Soe Hok Gie yang menganggap dirinya pesimis. Asumsi saya pesimis yang Hayy maksudkan ini pasti tidak sama dengan pesimis yang ada pada Gie. Secara jelas kami cuman abg-abg sok pintar dan pastinya tak selevel dengan Gie.

“Kamu belum dewasa, Hayy.”

“Elo juga.”

“Karena itulah..., tapi pembicaraan kita nggak pernah lepas dari masalah yang kayak ginian kayaknya...”

“Ya, itu tandanya pendewasaan. Mungkin...” Kami tertawa. Setelah itu ia mengangguk-angguk dengan muka polos lalu melanjutkan lagi. “Ya.. jadi gara-gara biji pepaya gue jadi inget temen-temen gue yang pesimis. Termasuk elo juga.”

“Para pesimis itu orang-orang yang realistis loh, saya pikir. Mereka pesimis karena menyadari keadaan mereka dan mereka tau kalau itu nggak bakal bisa diubah, jadi mereka...”

“Pesimis itu kan sikap, Neng. Boleh aja lo sadar ama keadaan lo, tapi cara lo nyikapinnya itu loh, pesimis atau optimis. Jadi bukan para pesimisnya yang realistis, gue kira. Lagian kata siapa nggak bisa diubah? Itu kan tergantung elonya sendiri. Kalau elo te-la-ten gue rasa itu bisa mengubah cara pandang lo sama dunia. Lo aja males.”

“Ya...” Saya termenung. Namun ternyata saya bisa membalasnya. “Eh, tapi mungkin aja loh ada hal yang gak bisa diubah.  Saya pernah dengar di RRI kalau korupsi di Indonesia itu nggak akan pernah bisa diberantas, kata siapa itu namanya, saya lupa. Lagian, generasi kita aja masih suka tergiur kalau lagi kepepet; pas ulangan nyontek. Saya suka mikir, kapankah dekadensi moral ini akan segera berakhir...”

Gantian saya yang terdiam. Ah, tau apa ya saya soal yang begituan. Seharusnya saya tidak terlalu banyak dengar RRI atau baca KOMPAS. Seharusnya saya jalan-jalan di mall, belanja dan baca teenlit sambil minum latte. Mungkin saat saya sudah dewasa saya memang patut tahu yang seperti itu, bukan sekarang. Seharusnya saya bersenang-senang seperti remaja lainnya dan jangan dulu ikut pusing memikirkan nasib negeri yang entah akan bisa bertahan apa tidak puluhan tahun lagi. Sekolah aja masih suka keteteran. Mau jadi apa saya masih hijau gini mikirin yang terjadi di luar sana sampai-sampai sekolah tidak lagi dipedulikan?

“Hey, mikirin apa sih?”

Saya memandang dia yang tampak perhatian. Gimana caranya kamu bisa menyeimbangkan kesemuanya itu, Hayy? Saya tahu kamu murid yang cerdas di kelas. Kamu sangat enak dan nyambung diajak diskusi tentang apa saja. Termasuk diskusi dengan saya yang kadang malah bikin orang mengernyit heran. Kini kamu senang berumpama juga, seperti saya saja, tidak ada kerjaan lain apa.

“...”

“...?”

“Udah, lupain aja...”

Adzan terdengar bertepatan dengan selesainya saya memotong pepaya menjadi kotak-kotak kecil. “Yeah, jadi penutup buat makan malam kamu!”

“Makan sekarang ajalah, kalau kelamaan nggak enak.”

“Terserahlah. Yang penting saya dapet bagian saya sekarang!” Saya mengambil garpu dengan riang. Terbayang saat-saat selanjutnya dalam hidup saya waktu dekat ini, beban di perut saya akan dengan gampang bisa dikeluarkan hingga habis dan legalah saya...

“Solat?”

“Ya. Kamu duluan aja.”

Setelah dia memasuki kamar mandi, saya membereskan sampah dan menyadari akan benda semacam tali—kalau boleh dikatakan begitu—yang menghubungkan biji pepaya dengan dagingnya.

Tali tersebut akan tetap terhubung kalau tak keburu dipotong manusia.

Manusia tak akan pernah terlepas dari tangan Tuhan-Nya.

Saat tali tersebut terlepas dari biji, biji itu akan menggelinding jatuh, lalu dibuang ke kantong sampah oleh manusia.

Sama halnya pada manusia itu sendiri. Biji itu seperti kehidupan (ya, bibit untuk jadi the next papaja). Biji itu adalah manusia. Manusia tetap manusia.

Ya ya ya, saya mengerti.

Mungkin Hayy bakal punya persepsi lain. Akan saya tanyakan setelah ini.

 

 

 

 

8:08 PM

...terjadi gitu aja...

Revisi Akhir: 10:06 PM

23 Mei 2006

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain